Jumat, 13 Desember 2013

Filled Under:

Umair bin Wahab (Sosok Setan pada Masa Jahiliyyah yang Berubah Menjadi Pembela Islam yang Gigih).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Pada Perang Badar, Umair bin Wahab termasuk salah seorang pemimpin Quraish yang menghunus pedangnya untuk melawan Islam. Ia seorang yang tajam penglihatannya dan teliti perhitungannya. Karena itulah ia diutus kaumnya untuk menyelidiki jumlah kaum Muslimin yang ikut pergi berperang bersama Rasulullah dan mengamati apakah di belakang mereka masih ada pasukan tambahan atau yang masih bersembunyi.

     Umair bin Wahab Al-Jumahi memacu kudanya untuk mengamati sekeliling perkemahan kaum Muslimin, lalu kembali dan berkata kepada kaumnya, “Kekuatan mereka kurang lebih tiga ratus orang.” Dan ternyata perkiraannya itu benar.

     Mereka juga menanyakan kepada meraka, “Apakah di belakang mereka masih ada bala bantuan?

     Ia menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa lagi di belakang mereka. Hanya saja wahai kaum Quraish, aku melihat pusara-pusara menganga yang menantikan kematian. Mereka adalah kaum yang tidak mempunyai pembela dan perlindungan kecuali pedang mereka sendiri. Demi Allah, tidak mungkin salah seorang dari mereka terbunuh, tanpa terbunuhnya seorang di antara kita sebagai imbalannya. Apabila jumlah kita yang tewas sama dengan jumlah mereka, kehidupan mana lagi yang lebih baik setelah itu? Pertimbangkanlah baik-baik persoalan ini!

     Kata-kata dan buah pemikirannya itu mampu mempengaruhi sebagian besar pemimpin Quraish, dan hampir saja mereka menghimpun kekuatan mereka untuk kembali pulang ke Mekkah tanpa perang, seandainya Abu Jahal tidak merusak pikiran tersebut. Abu Jahal mengobarkan api kebencian di dalam jiwa mereka, yang memercikkan api peperangan di mana ia tewas sendiri sebagai korbannya yang pertama.

     Penduduk Mekkah member gelar Setan Quraish kepada Umair. Pada Perang Badar itu, Setan Quraish ini benar-benar mendapat pukulan hebat karena usahanya menemui kegagalan total. Orang-orang Quraish kembali ke Mekkah dengan kekuatan yang telah hancur. Umair bin Wahab pun harus meninggalkan salah satu anggota keluarganya di Madinah karena anaknya menjadi tawanan kaum Muslimin.

     Suatu hari ia berkumpul dalam majelis pamannya, Shafwan bin Umayyah. Shafwan ini memendam rasa dendam dan benci karena ayahnya, Umayyah bin Khalaf, menemui ajalnya di Perang Badar, sedangkan tulang belulangnya terkubur di sumur tua. Shafwan dan Umair duduk berbincang-bincang untuk melampiaskan dendam kesumat mereka.

     Marilah kita panggil Urwah bin Az-Zubair untuk menceritakan perbincangan mereka berdua yang panjang kepada kita:

     “Demi Allah, tidak ada lagi gunanya hidup kita setelah peristiwa itu,” kata Shafwan.

     “Engkau benar, dan Demi Allah, kalau bukan karena utang yang belum kubayar, dan keluarga yang kukhawatirkan akan terlantar sepeninggalku, niscaya aku berangkat mencari Muhammad untuk membunuhnya,” jawab Umair.

     “Aku mempunyai alasan yang kuat untuk mengelabuinya. Aku akan mengatakan bahwa aku datang untuk membicarakan anakku yang tertawan,” tambah Umair.

     Shafwan tertarik dengan ungkapan Umair tersebut dan berkata, “Biarlah aku yang menanggung utangmu. Aku akan melunasi semua dan keluargamu hidup bersama keluargaku. Aku akan menjaga mereka seperti aku menjaga keluargaku.

     “Bila demikian, mari kita simpan rahasia kita ini,” kata Umair.

     Kemudian Umair meminta pedangnya, lalu ia mengasah dan membubuhi racun. Selanjutnya, ia berangkat hingga sampai di Madinah.

     Ketika Umar bin Al-Khatthab sedang bercakap-cakap dengan sejumlah kaum Muslimin tentang Perang Badar dan mereka menyebut-nyebut pertolongan Allah kepada mereka, tiba-tiba Umar melihat Umair bin Wahab yang baru saja menambatkan tunggangannya di depan masjid, dan siap mempergunakan pedangnya.

     Umar berkata, “Itu si Umair bin Wahab, anjing musuh Allah! Demi Allah, ia pasti datang dengan maksud jahat. Dialah yang telah menghasut orang banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di Perang Badar.

     Umar lalu masuk menghadap Rasulullah dan berkata, “Ya Nabi Allah, itu si Umair si musuh Allah, ia telah datang siap menghunus pedangnya.

     Rasulullah menjawab, “Suruhlah ia masuk menghadapku!

     Umar pergi mengambil pedangnya sambil menimang-nimangnya di tangan, sembari mengatakan kepada orang-orang Anshar yang hadir di tempat tersebut agar mereka semua masuk dan duduk di dekat Rasulullah sambil mengawasi tindak tanduk orang jahat ini, karena ia tidak dapat dipercaya.

     Umar lalu membawa masuk Umair menemui Nabi, sambil membawa pedangnya yang tersandang di pundaknya, dan ketika Rasulullah melihatnya, beliau bersabda, “Biarkanlah ia, wahai Umar. Silakan wahai Umair.

     Umair pun mendekat seraya berkata, “Selamat pagi.

     Ini merupakan ucapan jahiliyyah, maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan ucapan kehormatan yang lebih baik daripada ucapanmu, hai Umair, yaitu ucapan salam yang merupakan penghormatan bagi ahli surga.

     Umair berkata, “Demi Allah, aku baru mendengar soal itu.

     Rasulullah mulai bertanya, “Apa maksudmu datang ke sini, wahai Umair?

     “Kedatanganku ke sini sehubungan dengan tawanan yang berada di tanganmu.

     “Apa maksud pedangmu yang tersandang itu?

     “Pedang-pedang yang tidak berguna. Menurutmu apakah ada manfaatnya pedang itu bagi kami?

     “Berkatalah terus terang, wahai Umair, apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya!

     “Aku tidak datang selain untuk itu.

     “Bukankah engkau telah duduk bersama Shafwan bin Umayyah di atas batu, lalu engkau berbincang-bincang tentang orang-orang Quraish yang tewas di sumur Badar, dan engkau berkata, ‘Kalau bukan karena utang dan keluargaku, niscaya aku akan pergi membunuh Muhammad.’ Kemudian Shafwan akan menjamin akan membayar utangmu dan menanggung keluargamu, asal kamu membunuh aku, padahal Allah telah menjadi penghalang bagi maksudmu itu?

     Seketika itu juga, Umair berteriak, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah. Perbincangan itu tidak ada yang menghadirinya selain aku dengan Shafwan saja. Demi Allah, tidak ada yang memberi kabar kepadamu selain Allah. Puji syukur kepada Allah yang telah menunjukkan aku kepada Islam.

     Rasulullah pun bersabda kepada shahabat-shahabat beliau, “Ajarilah saudaramu ini tentang agama, bacakanlah Al-Qur’an kepadanya, dan bebaskanlah tawanannya!

     Begitulah, Umair bin Wahab masuk Islam. Kini orang yang dulunya mendapat julukan Setan Quraish itu telah masuk Islam. Ia telah diliputi oleh cahaya Rasul dan lentera Islam seluruhnya, hingga tiba-tiba dalam sekejap ia telah berbalik menjadi pembela Islam yang gigih. Umar bin Al-Khatthab sampai berkata, “Demi Dzat yang diriku di tangan-Nya, aku lebih suka melihat babi daripada si Umair pada awal ia muncul di hadapan kami. Tetapi, sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakku sendiri.

     Umair duduk merenungi kelapangan agama ini dan kebesaran Rasulullah. Ia teringat masa-masa silamnya di Mekkah, ketika ia merencanakan tipu muslihat busuk dan memeragi Islam, tepatnya sebelum Rasulullah dan shahabat-shahabat beliau hijrah ke Madinah. Ia juga teringat upaya dan perjuangannya di Perang Badar. Sekarang ia datang dengan menimang-nimang pedang di tangan hendak membenuh Rasulullah. Semua itu dengan sekejap mata terhapus oleh ucapan syahadatnya. Betapa pemaaf, suci, serta percaya diri ajaran yang dibawa oleh agama besar ini.

     Beginikah kiranya Islam dalam sekejap saja bersedia menghapus segala kesalahannya yang lalu, dan orang-orang Islam melupakan segala dosa dan kejahatan serta permusuhannya pada masa lalu, dan membukakan hati mereka untuknya, bahkan bersedia merangkulnya?

     Beginikah jadinya pedang yang tergenggam kuat untuk satu niat yang jahat, dan kekejaman, yang kilatannya masih membayang di muka mereka, semua itu dilupakan, dan sekarang tidak ada yang diingat lagi, kecuali keislaman Umair, dan dalam waktu sekejap ia telah menjadi salah seorang dari kaum Muslimin, shahabat Rasul, yang mempunyai hak seperti hak-hak mereka, dan memikul kewajiban dan tanggung jawab seperti mereka pula?

     Beginikan akhirnya, seorang yang hampir dibunuh oleh Umar bin Al-Khatthab beberapa saat sebelumnya, sekarang berubah dicintainya melebihi cintanya kepada anaknya sendiri?

     Kalau satu detik kejujuran yang membawa Umair menyatakan keislamannya itu telah membawa keberuntungan bagi Umair dengan mendapatkan penghargaan, kemuliaan, ganjaran dan penghormatan dari Islam, itu berarti tidak ada penilaian lain bahwa Islam adalah agama yang besar.

     Tidak berapa lama setelah itu, Umair telah mengetahui kewajibannya terhadap Islam. Ia akan berbakti kepadanya, seimbang dengan usahanya memeranginya pada masa lampau. Ia akan mengajak orang kepada Islam setaraf dengan ajakannya memusuhinya di masa silam. Ia akan memperlihatkan kepada Allah dan Rasul-Nya kejujuran, perjuangan, dan ketaatan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.

     Itu ia buktikan dengan datang menghadap Rasulullah sembari berkata, “Wahai Rasulullah, dahulu aku berusaha memadamkan cahaya Allah, sabgat jahat terhadap orang yang memeluk agama Allah. Sekarang aku ingin agar engkau mengizinkan pergi ke Mekkah. Aku akan menyeru mereka kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, serta kepada Islam, semoga mereka diberi hidayah oleh-Nya. Bila menolak, aku akan menyakiti mereka karena agama mereka, sebagaimana aku dulu menyakiti shahabat-shahabatmu karena agama yang diikuti mereka.

     Pada hari-hari sejak Umair meninggalkan Mekkah menuju Madinah, Shafwan bin Umayyah yang telah menghasut Umair pergi membunuh Rasulullah, sering mondar-mandir di jalan-jalan Mekkah dengan sombong, dan ia selalu menumpahkan kegembiraannya yang meluap di setiap tempat pertemuan. Setiap ia ditanyai oleh orang-orang dan keluarganya apa sebenarnya di balik kegembiraannya itu, padahal tulang belulang ayahnya masih terjemur di panas terik matahari padang Badar, ia justru menepukkan kedua telapak tangannya dengan bangga sambil berkata kepada orang-orang itu, “Bergembirala kalian! Karena sebentar lagi akan ada satu kejadian yang akan datang beritanya, yang akan menghapus malu kita di Perang Badar.

     Setiap pagi ia keluar ke dataran tinggi di pinggiran Mekkah, untuk menanyakan kepada setiap kafilah dan para pengendara bila ada peristiwa penting yang terjadi di Madinah. Namun, jawaban mereka tidak ada yang menyenangkan atau membuat hatinya bangga, karena tidak ada seorang pun yang mendengar atau melihat suatu kejadian penting di Madinah. Namu, Shafwan tidak berputus asa, bahkan ia tetap sabar menanyai rombongan demi rombongan.

     Akhirnya ia mendapati jawaban dari salah satu rombongan dan Shafwan bertanya kepada mereka, “Bukankah telah terjadi sesuatu di Madinah?

     Mereka menjawab, “Benar, telah terjadi kejadian besar.

     Wajah Shafwan berseri-seri, hatinya benar-benar diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Ia kembali menanyai orang itu dengan bergegas karena dorongan ingin tahu, “Apa sebenarnya yang terjadi? Tolong ceritakan kepadaku!

     Orang itu menjawab, “Umair bin Wahab telah memeluk Islam, ia di sana sedang memperdalam ilmu agama dan mempelajari Al-Qur’an.

     Bumi ini terasa berguncang bagi Shafwan. Peristiwa yang diharap-harapkannya akan dapat menggembirakan kaumnya, dan selalu dinantikannya untuk melupakan kejadian Perang Badar, tiba-tiba saja berita yang datang kepadanya justru bagai petir yang menyambar dirinya.

     Suatu hari, sampailah seorang musafir di kampung halamannya, Umair telah kembali ke Mekkah, dengan membawa pedangnya dan siap untuk bertempur. Orang pertama yang menjumpainya ialah Shafwan bin Umayyah. Saat Shafwan melihatnya, Shafwan bermaksud hendak menyerang. Namun, melihat pedang yang siaga di tangan Umair, Shafwan mengurungkan maksudnya, dan hanya puas dengan melontarkan caci maki kepadanya, kemudian membiarkannya berlalu.

     Sekarang, Umair bin Wahab masuk ke Mekkah sebagai seorang Muslim, sedangkan sewaktu meninggalkannya ia adalah seorang musyrik. Ia memasuki Mekkah dan dalam ingatannya terbayang sikap Umar bin Al-Khatthab ketika masuk Islam, yang setelah menyatakan masuk Islam langsung berteriak, “Demi Allah! Aku tidak akan membiarkan satu tempat pun yang pernah diduduki dengan kekafiran, melainkan akan ku duduki lagi dengan keimanan.

     Seolah-olah Umair menjadikan ungkapan itu sebagai semboyan dan pendirian Umar tersebut sebagai teladan. Ia telah bertekad bulat hendak menyerahkan hidupnya untuk berbakti kepada Islam, yang sekian lama diperanginya. Dan ia mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk membalas setiap kejahatan yang hendak ditimpakan kepadanya.

     Demikianlah, ia mengganti dan mengimbangi apa saja yang telah luput pada masa silamnya, berpacu dengan waktu mengejar tujuannya. Ia berdakwah menyebarkan agama Islam, baik siang maupun malam, secara terang-terangan dan terbuka. Keimanan yang telah terhunjam di hatinya, telah melahirkan rasa tenteram, petunjuk, dan cahaya.

     Dari lidah dan ucapannya keluar kalimat dan kata-kata yang benar, yang digunakannya untuk menyeru orang kepada keadilan, kebaikan, dan kebajikan. Di tangan kanannya tergenggam teguh pedangnya yang akan mengecutkan hati setiap penghalang jalan menuju kebaikan, yakni mereka yang selalu mengganggu orang-orang beriman dan hendak membawa mereka ke jalan yang bengkok.

     Dalam beberapa pekan saja, orang-orang yang dapat petunjuk masuk Islam melalui perantara usaha Umair bin Wahab melebihi perkiraan yang melintas dalam angan-angan Umair. Umair pergi membawa mereka dalam satu barisan yang panjang untuk berhijrah ke Madinah secara terang-terangan. Padang pasir yang mereka lalui dalam perjalanan itu, seolah-olah tidak dapat menyembunyikan kekaguman dan keheranan terhadap pria yang belum lama ini melintasinya dengan pedang terhunus menggerakkan setiap langkahnya ke Madinah untuk membunuh Rasulullah.

     Kemudian lelaki itu pula yang melintasinya sekali lagi dari Madinah menuju Mekkah, tetapi wajahnya berlainan dengan wajah semula ketika ia pergi karena sekarang ia membaca Al-Qur’an dari atas punggung untanya yang ikut gembira. Dan kini, ia juga mengarungi padang pasir yang sama untuk kali ketiga dengan mengepalai iring-iringan panjang dari orang-orang yang beriman yang suara tahlil dan takbir mereka bergema memenuhi angkasa.

     Ini benar-benar merupakan berita besar, berita tentang Setan Quraish yang dengan hidayah Allaj telah mengubahnya menjadi seorang pembela berani mati di antara pembela-pembela Islam lainnya. Umair yang selalu siaga di samping Rasulullah pada setiap peperangan, setia, dan berbakti kepada agama Allah itu tetap teguh dan tidak berubah setelah Rasulullah wafat.

     Pada hari pembebasan Mekkah, Umair tidak ingin melupakan shahabat karibnya Shafwan bin Umayyah. Ia pergi untuk menyampaikan kepadanya kebaikan Islam dan mengajaknya untuk memeluknya, setelah ternyata tidak ada lagi kesangsian terhadap kebenaran Rasul dan apa yang dibawanya. Tetapi, Shafwan telah bersiap-siap dengan kendaraannya menuju Jeddah untuk berlayar ke Yaman.

     Umair merasa kasihan melihat sikap Shafwan, maka bertekad dengan meyelamatkan shahabatnya itu dari jalan kesesatan dengan jalan apa pun. Ia pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan adalah pemimpin kaumnya, ia hendak pergi melarikan diri mengarungi lautan karena takut kepada engkau. Berilah jaminan keamanan, semoga Allah melimpahkan karunia-Nya kepadamu.

     Beliau menjawab, “Dia aman.

     Umair berkata, “Ya Rasulullah, berilah aku suatu tanda sebagai bukti keamanan darimu.

     Rasulullah pun memberikan sorban yang dipakainya sewaktu memasuki Mekkah.

     Sekarang, mari kita serahkan kepada Urwah bin Az-Zubair untuk menceritakan kejadian itu selengkapnya:

     “Umair pergi dengan sorban itu dan berhasil mendapatkan Shafwan yang ketika itu sudah hendak berlayar. Ia berteriak kepadanya, ‘Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu! Ingatlah kepada Allah, janganlah engkau berputus asa. Inilah tanda keamanan dari Rasulullah yang sengaja aku bawa untukmu.’

     Shafwan menjawab, ‘Celaka engkau, enyahlah dariku, dan jangan berbicara kepadaku!’

     Umair berkata, ‘Benar Shafwan, jaminanmu ayah dan ibuku. Sesungguhnya Rasulullah itu adalah manusia yang paling utama, paling banyak kebajikannya, paling penyantun, dan paling baik. Kemuliaannya adalah kemuliaanmu, dan kehormatannya adalah kehormatanmu.’

     ‘Aku khawatir terhadap keselamatan diriku,’ kata Shafwan menyahut.

     ‘Beliau orang yang paling penyantun dan paling mulia, lebih dari apa yang engkau duga!’ kata Umair.

     Akhirnya Shafwan bersedia ikut kembali. Mereka berdua berdiri di hadapan Rasulullah, lalu Shafwan berkata, ‘Orang ini mengatakan bahwa engkau telah memberiku jaminan keamanan.’

     ‘Benar,’ jawab Rasulullah.

     ‘Berilah aku kesempatan memilih selama dua bulan.’

     ‘Engkau diberi kebebasan memilih selama empat bulan’.


     Pada akhirnya Shafwan masuk Islam. Tidak terkira bahagianua Umair dengan keislaman Shafwan shahabatnya itu. Umair bin Wahab melanjutkan perjalanan hidupnya yang penuh berkah menuju Allah, mengikuti jejak Rasul yang diutus Allah kepada umat manusia untuk melepaskan mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf