Sebelum Rasulullah memasuki rumah Al-Al-Arqam,
Abdullah bin Mas’ud (Arab:عبدالله بن مسعود)telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang
masuk Islam dan mengikuti Rasulullah . Dengan demikian, ia termasuk golongan
pertama yang masuk Islam. Awal pertemuannya dengan Rasulullah diceritakan
olehnya sebagai berikut:
“Ketika itu
saya masih remaja, menggembalakan kambing kepunyaan Uqbah bin Abu Mu’ith.
Tiba-tiba, Nabi datang bersama Abu Bakar. Beliau bertanya, ‘Nak, apakah kamu
punya susu untuk minuman kami?’
‘Aku ini orang kepercayaan. Aku tidak dapat memberikan minuman kepada
kalian,’ jawabku.
Nabi bersabda, ‘Apakah engkau mempunyai kambing betina mandul, yang
belum pernah dikawini oleh pejantan?’
Aku menjawab, ‘Ada,’ maka aku pun mengajak mereka berdua ke tempat
kambing tersebut.
Kambing itu diikat kakinya oleh Nabi lalu diusap susunya sambil memohon
kepada Allah. Tiba-tiba susu itu berisi banyak. Kemudian Abu Bakar mengambilkan
sebuah batu cembung yang digunakan Nabi untuk menampung perahan susu.
Setelah itu, Abu Bakar pun minum, dan saya pun tidak ketinggalan, lalu
Nabi bersabda kepada susu, ‘Kempislah!’ dan susu itu pun menjadi kempis.
Setelah peristiwa itu saya datang menjumpai Nabi . Aku berkata,
‘Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebut.’
Nabi bersabda, ‘Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar.’.”
Alangkah heran dan takjubnya Ibnu Mas’ud
ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang saleh dan utusan-Nya yang dipercaya
memohon kepada Rabbnya, sambil mengusap susu hewan yang belum pernah berisi
selama ini, tiba-tiba mengeluarkan karunia dan rezeki dari Allah berupa susu
murni yang enak untuk diminum.
Saat itu ia belum menyadari bahwa
peristiwa yang disaksikan itu hanyalah merupakan mukjizat paling ringan dan
belum menggemparkan, dan bahwa tidak berapa lama lagi dari Rasulullah yang
mulia ini akan disaksikannya mukjizat yang akan mengguncang dunia dan
memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya. Saat itu juga belum diketahuinya,
bahwa dirinya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi
miskin, yang menerima upah sebagai penggembala kambing milik Uqbah bin Abu
Mu’ith, dan akan muncul sebagai salah satu dari mukjizat ini, yang setelah
ditempa oleh Islam menjadi seorang beriman, akan mengalahkan kesombongan
orang-orang Quraish dan menaklukan kesewenangan para pemukanya.
Dirinya yang selama ini tidak berani lewat
di hadapan salah seorang pembesar Quraish kecuali dengan menundukkan kepala dan
langkah tergesa-gesa karena takut, suatu saat nanti setelah masuk Islam, tampil
di depan majelis para bangsawan di sisi Ka’bah, sementara semua dan pemuka
Quraish duduk berkumpul, lalu berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan
suaranya yang merdu dan membangkitkan perhatian, berisikan wahyu Ilahi,
Al-Qur’an yang mulia:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ
الرَّحِيمِ
الرَّحْمَٰنُ
(Tuhan) Yang Maha Pemurah,
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 1
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 1
عَلَّمَ الْقُرْآنَ
Yang telah mengajarkan al Quran.
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 2
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 2
خَلَقَ الْإِنْسَانَ
Dia menciptakan manusia.
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 3
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 3
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
Mengajarnya pandai berbicara.
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 4
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 4
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 5
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 5
وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ
يَسْجُدَانِ
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk
kepada-Nya.
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 6
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 6
Ia terus membaca, sementara para pemuka Quraish terpesona, seolah-olah
tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka. Tidak pernah
terlintas dalam pikiran mereka bahwa orang yang menentang kekuasaan dan
kesombongan mereka, tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan
penggembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraish. Dialah Abdullah bin
Mas’ud, seorang miskin yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Marilah kita dengar keterangan dari saksi mata yang melukiskan peristiwa
yang sangat menarik dan menakjubkan itu! Orang itu tiada lain adalah Az-Zubair.
Ia menuturkan, “orang pertama yang membacakan
Al-Qur’an di Mekkah setelah Rasulullah ialah Abdullah bin Mas’ud. Suatu hari
para shahabat Rasulullah berkumpul. Mereka berkata, ‘Demi Allah, orang-orang
Quraish belum mendengar sedikit pun Al-Qur’an ini dibaca dengan suara keras di
hadapan mereka. Nah, siapa di antara kita yang bersedia memperdengarkannya
kepada mereka?’
Ibnu Mas’ud berkata, ‘Saya.’
Mereka menanggapi, ‘Kami khawatir akan keselamatan dirimu! Yang kami
inginkan ialah seorang lelaki yang mempunyai kerabat, yang akan membelanya dari
orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat.’
‘Biarkanlah saya, Allah pasti membela.’ Kata Ibnu Mas’ud.
Dia pun mendatangi kaum Quraish pada saat Dhuha, yakni ketika mereka
sedang berada di balai pertemuannya. Ia berdiri di panggung lalu membaca
basmalah dan dengan mengeraskan suaranya, ia membaca:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ
الرَّحِيمِ
الرَّحْمَٰنُ
(Tuhan) Yang Maha Pemurah,
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 1
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 1
عَلَّمَ الْقُرْآنَ
Yang telah mengajarkan al Quran.
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 2
QS:Ar-Rahmaan | Ayat: 2
Ia meneruskan bacaan tersebut sambil
menghadap kepada mereka. Mereka memperhatikannya serambi bertanya kepada sesama
teman duduk, ‘Apa yang dibaca oleh anak Ummu Abdin itu? Sungguh, yang dibacanya
itu ialah yang dibaca oleh Muhammad!’
Mereka bangkit mendatangi dan memukulinya,
sedangkan Ibnu Mas’ud meneruskan bacaannya sampai batas yang dikehendaki oleh
Allah. Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak-belur ia kembali kepada
para shahabat.
‘Inilah yang kami khawatirkan terhadap
dirimu,’ Kata mereka.
Ibnu Mas’ud berkata, ‘Sekarang ini tidak
ada yang lebih mudah bagiku daripada menghadapi musuh-musuh Allah itu.
Seandainya kalian menghendaki, aku akan mendatangi mereka lagi dan berbuat hal
yang sama esok hari.
Mereka berkata, ‘Cukup itu saja. Kamu
telah membacakan kepada mereka sesuatu yang tabu bagi mereka!’
Ternyata benar, pada saat Ibnu Mas’ud
tercengang melihat susu kambing tiba-tiba berisi sebelum waktunya, belum
menyadari bahwa ia bersama rekan-rekan senasib dari golongan miskin akan
menjadi salah satu mukjizat besar dari Rasulullah , yakni ketika mereka bangkit
memanggul panji-panji Allah dan menguasainya dengan sinar matahari. Ia tidak
menyadari bahwa saat itu telah dekat. Ternyata, secepat itu hari datang dan
waktu telah menjelang, nak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta tiba-tiba
menjadi suatu mukjizat di antara berbagai mukjizat Rasulullah .”
Dalam kesibukan dan berpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan
mata. Bahkan, di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak, tidak ada
tempat baginya di kalangan hartawan, begitu pula di dalam lingkungan ksatria
yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang berpengaruh.
Dalam soal harta, ia tidak punya apa-apa. Tentang perawakan, ia kecil
dan kurus. Dalam soal pengaruh, derajatnya jauh di bawah. Tetapi, sebagai ganti
dari kemiskinannya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan
perolehan yang cukup dari pembendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Sebagai
imbalan dari tubuh yang kurus dan dan jasmani yang lemah, Allah menganugerahkan
kemauan baja yang dapat menundukkan kekuatan dahsyat dan ikut mengambil bagian
dalam mengubah jalan sejarah. Untuk mengimbangi nasibnya yang terlunta-lunta,
Islam telah melimpahinya ilmu pengetahuan, kemuliaan serta ketetapan, yang
menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan.
Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan masa depan oleh Rasulullah ketika beliau mengatakannya, “Kamu akan menjadi seorang pemuda
terpelajar.” Ia telah diberi pelajaran oleh
Rabbnya hingga menjadi fikih atau ahli hukum ummat Muhammad, dan tulang
punggung para penghafal Al-Qur’an yang mulia.
Mengenai dirinya, ia pernah mengatakan, “Saya telah
menghafal 70 surat Al-Qur’an yang kudengar langsung dari Rasulullah dan tiada
seorang pun yang menyaingiku dalam hal ini.” Allah telah
memberikan anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam
mengumandangkan Al-Qur’an secara terang-terangan dan menyebarluaakannya di
segenap pelosok Mekkah di saat penyiksaan dan penindasan merajalela. Buktinya
Allah menganugerahkan kepadanya bakat istimewa dalam membawakan bacaan
Al-Qur’an dan kemampuan luar biasa dalam memahami arti dan maksudnya.
Rasulullah telah memberi wasiat kepada para shahabat agar mengambil Ibnu
Mas’ud sebagai teladan. Beliau bersabda, “Berpegang
teguhlah kepada ilmu yang diberikan oleh Ibnu Ummu Abidin.” Beliau juga mewasiatkan agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari
cara membaca Al-Qur’an darinya, seperti sabda beliau, “Barangsiapa
yang ingin mendengarkan Al-Qur’an tepat seperti diturunkan,hendaklah ia
mendengarkannya dari Ibnu Ummu Abidin. Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an
tepat seperti diturunkan, hendaklah ia membacanya seperti bacaan Ibnu Ummu
Abidin.”
Sejak lama, Rasulullah telah menyukai bacaan Al-Qur’an dari lisan Ibnu
Mas’ud. Suatu hari ia memanggilnya dan bersabda, “Bacakanlah
kepadaku, wahai Abdullah!”
Ibnu Mas’ud menjawab, “Pantaskah bila saya membacakannya
kepada anda, wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Saya ingin mendengarnya dari lisan
orang lain.” Maka Ibnu Mas’ud pun membacakan untuk
Rasulullah dimulai dari surat An-Nisa’ sampai pada firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ
أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan
melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.
QS:An-Nisaa | Ayat: 40
QS:An-Nisaa | Ayat: 40
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ
أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan
kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).
QS:An-Nisaa | Ayat: 41
QS:An-Nisaa | Ayat: 41
Rasulullah tidak
dapat menahan tangisnya. Air mata beliau menetes dan member isyarat kepada Ibnu
Mas’ud dengan tangan agar menghentikan bacaan, sembari bersabda, “Cukup,
berhentilah, wahai Ibnu Mas’ud!”
Suatu saat Ibnu Mas’ud menyebut-nyebut karunia Allah yang dianugerahkan
kepadanya, dengan mengatakan, “Tidak suatu pun dari Al-Qur’an itu
yang diturunkan, kecuali aku mengetahui pada peristiwa apa itu diturunkan,.
Tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripada diriku.
Sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat dicapai dengan berkendaraan unta
dan ia lebih tahu tentang Kitab Allah daripada diriku, aku pasti akan
menemuinya. Tetapi, aku bukanlah yang terbaik di antara kalian.”
Keistimewaan Ibnu Mas’ud ini telah diikuti oleh para shahabat. Amirul
Mukminin Umar berkata mengenai dirinya, “Sungguh,
ilmunya tentang fikih sangat luas.” Abu Musa
Al-Asy’ari mengatakan, “Jangan tanyakan kami sesuatu masalah,
selama orang ini berada di antara kalian.”
Bukan hanya keunggulannya dalam Al-Qur’an dan ilmu fikih saja yang patut
dapat pujian, melainkan juga keunggulannya dalam kesalehan dan ketakwaan.
Hudzaifah menuturkan tentang dirinya, “Aku tidak
melihat seorang pun yang lebih mirip dengan Rasulullah , baik cara hidup,
perilaku, dan ketenangan jiwa, daripada Ibnu Mas’ud. Semua shahabat Rasulullah yang terkenal mengetahui bahwa Ibnu Ummu Abidin adalah sosok yang paling dekat
kepada Allah.”
Suatu hari para shahabat berkumpul bersama Ali, lalu mereka berkata
kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, kami tidak
melihat orang yang lebih berbudi pekerti, lebih lemah-lembut dalam mengajar,
lebih baik pergaulannya, dan lebih saleh daripada Abdullah bin Mas’ud.”
Ali menjawab, “Saya minta bersaksi kepada Allah,
apakah ini betul-betul tulus dari hati kalian?”
Mereka menjawab, “Benar.”
Ali berkata lagi, “Ya Allah, saya mohon Engkau menjadi
saksinya, bahwa saya berpendapat mengenai dirinya seperti apa yang mereka
katakan itu, atau lebih baik lagi. Ibnu Mas’ud telah membaca Al-Qur’an, lalu
menghalalkan barang yang halal dan mengharamkan barang yang haram. Ia adalah
orang yang ahli dalam soal keagamaan dan luas ilmunya tentang sunnah.”
Suatu ketika para shahabat memperbincangkan tentang sosok Abdullah bin
Mas’ud. Mereka berkata, “Sungguh, saat kita terhalang, ia
diberi restu; ketika kita bepergian, ia tinggal bersama Rasulullah .” Maksud mereka ialah bahwa Abdullah beruntung mendapatkan
kesempatan berdekatan dengan Rasulullah , yang merupakan keuntungan yang jarang
didapat oleh orang lain. Ia lebih sering masuk ke rumah Rasulullah dan menjadi
teman duduk beliau. Selain itu, Ibnu Mas’ud merupakan orang yang dipercaya oleh
Rasulullah untuk menyampaikan keluhan dan mempercayakan rahasia, hingga ia
diberi gelar “Shahabat Kegelapan (Pemegang Rahasia Rasulullah )”.
Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan, “Setiap saya
melihat Rasulullah , Ibnu Mas’ud pasti berada di sisinya.” Ini terjadi karena Rasulullah sangat menyayanginya, terutama
kesalehan dan kecerdasannya, di samping kebesaran jiwanya, hingga Rasulullah pernah bersabda mengenai dirinya, “Seandainya saya hendak mengangkat
seseorang sebagai amir tanpa musyawarah dengan kaum Muslimin, tentulah yang
saya angkat itu Ibnu Ummu Abidin.”
Sebelumnya, penulis telah menyebutkan wasiat Rasulullah kepada para
shahabatnya, “Berpegang teguhlah kepada ilmu Ibnu
Ummu Abidin!” rasa sayang dan kepercayaan dari
Rasulullah terhadap dirinya yang sangat besar memungkinkannya untuk bergaul
rapat dengan beliau, hingga ia tidak mendapatkan hak yang tidak diberikan
kepada orang lain. Rasulullah bersabda kepadanya, “Saya izinkan
kamu bebas dari tabir.”
Ini merupakan lampu hijau bagi Ibnu Mas’ud untuk masuk rumah Rasulullah dan pintunya senantiasa terbuka baginya, siang dan malam. Inilah yang pernah
dikatakan oleh para shahabat, “Ia diberi izin saat kita terhalang dan
tinggal bersama Rasulullah ketika kita bepergian.” Ibnu Mas’ud memang layak memperoleh keistimewaan ini. Sebab,
walaupun kebebasan seperti itu akan memberikan keuntungan bagi Ibnu Mas’ud,
pada kenyataannya ia justru bertambah khusyuk, hormat, dan santun.
Mungkin gambaran yang melukiskan akhlaknya secara tepat, adalah sikapnya
ketika menyampaikan hadits dari Rasulullah setelah beliau wafat. Walaupun ia jarang
menyampaikan hadits dari Rasulullah , kita lihat setiap ia menggerakkan kedua
bibirnya untuk mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah menyampaikan
hadits dan bersabda,” tubuhnya gemetar hebat, dan ia
tampak gugup dan gelisah. Sebab, ia merasa khawatir bila lupa, sehingga salah
menaruh kata di tempat yang lain.
Marilah kita dengarkan rekan-rekannya menceritakan kenyataan ini. Amr
bin Maimun menuturkan, “Saya bolak-balik ke rumah Abdullah bin
Mas’ud dalam setahun lamanya, dan selama itu tidak pernah saya dengar ia
menyampaikan hadits dari Rasulullah , kecuali sebuah hadits yang disampaikannya
suatu hari. Dari mulutnya mengalir ucapan, ‘Rasulullah bersabda,’. Tiba-tiba ia
terlihat gelisah hingga tampak keringat bercucuran dari keningnya. Kemudian ia
mengulangi kata-kata tadi, ‘Kira-kira seperti itulah yang disabdakan oleh
Rasulullah’.”
Alqamah bin Qais mengatakan, “Biasanya Abdullah bin Mas’ud berpidato
setiap hari kamis sore menyampaikan hadits. Saya tidak pernah mendengarnya
mengucapkan, ‘Rasulullah telah bersabda’, kecuali satu kali saja. Saat itu saya
lihat ia berpegang pada tongkat, dan tongkatnya itu pun bergetar.”
Masruq juga mengisahkan tentang Abdullah ini, “Suatu
hari Ibnu Mas’ud menyampaikan sebuah hadits. Ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah …’
tiba-tiba tubuhnya bergetar, dan pakaiannya bergetar pula. Kemudian ia berkata,
‘Atau kira-kira demikian atau kira-kira seperti itulah’.”
Itulah tingkat ketelitian, penghormatan, dan penghargaannya kepada
Rasulullah . Ini merupakan bukti kecerdasannya yang selanjutnya menjadi bukti
ketakwaannya. Orang yang lebih banyak bergaul dengan Rasulullah , penilaiannya
terhadap kemuliaan Rasulullah ketika beliau hidup, begitu pun kenangan kepada
beliau setelah wafatnya, merupakan adab sopan santun satu-satunya dan tidak ada
duanya.
Ibnu Mas’ud tidak ingin berpisah dari Rasulullah , baik ketika beliau
mukim maupun sedang bepergian. Ia telah turut mengambil bagian dalam setiap
peperangan. Dan peranannya dalam Perang Badar meninggalkan kenangan yang tidak
dapat dilupakan, yakni robohnya Abu Jahal oleh tebasan pedang kaum Muslimin
pada hari yang agung itu.
Para Khalifah dan shahabat Rasulullah mengakui kedudukan Ibnu Mas’ud
ini, hingga ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai pengelola Baitul Mal
di Kufah. Umar berpesan kepada penduduk Kufah ketika pengutusan Ibnu Mas’ud ke
sana, “Demi Allah yang tiada Ilah yang berhak
disembah selain Dia, sungguh saya lebih mementingkan kalian daripada diriku.
Karena itulah, ambillah dan pelajarilah ilmu darinya.”
Penduduk Kufah mencintai Ibnu Mas’ud karena mendapatkannya adalah
anugerah yang belum perah diperoleh orang-orang sebelumnya, atau belum ada orang
yang setaraf dengannya. Sungguh, kebulatan penduduk Kufah untuk mencintai
seseorang merupakan suatu hal yang mirip dengan mukjizat. Karena, mereka
biasanya suka menentang dan memberontak. Mereka tidak tahan menghadapi hidangan
yang serupa dan tidak mampu hidup selalu dalam aman dan tenteram. Karena
kecintaan mereka kepadanya sedemikian rupa, sampai-sampai mereka mengerumuni
dan mendesaknya ketika ia hendak diberhentikan oleh Khalifah Utsman dari
jabatannya. Mereka berkata, “Tetaplah anda tinggal bersama kami di
sini dan jangan pergi, dan kami bersedia membela anda dari malapetaka yang akan
menimpa anda.”
Tetapi, dengan kalimat yang menggambarkan kebesaran jiwa dan
ketakwaannya, Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya harus taat kepadanya, dan di
belakang hari akan timbul peristiwa-peristiwa dan fitnah, dan saya tidak ingin
menjadi orang yang mula-mula membukakan pintunya.”
Pendirian mulia dan terpuji ini mengungkapkan kepada kita hubungan Ibnu
Mas’ud dengan Khalifah Utsman. Di antara mereka telah terjadi perdebatan dan
perselisihan yang makin lama makin sengit, hingga gaji dan tunjangan pensiunnya
tidak diberikan dari Baitul Mal. Walau demikian, tidak sepatah kata pun yang
tidak baik keluar dari mulutnya mengenai Utsman. Bahkan ia berdiri sebagai
pembela dan memperingatkan rakyat ketika ia melihat persekongkolan pada masa
Utsman itu telah meningkat menjadi suatu pemberontakan.
Ketika ia mendengar berita tentang percobaan untuk membunuh Khalifah
Utsman itu, keluarlah dari lisannya ucapan yang terkenal, “Bila
mereka membunuhnya, tidak ada lagi orang yang sebanding dengannya yang akan
mereka angkat sebagai Khalifah.” Berkaitan
dengan hal ini, di antara rekan-rekan Ibnu Mas’ud ada yang berkata, “Saya
tidak pernah mendengar Ibnu Mas’ud mengeluarkan cercaan satu kata pun terhadap
Utsman.”
Allah telah menganugerahkan hikmah kepada Ibnu Mas’ud sebagaimana telah
memberi sifat takwa kepadanya. Ia memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke dasar
yang dalam, dan mengungkapkannya secara menarik dan tepat. Marilah kita dengar
ucapannya yang menggambarkan kesimpulan hidup yang istimewa dari Umar dengan
kata-kata singkat tapi padat dan menakjubkan, “Islamnya
merupakan suatu kemenangan, hijrahnya merupakan pertolongan, dan
pemerintahannya merupakan kerahmatan.”
Tentang relativitas masa yang dikenal pada zaman sekarang, ia
mengatakan, “Bagi Rabb kalian tiada siang dan
malam. Cahaya langit dan bumi itu bersumber dari cahayanya.”
Ia juga berbicara tentang pekerja dan betapa pentingnya mengangkat taraf
budaya kaum pekerja ini. Ia mengatakan, “Saya sangat
benci melihat seorang lelaki yang menganggur dan tidak usaha untuk kepentingan
dunia, dan tidak pula untuk kepentingan akhirat.”
Di antara kata-katanya yang paling komprehensif ialah:
Sebaik-baik kekayaan ialah kaya hati.
Sebaik-baik perbekalan ialah takwa.
Seburuk-buruk kebutaan ialah buta
hati.
Sebesar-besar kejahatan ialah
berdusta.
Sejelek-jelek pakerjaan ialah memungut
riba.
Seburuk-buruk makanan ialah memakan
harta anak yatim.
Siapa yang memaafkan seseorang, Allah
akan memaafkannya.
Siapa yang mengampuni orang lain,
Allah akan mengampuninya.
Itulah gambaran singkat Abdullah bin Mas’ud, shahabat Rasulullah . Itulah
kilasan dari suatu kehidupan besar dan perkasa yang dilalui oleh pelakunya di
jalan Allah, Rasul, dan agama-Nya. Itulah lelaki yang ukuran tubuhnya seumpama
tubuh burung merpati. Tubuhnya kurus dan pendek, hingga tinggi badannya tidak
jauh berbeda dengan orang yang sedang duduk. Kedua betisnya kecil dan tidak
berdaging, yang terlihat ketika ia memanjat pohon untuk mengambil dahan pohon
arak untuk digunakan sebagai sikat Rasulullah . Para shahabat menertawakannya
ketika melihat kedua betisnya itu. Rasulullah bersabda, “Kalian
menertawakan betis Ibnu Mas’ud, yang di sisi Allah lebih berat timbangannya
dari Gunung Uhud.”
Itulah dia orang yang berasal dari keluarga miskin, buruh upahan, kurus,
dan tidak diperhitungkan, tetapi keyakinan dan keimanannya telah menjadikannya
salah seorang imam di antara imam-imam kebaikan, petunjuk, dan cahaya. Ia telah
dikaruniai taufik dan nikmat oleh Allah yang menyebabkan dirinya termasuk dalam
golongan “Sepuluh Orang Shahabat Rasul yang Lebih Dulu
Masuk Islam”, yakni orang-orang yag saat masih
hidup sudah mendapatkan berita gembira meraih ridha Allah dan surga-Nya.
Ia telah terjun dalam setiap perjuangan yang berakhir dengan kemenangan
pada masa Rasulullah . Ia tidak pernah absen, begitu pula pada masa para
Khalifah sepeninggal beliau. Ia turut menyaksikan dua buah imperium dunia
membukakan pintunya dengan tunduk dan patuh untuk dimasuki panji-panji Islam
dan ajarannya.
Ibnu Mas’ud juga masih hidup ketika jabatan-jabatan terbuka luas dan
menunggu orang-orang Islam yang mau mendudukinya, begitu pula harta yang tidak
terkira banyaknya bertumpuk-tumpuk di hadapan mereka. Namun, tidak satu pun
yang dapat mengusik dan membuat Ibnu Mas’ud lupa dari janji yang telah
diikrarkannya kepada Allah dan Rasul-Nya, atau merintanginya dari faris hidup
dan ketekunan ibadat yang diliputi rasa khusyuk dan tawadhu. Di antara
keinginan dan cita-cita hidup yang ada, tidak satu pun di antaranya yang
menarik hatinya kecuali satu saja yang selalu dirindukan, menjadi buah bibir
dan senandungnya, dan selalu berada dalam angan-angan untuk mendapatkannya.
Mari kita simak kata-katanya sendiri menceritakan hal itu kepada kita, “Aku
bangun di tengah malam, ketika itu aku mengikuti Rasulullah di Perang Tabuk.
Tampak olehku nyala api di arah pinggir perkemahan, lalu aku mendekat untuk
melihatnya. Ternyata, itu adalah Rasulullah bersama Abu Bakar dan Umar. Mereka
sedang menggali kuburan untuk Abdullah Dzul Bijadain Al-Muzanni yang ternyata
telah wafat.
Rasulullah berada di dalam lubang kubur itu, sementara Abu Bakar dan
Umar mengulurkan jenazah kepadanya rasulullah bersabda, ‘Ulurkanlah lebih dekat
kepadaku saudara kalian itu!’ lalu mereka mengulurkan kepada beliau. Ketika
jenazah telah diletakkan di liang lahat, beliau berdoa, ‘Ya Allah, aku telah
ridha kepadanya, maka ridhailah pula ia oleh-Mu!’ alangkah bahagianya
seandainya akulah yang jadi pemilik liang kubur itu.”
Itulah dia satu-satunya cita-cita yang diharapkan dan diangan-angankan
semasa hidupnya. Sebagaimana anda ketahui, ia tidak pernah mencari kesempatan
untuk mendapatkan kemuliaan, kekayaan, pengaruh, atau jabatan yang selalu
dikejar-kejar dan diperebutkan orang. Hal ini semata-mata karena cita-citanya
adalah cita-cita seorang tokoh yang berhati mulia, berjiwa besar, dan
berkeyakinan teguh. Seorang tokoh yang mendapatkan petunjuk dari Allah,
mendapatkan gemblengan oleh Rasulullah , dan memperoleh tuntutan dari Al-Qur’an.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar