بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Jangan heran, jarena anda sekarang
berhadapan di hadapan seorang manusia yang perawakan dan perilakunya mirip
dengan Rasulullah. Anda berada di depan seseorang yang telah diberi gelar oleh
Rasulullah sendiri sebagai Bapak Kaum Miskin. Anda berhadapan dengan seseorang
yang diberi gelar Si Bersayap Dua di Surga. Anda sedang bertatapan muka dengan
Si Burung Surga yang Selalu Berkicau. Siapakah dia? Itulah Ja’far bin Abu
Thalib, salah seorang pelopor Islam generasi awal yang memiliki saham besar
dalam menempa nurani kehidupan.
Ia datang kepada Rasulullah untuk menganut
Islam, dengan mengambil kedudukan tinggi di antara mereka yang lebih dulu
beriman. Istrinya, Asma’ binti Umais, juga menganut Islam pada hari yang sama.
Mereka berdua juga harus menerima penyiksaan dan penganiayaan yang mereka
hadapi dengan segala keberanian dan ketabahan.
Ketika itu Rasulullah pada waktu itu
memilih beberapa shahabat yang akan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), dan tanpa berpikir
panjang Ja’far bersama istrinya tampil mengajukan diri. Mereka berdua pun
hijrah dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Selama hijrah itu, mereka
berdua dikaruniai Allah tiga anak, yaitu Muhammad, Abdullah, dan Auf.
Selama di Habasyah, Ja’far bin Abu Thalib
tampil sebagai juru bicara yang lancar dan sopan, serta cocok menyandang nama
dan duta Islam. Hal itu karena Allah mengaruniakan nikmat yang paling agung
dalam wujud ketajaman mata hati, kecermelangan akal, kecerdasan jiwa, dan
kefasihan lidah. Bila pertempuran Mu’tah, yang akhirnya menghantarkan dirinya
menuju kesyahidan, dianggap sebagai pengalaman hidup yang terdahsyat, teragung,
dan tak terlupakan. Hari-hari ketika ia berdialog dengan Raja Najasyi tidak
kurang dahsyat dan mengesankan daripada itu, bahkan tidak kurang hebat nilai
dan kemuliaannya. Hari itu adalah hari istimewa dan penampilan yang memesona.
Peristiwa tersebut terjadi karena
hijrahnya kaum Muslimin di Habasyah, yang membuat kaum Quraish tidak pernah
senang dan tinggal diam, bahkan tindakan tersebut menambah kemarahan dan rasa
dengki mereka. Mereka sangat takut dan cemas bila kaum Muslimin di tempat yang
baru ini menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak. Bahkan,
seandainya kesemoatan berkembang dan bertambah kuat ini tidak sampai terjadi,
mereka tetap saja tidak merasa puas karena orang-orang Islam itu lepas dari
kendali dan terhindar dari penindasan mereka.
Kaum Muslimin tentu akan menetap di sana
dengan harapan dan masa depan yang gemilang, yang akan melegakan jiwa Muhammad,
dan lapangnya Islam. Karena itulah, para pemimpin kaum Quraish mengirimkan dua
orang utusan pilihan kepada Raja Najasyi, lengkap dengan membawa hadiah-hadiah
yang sangat berharga dari kaum Quraish. Kedua utusan ini menyampaikan harapan
Quraish agar Sang Raja mengusir kaum Muslimin yang hijrah meninggalkan
negerinya untuk mencari perlindungan tersebut dan menyerahkan nasib mereka
kepada kaum Quraish. Dua utusan yang datang itu ialah Abdullah bin Abu Rabi’ah
dan Amr bin Al-Ash, yang keduanya waktu itu belum masuk Islam.
Najasyi yang waktu itu bertakhta di
singgasana Habasyah, adalah seorang tokoh yang mempunyai iman yang kuat. Dalam
lubuk hatinya, ia menganut agama Nasrani secara murni, jauh dari penyelewengan
dan terhindar dari fanatic buta serta menutup diri. Nama baiknya telah tersebar
ke mana-mana, dan perjalanan hidupnya yang adil telah melampaui batas
negerinya. Oleh karena itu, Rasulullah memilih negerinya menjadi tempat hijrah
bagi shahabat-shahabatnya, dan karena ini pula kaum kafir Quraish merasa
khawatir seandainya maksud dan tipu muslihat mereka gagal dan tidak berhasil.
Karena itu, kedua utusannya dibekali sejumlah hadiah besar yang berharga untuk
uskup dan tokoh gereja di sana.
Para pemuka Quraish menasehati kedua utusannya
agar mereka jangan menghadap Raja Najasyi sebelum memberikan hadiah-hadiah yang
dibawa kepada Patrick dengan tujuan agar para pendeta itu merasa puas dan
berpihak kepada mereka, selain agar orang-orang itu mendukung tuntutan mereka
di hadapan raja nantinya. Kedua utusan itu pun sampailah ke tempat tujuan
mereka, Habasyah. Mereka menghadap para tokoh agama dengan membawa
hadiah-hadiah besar yang dibagi-bagikannya kepada mereka. Kemudian mereka juga
mengirim hadiah kepada raja.
Dua utusan tersebut terus-menerus
membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Keduanya berharap dengan
dukungan moral para pendeta itu, Raja Najasyi akan mengusir kaum Muslimin
keluar dari negerinya. Demikianlah, hari bagi kedua utusan itu untuk menghadap
raja sudah ditetapkan. Kaum Muskimin pun diundang untuk menghadapi dendam
kesumat Quraish yang masih saja bernafsu besar untuk melakukan muslihat keji
dan menimpakan siksaan kepada mereka.
Dengan wajah yang jernih berwibawa, dan
kerendahan hati yang penuh pesona, raja pun duduk di atas kursi kebesarannya
yang tinggi, dikelilingi oleh para tokoh gereja serta tokoh terdekat di
lingkungan istana. Di hadapannya, di ruangan yang luas, kaum Muslimin duduk
dengan tenang oleh ketenteraman dari Allah dan dilindungi oleh rahmat-Nya.
Kedua utusan kaum Quraish berdiri
mengulangi tuduhan mereka yang pernah mereka lontarkan terhadap kaum Muslimin
di hadapan Kaisar pada suatu pertemuan khusus yang disediakan oleh Kaisar
sebelum pertemuan besar yang menegangkan ini, “Baginda raja
yang mulia. Orang-orang bodoh ini telah menyasar ke negeri paduka. Mereka
meninggalkan agama nenek moyang, tetapi tidak pula hendak memasuki agama
paduka. Bahkan, mereka datang membawa agama baru yang mereka ciptakan dan tidak
pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka. Sungguh, kami telah diutus oleh
orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka,
paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan
orang-orang ini kepada kaumnya.”
Najasyi memalingkan mukanya ke arah kaum
Muslimin sambil melontarkan pertanyaan, “Agama apakah
itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tetapi tidak memandang
perlu pula kepada agama kami?”
Ja’far pun bangkit berdiri, untuk
menunaikan tugas yang telah dibebankan oleh rekan-rekannya sesama Muhajirin;
tugas yang telah mereka tetapkan dalam suatu rapat yang diadakan sebelum
pertemuan ini. Ia melepaskan pandangan ramah penuh kecintaan kepada Baginda
Raja yang telah berbuat baik menerima mereka.
Ja’far berkata, “Wahai
paduka yang mulia, kami dulu memang orang-orang yang bodoh. Kami menyembah
berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan-perbuatan keji, memutuskan
silaturahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berkelana. Orang kuat waktu itu
memakan yang lemah, hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada
kami dari kalangan kami.
Kami mengenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan, dan kemuliaan jiwanya.
Ia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya, dan
agar membuang jauh-jauh batu-batu dan berhala yang pernah kami sembah bersama
bapak-bapak kami dulu. Beliau menyuruh kami berbicara benar, menunaikan amanah,
manyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, dan menahan diri
dari pertumpahan darah serta semua yang dilarang Allah. Beliau melarang kami
berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim,
dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik.
Kemudian kami membenarkan dia dan kami beriman kepadanya, kami ikuti
dengan taat apa yang disampaikannya dari Rabbnya. Lalu kami beribadah kepada
Allah Yang Maha Esa dan kami tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Kami
mengharamkan apa yang diharamkan-Nya kepada kami, dan kami menghalalkan apa
yang dihalalkan-Nya untuk kami.
Karena itu semua, kaum kami memusuhi kami, dan mengganggu kami dari
agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan perbuatan-perbuatan
jahat yang yang pernah kami lakukan dulu. Ketika mereka memaksa, menganiaya,
mempersempit kehidupan, dan menghalangi kami dari agama kami, kami keluar
berhijrah ke negeri paduka dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka
dan terhindar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka.”
Ja’far mengucapkan kata-kata yang memesona
ini laksana cahaya fajar. Kata-kata itu membangkitkan perasaan dan keharuan
pada jiwa raja.
Sambil menoleh pada Ja’far, Raja bertanya,
“Apakah engkau membawa sesuatu yang diturunkan
atas Rasulmu itu?”
“Ya.” Jawab Ja’far.
“Bacakanlah
kepadaku!”
Ja’far langsung membacakan bagian dari
surat Maryam dengan irama indah dan kekhusyukan yang memikat. Mendengat itu,
Najasyi menangis dan para pendeta serta tokoh agama yang hadir pun ikut
menangis. Ketika air baginda yang mengalir deras itu telah berhenti, ia
berpaling kepada kedua utusan Quraish itu, seraya berkata, “Sesungguhnya
apa yang dibaca tadi yang dibawa oleh Isa berasal dari satu cahaya. Pergilah
kalian berdua! Demi Allah kami tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian!”
Pertemuan itu pun berakhir. Allah telah
menolong hamba-hamba-Nya dan menguatkan mereka, sedangkan kedua utusan Quraish
mendapat kekalahan yang hina. Tetapi, Amr bin Al-Ash adalah seorang yang lihai
dan cerdik membuat tipu muslihat licik. Ia tidak mau menyerah kalah begitu saja,
apalagi berputus asa. Ketika ia kembali bersama temannya ke tempat menginapnya,
ia terus menerus memutar otaknya untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya
berkata kepada temannya, “Demi Allah, besok aku akan kembali
menemui Najasyi. Aku akan menyampaikan kepada raja keterangan-keterangan yang
akan memukul kaum Muslimin dan membasmi kekokohan mereka.”
Temannya berkata, “Jangan
lakukan itu! Bukankah kita masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun
mereka berselisih paham dengan kita?”
Amr menjawab, “Demi Allah,
akan ku beritakan kepada Najasyi, bahwa mereka mendakwa Isa putra Maryam itu
sebagai manusia biasa seperti manusia yang lain.”
Itulah rupanya suatu tipu muslihat baru
yang telah diatur oleh utusan Quraish terhadap kaum Muslimin, untuk memojokkan
mereka ke sudut yang sempit, agar mereka jatuh ke lembah yang curam. Seandainya
orang Islam dengan terus-terang mengatakan bahwa Isa itu salah seorang hamba
Allah seperti manusia lainnya, hal ini pasti membangkitkan kemarahan dan
permusuhan dari raja dan tokoh agama setempat. Sebaliknya, jika mereka tidak
menganggap Isa sebagai manusia biasa, tentu ini menyebabkan mereka keluar dari
akidah agama mereka yang benar.
Paginya kedua utusan itu segera menghadap
raja, dan berkata kepadanya, “Wahai paduka, orang-orang Islam itu
telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa.” Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan
gempar. Bayangan kalimat yang singkat itu cukup mengguncangkan Najasyi dan para
pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi, untuk menanyai
bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Isa Al-Masih.
Kaum Muslimin menyadari bahwa aka nada
perdebatan baru. Mereka pun duduk berunding, dan akhirnya memperoleh kata
sepakat, untuk menyatakan yang benar saja, sebagaimana yang mereka dengar dari
Nabi mereka. Mereka tidak hendak menyimpang sedikit pun darinya, dan apa yang
akan terjadi biarlah terjadi.
Pertemuan baru pun diadakan. Najasyi
memulai percakapan dengan bertanya kepada Ja’far, “Bagaimana
pandangan kalian terhadap Isa?”
ja’far bangkit sekali lagi laksana mercusuar yang memancarkan sinar terang. Ia
menjawab, “Kami akan mengatakan tentang Isa sesuai dengan
keterangan yang dibawa oleh Nabi kami, Muhammad, bahwa ia adalah seorang hamba
Allah dan Rasul-Nya serta Kalimat-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh
dari-Nya.”
Najasyi bertepuk tangan tanda setuju,
seraya mengumumkan, memang begitulah yang dikatakan Al-Masih tentang dirinya.
Namun, di jajaran tokoh agama yang hadir di situ terjadi hiruk-pikuk,
seolah-olah memperlihatkan ketidaksetujuan mereka. Najasyi yang terpelajar lagi
beriman it uterus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang
Islam, “Silakan anda sekalian tinggal bebas di
negeriku. Siapa yang berani mencela dan menyakiti kalian, orang itu akan
mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.”
Kemudian Najasyi berpaling kepada
tokoh-tokoh terdekatnya, lalu sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke
arah kedua utusan kaum Quraish, ia berkata, “Kembalikanlah
hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini. Aku tidak membutuhkannya. Demi Allah,
Allah tidak pernah mengambil uang sogokan dariku kala Dia mengaruniakan takhta
ini kepadaku, sehingga aku pun tidak akan menerimanya dalam hal ini.”
Kedua utusan Quraish itu pun pergi keluar
meninggalkan tempat pertemuan dengan perasaan hina dan terpukul. Mereka segera
memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekkah. Kaum Muslimin di bawah
pimpinan Ja’far keluar dari tempat pertemuan itu, untuk memulai penghidupan
baru di tanah Habasyah; penghidupan yang aman tenteram, sebagaimana mereka
katakan, “Di negeri yang baik, dengan tetangga yang baik”, hingga akhirnya datang saatnya Allah
mengizinkan mereka kembali kepada Rasul mereka, kepada shahabat dan kampung
halaman mereka.
Ketika Rasulullah bersama kaum Muslimin
bergembira oleh kemenangan pada Perang Khaibar, tiba-tiba Ja’far bin Abu Thalib
bersama kaum Muslimin yang berhijrah pulang dari Habasyah. Beliau memeluk
Ja’far dengan mesra sambil berkata, “Aku tidak tahu, manakah yang lebih
menggembirakan, apakah penaklukkan Khaibar atau kepulangan Ja’far.”
Rasulullah pergi bersama
shahabat-shahabatnya ke Mekkah, hendak melaksanakan umrah qadha. Setelah
Rasulullah kembali ke Madinah, hti Ja’far bergelora dan dipenuhi keharuan.
Ketika mendengar berita tentang shahabat-shahabatnya seiman, baik yang gugur
syahid maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa pada
Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan peperangan lainnya, kedua matanya basah oleh
linangan air mata. Ia mengenang orang-orang beriman yang telah mendapatkan
kesyahidan di jalan Allah.
“Wahai,
kapankah aku akan berbuat demikian pula?”
pikirnya. Hatinya seolah-olah merindukan surga. Ia pun menunggu-nunggu
kesempatan dan peluang yang berharga itu, berjuang untuk mendapatkan kesyahidan
di jalan Allah.
Pasukan Islam maju ke Perang Mu’tah yang
telah kita bicarakan sebelumnya, sedang bersiap-siap hendak diberangkatkan.
Bendera dan panji-panji perang berkibar dengan megahnya, disertai dengan
gemerincing bunyi senjata. Ja’far memandang peperangan ini sebagai peluang yang
sangat baik dan satu-satunya kesempatan seumur hidup untuk merebut salah satu
di antara dua kemungkinan; membuktikan kejayaan besar bagi agama Allah dalam
hidupnya atau ia akan beruntung sebagai orang yang gugur syahid di jalan Allah.
Dia pun datang memohon kepada Rasulullah untuk turut mengambil bagian dalam
peperangan ini.
Ja’far sadar sepenuhnya bahwa peperangan
ini bukan main-main. Peperangan tersebut bukan peperangan yang kecil, melainkan
peperangan yang luar biasa, baik dari sisi jauh dan sulitnya medan yang akan
ditempuh maupun besarnya musuh yang akan dihadapi, yang belum pernah dialami
umat Islam selama ini. Itu merupakan peperangan melawan tentara Kerajaan Romawi
yang besar dan kuat, yang memiliki kemampuan perlengkapan dan pengalaman, serta
didukung oleh persenjataan yang tidak tertandingi oleh orang-orang Arab maupun
kaum Muslimin. Walau demikian, perasaan hati dan semangatnya rindu hendak
terbang ke sana. Ja’far termasuk di antara tiga serangkai yang diangkat
Rasulullah menjadi panglima pasukan dan pemimpinnya di Perang Mu’tah ini. Tentara
Islam pun keluar bergerak maju ke Syam dan di dalamnya terdapat Ja’far bin Abu
Thalib.
Suatu hari yang dahsyat kedua pasukan itu
pun berhadapan muka, dan tidak lama kemudian pertempuran hebat pun dimulai.
Ja’far tidak merasa kecut dan gentar melihat tentara Romawi yang jumlahnya 200
ribu orang prajurit itu. Sebaliknya, saat itu bangkitlah semangat juang yang
tinggi pada dirinya, karena sadar akan kemulian seorang mukmin yang sejati, dan
sebagai seorang pahlawan yang ulung, haruslah kemampuan juangnya berlipat ganda
daripada musuh.
Sewaktu panji-panji pasukan hampir jatuh
terlepas dari tangan kanan Zaid binHarithas, Ja’far menyambar bendera itu
secepat kilat dengan tangan kanannya pula. Dengan panji di tangan, ia terus
menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh, serbuan dari seseorang yang berjuang
di jalan Allah, dengan tujuan menyaksikan umat manusia bebas dari kekufuran
atau mati syahid, memenuhi panggilan Sang Pencipta.
Prajurit Romawi semakin banyak
mengelilinginya. Ketika Ja’far merasa kudanya menghalangi gerakannya, ia pun
melompat dari kudanya, lalu mengayunkan pedangnya ke segala jurusan laksana
malaikat maut pencabut nyawa dan mengenai leher musuhnya. Sekilas terlihat
olehnya seorang serdadu musuh melompat hendak menunggangi kudanya. Karena ia
tidak sudi hewannya itu dikendarai manusia najis, Ja’far pun menebas kudanya
dengan pedangnya hingga tewas.
Setapak demi setapak ia terus berjalan di
antara barisan serdadu Romawi yang berlapis-lapis laksana badai bergelombang
hendak membinasakannya. Dengan suara lantang, Ja’far berteriak:
Wahai surga yang kudambakan sebagai
penghuninya
Harum semerbak aromanya, sejuk segar air minumnya.
Tentara Romawi telah menghampiri siksaannya
Yang kafir dan jauh dari sanak saudaranya
Kewajibanku adalah menghantamnya kala menjumpainya.
Tentara Romawi menyaksikan bagaimana
kemampuan Ja’far bertempur yang seolah-olah sepasukan tentara. Mereka terus
mengepung Ja’far; hendak membunuhnya laksana orang-orang gila yang sedang
kerasukan setan. Kepungan mereka semakin ketat hingga tidak ada harapan untuk
lepas lagi. Mereka menebas tangan kanannya dengan pedang hingga putus, tetapi
sebelum panji itu jatuh ke tanah, ia segera menyambarnya dengan tangan kiri.
Mereka lalu menebas tangan kirinya, tetapi Ja’far masih mengepit panji itu
dengan kedua pangkal lengannya ke dada.
Pada saat yang gawat ini, ia bertekad akan
memikul tanggung jawab untuk tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh
tanah, selama hayat masih dikandung badan. Panji itu jangan sampai jatuh ke
tanah kecuali ia ditakdirkan harus syahid. Kala jasadnya yang suci terbaring di
medan laga, panji pasukan masih berdekap di antara kedua pangkal lengan dan
dadanya. Bunyi kibaran bendera itu, seolah-olah memanggil Abdullah bin Rawahah.
Pahlawan ini membelah barisan musuh bagaikan anak panah lepas dari busurnya ke
arah panji itu, lalu merenggutnya dengan kuat. Kemudian berlalu untuk mengukir
sejarah yang besar pula.
Demikianlah, Ja’far mempertaruhkan nyawa
dalam menempuh suatu kematian agung yang tidak tertandingi. Begitulah cara
menghadap Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, meyampaikan pengorbanan besar
yang tak terkira, berselimutkan darah kepahlawanannya. Allah Yang Maha
Mengetahui, menyampaikan berita tentang akhir paparangan kepada Rasul-Nya,
begitu pula akhir hidup Ja’far. Rasulullah menyerahkan nyawa Ja’far kembali
kepada Allah dan beliau pun menangis.
Rasulullah pun pergi ke rumah saudara
sepupunya ini. Beliau berdoa untuk anak cucunya. Mereka dipeluk dan diciuminya,
sementara air mata beliau yang mulia bercucuran tak tertahankan. Kemudian
Rasulullah kembali ke majelisnya dikelilingi para shahabat. Seorang penyair
Islam terkemuka yang bernama Al-Hassan bin Tsabit tampil dengan syairnya yang
menceritakan tentang syahidnya Ja’far bersama rekan-rekannya:
Seorang prajurit maju memimpin pasukan
orang beriman
Menjemput maut, mengharapkan ridha Rabb semesta alam
Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama
Menyibak kegelapan tiran nan aniaya
Menyabet dan menebas setiap penyerang
Akhirnya gugur sebagai pahlawan kesyahidan
Maka ganjarannya bersama para syuhada pendahulunya
Di surga yang dipenuhi dengan kebun-kebun yang hijau
Kami tahu apa yang terpuji pada diri Ja’far
Kesetiaan dan perintah yang tegas ketika sedang memerintah
Selama ada pejuang seperti putra Hasyim ini
Penduduk kemuliaan akan senantiasa menjadi kebanggaan.
Setelah Al-Hassan, Ka’ab bin Malik bangkit
melantunkan syairnya yang agung:
Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang
susul-menyusul
Di Perang Mu’tah tidak tergoyahkan bersusun bahu membahu
Restu Allah atas mereka, para pemuda gagah perkasa
Curahan rahmat kiranya membasuh tilang-belulang mereka
Tabah dan sabar, demi Allah rela mempertaruhkan nyawa
Setapak pun tidak akan mundur, menentang setiap bahaya
Panji perang di tangan Ja’far sebagai pendahulu
Menambah semangat tempur bagi setiap penyerbu
Kedua pasukan berbenturan dalam baku hantam
Ja’far dikepung musuh sabet kiri terkam kanan
Tiba-tiba bulan purnama redup kehilangan jiwanya
Sang surya pun gerhana, dan hampir-hampir tenggelam saat siang.
Seluruh kaum dhuafa menangisi kepergian
ayah mereka, karena Ja’far adalah ayah bagi mereka. Abu Hurairah menuturkan, “Sebaik-baik
manusia terhadap orang-orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib.” Ya, memang benar. Ja’far memang sosok yang
sangat pemurah dengan hartanya semasa hidupnya.
Saat gugur syahid pun ia menunjukkan
kemurahan hatinya dengan mengorbankan nyawa dan hidupnya. Abdullah bin Umar
menuturkan, “Aku ikut terjun di Perang Mu’tah
dengan Ja’far. Waktu kami mencarinya, kami dapati di tubuhnya terdapat
luka-luka bekas tusukan dan lemparan lebih dari 90 tempat.” Bayangkan, Sembilan puluh bekas luka tusukan
pedang dan lemparan tombak!
Walau demikian, prajurit perang yang
menewaskannya tidak kuasa menghalangi ruhnya ke tempat kembalinya di sisi
Allah. Sekali-kali tidak!
Pedang dan tombak mereka tidak lain
hanyalah sebagai jembatan yang menyeberangkan ruhnya yang mulia ke sisi Allah
Yang Maha Tinggi lagi Maha Penyayang.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar