بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Seandainya maut mau menghindar dari
orang perkasa
Niscaya ia akan membiarkan Hudhair ketika menutupkan pintunya
Ia hanya akan berkeliling, sampai malam datang menjelma
Lalu mengambil tempat duduk dan berdendang dengan asyiknya.
Usaid mewarisi kedudukan, keberanian, dan
kehormatan dari ayahnya. Sebelum masuk Islam, ia merupakan salah seorang
pemimpin Madinah, bangsawan Arab, dan pemanah pilihan yang jarang ada bandingannya.
Ketika Islam telah memilih dirinya dan membimbingnya ke jalan yang mulia lagi
terpuji, kemuliaannya bertambah memuncak dan kedudukannya bertambah tinggi. Itu
terjadi ketika ia mengambil kedudukan menjadi salah seorang pelopor pembela
Allah dan Rasul-Nya, serta termasuk ke dalam bagian orang-orang yang memeluk
Islam lebih dahulu. Pada saat masuk Islam itu, ia sangat cepat menerima,
bersemangat tinggi, dan menunjukkan kemuliaan.
Rasulullah mengirim Mush’ab bin Umair ke
Madinah untuk mengajari orang-orang Muslim dari kalangan Anshar yang telah
berbaiat kepada Nabi untuk membela Islam pada Baiat Aqabah I, dan untuk
mengajak orang lain kepada agama Allah. Pada waktu itu Usaid bin Al-Hudhair dan
Sa’ad bin Mu’adz—yang tidak lain merupakan pemimpin kabilah masing-masing—duduk
merundingkan perantau asing yang datang dari Mekkah, yang akan menyingkirkan
agama nenek moyang mereka dan menyeru kepada agama baru yang belum mereka
kenal. Sa’ad berkata kepada Usaid, “Pergi dan temuilah orang itu (Mush’ab)
dan berilah pelajaran agar ia kapok.”
Usaid pun pergi dengan membawa tombaknya untuk menemui Mush’ab bin Umair yang
waktu itu menginap di rumah As’ad bin Zurarah, salah satu pembesar Madinah yang
masuk Islam lebih dulu.
Di majelis Mush’ab dan As’ad bin Zuyrarah,
Usaid melihat banyak orang yang dengan penuh minat dan perhatian mendengarkan
kalimat-kalimat petunjuk yang disampaikan oleh Mush’ab bin Umair dan mengajak
mereka kepada Allah. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Usaid dengan
amarahnya. Mush’sb mengatakan kepadanya, “Apakah
engkau berkenan duduk mendengarkannya terlebih dahulu? Bila engkau senang
dengan urusan kami, engkau dapat menerimanya. Sedangkan engkau tidak senang
dengan urusan kami, kami akan menghentikan apa yang tidak engkau sukai itu.”
Usaid adalah seorang yang cemerlang
otaknya dan tajam mata hatinya, sehingga penduduk Madinah menyebutnya dengan
julukan Al-Kamil (Si Sempurna). Julukan ini juga merupakan julukan yang
dimiliki ayahnya dulu. Ketika ia melihat Mush’ab mengajaknya untuk
mempertaruhkan akal dan logika, ia merasa tertantang, lalu menancapkan
tombaknya ke tanah dan berkata kepada Mush’ab, “Engkau
benar, sekarang ungkapkanlah apa yang ada padamu.”
Mush’ab lalu membacakan ayat-ayat
Al-Qur’an kepadanya dan menjelaskan seruan agama baru ini. Agama yang besar dan
Nabi Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan dan mengibarkan benderanya.
Orang-orang yang menghadiri majelis tersebut mengatakan, “Demi
Allah, kami telah melihat Islam di wajah Usaid sebelum ia mengucapkannya. Kami
mengetahuinya dari cahaya dan sikap lunaknya.”
Belum lagi Mush’ab menyelesaikan
penjelasannya, Usaid sudah menyeru dengan ungkapan yang mengesankan, “Alangkah
baiknya kata-kata ini dan alangkah indahnya. Apa yang kalian lakukan bila
hendak masuk agama ini?”
Mush’ab menjawab. “Bersihkanlah
badan dan pakaianmu. Lalu ucapkanlah syahadat yang benar, kemudian tunaikanlah
shalat.”
Sesungguhnya kepribadian Usaid benar-benar
kepribadian yang lurus, kuat, dan murni. Saat mengenal jalannya, ia tidak
ragu-ragu langsung melangkah dan menyambutnya dengan kebulatan hati. Usaid
tegak berdiri untuk menerima agama yang telah membuka pintu hatinya dan
menyinari dasar jiwanya. Ia bergegas mandi dan membersihkan diri, kemudian
bersujud kepada Allah Sang Pemelihara Semesta Alam, menyatakan keislamannya dan
menyampaikan perpisahan kepada masa-masa kemusyrikan dan jahiliyah.
Kewajiban Usaid sekarang ialah segera
kembali menemui Sa’ad bin Mu’adz untuk menyampaikan laporan atas tugas yang
dibebankan kepadanya sebelum itu, yaitu mengancam dan mengusir Mush’ab bin
Umair. Dia segera kembali kepada Sa’ad.
Ketika Usaid hampir tiba ke tempat yang
dituju, Sa’ad mengatakan kepada orang-orang disekelilingnya, “Aku
bersumpah, sungguh Usaid telah datang sekarang ini, tetapi dengan wajah yang
lain daripada ketika ia pergi tadi.”
Benar, ia pergi dengan muka yang masam berkerut dengan membawa kemarahan dan
permusuhan, sedangkan kini ia kembali dengan wajah yang diliputi perasaan
tenang, rahmat, dan cahaya.
Usaid memutuskan untuk mempergunakan
sedikit kecerdikannya. Ia tahu benar bahwa Sa’ad bin Mu’adz sama dengan dirinya
dalam persoalan kebersihan jiwa, kekerasan kemauan, ketenangan berpikir, dan
ketepatan penilaian. Ia mengetahui bahwa tidak akan ada penghalang antara
dirinya dan Islam setelah mendengar sendiri apa yang telah didengarnya tadi
tentang firman Allah, yang dibacakan dan diuraikan dengan baik kepada mereka
oleh utusan Rasulullah, yaitu Mush’ab bin Umair.
Tetapi, seandainya ia berkata kepada
Sa’ad, “Seandainya aku telah masuk Islam, karena itu
berdirilah dan masuk Islam,” niscaya
akan mengundang pertentangan yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan.
Karena itu, ia memutuskan untuk membangkitkan semangat keberanian Sa’ad sebagai
suatu cara untuk mendorongnya pergi ke majelis Mush’ab sampai ia mendengar dan
menyaksikan sendiri. Namun, bagaimana caranya?
Sebagaimana penulis telah sebutkan
sebelumnya, Mush’ab menjadi tamu di rumah As’ad bin Zurarah. As’ad bin Zurarah
ini merupakan anak dari bibinya Sa’ad bin Mu’adz. Karena itulah, Usaid berkata
kepada Sa’ad, “Aku mendengar berita bahwa Bani
Haritsah telah berangkat ke rumah As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya, padahal
mereka tahu bahwa ia adalah anak bibimu.”
Didorong oleh fanatisme dan kemarahan,
Sa’ad bangkit dan mengambil tombaknya lalu bergegas pergi ke tempat As’ad bin
Mush’ab yang ketika itu sedang berkumpul bersama kaum Muslimin lainnya. Ketika
ia telah sampai ke dekat majelis, ia tidak menemukan keributan ataupun
kegaduhan, melainkan ketenangan yang meliputi seluruh jamaah, sedangkan di
tengah-tengah mereka berada Mush'ab’bin Umair membacakan ayat-ayat Allah dengan
penuh kekhusyukan dan yang lain menyimak dengan penuh perhatian.
Saat itulah Sa’ad menyadari siasat yang
telah diatur Usaid untuk menjebaknya, yang tidak lain ialah agar ia datang ke
majelis itu dan dapat mendengarkan sendiri pembicaraan Mush’ab sebagai utusan
Islam. Firasat Usaid mengenai shahabatnya memang tidak meleset. Tidak lama
setelah Sa’ad mendengarkannya, Allah membukakan dadanya untuk menerima Islam,
dan secepat kilat ia pun mengambil kedudukannya di barisan orang-orang beriman
yang lebih awal.
Hati serta akal Usaid memancarkan
keimanan, keyakinan yang kuat, dan cahaya. Keimanan memberinya bekal sifat
hati-hati, penyantun dan penilaian yang tepat, yang menjadikannya selalu
dipercaya.
Dalam peperangan Bani Musthaliq,
meledaklah dendam yang terpendam di dada Abdullah bin Ubai. Ia berkata kepada
orang-orang di sekitarnya dari kalangan Madinah, “Kalian telah
menempatkan mereka di negeri kalian dan berbagi harta dengan mereka. Demi
Allah, seandainya kalian tidak memberikan apa yang ada di tangan kalian kepada
mereka, niscaya mereka akan berpindah ke negeri lain, bukan ke negeri kalian
ini. Demi Allah, saat kita kembali ke Madinah nanti, niscaya orang-orang mulia
akan mengusir orang-orang yang hina dari sana.”
Seorang shahabat yang mulia, Zaid bin
Al-Arqam, mendengar kalimat-kalimay, bahkan racun kemunafikan yang membakar
ini. Wajib baginya memberitahukan hal itu kepada Rasulullah. Perasaan
Rasulullah sangat tertusuk. Usaid pada waktu itu menjemput beliau maka beliau
bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah mendengar apa yang
diucapkan oleh shahabatmu?”
“Shahabat
yang mana, wahai Rasulullah?”
“Abdullah bin
Ubai.”
“Apa yang ia
ucapakan?”
“Ia mengklaim
bahwa bila ia kembali ke Madinah, orang yang mulia akan mengeluarkan orang yang
hina darinya.”
“Demi Allah,
engkaulah yang akan mengeluarkannya dari Madinah, insya Allah. Dan demi Allah,
dialah yang hina, sedangkan engkaulah yang mulia.”
Kemudian Usaid berkata, “Ya
Rasulullah, kasihanilah dia. Demi Allah, ketika Allah membawa engkau kepada
kami, kaumnya sedang menyiapkan mahkota untuk disematkan di atas kepalanya
karena mereka akan mengangkatnya menjadi raja di Madinah. Ia telah memandang
Islam telah merenggut kerajaan itu darinya.”
Dengan daya piker yang tajam, sikap yang
tenang, dan ucapan yang jelas, Usaid senantiasa berhasil memecahkan berbagai
persoalan dengan intuisi dan wawasan yang actual. Pada peristiwa Saqifah, yang
terjadi tidak lama setelah wafatnya Rasulullah, sejumlah orang Anshar yang
dikepalai oleh Sa’ad bin Ubadah mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang
kendali kekhalifahan. Adu argument berjalan panjang dan perdebatan pun
berkecamuk. Usaid, sebagaimana kita ketahui, sebagai seorang tokoh Anshar yang
mempunyai pengaruh besar dalam menjernihkan suasana, memiliki posisi yang
efektif untuk mengatasi ketegangan situasi itu, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya
laksana cahaya fajar di waktu subuh dalam menentukan arah.
Usaid berdiri mengucapkan pidato yang
ditujukan kepada kaumnya dari golongan Anshar, “Kalian
mengetahui bahwa Rasulullah adalah dari golongan Muhajirin. Dengan demikian,
khalifah beliau pun semestinya dari golongan Muhajirin. Kita adalah pembela
Rasulullah, sehingga kewajiban kita sekarang adalah membela Khalifahnya.”
Ternyata kata-kata itu menjadi penawar dan
pendingin suasana.
Usaid bin Al-Hudhair hidup sebagai orang
yang ahli ibadah dan selalu taat. Ia rela mengorbankan jiwa dan hartanya di
jalan kebaikan dan menjadikan wasiat Rasulullah terhadap orang Anshar sebagai
pedoman dan sikap hidupnya:
“Bersabarlah
kalian sampai kalian menjumpaiku di telaga.”
Karena agama dan akhlaknya, ia dimuliakan
dan dicintai Abu Bakar. Ia juga memperoleh kedudukan yang serupa di hati Amirul
Mukminin Umar dan di hati semua shahabat yang lain.
Mendengar alunan suaranya bila ia sedang
membaca Al-Qur’an seolah-olah mendapatkan harta rampasan yang sangat digemari
oleh para shahabat. Suaranya khusyuk memesona dan menerangi jiwa, hingga
Rasulullah pernah mengabarkan bahwa malaikat mendekati pemilik suara indah itu
pada suatu malam untuk mendengarkannya.
Pada Sya’ban 20 H, Usaid wafat. Amirul
Mukminin tidak mau ketinggalan untuk ikut memikul jenazahnya di atas bahunya
saat mengantarkan ke makamnya. Di bawah tanah Baqi’, di sanalah para shahabat
menyimpan jasad seorang Mukmin besar. Mereka kembali ke Madinah dan tetap
mengenang jasanya. Mereka selalu mengulang-ulang sabda Rasulullah tentang
dirinya, “Lelaki yang paling beruntung adalah Usaid bin
Al-Hudhair.”
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar