بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Ia memasuki kota sambil menyamar. Ia
tampak seperti orang yang hendak melakukan tawaf mengelilingi berhala-berhala
besar di Ka’bah, atau seorang musafir yang tersesat dalam perjalanan, atau
lebih tepat orang yang telah menempuh perjalanan sangat jauh, yang memerlukan
istirahat dan menambah perbekalan.
Seandainya orang-orang Mekkah mengetahui
bahwa kedatangannya itu untuk menemui dan mendengar keterangan Muhammad, mereka
pasti membunuhnya. Namun, ia tidak peduli meski harus dibunuh, asal saja itu
dilaksanakan setelah dirinya melintasi padang pasir luas dan dapat menjumpai
laki-laki yang dicarinya dan menyatakan beriman kepadanya. Mereka boleh
membunuhnya tetapi setelah ia merasa lega dengan kebenaran dan dakwah yang
diberikan oleh Muhammad.
Ia terus melangkah sambil memasang
telinga. Setiap mendengar perbincangan tentang Muhammad, ia menyimak dan
mendekat dengan hati-hati, dan dari cerita yang didapat di sana-sini, ia
mendapati petunjuk yang bias mengantarkannya ke tempat persembunyiannya
Muhammad dan dan mempertemukannya dengan beliau.
Suatu pagi ia pergi ke tempat tersebut dan
mendapati Muhammad sedang duduk seorang diri. Ia mendekati beliau dan berkata,
“Selamat pagi, wahai kawan sebangsa!”
Beliau
menjawab, “Keselamatan untukmu, wahai
shahabat.”
“Bacakanlah kepadaku syair anda,” kata Abu Dzar
.
“Itu
bukanlah syair yang dapat disenandungkan, melainkan Al-Qur’an yang mulia!” jawab
Rasulullah
.
“Bacakanlah
kalau begitu!” kata Abu Dzar
.
Rasulullah
pun membacakan Al-Qur’an,
sedangkan Abu Dzar
mendengar dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang
lama ia pun berseru, “Aku bersaksi bahwa
tiada ilah selain Allah dan aku juga bersaksi bahwa engkau adalah utusan
Allah.”
Dari manakah asalmu, saudara sebangsa?” Tanya Rasulullah
.
“Dari
Ghifar.” Jawabnya.
Terbukalah senyum lebar di kedua bibir
Rasulullah
, sementara wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar
juga
tersenyum, karena ia mengetahui apa yang tersimpan di balik rasa kagum
Rasulullah
saat mendengar bahwa orang yang telah mengaku islam di hadapannya
secara terus terang itu, seorang laki-laki dari Bani Ghifar.
Ghifar adalah kabilah yang tidak mengenal
siapa sasarannya ketika membegal di jalanan. Orang-orang Ghifar sangat terkenal
sebagai biang keladi perampokan. Mereka adalah shahabat malam dan kegelapan.
Celakalah orang yang tersesat atau jatuh ke tangan orang-orang Ghifar dalam
perjalanan malam! Namun, hari ini salah satu dari mereka datang untuk
menyatakan keislaman saat islam yang baru saja lahir.
Sungguh, sulit dipercaya seorang dari Bani
Ghifar segaja datang untuk masuk islam saat itu. Abu Dzar
menuturkan sendiri
kisah keislamannya tersebut, “Rasulullah
pun menatap tajam seolah ingin mendapatkan kepastian dari keheranan beliau
karena tahu bagaimana tabiat orang-orang Ghifar. Kemudian beliau bersabda,
‘Sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.’”
Memang
benar, Allah menganugerahkan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Abu Dzar
ialah salah seorang yang dikehendaki Allah beroleh petunjuk dan orang yang
dipilih-Nya untuk mendapat kebaikan.
Abu Dzar
memang seorang yang tajam
pengamatannya tentang kebenaran. Menurut periwayatan, ia termasuk salah seorang
yang menentang pemujaan berhala pada zaman jahiliyyah, dan mempunyai
kepercayaan terhadap ketuhanan dan keimanan kepada Rabb Yang Maha Besar lagi
Maha Pencipta. Itu terbukti ketika ia baru saja mendengar pengutusan seorang
Nabi yang mencela berhala serta pemuja-pemujanya dan menyeru kepada Allah Yang
Maha Esa lagi Maha Perkasa, dia pun menyiapkan bekal dan langsung mengayunkan
langkahnya.
Abu Dzar
telah masuk islam tanpa
ditunda-tunda lagi. Urutannya di kaum Muslimin ialah yang kelima atau keenam.
Jadi ia telah memeluk islam itu pada hari-hari pertama, bahkan pada saat-saat
pertama agama islam, hingga keislamannya termasuk ke dalam barisan terdepan.
Ketika ia masuk islam, Rasulullah
masih
menyampaikan dakwahnya secara berbisik-bisik dari satu orang ke orang lain.
Beliau membisikkan dakwah itu kepada Abu Dzar
begitu pun kepada lima orang
lainnya yang telah beriman kepadanya. Bagi Abu Dzar
, tidak ada yang dapat
dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu dalam dada, lalu
meninggalkan Mekkah secara diam-diam dan kembali kepada kaumnya.
Namun, Abu Dzar
adalah seorang yang
“radikal” dan “revolusioner.” Menentang kebathilan telah menjadi watak dan
tabi’atnya di mana pun dia berada. Dan sekarang kebathilan itu berada di
hadapannya serta disaksikannya dengan kedua matanya sendiri. Kebathilan dalam
wujud batu-batu yang disusun dan dibentuk oleh para pemujanya; disembah oleh orang-orang
dengan menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka. Manusia memanggilnya
dengan seruan, “Inilah kami kami datang
demi mengikuti titahmu.”
Abu Dzar
tahu bahwa Rasulullah
memilih
cara bisik-bisik pada masa itu, mau tidak mau harus ada suatu teriakan keras
yang akan dikumandangkan jiwa pemberontak ulung ini sebelum ia pergi.
Baru saja masuk islam, ia telah mengajukan
pertanyaan kepada Rasulullah
, “Wahai
Rasulullal, apa yang harus saya kerjakan menurutmu?”
Beliau menjawab, “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintah-ku nanti!”
Namun,
Abu Dzar
menyahut, “Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, aku tidak akan kembali sebelum meneriakkan Islam di dalam
masjid!”
Bukankah
telah saya katakan kepada anda? Abu Dzar
berjiwa “radikal” dan “revolusioner”!
apakah pada saat alam baru terbuka secara gambling, yang jelas tertulis pada
pribadi Rasulullah
yang diimaninya, serta dakwah yang uraiannya disampaikan
dengan lisannya; apakah pada saat seperti itu ia mampu kembali pada keluarganya
dalam keadaan membisu seribu bahasa? Sungguh, hal itu di luar kemampuannya!
Abu Dzar
pergi menuju Al-Masjid Al-Haram
dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Aku
bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah.” Inilah teriakan pertama tentang agama islam yang
menentang kesombongan orang-orang Quraish dan memekakkan telinga mereka.
Teriakan itu dilontarkan oleh seorang
perantau asing, yang tidak mempunyai pelindung, sanak keluarga maupun keluarga
di Mekkah. Sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya
bisa dipastikan itu akan diterima. Orang-orang mengepung dan memukulnya hingga
roboh.
Berita mengenai peristiwa yang dialami
oleh Abu Dzar
itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. Dia segera
mendatangi tempat kejadian peristiwa tersebut, namun ia merasa tidak dapat
melepaskan Abu Dzar
dari cengkeraman mereka, kecuali dengan menggunakan
pendekatan persuasive. Dia pun berkata kepada mereka, “Wahai kaum Quraish, kalian semua adalah bangsa pedagang yang mau tidak
mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Orang ini salah seorang warganya. Dia
bias memobilisasi kaumnya untuk merampok kafilah-kafilah dagang kalian nanti!”
Mereka menyadarinya akan hal itu, lalu
pergi meninggalkannya. Tetapi, Abu Dzar
yang baru saja mengenyam manisnya
penderitaan dalam membela agama Allah itu tidak ingin meninggalkan Mekkah
sebelum berhasil memperoleh tambahan dari darma baktinya. Dia pun
membuktikannya pada hari berikutnya, atau bahkan pada hari yang sama. Dia
melihat dua orang wanita sedang tawaf mengelilingi berhala-berhala bernama Usaf
dan Nailah sambil memohon kepadanya. Abu Dzar
segera berdiri menghadangnya,
lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina dan direndahkan olehnya.
Kedua wanita itu berteriak dengan keras,
hingga orang-orang gempar dan datang laksana belalang. Sejurus kemudian, mereka
menghujani Abu Dzar
dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman,
tidak ada kata yang ia ucapkan kecuali, “Bahwa
tiada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”
Rasulullah
menyadari bagaimana tabi’at dan watak murid barunya yang baru datang itu. Beliau
memahami keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya saja,
saatnya belum tiba sehingga beliau mengulangi perintah agar ia pulang, hingga
ketika ia telah mendengar islam telah didakwahkan secara terang-terangan, ia
dapat kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka
peristiwanya.
Abu Dzar
kembali menemui keluarga serta
kaumnya dan menceritakan kepada mereka tentang nabi yang baru di utus oleh
Allah, yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing
mereka supaya berakhlak mulia. Satu demi satu, kaumnya masuk islam. Bahkan,
usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tetapi dilanjutkannya pada suku
lain, yaitu suku Aslam. Ia memancarkan cahaya Islam di tengah-tengah mereka.
Hari-hari telah berlalu telah mengikuti
peredaran masa. Rasulullah
pun hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama
kaum Muslimin. Suatu hari satu barisan panjang yang terdiri atas pengendara dan
pejalan kaki menuju ke pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu di belakang
mereka. Kalau bukan karena bunyi suara takbir mereka yang bergerumuh, orang
yang melihat pasti akan menyangka mereka itu adalah iring-iringan tentara
musyrikin.
Rombongan besar itu semakin dekat, lalu
memasuki Madinah dan langkah mereka mengarah ke Masjid dan tempat kediaman
Rasulullah
. Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan
Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar
, baik laki-laki, perempuan, orang
tua, remaja, maupun anak-anak.
Kali ini, Rasulullah
semakin takjub dan
kagum. Belum lama berselang, beliau takjub oleh seorang laki-laki dari Ghifar
yang menyatakan keislaman di hadapan belia. Ketakjuban beliau itu ditunjukkan
dengan sabda, “Sesungguhnya Allah telah
memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
Nah,
kini yang datang itu ialah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keislaman
mereka, setelah beberapa tahun lamanya mereka menganut agama nenek moyang,
sejak mereka diberi hidayah Allah di tangan Abu Dzar
. Suku Aslam juga ikut
bersama mereka. Kini, raksasa garong dan komplotan setan telah beralih rupa
menjadi pembesar kebajikan dan pendukung kebenaran! Benar, bahwa Allah
memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Rasulullah
melayangkan pandangannya kepada
wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi oleh rasa haru dan cinta
kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, beliau bersabda:
“Suku
Ghifar telah diampuni oleh Allah”
Kemudian
sambil menghadap kepada suku Aslam, beliau juga bersabda:
“Suku
Aslam telah diselamatkan oleh Allah"
Untuk Abu Dzar
, mubalig ulung yang berjiwa
bebas dan bercita-cita mulia itu, apakan Rasulullah
tidak akan menyampaikan
ucapan istimewa kepadanya? Tentu saja, ganjarannya tidak terhingga, serta
ucapan kepadanya dipenuhi berkah!
Bintang tertinggi tentu akan disematkan di
dadanya, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Keturunan demi
keturunan serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan
mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah
mengenai Abu Dzar
, “Tidak ada lagi di muka bumii dan di bawah
naungan langit orang yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar
.”
Seperti disebutkan sebelumnya, Rasulullah
menyadari sebagaimana watak dan tabi’at murid barunya yang baru datang waktu itu.
Beliau memahami keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya
saja, saat belum tiba sehingga beliau memerintahkan agar dia pulang ke kaumnya.
Dan kini, ketika dia telah mendengar islam telah didakwahkan secara
terang-terangan, ia kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan
aneka peristiwanya di Madinah.
Kali ini beliau menyatakan tidak ada orang
yang lebih benar daripada ucapan Abu Dzar
. Sungguh, Rasulullah
bagai telah
membaca masa depan shahabatnya itu, dan menyimpulkan semuanya pada kalimat
tersebut. Kebenaran yang disertai dengan keberanian; itulah prinsip hidup Abu
Dzar
secara keseluruhan! Benar batinnya, benar pula lahirnya. Benar akidahnya,
benar pula ucapannya.
Dalam kehidupan selanjutnya, Abu Dzar
memang menjalani hidupnya secara jujur. Ia tidak menipu dirinya sendiri maupun
orang lain.ia tidak akan membiarkan seorang pun menyimpangkan dirinya dari
kebenaran. Kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar
,
kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran!
Yang dikatakan benar adalah menyatakan
secara terbuka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan menentang yang
bathil, mendukung yang benar dan memberantas yang salah. Benar itu ialah
loyalitas total terhadap yang haq, mengemukakannya secara berani, dan
melaksanakannya secara terpuji.
Dengan penglihatannya yang tajam bagai
menembus kea lam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudra yang tidak
terselami, Rasulullah
menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu
Dzar
sebagai konsekuensi dari kejujuran dan ketegasannya. Karena itu,
Rasulullah
selalu berpesan kepadanya agar melatih diri dengan kesabaran dan
tidak terburu nafsu.
Suatu hari Rasulullah
mengemukakan
kepadanya pertanyaan, “Wahai Abu Dzar
,
bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti
untuk diri mereka pribadi?”
Abu
Dzar
menjawab, “Demi Dzat yang telah
mengutusmu sebagai kebenaran, aku akan menebas mereka dengan pedangku!”
Beliau bersabda kepadanya, “Maukah kamu bila aku memberikan jalan yang
lebih baik daripada itu? Yaitu, bersabar sampai kamu menemuiku.”
Tahukah
anda, mengapa Rasulullah
mengajukan pertanyaan seperti itu? Mengapa
pertanyaannya berkaitan dengan pembesar dan harta? Karena, itulah persoalan
pokok yang nantinya akan dihadapi oleh Abu Dzar
dalam kehidupan selanjutnya.
Itulah permasalahan dirinya dengan masyarakat dan masa depan yang harus
dipecahkannya.
Rasulullah
telah mengetahui hal itu, dan
itulah sebabnya beliau mengajukan pertanyaan demikian. Baliau bermaksud
membekalinya dengan nasihat yang amat berharga, “Bersabarlah kamu sampai menemuiku.”
Dalam
kehidupan selanjutnya, Abu Dzar
memang selalu ingat wasiat gurunya. Ia tidak
pernah menggunakan pedang untuk menghadapi para pembesar yang mengambil
kekayaan dari harta rakyat, tetapi ia juga tidak pernah tinggal diam walau
sesaat untuk mengingatkan mereka dengan cara lain. Hal itu karena Rasulullah
hanya melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi tidak
melarangnya menggunakan lidah yang lebih tajam demi membela kebenaran. Wasiat
itu pun dilaksanakannya.
Masa Rasulullah
berlalu dan kemudian
disusul oleh masa Abu Bakar
, kemudian masa Umar. Pada masa kedua khalifah ini,
godaan hidup dan unsure-unsur fitnah pemecah belah masih dapat dijinakkan
sebaik-baiknya, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau
mendapatkan jalan. Ketika itu tidak terdapat penyelewengan-penyelewengan yang
akan mengakibatkan Abu Dzar
bangkit menentang dengan suaranya yang lantang dan
kecamannya yang pedas.
Keharusan hidup sederhana, menjauhi
kemewahan, dan menegakkan keadilan telah lama berlaku pada pemerintahan Amirul
Mukminin Umar, bagi setiap pejabat dan pembesar islam. Begitu pun bagi para
hartawan di mana mereka berada, telah diterapkan disiplin ketat yang hamper
tidak terpikul oleh kemampuan manusia. Tiada seorang pun di antara pejabatnya,
baik di Iraq, Syria, Sana’a, atau di negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang
memakan makanan mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang
beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar. Pejabat yang bersangkutan pun
akan dipanggil menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.
Abu Dzar
merasa tenang dengan suasana
seperti itu. Hatinya tenteram dan damai selama Al-Faruq yang agung masih
menjabat sebagai Amirul Mukminin (Umar). Selama Abu Dzar
dalam kehidupannya
tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan
penyalahgunaan kekuasaan – karena Umar bin Al-Khattab memang memberlakukan
pengawasan yang ketat terhadap harta – maka selama itu pula Abu Dzar
merasa
puas dan lega. Dengan demikian, ia dapat memusatkan perhatiannya dalam
beribadah kepada Rabbnya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikit pun hendak
berdiam diri jika melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu
jarang terjadi.
Namun, ketika khalifah besar yang sangat
adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan itu wafat, rasanya ada
celah yang jauh. Baru saja Umar wafat, langsung timbul gejala yang tidak
terelakkan dan tidak terbandung oleh tenaga manusia. Saat itu, ajaran Islam
mulai meluas ke berbagai pelosok dunia dan menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang
yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerumus ke dalam kemewahan
yang melebihi batas. Abu Dzar
melihat bahaya ini.
Panji-panji kepentingan pribadi hampir
saja menyeret orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan kalimat Allah.
Dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hamper
memperdayai orang-orang yang mengemban risalah untuk mempergunakannya sebagai
wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan. Harta yang telah dijadikan oleh
Allah sebagai “budak” yang harus tunduk kepada manusia, justru cenderung
berubah menjadi tuan yang mengendalikan manusia. Ujian ini telah menimpa
sebagian shahabat Muhammad, di mana beliau sendiri pada waktu wafat, baju
besinya sedang tergadai, sementara tumpukan upeti dan harta rampasan perang
bertumpuk di bawah telapak kaki beliau.
Hasil kekayaan bumi yang sengaja
dilimpahkan oleh Allah bagi semua umat manusia, dengan menjadikan mereka mempunyai
hak yang sama, hamper berubah menjadi suatu keistimewaan dan hak monopoli bagi
mereka yang terbenam dalam kemewahan. Jabatan yang merupakan amanah untuk
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan ilahi, kini beralih menjadi
alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan yang menghancurkan.
Abu Dzar
melihat semua kesenjangan itu. Ia
tidak perlu mencari siapakah yang memikul kewajiban itu atau penanggung
jawabnya, namun langsung menghunus pedang, mengacungkannya ke udara dan mengayunkannya.
Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari
ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi, secepat itu
pula, hatinya teringat wasiat yang telah disampaikan Rasulullah
kepadanya dulu.
Dia pun memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tidak
sepantasnya ia mengacungkannya ke wajah seorang Muslim. Dalam hal ini Allah
berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja),
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Bukankah dulu
Rasulullah
telah menyatakan di hadapan para shahabatnya bahwa di bawah langit
ini takkan ada orang yang lebih benar ucapannya daripada Abu Dzar
? Orang yang
memiliki kemampuan mengolah kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi
senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya akan lebih tajam dan banyak
hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.
Dengan senjata
kebenarannya, ia akan pergi untuk menjumpai para pembesar dan kaum hartawan,
atau kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahayakan
agama, yakni agama yang sengaja untuk memberikan bimbingan dan bukan untuk
memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan. Agama menjadi rahmat dan
karunia, bukan azab dan kesengsaraan. Agama mengajarkan kerendahan hati, bukan
kesombongan diri. Agama menanamkan persamaan bukan pengkastaan; kesahajaan
bukan keserakahan; kesederhanaan bukan keborosan; kedamaian dan kebijaksanaan
dalam menghadapi hidup bukan kelalaian dan kerakusan dalam mengejarnya.
Akhirnya, Abu Dzar
pergi menjumpai mereka semua, dan biarlah Allah menjadi hakim antara dirinya
dan mereka, karena dialah sebaik-baiknya hakim. Abu Dzar
mendatangi pusat-pusat
kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar, ia
mengubah sikap mental mereka satu per satu. Dalam beberapa hari saja tak
ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak
dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama
itu belum pernah melihatnya.
Nama Abu Dzar
– bahkan
walau baru namanya saja yang terdengar – bagaikan terbang ke setiap wilayah
Islam, dan menimbulkan rasa takut dan ngeri di hati pihak penguasa dan golongan
berharta yang berlaku curang.
Seandainya sosok
berjiwa revolusioner yang mulia ini hendak mengambil suatu panji bagi diri
pribadi dan gerakannya, semboyan yang akan terukir di panji-panji itu tiada
lain adalah seterika dengan bara yang merah menyala. Sebab, semboyan yang
selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan yang selalu diingat oleh
jiwa dari dirinya bagai sebuah lagu perjuangan , ialah kalimat ini:
“Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak,
mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, yang menyeterika kening dan
pinggang mereka pada hari kiamat.”
Setiap ia mendaki
bukit, menuruni lembah, memasuki kota, dan setiap ia berhadapan dengan seorang
pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah lisannya. Begitu pula setiap
orang melihatnya datang berkunjung , mereka akan menyambutnya dengan ucapan, “Beritakanlah kepada para penumpuk harta
dengan seterika dari neraka!”
Kalimat ini benar-benar
telah menjadi bagi misinya. Ia memang telah mendedikasikan hidupnya untuk itu,
ketika ia telah melihat kekayaan telah dimonopoli; saat jabatan disalahgunakan
untuk memupuk kekuatan dan mengais keuntungan; dan kala cinta dunia telah
merajalela dan hamper saja melumuri keutamaan dan kesalehan, kesungguhan dan
keikhlasan yang telah dicapai pada tahun-tahun kerasulan.
Poros utama dan
kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan yang menjadi sasaran pertama Abu Dzar
adalah Syria, tempat Mu’awiyah bin Abu Sufyan
memerintah wilayah Islam paling
subur, paling banyak hasil bumi, dan paling kaya dengan upetinya. Mu’awiyah
telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan
untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi
terjaminnya masa depan yang masih dirindukan, dan didambakan oleh keinginannya
yang luas tidak terbatas <Khalid Muhammad Khalid yang merupakan penulis mulai
berperasangka buruk kepada Mu’awiyah
.>
Di sana tanah-tanah
luas, gedung-gedung tinggi, dan harta berlimpah telah menggoda sebagian pemikul
dakwah yang masih tersisa. Karena itulah, Abu Dzar
harus cepat mengatasinya,
sebelum hal itu berlarut-larut; sebelum pertolongan datang terlambat hingga
nasi telah menjadi bubur.
Pemimpin oposisi terhadap
segala bentuk kemewahan ini pun segera bangkit dan secepat kilat berangkat ke
Syria. Saat berita keberangkatannya didengar oleh rakyat jelata, mereka pun
menyambut kedatangannya dengan semangat penuh kerinduan, dan mengikuti ke mana
perginya. “Bicaralah, wahai Abu Dzar
!
Bicaralah wahai shahabat Rasulullah!” pinta mereka.
Abu Dzar
melepaskan
pandangan menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumunan. Dilihatnya
kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Kemudian,
pandangan beralih ke tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari
sana. Tampak olehnya gedung-gedung dan kemewahan yang berlebihan. Ia pun
menyeru kepada orang-orang yang berkumpul disekelilingnya, “Saya heran melihat orang yang tidak punya
makanan di rumahnya, mangapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan
menghunuskan pedangnya?”
Tetapi, Abu Dzar
segera
teringat kembali dengan wasiat Rasulullah
yang menyuruhnya memilih jalan
kesabaran daripada jalan pemberontakan; menggunakan kata-kata tandas daripada
senjata pedang yang ganas. Dia pun meninggalkan bahasa-bahasa perang dan
kembali menggunakan bahasa yang logis dan persuasive.
Ia mengajarkan kepada
orang-orang itu bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan gigi-gigi sisir. Artinya,
mereka berserikat dalam rezeki bahwa tidak ada kelebihan seseorang daripada
orang lain kecuali karena ketakwaan dan bahwa pemimpin serta pembesar dari
suatu golongan harus menjadi orang pertama yang menderita kelaparan sebelum
rakyatnya dan yang paling belakangan menikmati kekenyangan setelah mereka.
Dengan kata-kata dan
keberaniannyan Abu Dzar
telah memutuskan untuk membentuk opini public di setiap
negeri Islam agar kebenaran, kekuatan dan ketangguhannya menjadi kekangan
terhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah munculnya suatu
golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan.
Dalam beberapa hari
saja, Syria seakan-akan berubah menjadi sel-sel lebah yang tiba-tiba menemukan
ratu yang mereka taati. Seandainya Abu Dzar
memberikan isyarat untuk
memberontak, api pemberontakan pasti akan berkobar. Tetapi, seperti yang telah
kami katakan sebelumnya, niatnya hanya terbatas untuk membentuk suatu opini
public yang harus diindahkan,dan agar ucapan-ucapannya menjadi hiasan bibir di
tempat-tempat pertemuan, di masjid, dan di jalan-jalan.
Bahaya terhadap
perbedaan-perbedaaan yang timbul itu mencapai puncaknya, ketika ia mengadakan
dialog dengan Mu’awiyah
di hadapan umum, di mana yang hadir menyampaikan
kepada yang tidak hadir dan beritanya cepat tersebar bagaikan terbang dibawa
angin. Abu Dzar
tampil sebagai orang yang paling jitu ucapannya seperti telah
dilukiskan oleh Nabi
sebagai gurunya.
Tanpa rasa gentar dan
tidak pandang bulu ia menanyai Mu’awiyah
tentang kekayaannya sebelum menjadi
penguasa dan kekayaannya yang sekarang. Dia juga menanyakan rumah yang
dihuninya di Mekkah dulu, dan istananya yang terdapat di Syria saat ini.
Setelah itu Abu Dzar
mengajukan pertanyaan kepada para shahabat di sekelilingnya yang waktu itu ikut
bersama Mu’awiyah
ke Syria dan sebagian telah memiliki gedung-gedung dan
tanah-tanah pertanian yang luas.
Dia lalu berseru kepada
semua yang hadir, “Apakah kalian adalah
orang-orang yang ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah
, beliau berada
di tempat kalian?”
Abu Dzar
sendiri
memberikan jawaban pertanyaan tersebut kepada mereka, “Benar, Al-Qur’an diturunkan saat kalian masih hidup, dan kalian telah
menyertai Rasulullah
dalam beberapa peperangan!”
Kemudian Abu Dzar
mengulangi pertanyaannya, “Apakah kalian
tidak menemukan ayat berikut ini di dalam Al-Qur’an?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan
emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka,
lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat
dari) apa yang kamu simpan itu.” <At-Taubah:
34-35>
Mu’awiyah
memotong jalan
pembicaraannya, dengan mengatakan, “Ayat
ini diturunkan untuk Ahli Kitab!”
“Bukan, melainkan diturunkan untuk kita dan untuk mereka!”
Abu Dzar
melanjutkan
ucapannya, menasihati Mu’awiyah
dan anak buahnya agar melepaskan gedung,
tanah, dan harta kekayaan mereka, serta tidak menyimpan untuk kepentingan
pribadi melebihi keperluan sehari-hari.
Berita tentang Abu Dzar
dan soal jawab ini tersebar dari mulut ke mulut, baik orang ke orang maupun
kelompok. Semboyannya semakin terdengar di rumah-rumah dan di jalan: “Sampaikan kepada para penumpuk harta akan
seterika-seterika api neraka!”
Mu’awiyah
merasa akan ada bahaya yang timbul dan cemas terhadap akibat ucapan tokoh ulung tersebut.
Tetapi, ia pun menyadari pengaruh dan kedudukan Abu Dzar
, sehingga tidak akan
melakukan hal-hal yang menyakitkannya. Karena itu, langkahnya adalah menulis surat
kepada Khalifah Utsman, yang berisi pernyataan: “Abu Dzar
telah merusak orang-orang di Syria!”
Sebagai jawabannya,
Utsman mengirim surat meminta Abu Dzar
agar datang ke Madinah. Abu Dzar
pun
segera menyingsingkan lengan baju dan berangkat ke Madinah. Ia meninggalkan
Syria yang harus menyaksikan saat-saat perpisahan dan ucapan selamat jalan
setelah mengalami suatu peristiwa yang luar biasa yang belum pernah
disaksikannya selama ini.
“Aku tidak memerlukan dunia kalian.” Itulah jawaban yang diberikan
oleh Abu Dzar
kepada Utsman
setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah
berlangsung diskusi yang lama di antara mereka.
Dari pembicaraannya
dengan shahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan kepadanya dari
seluruh pelosok yang menyatakan dukungan sebagian besar rakyat terhadap
pendapat Abu Dzar
, Utsman
menyadari sepenuhnya bahaya gerakan dan pengaruhnya.
Karena itu, ia mengambil keputusan untuk membatasi langkahnya, yaitu dengan
menyuruh Abu Dzar
tinggal bersamanya di Madinah.
Keputusan itu
disampaikan dan ditawarkan oleh khalifah dengan lemah lembut dan bijaksana.
Utsman mengatakan, “Tinggallah di sini di
sampingku. Unta yang gemuk telah disediakan bagimu, yang akan mengantarkan susu
pada pagi dan sore.”
Namun, Abu Dzar
menjawab, “Aku tidak membutuhkan dunia
kalian.”
Benar, ia tidak
memerlukan dunia manusia karena ia termasuk golongan orang suci yang mencari
kekayaan rohani, dan menjalani kehidupan untuk member dan bukan untuk menerima.
Akhirnya ia meminta kepada Khalifah Utsman agar ia diberi izin tinggal di
Rabadzah, dan permintaannya dikabulkan.
Dalam suasana gerakan
revolusi yang panas itu, Abu Dzar
tetap memelihara amanat Allah dan Rasul-Nya.
Nasihat yang diberikan oleh Nabi
agar tidak menggunakan senjata meresapkan sampai
ke tulang sumsumnya. Nasihat amat berharga itu disampaikan oleh beliau karena
beliau sepertinya telah mengetahui semua yang akan terjadi pada Abu Dzar
dan
masa depannya. Kerena itu, Abu Dzar
pun tidak ingin menyembunyikan rasa
terkejutnya mendengar sebahagian orang yang gemar menyalakan fitnah, dan
menggunakan ucapan dan seruannya untuk mendukung keinginan dan siasat licik
mereka.
Suatu hari, sewaktu ia
berada di Rabadzah, sekelompok orang dari kufah datang dan memintanya untuk
mengibarkan bendera pemberontakan terhadap Khalifah Utsman. Abu Dzar
menghrdik
mereka dengan kata-kata yang tegas, “Demi
Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di tiang kayu tertinggi atau di atas
bukit sekali pun, aku pasti mendengar dan taat. Aku akan bersabar dan sadar
diri, karena aku merasa bahwa hal itu merupakan yang terbaik bagiku! Seandainya
Utsman menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, aku pasti akan mendengar
dan menaati. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah
yang terbaik bagiku! Begitu juga jika
Utsman menyuruhku pulang ke rumahku, aku pasti akan mendengar dan menaati. Aku
akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah yang terbaik
bagiku!”
Itulah dia seorang
pahlawan yang tidak menginginkan tujuan duniawi. Karena itu, Allah melimpahkan
kepadanya pandangan hati yang tajam, hingga mampu melihat bahaya dan bencana
yang tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata, sehingga ia pun
menjauhinya.
Namun, ia juga
menyadari bahaya dan bencana yang akan ditimbulkan bila ia hanya membisu dan
tidak buka suara melihat penyimpangan tersebut, sehingga ia tidak tinggal diam.
Abu Dzar
menajamkan suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan yang benar dari
kata-kata yang tegas, tanpa dicampuri oleh suatu keinginan duniawi yang
mendorongnya atau kekhawatiran terhadap akibat yang akan menghalanginya.
Abu Dzar
telah
mencurahkan segala tenaganya untuk melakukan perlawanan secara damai dan
menjauhkan diri dari segala godaan kehidupan dunia. Ia menghabiskan sisa
umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih dalam tentang harta dan
kekuasaan, karena keduanya mempunyai daya tarik dan pangkal fitnah yang
dikhawatirkan oleh Abu Dzar
akan menimpa rekan-rekannya yang telah memikul
panji-panji Islam bersama Rasulullah
, dan yang harus tetap memikulnya untuk
seterusnya. Di samping itu, kekuasaan dan harta merupak urat nadi bagi
kehidupan bagi umat dan masyarakat, hingga bila keduanya telah diselewengkan,
nasib manusia pun akan menghadapi bahaya yang akut.
Abu Dzar
berkeinginan
agar tak ada seorang pun di antara shahabat Rasulullah
menjadi pejabat atau
pengumpul harta. Ia menginginkan mereka menjadi pelopor yang menunjukkan manusia kepada hidayah Allah
dan pengabdi bagi-Nya. Ia benar-benar telah mengenali tipu daya dunia dan harta
serta menyadari bahwa Abu Bakar
dan Umar
tidak mungkin bangkit kembali. Abu
Dzar
pernah mendengar Nabi
memperingatkan shahabat-shahabatnya terhadap tipuan
jabatan ini dan bersabda tentang persoalan ini:
“Ini
(jabatan) merupakan amanah, dan pada hari kiamat menyebabkan kehinaan dan
penyesalan, kecuali orang yang mengambilya secara benar, dan menunaikan
kewajiban yang dipikulkan kepadanya.”
Bahkan, perjuangan Abu
Dzar
sampai pada tindakan menjauhi rekan-rekannya karena mereka telah menjadi
pejabat, yang dengan sendirinya memiliki harta dan berkecukupan.
Suatu hari ia ditemui
oleh Abu Musa Al-Asy’ari
, dan saat melihatnya, Abu Musa
langsung membentangkan
kedua tangannya sambil berseru kegirangan karena pertemuan itu, “Selamat, wahai Abu Dzar
! Selamat, wahai
saudaraku!”
Tatapi, Abu Dzar
menolak, dan mengatakan, “Aku bukan
saudaramu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan gubernur!”
Hal yang sama juga
terjadi ketika suatu hari dia ditemui oleh Abu Hurairah
yang memeluknya sambil
mengucapkan selamat. Abu Dzar
menghardik dengan tangannya dan berkata, “Menyingkirlah dariku. Bukankah kamu telah
menjadi seorang pejabat, hingga terus-menerus mendirikan gedung, memelihara
ternak, dan mengusahakan pertanian?” Abu Hurairah
menyanggah dengan gigih
dan menolak semua tuduhan itu.
Abu Dzar
barang kali
menunjukkan sikap yang berlebihan dalam memandang harta dan kekuasaan. Tetapi,
ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanannya. Abu
Dzar
berdiri dengan dengan cita-cita dan karyanya, dengan pikiran dan
perbuatannya, mengikuti pola yang dicontohkan bagi mereka oleh Rasulullah
dan
kedua shahabatnya, Abu Bakar
dan Umar
.
Bila sebagian orang
mungkin berpikir bahwa standar yang ditetapkan Abu Dzar
terlalu ideal dan tidak
mungkin dapat dicapai, Abu Dzar
tidaklah demikian. Ia sendiri justru melihat
hal itu sebagai keteladanan yang mengukir jalan hidup dan usaha, terutama bagi
mereka yang hidup semasa Rasulullah
; yakni yang melakukan shalat di belakang
beliau, berjihad bersama beliau, dan telah mengambil baiat untuk taat dan patuh
kepada beliau.
Selain itu, sebagaimana
telah kita kemukakan sebelumnya, bahwa dengan penglihatannya yang tajam ia
melihat harta dan kekuasaan itu mempunyai pengaruh besar terhadap nasib manusia.
Karena itu, setiap celah yang menodai amanah kekuasaan dan kekayaan, pasti akan
menimbulkan bahaya besar yang harus ditanggulangi.
Sepanjang hayatnya, Abu
Dzar
dengan sekuat tenaga memikul panji contoh utama dari Rasulullah
dan kedua
shahabatnya, menjadi penyangga dan sosok terpercaya dalam memeliharanya. Abu
Dzar
telah menjadi mahaguru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan
dan harta kekayaan.
Suatu saat, Abu Dzar
ditawari sebuah jabatan sebagai gubernur di Iraq, namun ia menjawab, “Demi Allah, kalian tidak akan dapat
memancingku dengan dunia kalian selamanya!”
Kali lain, seorang
shahabat melihat dirinya memakai jubah usang. Ia pun berkata, “Bukankah anda masih punya baju yang lain?
Beberapa hari yang lalu saya melihat anda mempunyai dua helai baju baru.”
Abu Dzar
menjawab, “Wahai putra saudaraku, kedua baju itu telah
kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada diriku.”
Shahabat itu pun
berkata, “Demi Allah, anda juga
membutuhkannya!”
Abu Dzar
menjawab, “Ampunilah, ya Allah! Engkau terlalu
mengagumi dunia! Apakah engkau tidak melihat burdah yang saya pakai ini? Aku
mempunyai satu lagi untuk shalat Jum’at. Aku punya seekor kambing untuk diperah
susunya, dan seekor keledai untuk ditunggangi! Nikmat apa lagi yang lebih besar
daripada yang kita miliki ini?”
Suatu hari Abu Dzar
duduk menyampaikan sebuah hadits, dan berkata, “Aku diberi wasiat oleh junjunganku berupa tujuh perkara: beliau
memerintahkan agar aku menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri
kepada mereka; beliau memerintahkan agar aku berkaca kepada orang yang di
bawahku dan bukan kepada orang yang di atasku; beliau memerintahkan agar aku
tidak meminta sesuatu kepada orang lain; beliau memerintahkan agar aku
menyambung tali silaturahmi; beliau memerintahkan agar aku mengatakan yang
benar walau pahit; beliau memerintahkan agar aku dalam menjalankan agama Allah;
tidak takut celaan orang; dan beliau memerintahkan agar aku memperbanyak
ucapan, ‘LA HAULA WA LA QUWWATA ILLA BILLAH’ (tiada daya dan upaya selain
karena Allah).”
Kenyataannya, Abu Dzar
memang hidup menjalani wasiat itu. Ia benar-benar menempa hidupnya sesuai
dengan wasiat itu, hingga ia pun menjadi symbol hati nurani masyarakat dari
umat dan bangsanya. Imam Ali berkata, “Tidak
ada lagi pada zaman sekarang ini orang yang tidak tajut terhadap celaan orang
dalam menegakkan agama Allah, selain Abu Dzar
.”
Hidupnya dibaktikan
untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukkan harta. Hidupnya
didedikasikan untuk menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar dan
pemikul tanggung jawab menyampaikan nasihat dan peringatan.
Orang-orang melarang
dirinya memberikan fatwa, tetapi suaranya justru bertambah lantang, dan
menghardik orang yang melarang itu dengan ucapan, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian menaruh
pedang di atas pundakku, namun aku masih merasa ada kesempatan untuk
menyampaikan ucapan Rasulullah
yang kudengar, aku pasti akan menyampaikannya
sebelum kalian menebas batang leherku.”
Seandainya kaum
Muslimin mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu, niscaya fitnah yang
pada waktu itu berkobar dan berlarut-larut, mati ketika baru lahir. Pemerintah
dan masyarakat Islam tentu tidak akan dihadapkan pada bahaya dan kepedihan yang
tiada tara.
Kini Abu Dzar
sedang
menghadapi sakaratul maut di Rabadzah, suatu tempat yang dipilihnya sebagai
tempat kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman. Marilah kita
menuju ke sana untuk melapas kepergian orang besar ini, dan menyaksikan akhir
kesudahan dari kehidupannya yang luar biasa.
Seorang perempuan kurus
yang kulitnya kemerah-merahan duduk di dekatnya menangis. Perempuan itu adalah
istrinya.
Abu Dzar
bertanya
kepadanya, “Apa yang kamu tangisi,
sedangkan maut pasti datang?”
“Karena engkau akan meninggal, padahal pada kita tidak ada kain kafan
untukmu!” Jawabnya.
Abu Dzar
bertutur
kepada istrinya, “Janganlah menangis!
Suatu hari, ketika aku berada di sisi Rasulullah
bersama beberapa orang
shahabat, aku mendengar beliau bersabda, ‘Salah seorang di antara kalian
sungguh akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan
orang-orang beriman!’.”
“Semua yang waktu itu hadir di majelis Rasulullah
itu telah meninggal di
kampung dan di hadapan kaum Muslimin. Tidak ada lagi yang masih hidup di antara
mereka selain aku. Inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka
perhatikanlah jalan, siapa tahu rombongan orang-orang beriman itu sudah datang.
Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!” Ruhnya pun kembali
ke hadirat Allah.
Ternyata Abu Dzar
tidak
salah. Kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas
rombongan orang beriman yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, sahabat
Rasulullah
. Sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas’ud telah melihat sesosok
tubuh yang terbujur seperti mayat, sedangkan di sisinya ada seorang wanita tua
dengan seorang anak; kedua-duanya menangis.
Ibnu Mas’ud membelokkan
binatang tunggangannya ke tempat itu, dan diikuti oleh anggota rombongan. Saat
pandangannya jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah shahabatnya; saudara
seiman dan saudaranya dalam membela agama Allah, yakni Abu Dzar
.
Air matanya mengucur
deras dan di hadapan tubuh mayat yang suci itu, ia berkata, “Memang benar sabda Rasulullah
. Engkau
berjalan sebatang kara.” Ibnu Mas’ud duduk, lalu menceritakan kepada para
shahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya itu: “Engkau berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan
nanti sebatang kara.”
Ucapan itu terjadi pada
waktu Perang Tabuk pada tahun 9 H. rasulullah
telah menitahkan agar para
shahabat mengadakan persiapan untuk menghadapi Romawi, yang waktu itu telah
memulai membuat maker dan berencana jahat untuk menggempur umat Islam. Kali ini
Nabi
menyerukan kaum Muslimin untuk berjihad pada masa yang sulit dan panas.
Tempat yang akan dituju pun jaraknya sangat jauh, selain musuh yang menakutkan.
Sebagian kaum Muslimin enggan ikut serta karena berbagai alasan.
Rasulullah
dan
shahabatnya akhirnya berangkat dan diikuti oleh sebagian orang dengan kondisi
setengah terpaksa karena enggan. Semakin jauh perjalanan mereka, semakin sulit
pula penyiksaan dan penderitaan yang harus dipikul.
Bila ada orang yang
tertinggal di belakang, orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah
, si fulan telah tertinggal.” Beliau menjawab, “Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan
disusulkan oleh Allah pada kalian. Bila tidak, Allah telah membebaskan kalian
dari dirinya”
Suatu saat mereka
melihat berkeliling ke sana ke mari karena mereka kehilangan jejak Abu Dzar
.
Mereka berkata kepada Rasulullah
, “Abu
Dzar
telah tertinggal, keledainya menyebabkan dirinya terlambat.”
Rasulullah
mengulangi jawabannya tadi. Keledai Abu Dzar
memang sangat kelelahan
disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi
gontai. Ada dicobanya dengan berbagai akal untuk menghalaunya agar berjalan
cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.
Abu Dzar
merasa bahwa
jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari kaum Muslimin hingga tidak dapat
mengikuti jejak mereka. Dia pun turun dari punggung kendaraannya, lalu diambil
barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, dan kemudian meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki. Dia mempercepat langkahnya di tengah-tengah
padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah
dan
para shahabatnya.
Suatu pagi, ketika kaum Muslimin telah
menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah seorang
dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu yang mengepul ke atas,
sedangkan di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki-laki yang
mempercepat langkahnya.
“Wahai Rasulullah
, ada seorang laki-laki berjalan seorang diri!”
kata mereka.
“Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar
,” jawab Rasulullah
.
Mereka melanjutkan
pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang
memisahkan antara mereka, sehingga mereka mengetahui siapa dia.
Lambat laun, musafir
mulia itu mendekati mereka. Langkahnya bagaikan disentakkan dari pasir lembut
yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun, ia
tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi
berkah, dan tidak ketinggalan dari Rasulullah
dan saudara-saudaranya
seperjuangan.
Setelah ia sampai dekat
rombongan, seseorang berseru, “Wahai
Rasulullah! Demi Allah, ia Abu Dzar
.” Sementara itu, Abu Dzar
melangkah
menuju ke arah Rasulullah
.
Saat Rasulullah
melihatnya, tersungginglah senyum di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang
penuh santun dan belas kasih. Beliau bersabda:
“Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar
. Ia berjalan sebatang kara,
meninggal sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.”
Setelah berlalu masa 20
tahun atau lebih dari hari yang kami sebutkan tadi, Abu Dzar
wafat di padang
pasir Rabadzah sebatang kara. Itu terjadi setelah dirinya juga sendirian untuk
menempuh hidup yang luar biasa yang tidak seorang pun dapat menyamainya. Dalam
lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara – yakni orang satu-satunya – baik
dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita, dan kemudian di sisi Allah ia akan
dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan
jasa-jasanya yang tidak terhitung banyaknya, dan tidak ada lowongan bagi orang
lain untuk berdampingan dengannya.
Semoga Allah merahmatimu wahai orang
yang memusuhi kemewahan.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar