بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Ketika itu, Rasulullah bersabda, “Bersabarlah,
wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga!” sabda beliau tersebut bukan hanya sebagai
hiburan belaka, melainkan pengakuan atas kenyataan yang bisa dilihat dan
menguatkan fakta yang disaksikan.
Ayahanda Ammar, Yasir bin Amir berangkat
meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang
saudaranya. Rupanya ia merasa kerasan dan cocok tinggal di Mekkah. Akhirnya, ia
bermukim di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah bin
Al-Mughirah. Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang budaknya yang
bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini,
kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.
Mereka masuk Islam lebih awal dan masuk
dalam barisan orang-orang berbakti yang diberi petunjuk oleh Allah. Sebagai
keniscayaan bagi oleh orang-orang berbakti golongan awal masuk Islam, mereka
pun harus menderita karena siksa dan kekejaman Quraish.
Orang-orang Quraish selalu mencari-cari
jalan agar kaum Muslimin ditimpa kebinasaan. Seandainya orang yang beriman itu
dari kalangan bangsawan dan berpengaruh, mereka menghadapinya dengan ancaman
dan gertakan. Salah satunya adalah Abu Jahal yang menggertak sebagian kaum
Muslimin dengan ungkapan, “Kamu berani meninggalkan agama nenek
moyangmu, padahal mereka lebih baik daripada dirimu! Kami akan menguji sampai
di mana ketabahanmu. Kami akan menjatuhkan kehormatanmu, merusak perniagaanmu,
dan memusnahkan harta bendamu!”
Setelah itu, mereka melancarkan perang
urat syaraf yang sangat sengit terhadap korban mereka. Namun, bila yang beriman
itu dari kalangan penduduk Mekkah yang rendah martabatnya dan miskin, atau dari
golongan budak, mereka mencambuk dan menyundut yang bersangkutan dengan api.
Keluarga Yasir termasuk ke dalam golongan
yang kedua tersebut. Penyiksaan mereka diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap
hari Yasir, Sumayyah, dan Ammar di bawa ke padang pasir Mekkah yang sangat
panas, lalu disiksa dengan berbagai bentuk kekejaman.
Penderitaan yang dialami oleh Sumayyah
sangat memilukan, tetapi tidak akan kita uraikan secara luas sekarang ini. Pada
kesempatan lain, Insya Allah kami akan menuturkan pengorbanan dan keteguhan
hati yang ditunjukkan oleh Sumayyah bersama rekan-rekan seperjuangannya pada
hari-hari yang bersejarah itu.
Cukuplah kita sebutkan sekarang—tanpa
berlebih-lebihan—bahwa Sumayyah yang gugur syahid itu telah menunjukkan sikap
dan pendirian tangguh. Sejak awal hingga akhir, ia telah membuktikan kepada
manusia suatu kemuliaan yang tidak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya
tidak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya sebagai seorang bunda
kandung bagi orang-orang beriman setiap zaman, dan sebagai orang-orang mulia
sepanjang masa.
Rasulullah tidak lupa mengunjungi
tempat-tempat yang diketahuinya sebagai ladang penyiksaan bagi keluarga Yasir.
Ketika itu tidak suatu pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan
mempertahankan diri. Hal itu memang telah menjadi kehendak Allah.
Agama baru, yakni agama Nabi Ibrahim yang
lurus dan panji-panjinya hendak dikibarkan oleh Muhammad itu, bukanlah suatu
gerakan reformasi dadakan dan temporer semata, melainkan suatu pedoman hidup
bagi manusia beriman. Manusia beriman ini pun harus mewarisi agama itu beserta
sejarahnya yang lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan, dan pengorbanan.
Pengorbanan mulia yang luar biasa ini
ibarat beton yang menguatkan agama dan akidah hingga menjadi keteguhan yang
tidak akan pernah lapuk dan kekekalan yang tidak pernah usang. Ia juga menjadi
teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati,
kebanggaan, dan kasih sayang. Ia adalah mercusuar yang akan menjadi pedoman
bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat, kebenaran, dan
kebesaran agama. Jadi, memang harus ada korban dan pengorbanan dalam agama Islam.
Makna ini telah dijelaskan oleh Allah
melalui Al-Qur’an kepada kaum Muslimin, bukan hanya pada satu atau dua ayat.
Allah berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ
أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 2
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 2
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ
تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ
وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata
orang-orang yang sabar.
QS:Ali Imran | Ayat: 142
QS:Ali Imran | Ayat: 142
وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِينَ
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 3
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 3
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ
تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَلَمْ
يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً ۚ
وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah
belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan
tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
QS:At-Taubah | Ayat: 3
مَا كَانَ اللَّهُ
لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ
مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ
اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ
وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk
(munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan
kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang
dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala
yang besar.
QS:Ali Imran | Ayat: 179
QS:Ali Imran | Ayat: 179
وَمَا أَصَابَكُمْ
يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ
Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan,
maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah
mengetahui siapa orang-orang yang beriman.
QS:Ali Imran | Ayat: 166
QS:Ali Imran | Ayat: 166
Seperti itulah Al-Qur’an mendidik putra
dan para pendukungnya bahwa pengorbanan merupakan esensi dan inti keimanan, dan
bahwa kepahlawanan menghadapi kekejaman dan kekerasan dihadapi dengan
kesabaran, keteguhan, dan pantang mundur, niscaya membentuk keutamaan iman yang
cemerlang dan mengagumkan. Karena itu, saat sedang meletakkan dasar,
memancangkan tiang, dan mengemukakan model panutan, agama Allah ini memperkokoh
diri dengan pengorbanan dan membersihkan jiwa dengan tebusan, maka untuk
kepentingan mulia ini terpilihlah beberapa orang putra, para pemuka, dan tokoh-tokoh
utamanya untuk menjadi panutan sempurna serta teladan istimewa bagi orang-orang
beriman yang menyusul kemudian.
Sumayyah, Yasir, dan Ammar masuk dalam
golongan yang diberkahi ini, menjadi orang terpilih dalam agama ini untuk
memberikan pengorbanan, ketekunan dan keuletan sebagai pengisi lembaran
kebesaran dan keabadian Islam. Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa setiap
hari Rasulullah berkunjung ke tempat penyiksaan keluarga Yasir, mengagumi
ketabahan dan kepahlawanannya, sementara hati beliau yang mulia bagaikan hancur
karena rasa kasihan saat menyaksikan mereka menerima siksa di luar batas
kemanusiaan.
Suatu hari, ketika Rasulullah mengunjungi
mereka, Ammar memanggilnya, “Wahai Rasulullah, siksa yang kami
derita telah mencapai puncaknya.”
Rasulullah pun bersabda, “Bersabarlah, wahai Abu Al-Yaqzhan.
Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah
surga.”
Siksaan yang dialami oleh Ammar dilukiskan
oleh para shahabat dalam beberapa riwayat. Amr bin Al-Hakam menuturkan, “Ammar
disiksa hingga tidak menyadari apa yang diucapkannya.” Sementara itu, Amr bin Maimun mengatakan, “Orang-orang
musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Rasulullah lewat di tempatnya lalu
memegang kepalanya dengan tangan beliau sambil bersabda, ‘Wahai api,
mendinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ammar, sebagaimana dulu kamu
mendingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.’.”
Meski sebesar itu siksaan yang dialami,
Ammar tetap tidak berubah. Ia tetap teguh meski derita telah menekan punggung
dan menguras tenaganya. Puncak siksaan yang membuatnya benar-benar seperti
binasa adalah ketika suatu hari tukang-tukang cambuk dan para algojo
menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya.
Mereka membakarnya dengan besi panas, menyalibnya di atas pasir panas dengan
ditindih batu laksana bara merah, bahkan mereka menenggelamkannya ke dalam air
hingga sulit bernafas dan kulitnya yang penuh dengan luka mengelupas.
Pada hari tersebut, ia telah tidak tersadarkan
diri lagi karena siksaan yang demikian berat dan saat itulah orang-orang
Quraish mengatakan kepadanya, “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!” kemudian, mereka pun menuntunnya untuk
mengucapkan kata-kata pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa
yang diucapkannya.
Ketika ia siuman sebentar akibat
dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar atas apa yang telah diucapkannnya.
Hatinya gundah dan terbayang di ruang matanya betapa besarnya kesalahan yang
telah dilakukannya, yang tidak dapat ditebus dan diampuni lagi. Saat itu juga,
ia dihantui oleh perasaan bersalah yang lebih menyiksa dirinya daripada siksaan
yang ia terima dari orang-orang musyrik sebelumnya karena siksaan mereka itu
tidak lebih daripada kenikmatan. Seandainya ia dibiarkan dalam tekanan perasaan
dosa itu beberapa jam saja, rasa bersalah itu niscaya akan membawa ajalnya.
Ammar dapat bertahan menanggungkan semua
siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, karena jiwanya sedang berada pada kondisi
puncak keimanan. Namun, sekarang ini, jiwanya yang merasa telah menyerah kalah,
duka cita dan kekecewaannya hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan
nyawanya. Tetapi, kehendak Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah
memutuskan agar peristiwa mengharukan itu berkesudahan dengan akhir yang sangat
luhur.
Tangan wahyu yang penuh berkah pun
menjabat tangan Ammar, dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya, “Bangunlah,
wahai pahlawan, tidak ada penyesalan atasmu dan tidak ada cacat.” Ketika Rasulullah menemui shahabatnya itu sedang
dalam kondisi menangis, beliau mengusap air mata itu dengan tangan beliau
seraya bersabda, “Orang-orang kafir itu telah menyiksamu
dan menenggelamkanmu dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?”
“Benar, wahai
Rasulullah.” Jawab Ammar sambil
meratap.
Rasulullah bersabda sambil tersenyum, “Jika
mereka memaksamu lagi, tidak mengapa engkau mengucapkan seperti apa yang engkau
katakana tadi.” Setelah itu,
Rasulullah membacakan kepadanya ayat yang mulia:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ
مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ
مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar.
QS:An-Nahl | Ayat: 106
QS:An-Nahl | Ayat: 106
Ammar kembali diliputi oleh ketenangan.
Siksaannya yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa
juga yang akan terjadi, terjadilah. Ia tidak akan peduli. Hatinya berbahagia,
keimanannya di pihak yang menang. Ucapan yang dikeluarkan secara paksa itu
dijamin bebas oleh Allah melalui Al-Qur’an, sehingga tidak ada lagi yang perlu
dirisaukan.
Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu
dengan ketabahan yang luar biasa, hingga orang-orang yang menyiksanya merasa
lelah dan bosan. Mereka bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang sangat
kokoh.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, kaum
Muslimin tinggal bersama beliau di sana dan tidak lama kemudian masyarakat
Islam terbentuk dan barisan mereka menjadi sempurna. Di tengah-tengah
masyarakat Islam yang beriman ini, Ammar mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan
ketakwaan Ammar kepada para shahabat. Rasulullah bersabda, “Ammar
dipenuhi dengan keimanan sampai ke tulang punggungnya.”
Ketika terjadi perselisihan antara Khalid
bin Walid dan Ammar, Rasulullah bersabda, “Siapa yang
memusuhi Ammar, ia akan memusuhi Allah, dan siapa yang membenci Ammar, ia akan
membenci Allah.” Tidak ada
pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain mendatangi Ammar
untuk mangakui kekhilafannya dan meminta maaf.
Ketika Rasulullah bersama para shahabat
mendirikan masjid di Madinah, yakni pada awal hijrah beliau ke sana, Ali
mengubah sebuah bait syair yang didendang berulang-ulang dan diikuti oleh kaum
Muslimin yang sedang bekerja itu:
“Orang yang
memakmurkan masjid nilainya tidak sama
Selalu bekerja dalam keadaan duduk maupun berdiri
Sedangkan pemalas lari menghindar tertidur di sana.”
Waktu itu Ammar sedang bekerja di salah
satu sisi bangunan. Ia juga turut berdendang dan mengulang-ulang bait syair
itu dengan nada tinggi. Salah seorang menyangka bahwa Ammar bermaksud
menonjolkan dirinya dengan nyanyian itu, hingga di antara mereka terjadi
pertengkaran dan keluar kata-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu,
Rasulullah murka dan bersabda, “Apa maksud mereka terhadap Ammar? Ia
menyeru mereka ke surga, sedangkan mereka hendak mengajaknya ke neraka.
Sungguh, Ammar tak ubahnya seperti diriku sendiri.”
Jika
Rasulullah telah menyatakan perasaan sayangnya terhadap seorang Muslim
sedemikian rupa, dapat dipastikan keimanan, kecintaan dan jasa orang itu
terhadap Islam. Kebesaran jiwa, ketulusan hati, serta keluhuran budinya telah
mencapai batas dan puncak kesempurnaan.
Demikian halnya Ammar. Berkat nikmat dan
petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada Ammar ganjaran setimpal, dan
menilai takaran kebaikannya secara penuh. Berkat tingkatan petunjuk dan
keyakinan yang telah dicapainya itu, Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan
mengangkat dirinya sebagai teladan bagi para shahabat. Beliau bersabda, “Ikutilah
Abu Bakar dan Umar setelah kematianku nanti, dan ambillah petunjuk Ammar
sebagai pelajaran.”
Mengenai perawakannya, para ahli riwayat
melukiskan bahwa ia bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang
biru. Ia sangat pendiam dan tidak suka banyak bicara. Bagaimanakah kehidupan
seorang pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh
dengan bekas-bekas siksaan kejam ini, dan pada waktu yang bersamaan jiwanya
telah ditimpa ketabahan yang sangat mengagumkan dan kebesaran yang luar biasa?
Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur, mukmin
yang tulus, serta pejuang yang berani mati itu?
Ammar telah berjuang bersama Rasulullah
yang merupakan gurunya dalam semua perjuangan bersenjata, baik Badar, Uhud,
Khandaq, Tabuk, maupun pertempuran lainnya. Ketika Rasulullah pergi
mendahuluinya untuk pergi ke Ar-Rafiq A-A’la, sosok yang berjiwa besar ini
tetap melanjutkan perjuangannya. Saat kaum Muslimin berhadap-hadapan dengan
kaum Persia dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad,
Ammar selalu berada di barisan pertama, sebagai seorang prajurit gagah perkasa
dengan tebasan pedangnya yang tidak pernah meleset. Sebagai seorang Mukmin
yyang saleh dan mulia, tidak seorang pun dapat menghalanginya dalam mencapai
ridha Allah.
Ketika Amirul Mukminin Umar memilih
calon-calon pemimpin kaum Muslimin di beberapa negeri secara cermat dan hati-hati,
mata Umar tertuju dan tidak ingin beralih dari Ammar bin Yasir. Ia segera
menemui dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas’ud sebagai
pengelola Baitul Mal. Umar menulis sepucuk surat berisi berita gembira kepada
penduduk Kufah atas pengangkatan pemimpin negeri baru itu. Umar mengatakan, “Saya
mengirimkan kepada kalian Ammar bin Yasir sebagai gubernur, dan Ibnu Mas’ud
sebagai guru penasihat. Mereka berdua adalah orang pilihan dari golongan
shahabat Muhammad dan termasuk pahlawan Badar.”
Dalam melaksanakan pemerintahan, Ammar
mengharapkan regulasi yang rupanya tidak dapat ditembus oleh orang-orang yang
rakus terhadap dunia, hingga mereka mengadakan—atau hampir
mengadakan—persekongkolan terhadap dirinya. Pangkat dan jabatannya itu tidak
menambah, kecuali kesalehan, kezuhudan, dan kerendahan hatinya, salah seorang
yang hidup semasanya di Kufah, Ibnu Abil Hudzail menuturkan, “Saya
melihat Ammar bin Yasir, kala menjadi gubernur di Kufah, membeli sayuran di
pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, kemudian
membawanya pulang.”
Salah seorang dari kalangan awam berkata
kepada kepadanya sewaktu ia menjadi gubernur di Kufah, “Wahai
orang yang telinganya terpotong!”
ia menghinanya dengan menyebut telinga yang putus ketika menghadapi orang-orang
murtad di pertempuran Yamamah. Namun, jawaban gubernur yang memegang tampuk
kekuasaan itu tidak lebih dari ungkapan, “Engkau telah
menghina telingaku yang terbaik, karena ia ditimpa musibah waktu perang di
jalan Allah.” Telinga Ammar
memang terputus dalam Perang Ymamah, yang merupakan salah satu di antara
hari-hari gemilang bagi Ammar. Sosok berjiwa besar ini maju bagaikan angin
topan dan menyerbu barisan tentara Musailamah Al-Kadzab hingga mampu
melumpuhkan kekuasaan musuh.
Ketika ia melihat gerakan kaum Muslimin
mengendur, ia segera membangkitkan semangat mereka dengan seruannya yang
lantang, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas
dari busurnya. Abdullah bin Umar yang menceritakan peristiwa itu menuturkan, “Pada
Perang Yamamah, aku melihat Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia
berdiri sambil berseru, ‘Wahai kaum Muslimin, apakah kalian hendak lari dari
surga? Inilah saya Ammar bin Yasir, kemarilah kalian!’ ketika aku melihat dan
memperhatikannya, ternyata salah satu telinganya putus berayun-ayun, sedangkan
ia berperang dengan sangat sengitnya.”
Orang yang masih meragukan kebesaran
Muhammad, seorang Rasul yang benar dan guru yang sempurna, hendaknya berdiri
sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan
shahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya, “Siapakah
yang mampu melahirkan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang utusan
yang mulia dan guru yang agung?”
ketika mereka terjun ke suatu medan perjuangan di jalan Allah, mereka pasti
maju ke depan bagaikan perang yang hendak mencari kematian, dan bukan bertarung
karena menginginkan kemenangan.
Jika mereka menjadi Khalifah dan hakim
pengadilan, mereka tidak akan keberatan memerah susu untuk wanita janda tua atau
membuat adonan tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagaimana dilakukan oleh
Abu Bakar dan Umar. Jika mereka menjadi pembesar, mereka tidak akan malu dan
merasa segan untuk memikul makanan yang diikat dengan tali di atas punggung
mereka, seperti yang kita saksikan pada Ammar. Mereka juga tidak akan ragu
untuk menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi untuk membuat bakul dari
anyaman daun kurma, seperti yang dilakukan oleh Salman.
Mari kita renungkan dan menundukkan kepala,
sebagai penghargaan dan penghormatan untuk agama yang telah mengajari mereka
semua, dan untuk Rasulullah yang telah mendidik mereka. Dan sebelum
penghormatan untuk agama serta Rasulullah itu, persembahkanlah pujian kepada
Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang telah memilih mereka untuk semua
ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik umat yang pernah
dilahirkan untuk menjadi teladan bagi seluruh manusia.
Ketika Abu Hudzaifah bin Al-Yaman yang
ahli tentang bahasa hati dan bisikan nurani itu sedang berkemas-kemas untuk
menghadapi panggilan Ilahi dan menghadapi sakaratul mautnya. Rekan-rekannya
yang sedang berkumpul di sekelilingnya menanyakan kepadanya, “Siapakah
yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara umat?” sambil mengucapkan kata-kata terakhir,
Hudzaifah menjawab, “Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah,
karena sampai matinya ia tidak hendak berpisah dengan kebenaran.”
Benar, Ammar akan tetap mengikuti
kebenaran itu ke mana saja perginya. Dan sekarang ini kita sedang menyelusuri
jejak langkahnya, dan menyelidiki peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupannya. Marilah kita pergi untuk menyaksikan suatu peristiwa besar.
Namun, sebelum kita memperhatikan kejadian yang mempesona dan sangat mengharukan
itu, baik tentang keutamaan, kesempurnaan, kemampuan, keunggulan, kegigihan,
maupun kesungguhannya, sebaiknya kita perhatikan lebih dulu suatu peristiwa
lain yang terjadi sebelumnya.
Rasulullah mengungkapkan peristiwa yang
akan menimpa Ammar di kemudian hari. Hal ini terjadi tidak lama setelah
menetapnya kaum Muslimin di Madinah. Rasul Al-Amin yang dibantu oleh
shahabat-shahabatnya yang budiman sibuk dalam membaktikan diri kepada Rabb
mereka, membina dan mendirikan masjid-Nya. Hati yang beriman dipenuhi dengan
kegembiraan dan sinar harapan menyampaikan puji dan syukur kepada Allah.
Semua bekerja dengan riang dan gembira,
semua mengangkat batu, mangaduk pasir dengan kapur atau mendirikan tembok,
sekelompok di sini dan sekelompok lagi di sana, sedangkan cakrawala bahagia
bergema dipenuhi senandung mereka yang dikumandangkan dengan suara merdu, “Bila
kita hanya duduk berpangku tangan, sedangkan Nabi sibuk bekerja, tentu kita
telah melakukan perbuatan yang sesat.”
Sementara itu, sekelompok lain menyanyikan
senandung:
“Ya Allah,
tidak ada kehidupan sejati selain kehidupan akhirat
Sayangilah kaum Anshar dan Muhajirin.”
Sementara itu terdengar pula senandung
ketiga:
“Tidak sama
antara orang yang memakmurkan masjid
Bekerja, baik saat berdiri maupun duduk
Dengan yang menyingkir dan berpangku tangan.”
Mereka tak ubahnya bagai anai-anai yang
sedang sibuk bekerja demi Allah, bahkan mereka adalah tentara Allah yang
memanggul bendera-Nya dan meninggikan bangunan-Nya. Sementara itu, Rasulullah
yang mulia lagi terpercaya tidak terpisah dari mereka, ikut mengangkat batu
yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sulit.
Alunan suara mereka yang sedang berdendang
melukiskan kegembiraan yang tulus dan hati yang pasrah. Langit tempat mereka
bernaung merasa bangga terhadap bumi tempat mereka berpijak. Kehidupan penuh
dengan gairah dengan pesta yang paling meriah.
Di tengah-tengah khalayak ramai yang
sedang hilir mudik itu, Ammar bin Yasir kelihatan sedang mengangkat batu besar
dari tempat pengambilannya ke tempat peletakannya. Tiba-tiba Rasulullah
melihatnya, dan rasa belas kasihan telah mendorong beliau untuk mendekatinya, dan
setelah berhadap-hadapan, tangan beliau yang penuh berkah itu mengipaskan debu
yang menutupi kepala Ammar lalu dengan pandangan yang dipenuhi cahaya Ilahi,
beliau mengamati wajah yang beriman dan diliputi keimanan itu. Kemudian, beliau
bersabda di hadapan semua shahabat, “Aduhai Ibnu Sumayyah, engkau akan
dibunuh oleh golongan yang melampaui batas.”
Sabda tersebut diulangi oleh Rasulullah
sekali lagi dan waktu itu bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat
Ammar bekerja, hingga sebagian shahabat menyangka bahwa ia tewas yang
menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu. Para shahabat terkejut dan
menjadi rebut karenanya, tetapi dengan nada yang menenangkan dan penuh
kepastian, Rasulullah bersabda, “Tidak, Amar tidak apa-apa, hanya saja
nanti ia akan dibunuh oleh golongan yang melampaui batas.”
Siapakah gerangan yang dimaksud dengan
golongan yang melampaui batas itu? Kapankah itu terjadi dan bagaimana
prosesnya? Ammar mendengarkan sabda tersebut dan meyakini kebenaran pandangan
jauh yang disingkap oleh Rasul yang utama tersebut. Tetapi, ia tidak merasa
gentar, karena sejak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut
dan syahid setiap detik, baik siang maupun malam.
Hari demi hari terus berganti, tahun demi
tahun terus berputar. Rasulullah telah kembali ke tempat tertinggi, disusul
oleh Abu Bakar, lalu Umar pergi mengiringi menghadap keridhaan Ilahi. Setelah
itu, kekhalifahan dipegang oleh Dzun Nurain, Utsman bin Affan. Sementara itu,
musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah berusaha menebus kekalahannya di
medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah.
Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama
yang dicapai ole persekongkolan jahat, yang gerakannya menyusup ke Madinah
bagai angin panas, dan bergerak dari negeri kerajaan dan singgasananya telah
dibebaskan oleh umat Islam. Keberhasilan upaya mereka dalam membunuh Umar
rupanya membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkan misi jahat.
Mereka menyebarkan fitnah dan menyalakan apinya ke sebagian besar negeri Islam.
Utsman bisa jadi tidak melihat gelagat jahat tersebut, sehingga persekongkolan
itu pun menargetkan dirinya, hingga menyebabkan Utsman gugur syahid dan pintu
fitnah pun terbuka dan melanda kaum Muslimin.
Mu’aawiyah bangkit untuk mendapatkan
jabatan khalifah dari tangan khalifah Ali yang baru diangkat dan dibaiat.
Pendirian shahabat pun bermacam-macam; ada yang menghindar dan mengunci dirinya
di rumahnya, dengan mengambil ucapan Ibnu Umar sebagai semboyannya, “Siapa
yang menyerukan: marilah salat, saya penuhi. Dan siapa yang mengatakan: marilah
menuju kemenangan, saya turuti. Tetapi, siapa yang mengatakan: marilah membunuh
saudaramu semuslim dan mari rampas harta bendanya, saya jawab, ‘Tidak’.” Di antara mereka ada yang berpihak kepada
Mu’awiyah. Ada pula yang berdiri mendampingi Ali, mambaiat dan menganggap sah
pengangkatannya sebagai khalifah kaum Muslimin.
Tahukah anda, di pihak mana Ammar berdiri
waktu itu? Di pihak siapakah keberpihakan lelaki yang mengenai dirinya
Rasulullah pernah bersabda, “Dan ambillah olehmu petunjuk Ammar
sebagai bimbingan”?
bagaimanakah pendirian orang yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda,
“Barang siapa memusuhi Ammar, ia akan dimusuhi
oleh Allah” ini? Ia adalah
sosok yang bila suaranya kedengaran mendekat ke rumah Rasulullah, beliau segera
menyambutnya dengan sabda, “Selamat datang untuk orang baik dan
diterima dengan baik, izinkanlah ia masuk!”
Ternyata, ia berdiri membela Ali bin Abu
Thalib, tetapi bukan karena fanatic atau berpihak kepadanya, melainkan karena
tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji. Ali adalah khalifah kaum
Muslimin, yang berhak menerima baiat sebagai pemimpin umat. Ia menerima
kekhalifahan itu karena Ali memang berhak untuk itu dan layak untuk
menjabatnya. Baik sebelum maupun sesudah ini, Ali memiliki keutamaan yang
menjadikan kedudukannya di sisi Rasul tidak ubahnya bagai kedudukan Harun di
sisi Musa.
Dengan pandangan cahaya hati nurani dan
ketulusannya, Ammar selalu mengikuti kebenaran ke mana pun juga perginya. Ia
dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini. Menurut
keyakinannya, tidak seorang pun berhak atas hal ini pada saat itu selain Ali,
sehingga ia berdiri di sampingnya. Ali sendiri merasa gembira atas dukungan
yang diberikannya itu, bahkan mungkin tidak ada kegembiraan yang lebih besar
daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak yang benar kian
bertambah, yakni selama tokoh utama pecinta kebenaran, Ammar, datang kepadanya
dan berdiri di sisinya.
Akhirnya Perang Shiffin yang mengerikan
itu pun meletus. Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan
pembangkangan atau pemberontakan. Ammar ikut bersamanya, yang waktu itu usianya
telah mencapai 93 tahun.
Apakah orang berusia 93 tahun masih pantas
pergi ke medan juang? Tentu saja, selama menurut keyakinannya peperangan itu
menjadi tugas dan kewajibannya. Bahkan, ia melakukannya lebih semangat dan
dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang yang berusia 30 tahun. Tokoh yang
pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya,
kecuali mengucapkan permohonan perlindungan, “Aku
berlindung kepada Allah dari fitnah. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah.”
Tak lama setelah Rasulullah wafat,
kata-kata ini merupakan doa yang selalu membasahi bibirnya. Setiap hari ia
selalu memperbanyak doa dan memohon perlindungan Allah dari fitnah tersebut,
seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan
menghampiri juga.
Tatkala bahaya itu tiba dan fitnah
merajalela, Ibnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Pada hari
perang Shiffin, meski kita telah sebutkan usianya telah mencapai 93 tahun, ia
bangkit untuk menghunuskan pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut
keimanannya harus dipertahankan.
Pandangan terhadap pertempuran ini telah
dinyatakan dengan ungkapan,
“Wahai umat manusia, marilah kita
berangkat menuju kelompok yang mengaku-ngaku hendak menuntut beka bagi Utsman.
Demi Allah, maksud mereka bukanlah hendak menuntut bela, melainkan karena telah
merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya. Mereka mengetahui
bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka.
Mereka bukan orang-orang terdahulu memeluk Islam yang berhak untuk
ditaati oleh kaum Muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula
dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong
mereka untuk mengikuti kebenaran. Mereka telah menipu orang banyak dengan
mengakui hendak menuntut bela atas kematian Utsman, padahal tujuan mereka yang
sesungguhnya ialah hendak menjadi tiran dan penguasa.”
Ia kemudian mengambil bendera dengan
tangannya, lalu mengibarkannya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, “Demi
Dzat yang menguasai nyawaku, aku telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini
bersama Rasulullah, dan inilah aku siap berperang dengan mengibarkannya ini.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya mereka menggempur dan
menyerbu hingga berhasil mencapai kubu pertahanan kita, aku tahu pasti bahwa
kita berada di pihak yang benar, dan bahwa mereka di pihak yang salah.”
Orang-orang mengikuti Ammar karena mereka
percaya kebenaran ucapannya. Abu Abdirrahman As-Sulami berkata, “Kami
ikut serta dengan Ali di pertempuran Shiffin, maka saya melihat setiap Ammar
bin Yasir menyerbu ke sesuatu sasaran atau turun ke sesuatu lembah, para
Shahabat Rasulullah pun mengikutinya. Ia tidak ubahnya bagai panji-panji bagi
mereka.”
Ammar menerjang dan menyusup ke medan
juang. Ia yakin akan menjadi salah seorang syuhadanya. Ramalan Rasulullah
terang terpampang di depan matanya dengan huruf-huruf yang besar, “AMMAR
AKAN DIBUNUH OLEH GOLONGAN YANG MELAMPAUI BATAS.” Karena itu, suaranya bergema di seluruh medan
perang dengan senandung ini, “Hari ini aku akan berjumpa dengan
kekasih tercinta. Muhammad dan para shahabatnya.”
Kemudian bagai sebuah peluru yang dahsyat
ia menyerbu ke arah Mu’awiyah dan orang-orang di sekelilingnya dari golongan
Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring dan menggetarkan:
“Dahulu kami
memerangi kalian atas dasar perintah Al-Qur’an
Kini kami memerangi kalian lagi atas dasar penafsiran Al-Qur’an
Tebasan maut menghentikan niat jahat dan memisahkan kawanan pengkhianat
Agar kebenaran berjalan kembali pada relnya.”
Maksud Ammar dengan syairnya itu, bahwa
para shahabat yang terdahulu, dan Ammar termasuk salah seorang di antara
mereka, telah memerangi Bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan, ayah
Mu’awiyah, pemanggul panji-panji syirik dan pemimpin tentara musyrikin. Para
shahabat memerangi orang-orang itu karena secara jelas Al-Qur’an turun dengan
perintah itu disebabkan mereka adalah orang-orang musyrik. Nah, sekarang di
bawah pimpinan Mu’awiyah, walaupun mereka telah menganut Islam dan meskipun
Al-Qur’an Al-Karim tidak menitahkan secara tegas memerangi mereka. Namun,
menurut ijtihad Ammar dalam penyelidikannya mengenai kebenaran dan pemahamannya
terhadap maksud dan tujuan Al-Qur’an, ia meyakinkan dirinya akan keharusan
memerangi mereka, agar barang yang dirampas itu kembali kepada pemiliknya,
serta api fitnah dan pemberontakan itu dapat dipadamkan untuk selama-lamanya.
Bisa juga diartikan bahwa dulu mereka
memerangi orang-orang Bani Umayyah karena mereka kafir kepada Islam dan
Al-Qur’an. Sekarang, mereka memerangi orang-orang itu karena menyelewengkan
Islam, manyimpang dari ajaran Al-Qur’an yang mulia, mengacaukan takwil dan
tafsirnya, dan hendak menyesuaikan tujuan ayat-ayatnya dengan kemauan dan
keinginan mereka pribadi. Karena itulah, tokoh tua yang berusia 93 tahun ini
menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang agung. Sebelum wafat, ia hendak
menanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran, dan
mewariskan contoh perjuangannya yang besar dan mulia, yang menimbulkan kesan
yang mendalam.
Orang-orang dari pihak Mu’awiyah berupaya
sekuat tenaga untuk menghindari Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan
kematiannya hingga nyata bagi manusia bahwa merekalah golongan yang melampaui
batas itu. Tetapi, keberanian Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan
tentara, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Sebagian dari anak
buah Mu’awiyah menanti kesempatan untuk membunuhnya, dan ketika kesempatan itu
datang, mereka pun menikamnya.
Sebagian besar tentara Mu’awiyah terdiri
dari orang-orang yang baru saja masuk Islam, yakni orang-orang yang menganutnya
tidak lama setelah genderang kemenangan atas kebanyakan negeri yang dibebaskan
Islam bergema, baik dari kekuasaan Romawi maupun dari penjajahan Persia. Mereka
inilah sebenarnya yang menjadi biang keladi dan menyalakan api perang saudara
yang dimulai oleh pembangkangan Mu’awiyah dan penolakannya untuk mengakui Ali
sebagai khalifah dan imam. Jadi, mereka inilah yang bagaikan kayu bakar
menyalakan apinya hingga jadi besar dan menggejolak.
Bagaimanapun gentingnya pertikaian ini, mestinya
dapat diselesaikan dengan jalan damai, andai saja persoalan tersebut berada
dalam kendali kaum Muslimin generasi awal. Namun, perselisihan tersebut
meruncing karena jatuh ke tangan tokoh-tokoh kotor yang tidak peduli terhadap
nasib Islam hingga api kian menyala dan tambah berkobar.
Berita tewasnya Ammar segera tersebar dan
ramalan Rasulullah yang didengar oleh semua shahabatnya ketika mereka sedang
membangun masjid di Madinah pada masa yang telah jauh sebelumnya, berpindah
dari mulut ke mulut, “Aduhai Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh
golongan yang melampaui batas.”
Dengan demikian, sekarang orang-orang tahu siapa kiranya golongan yang
melampaui batas itu, yakni golongan yang membunuh Ammar, yang tidak lain dari
pihak Mu’awiyah.
Dengan kematian Ammar tersebut, keimanan
para pengikut Ali semakin bertambah, sedangkan di pihak Mu’awiyah keraguan
mulai menyusup ke dalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia hendak
memisahkan diri dan bergabung ke pihak Ali. Mu’awiyah sendiri yang ketika mendengar
peristiwa yang telah terjadi, ia segera keluar mendapatkan orang-orang dan
meyatakan kepada mereka bahwa ramalan itu benar adanya, dan Rasulullah
benar-benar telah meramalkan bahwa Ammar akan dibunuh oleh golongan
pemberontak. Tetapi, siapakah yang telah membunuhnya itu?
Kepada orang-orang di sekelilingnya, ia
berseru, “Yang membunuh Ammar ialah orang-orang yang
keluar bersama dari rumahnya dan membawanya pergi berperang.” Takwil yang dicari-cari ini berhasil
mengelabui orang-orang yang memendam maksud tertentu dalam hatinya, sehingga
pertempuran kembali berkobar sampai saat yang telah ditentukan.
Adapun Ammar, ia dipangku oleh Ali ke
tempat ia manshalatkannya bersama kaum Muslimin, lalu dimakamkan dengan
pakaiannya. Ia dimakamkan dengan pakaiannya yang dilumuri oleh darahnya yang
bersih suci, sebab tidak satu pun kain sutera atau beludru dunia yang layak
untuk menjadi kain kafan bagi seorang syahid mulia, seorang yang suci dan utama
setingkat Ammar.
Kaum Muslimin pun berdiri di kuburnya dengan
penuh ketakjuban. Beberapa saat yang lalu, Ammar berdendang di depan mereka di
medan perang, hatinya penuh dengan kegembiraan. Bagai seorang perantau yang
merindukan kampung halaman, sedang dalam perjalanan pulang. Mulutnya
melambaikan seruan, “Hari ini aku akan berjumpa dengan para
kekasih tercinta; dangan Muhammad dan para shahabatnya.”
Apakah Rasulullah dan para shahabatnya
memang sudah mempunyai satu hari yang mereka janjikan untuk bertemu dengan
Ammar dan tempat berjumpa yang ditunggu-tunggu? Para shahabat saling bertnya, “Apakah
engkau masih ingat sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk
dengan Rasulullah, dan tiba-tiba wajah beliau berseri-seri lalu bersabda,
‘Surga telah merindukan Ammar’?”
teman bicaranya menjawab, “Benar, dan waktu itu beliau juga
menyebutkan beberapa nama lain, di antarannya Ali, Salman, dan Bilal.”
Ini berarti surga benar-benar telah
merindukan Ammar. Bila demikian, berarti surga telah lama merindukannya, hanya
saja kerinduannya tertangguhkan karena Ammar masih harus menyelesaikan
kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya.
Kini tugas itu telah dilaksanakannya dan
dipenuhi dengan hati gembira. Jadi, sekarang sudah sepantasnya ia memenuhi
panggilan kerinduan yang memanggil dari haribaan surga. Kini telah tiba waktu
bagi Ammar untuk mengabulkan panggilan itu, karena tidak ada balasan kebaikan
kecuali kebaikan pula. Ia melemparkan tombaknya, dan setelah itu ia pergi
berlalu. Ketika tanah pusarannya telah didatarkan oleh para shahabat di atas
jasadnya, ruhnya yang mulia telah bersemayam di tempat bahagia, jauh di sana di
dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar