Minggu, 08 Desember 2013

Filled Under:

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Orang Kepercayaan Umat).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
   
    Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah dengan tangan kanannya sambil bersabda mengenai pribadinya, “Setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan orang kepercayaan untuk umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

     Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bala bantuan bagi pasukan Amr bin Al-Ash, dan ia diangkat senagai panglima pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar?

     Siapakah shahabat yang mula pertama disebut sebagai Amirul Umara ini?

     Siapakah orang yang tinggi perawakannya, tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan dua gigi ompong kena panah?

     Siapakah orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Al-Khatthab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir berkata mengenai pribadinya, “Seandainya Abu Ubaidah bin Jarrah masih hidup, ia pasti menjadi bagian di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai panggantiku. Jika Rabbku menanyakan hal itu, aku akan menjawab, ‘Saya telah mengangkat orang kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya’.

     Orang tersebut adalah Abu Ubaidah, yakni Amir bin Abdullah bin Al-Jarrah. Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq pada awal kerasulan, yakni sebelum Rasulullah mengambil rumah Al-Al-Arqam sebagai tempat dakwah. Ia ikut hijrah ke Habasyah pada kali yang kedua. Ia kembali pulang dengan tujuan agar dapat mendampingi Rasulullah di Perang Badar, Uhud, dan pertempuran lainnya. Sepeninggal Rasulullah, ia melanjutkan jalan hidupnya sebagai seorang yang kuat dan dipercaya mendampingi Abu Bakar dan juga Umar dalam urusan pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam focus pada tanggung jawab keagamaan, dengan penuh kezuhudan dan ketakwaan serta keteguhan dan amanah.

     Ketika Abu Ubaidah berbaiat kepada Rasulullah untuk membaktikan hiduonya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna tiga kata yang terangkai menjadi sebutan “di jalan Allah”. Ia telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan segala upaya dan pengorbanan yang dibutuhkan di jalan tersebut. Sejak ia mengulurkan tangannya untuk berbaiat kepada Rasulullah, ia tidak melihat dirinya, hari-hari yang dijalani, dan seluruh hidupnya selain sebagai sebuah amanah yang dititipkan Allah kepadanya dan harus dibaktikan di jalan-Nya demi mencapai keridhaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk  kepentingan dirinya pribadi, dan tiada suatu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah.

     Ketika Abu Ubaidah telah menepati janji seperti yang dilakukan oleh para shahabat lainnya, Rasulullah melihat perilaku hati nurani dan tata cara hidupnya layak untuk menerima gelar mulia yang disematkan serta dihadiahkan Rasulullah kepadanya, dengan sabdanya, “Orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” Amanah yang telah ditunaikan oleh Abu Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol.

     Pada Perang Uhud, ia dapat melihat dari gerak-gerik dan jalan pertempuran bahwa tujuan utama orang-orang musyrik itu bukanlah hendak merebut kemenangan, melainkan untuk menghabisi dan merenggut nyawa Nabi. Ia berjanji kepada dirinya akan selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu. Dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula,ia maju ke depan menyerbu tentara paganis yang datang dengan kezaliman dan permusuhan untuk memadamkan cahaya Allah. Setiap situasi pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari posisi Rasulullah.

     Ia selalu memantau keselamatan beliau dengan perasaan cemas dan gelisah. Jika ia melihat ada bahaya mengancam Nabi, ia bagai disentakkan dari tempat berdirinya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah den menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakan beliau.

    Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh, tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Ia hampir saja kehilangan akal sehatnya ketika sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik mengenai Nabi.

     Pedangnya yang sebilah itu terlihat berkelabatan tidak ubahnya bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga menceraiberaikan mereka, lalu ia terbang melompat untuk mendekati ke possisi Rasulullah. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajah, dan beliau mengahapus darah itu dengan tangan kanan sambil bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum melukai wajah Nabi mereka akan bahagia, padahal ia menyerunya kepada Rabb mereka?

     Abu Ubaidah melihat dua buah mata rantai pengikat topi besi pelindung kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipi. Abu Ubaidah tidak dapat menahan gejolak hati, ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi serinya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, dan bersamaan dengan itu satu gigi seri Abu Ubaidah copot. Setelah itu, ia menarik mata rantai yang kedua dan juga menyebabkan satu lagi gigi serinya copot.

     Sekarang, mari kita srrahkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menceritakan peristiwa itu dengan kata-katanya, “Pada waktu Perang Uhud, saat Rasulullah ditimpa anak panah hingga dua buah mata rantai pengikat topi besi pelindung kepala menancap ke pipi bagian atas beliau, aku segera berlari ke arah Rasulullah. Nemun, ternyata ada seorang yang datang bagaikan terbang dari arah timur. Aku pun berkata, ‘Ya Allah, semoga itu merupakan pertolongan.’

     Ketika kami sampai d tempat Rasulullah, ternhata orang tersebut adalah Abu Ubaidah yang telah mendahuluiku ke sana. Ia berkata, ‘Atas nama Allah, saya meminta izin kepadamu, wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah.’

     Saya pun membiarkannya, dan dengan gigi seri, Abu Ubaidah mencabut salah satu mata rantai pengikat topi besi pelindung kepala beliau itu hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu sebuah gigi seri Abu Ubaidah juga jatuh. Kemudian ia menarik mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga tercabut pula, sehingga menyebabkan Abu Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong.

     Ketika tanggung jawab para shahabat semakin besar dan meluas, amanah dan kejujuran Abu Ubaidah pun semakin meningkat. Tatkala ia dikirim oleh Nabi dalam perang Daun Khabath memimpin lebih dari 300 orang prajurit dengan perbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, padahal itu merupakan tugas berat dan jarak yang akan ditempuh sangat jauh, Abu Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Ia bersama anak buahnya pergi ke tempat yang dituju, dan jatah setiap prajurit setiap harinya hanya segenggam kurma.

     Setelah bekal hampir habis, bagian tiap-tiap prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Dan tatkala habis sama sekali, mereka mencari daun dan kayu yang disebut Khabath. Mereka menumbuk daun itu hingga halus seperti tepung dengan menggunakan senjata. Selain dijadikan sebagai bahan makanan, daun-daun tersebut juga mereka gunakan sebagai wadah untuk minum. Itulah sebabnya perang ini disebut Perang Daun Khabat.

     Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, tidak ada tujuan mereka kecuali menyeleseikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya, yakni tugas yang dititahkan oleh Rasulullah kepada mereka. Rasulullah sangat menyayangi Abu Ubaidah sebagai orang kepercayaan umat, dan beliau sangat terkesan kepadanya.

     Ketika Najran utusan dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Islam, Rasulullah bersabda, “Sungguh, aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya…, benar-benar terpercaya…, benar-benar terpercaya.

     Para shahabat mendengar pujian yang keluar dari lisan Rasulullah ini, dan masing-masing berharap agar pilihan jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Umar bin Al-Khatthab menceritakan peristiwa ini sebagai berikut, “Aku tidak pernah berangan-angan menjadi pemimpin, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat Zuhur. Ketika Rasulullah selesai shalat Zuhur mengimami kami, beliau mengucapkan salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri.

     Aku pun menegakkan badan agar terlihat oleh beliau. Tetapi, beliau tetap saja melayangkan pandangannya dan mencari-cari, hingga akhirnya Abu Ubaidah tampak oleh beliau, maka beliau memanggilnya lalu bersabda, ‘Pergilah bersama mereka dan putuskanlah perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan benar.’ Abu Ubaidah pun berangkat bersama orang-orang itu.

     Dengan peristiwa tersebut, tentu saja tidak berarti bahwa Abu Ubaidah merupakan satu-satunya orang yang mendapatkan kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedangkan lainnya tidak. Maksudnya ialah seorang yang beruntung mendapatkan kepercayaan yang berharga serta tugas mulia itu. Selain itu, ialah salah seorang, atau mungkin satu-satunya orang, yang pada waktu itu suasana kerja dan dakwah yang ada memang mengizinkannya untuk meninggalkan Madinah guna mengemban tugas yang cocok dengan bakat dan kemampuannya.

     Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan pada masa Rasulullah, setelah ia wafat pun ia tetap sebagai orang kepercayaan untuk memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajar apabila ia menjadi suri teladan bagi seuruh umat manusia. Di bawah panji-panji Islam, ia adalah sebagai prajurit di mana pun ia berada. Dengan keutamaan dan keberaniannya, dalam posisi ini ia melebihi seorang panglima. Saat ia bertugas sebagai seorang panglima, keikhlasan dan kerendahan hatinya telah membuatnya tidak lebih dari seorang prajurit biasa.

     Tatkala Khalid bin Al-Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, dan tiba-tiba Amirul Mukmin Umar memaklumkan titahnya untuk mengangkat Abu Ubaidah sebagai pengganti Khalid. Ketika Abu Ubaidah menerima berita itu dari utusan Khalifah, ia meminta kepada utusan tersebut agar merahasiakan berita itu dari pendengaran orang-orang. Ia sendiri juga merahasiakan berita itu—sebagai sebuah niat baik yang muncul dari dada seorang yang zuhud, arif, dan terpercaya—hingga panglima Khalid merebut kemenangan besar.

     Setelah kemenangan diraih, ia menjumpai Khalid dengan etika yang mulia untuk menyerahkan surat dari Amirul Mukminin Umar. Khalid bertanya kepadanya, “Semoga Allah merahmatimu, wahai Abu Ubaidah! Apa sebabnya engkau tidak menyampaikannya kepadaku saat surat ini tiba?

     Maka orang kepercayaan umat ini menjawab, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombakmu. Bukan kekuasaan dunia yang kita cari dan bukan pula untuk dunia kita beramal! Kita semua bersaudara karena Allah.

     Abu Ubaidah akhirnya menjadi pucuk pimpinan pada komandan perang di Syam yang melindungi wilayah yang luas, dengan kuantitas amunisi dan personil yang sangat besar. Tetapi, bila anda melihatnya, anda pasti akan mengira bahwa ia tidak ada bedanya dengan prajurit biasa serta sosoknya terlihat sama dengan kaum Muslimin lainnya.

     Kerika ia mendengar perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya akan kekaguman mereka terhadap sebutan Amirul Umara’, ia pun mengumpulkan mereka lalu ia berdiri untuk menyampaikan pidato. Perhatikanlah oleh anda apa yang diucapkan kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, kebesaran, dan amanahnya, “Wahai umat manusia, saya ini adalah seorang Muslim dari suku Quraish. Siapa saja di antara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam, yang lebih takwa daripada diri saya, hati saya ingin sekali berada dalam bimbingannya.

     Semoga Allah melanggengkan kebahagiaanmu, wahai Abu Ubaidah. Semoga Dia mengekalkan agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu. Seorang Muslim dari suku Quraish, tidak kurang, tidak lebih ucapanmu itu.

     Agama: Islam. Suku: Quraish. Hanya inilah keinginannya, tidak lain. Adapun kedudukannya sebagai panglima besar, ia adalah komandan Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya. Begitupun sebagai wali negeri di wilayah Syam, yang semua kehendaknya berlaku dan perintahnya ditaati, semua itu dan yang semacamnya tidak akan menggoyahkan ketaatannya sedikitpun, dan tidak dijadikan sebagai kebanggaan.

     Amirul Mukminin Auam bin Al-Khatthab datang berkunjung ke Syam, dan kepada para penyambutnya Ia bertanya, “Di mana saudara saya?

     Mereka balik bertanya, “Siapa?

     Umar menjawab, “Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

     Kemudian Abu Ubaidah datang dan menemui Amirul Mukminin pun bergegas memeluknya. Setelah itu, mereka pergi ke rumah Abu Ubaidah. Ternyata, di rumahnya tidak ditemukan satu pun perabot rumah tangga, kecuali hanya pedang, tameng, serta pelana kuda tunggangannya.

     Umar bertanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak mengambil bagian untuk dirimu sendiri sebagaimana dilakukan oleh orang lain?

     Abu Ubaidah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, keadaan ini menyebabkan hatiku lega dan merasa tenang.

     Suatu hari di Madinah, tatkala Amirul Mukminin Umar Al-Faruq sedang sibuk menangani urusan dunia Islam yang luas, tiba-tiba ada orang yang menyampaikan berita duka atas wafatnya Abu Ubaidah. Kedua mata Umar pun terpejam dan dipenuhi oleh linangan air. Air matanya terus mengalir, hingga akhirnya Amirul Mukminin membuka matanya dengan tawakal dan berserah diri.

     Umar memohonkan rahmat bagi shahabatnya itu, dan membangkitkan kenangan-kenangan lamanya bersama mendiang Abu Ubaidah yang ditampungnya dengan hati yang sabar karena diliputi duka. Kemudian Umar menyampaikan ucapan berkenaan shahabatnya itu, “Seandainya aku harus berharap, tidak ada harapanku selain sebuah rumah yang penuh didalami oleh tokoh-tokoh seperti Abu Ubaidah.


     Orang kepercayaan dari umat ini wafat di atas bumi Persia yang telah disucikannya dari paganism dan barbarism Romawi. Sekarang ini, dipangkuan bumi Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan. Walaupun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, itu tidak penting bagi dia dan anda, karena seandainya anda hendak mencapainya, anda tidak memerlukan petunjuk jalan karena jasa-jasanya yang tifak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf