Rabu, 11 Desember 2013

Filled Under:

Abdullah bin Rawahah (Wahai Jiwa, Jika Engkau Tidak Gugur di Medan Juang, Engkau Tetap Akan Mati).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ketika Rasulullah sedang duduk di salah satu dataran tinggi Mekkah, menghadapi para utusan di Madinah, yang datang secara diam-diam tanpa sepengetahuan kaum Quraish. Mereka yang datang ini terdiri dari 12 orang utusan suku, yang kemudian dikenal dengan nama kaum Anshar. Mereka sedang dibaiat Rasulullah yang terkenal dengan sebutan Baiat Aqabah I. merekalah pembawa dan penyiar Islam pertama ke Madinah, dan baiat mereka membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang selanjutnya membawa kepesatan bagi agama Allah, yaitu Islam. Salah seorang dari utusan yang dibaiat Nabi itu adalah Abdullah bin Rawahah.

     Pada tahun berikutnya, Rasulullah membaiat lagi 73 orang Anshar dari penduduk Madinah pada Baiat Aqabah II. Ibnu Rawahah juga termasuk salah seorang utusan tang dibaiat itu.

     Setelah Rasulullah bersama para shahabat hijrah ke Madinah dan menetap di sana, Abdullah bin Rawahah merupakan orang yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela dan mengukuhkan sendi-sendi Islam. Dialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdullah bin Ubay, yang oleh penduduk Madinah memang telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana. Abdullah bin Ubay tidak kenal lelah untuk berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, usaha dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat digagalkan.

     Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang masih jarang ditemukan kepandaian baca tulis. Ia juga seorang penyair ulung, yang untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, ia membaktikan kemampuannya bersyair itu untuk kejayaan Islam. Rasulullah menyukai dan menikmati syair-syairnya. Beliau sering meminta kepadanya agar lebih tekun lagi membuat syair.

     Suatu hari, beliau duduk bersama para shahabat. Tiba-tiba, Abdullah bin Rawahah datang, lalu Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang engkau lakukan bila hendak mengucapkan syair?

     Abdullah menjawab, “Kurenungkan dahulu, kemudian baru kuucapkan.

     Sejurus kemudian, ia pun mengucapkan syairnya:

     Wahai Putra Hasyim yang baik, Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia

     Memberimu karunia yang tidak diberikan kepada orang lain

     Sungguh, aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu

     Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka

     Seandainya engkau bertanya dan memint pertolongan mereka

     Dalam memecahkan persoalan, mereka tidak akan menjawab atau membela

     Karena itu, Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang engkau bawa

     Sebagaimana Dia telah mengukuhkan dan member pertolongan kepada Musa.

     Mendengat itu Rasulullah menjadi gembira dan ridha kepadanya, lalu bersabda, “Dan semoga engkau dikaruniai keteguhan oleh Allah.

     Ketika Rasulullah sedang tawaf di Baitullah pada umrah qadha, Ibnu Rawahah berada di depan beliau sambil membaca syair:

     Ya Rabb, kalau bukan karena Engkau, niscaya kami tidak akan mendapat petunjuk

     Kami tidak akan bersedekah dan shalat

     Maka turunkanlah ketenangan kepada kami

     Dan teguhkanlah pendirian kami jika musuh datang menghadang

     Sesungguhnya, orang-orang yang telah berbuat aniaya terhadap kami,

     bila mereka membuat fitnah, kami akan meladeninya.

     Kaum Muslimin sering mengulang-ulang syair-syairnya yang indah. Penyair yang produktif ini sangat berduka ketika turun ayat Al-Qur’an yang mulia:

وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 224

     Tetapi, kedukaannya menjadi sirna ketika turun pula ayat lainnya:

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ
kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 227

     Ketika Islam harus terjun ke medan perang karena membela diri, Abdullah bin Rawahah tampil membawa pedangya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, dan Khaibar. Dalam semua peperangan itu ia selalu menjadikan bait-bait syair dan kasidahnya sebagai slogan perjuangan:

     Wahai jiwa, seandainya engkau tidak mati terbunuh, engkau pasti akan mati juga.

     Dalam setiap peperangan, ia selalu meneriakkan kepada orang-orang musyrik, “Menyingkirlah, wahai anak-anak kafir dari jalan-Nya. Menyingkirlah kalian, karena setiap kebaikan itu ada di tangan Rasul-Nya”.

     Pada Perang Mu’tah, Abdullah bin Rawahah menjadi panglima yang ketiga dalam pasukan Islam, sebagaimana telah kita ceritakan dalam riwayat Zaid dan Ja’far. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukan Islam yang akan beranhkat meninggalkan Madinah. Ia tegak sejenak lalu mengucapkan syairnya:

     Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengasih

     Pukulan yang menakutkan dan mencerai beraikan

     Atau tusukan dengan tombak di tanganku yang membuat musuh limbung

     Menembus dada dan jantung

     Hingga dikatakan, bila mereka melewati mayatku,

     “Wahai prajurit Islam yang dibimbing oleh Allah, Dia memang telah memimpinmu.”

     Benar, itulah cita-citanya dan tiada yang lain; pukulan pedang, tusukan tombak yang akan mengantarkan ke alam kesyahidan dan orang-orang yang beruntung.

     Tentara Islam bergerak maju ke medan Perang Mu’tah. Ketika orang-orang Islam telah dapat melihat pasukan musuh dari kejauhan, mereka memperkirakan jumlah tentara Romawi itu sekitar 200 ribu orang. Barisan tentara mereka seolah-olah tidak ada ujung akhir dan tidak terhitung banyaknya. Kaum Muslimin terdiam ketika melihat jumlah mereka sendiri yang sedikit.

     Sebagian di antara mereka berkata, “Sebaiknya, kita kirim kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar itu, agar kita mendapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju akan kita patuhi.

     Tetapi, Ibnu Rawahah bangkit di antara barisan pasukannya bagaikan fajar yang menyingsing dan berkata, “Wahai orang-orang, demi Allah, kita tidak berperang melawan musuh-musuh kita selain karena mempertahankan agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah. Karena itu majulah kalian! Karena itu adalah salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau kesyahidan.

     Kaum Muslimin yang sedikit jumlahnya, tapi besar kualitas imannya itu menyambut seruannya. Mereka berteriak, “Sungguh, demi Allah, apa yang dikatakan Ibnu Rawahah itu benar.

     Akhirnya, pasukan Islam terus bergerak ke tempat tujuannya, dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dan akan meghadapi musuh yang berjumlah 200 ribu orang yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada bandingannya. Kedua pasukan itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya, sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya. Komandan perang pertama, Zaid bin Haritsah, gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja’far bin Abu Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kebesaran, dan menyusul pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Kala itu ia memungut panji perang dari tangan kanan Ja’far, saat peperangan sudah mencapai puncaknya.

     Pasukan Islam yang kecil itu hampir saja tersapu musnah di antara pasukan-pasukan Romawi yang datang bergelombang laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius. Ketika bertempur sebagai seorang prajurit, Ibnu Rawahah menerjang ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu. Sekarang, setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, seolah-olah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya ketika ia membangkitkan seluruh semangat dan kekuatannya dan melenyapjan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:

     Aku telah bersumpah wahai diri, engkau harus turun ke medan laga

     Tapi, mengapa kulihat, engkau menolak surga

     Wahai diri, bila engkau tidak tewas terbunuh, engkau pasti mati

     Inilah kematian sejati yang sejak lama engkau nanti

     Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini

     Jika engkau ikuti jejak keduanya, engkau berada dalam petunjuk.

     Dua orang yang telah mendahuluinya mencapai kesyahidan adalah Zaid dan Ja’far.

     Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi. Kalau tidaklah takdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke surga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi, lonceng tanda berangkat sudah berdenting, yang memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai seorang syahid.

     Jasadnya jatuh terbujur di bumi, tetapi ruhnya yang suci tersenyum naik menghadap Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya seperti dalam senandungnya:

     Hingga dikatakan, bila mereka melewati mayatku,

     “Wahai prajurit perang yang dibimbing oleh Allah, Dia memang telah memimpinmu.”

     Benar, wahai Ibnu Rawahah. Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah.

     Saat pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ di Syam, Rasulullah sedang duduk beserta para shahabat di Madinah, sambil memperbincangkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkat wajahnya dengan mengedipkan kedua mata, untuk melepas air mata yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasih.

     Dengan pandangan haru yang tertuju ke wajah para shahabat, beliau bersabda, “Panji perang yang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur sambil membawa panji itu hingga ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji perang diambil oleh Ja’far, dan ia bertempur pula mempertahankan panji tersebut hingga gugur syahid pula.” Beliau berdiam sebentar, lalu meneruskan sabdanya, “Kemudian panji perang dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur membawa panji itu, sampai akhirnya ia pun gugur syahid.

     Kemudian Rasulullah diam sejenak, sementara mata beliau memancarkan cahaya kegembiraan, ketenteraman dan merinduan, lalu bersabda, “Mereka bertiga diangkat ke tempatku, ke surga.


     Perjalanan mana lagi yang lebih mulia daripada itu? Kesepakatan mana lagi yang lebih bahagia daripada itu? Mereka maju ke medan laga bersama-sama, dan naik ke surga bersama-sama pula. Penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenang jasa mereka yang abadi, ialah sabda Rasulullah yang berbunyi, “Mereka bertiga diangkat ke tempatku, ke surga.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf