Selama dua abad
lebih, tepatnya dari abad VI-VII M, umat manusia hidup dalam suasana kelaliman
dan kebodohan. Di segenap penjuru merenbak ketiadaan agama, penyembahan
berhala, takhayul, fanatisme, dan berbagai bentuk penyimpangan social serta
penyalahgunaan kekuasaan. Di sisi lain, telah disimpangkan pula
pemikiran-pemikiran dan ajaran kebenaran, baik yang datang dari para nabi dan
utusan Allah maupun dari para ahli hikmah, yang secara fitrah senantiasa
berpegang kepada nilai-nilai kebajikan. Realitas ini digambarkan Rasulullah
dalam sabdanya berikut, “Sesungguhnya Allah telah melihat
keadaan para penghuni dunia ini sehingga Dia sangat murka terhadap mereka,
bangsa Arab maupun non-Arab, kecuali sisa-sisa Ahli Kitab.”
Di beberapa halaman berikut, penulis (Dr.
Mahdi Rizqullah Ahmad) akan memaparkan dengan ringkas kondisi umat manusia
sepanjang periode tersebut. Tak lain adalah untuk menerangkan pentingnya ajaran
yang dibawa Muhammad dengan segala doktrin dan nilai moralnya sebagai salah
satu unsure dan elemen terpenting dalam proses pembangunan peradaban manusia.
1. Kondisi
Politik
a. Kekuasaan di Yaman
Kabilah tertua dari bangsa Arab Aribah
yang terkenal di Yaman adalah kaum Saba’, salah satu kaum yang diceritakan di
dalam Al-Qur’an. Peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka di Yaman Berjaya
selama 11 abad dan berakhir pada 300 M, saat kabilah Himyar berhasil menaklukan
kerajaan mereka. Setelah itu, Yaman mulai mengalami kemunduran dan satu per
satu kabilah Qahthaniyyah melakukan eksodus ke berbagai Negara.
Berbagai bentuk kekacauan dan perang
saudara mendera mereka selama rentang waktu 270 tahun sebelum Islam masuk ke
Yaman. Kondisi itulah yang menyebabkan orang-orang asing menjajah mereka.
Bangsa Romawi berhasil masuk ke Aden. Dengan bantuan mereka, kabilah-kabilah
dari Habasyah berhasil menjajah Yaman untuk pertama kalinya pada tahun 340 M,
dengan memanfaatkan persaingan yang terjadi antara kabilah Hamadan dan Himyar.
Penjajahan terhadap Yaman berlangsung sampai tahun 378 M. setelah itu, negeri
itu merdeka. Akan tetapi, belum lama kemerdekaan itu mereka nikmati, Allah
mengirimkan air bah kepada mereka pada tahun 450 atau 451 M. akibatnya,
bendungan Sidda Ma’rib yang pernah dijadikan Allah sebagai sumber kenikmatan
dan kebahagiaan mereka hancur. Itu terjadi karena kezaliman, kecongkakan, dan
kemaksiatan yang merebak di tengah-tengah mereka. Demikianlah sunnatullah yang
terjadi karena faktor-faktor seperti itu.
Pada tahun 523 M, Raja Dzu Nuwas menekan
kaum Nasrani agar meninggalkan agama mereka. Namun, mereka memilih enggan dan
melawan. Maka dengan kejam Dzu znuwas membuat parit-parit dan menyalakan api di
dalamnya. Lantas, ia membakar mereka di dalam parit-parit tersebut. Orang-orang
itulah yang diceritakan Allah dalam firman-Nya:
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ
Binasa dan terlaknatlah
orang-orang yang membuat parit,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 4
QS:Al-Buruuj | Ayat: 4
النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ
yang berapi (dinyalakan dengan)
kayu bakar,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 5
QS:Al-Buruuj | Ayat: 5
إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ
ketika mereka duduk di
sekitarnya,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 6
QS:Al-Buruuj | Ayat: 6
وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ
sedang mereka menyaksikan apa
yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.
QS:Al-Buruuj | Ayat: 7
QS:Al-Buruuj | Ayat: 7
وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Dan mereka tidak menyiksa
orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada
Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 8
QS:Al-Buruuj | Ayat: 8
Peristiwa ini merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan Romawi membujuk Habasyah agar menjajah Yaman untuk kedua
kalinya. Akhirnya, di bawah komando Aryath, bangsa Habsyah menjajah Yaman
kembali pada tahun 525 M. Aryath menjadi penguasa Yaman sampai terbunuh oleh
sebuah konspirasi yang disusun oleh Abrahah, salah satu komandan pasukannya.
Setelah itu, Abrahah memperoleh mandate dari Habasyah untuk menggantikan
kedudukan Aryath. Diriwayatkan, tak lama kemudian Abrahah berupaya
menghancurkan Ka’bah di Mekkah. Namun, niatnya tidak tercapai. Allah terlebih
dahulu membinasakan dia dan seluruh pasukannya, seperti dikisahkan di QS
Al-Fil.
Untuk melawan Habasyah, bangsa Yaman
meminta bantuan Persia. Pada tahun 575, dengan dipimpin oleh Ma’di Karb, Persia
membantu Yaman dan berhasil mengusir pasukan Habasyah. Selanjutnya mereka
mengangkat Ma’di Karb sebagai raja mereka. Saat itu, ia menyisakan beberapa
orang dari Habasyah untuk dijadikan pelayannya. Akan tetapi, mereka justru
berkhianat dan membunuhnya. Dengan kematiannya ini, terputuslah kekuasaan dari
keluarganya. Maka sejak itu, Kisra Persia menempatkan seorang pejabatnya di
kota Shan’a dan memasukkan Yaman ke dalam wilayah kedaulatan Persia. Adapun
pejabat terakhir dari Persia yang berkuasa di Yaman adalah Bazan. Pejabat ini
akhirnya masuk Islam, dan dengan keislamannya ini pengaruh Persia di Yaman
berangsur-angsur lenyap. Diriwayatkan, Bazan memeluk Islam pada bulan Jumadil
Awal pada tahun 7 H/627 M.
b. Kekuasaan di Hirah
Persia
berkuasa atas Iraq dan beberapa wilayah di sekitarnya setelah Qurusy Al-Kabir
atau Cyrus Agung (557-529 SM) berhasil menyatukan mereka. Namun, pada tahun 326
SM, Iskandar Al-Maqduni atau Alexander Agung berhasil memecah kekuatan tersebut
setelah ia membunuh raja mereka yang bergelar Dara I. sejak itu, negeri
tersebut berada di bawah kekuasaan Ath-Thawa’if sampai tahun 330 M. Pada masa
kekuasaan Ath-Thawa’if inilah beberapa suku Qahthan melakukan eksodus dan
menetap di wilayah pinggiran Iraq. Tak lama kemudian, kaum Adnaniyin bergabung
dengan mereka sehingga wilayah tersebut menjadi ramai. Bahkan sebagian dari
mereka terpaksa harus menempati salah satu kawasan Al-Furatiyah (Eufrat).
Ardasyir Al-Farisi (pendiri dinasti
Sassanid sejak tahun 226 M) berhasil mempersatukan Persia dan menguasai bangsa
Arab yang tinggal di daerah kekuasaannya. Inilah penyebab perginya kabilah
Qudha’ah ke Syam. Bersamaan dengan itu, kaum Hirah dan Anbar juga tunduk pada
kekuasaan Ardasyir. Karena merasa kesulitan mengatur daerah-daerah yang jauh,
Ardasyir mengangkat seorang raja dari salah satu warga mereka, yaitu Judhaimah
Al-Wadhdhah. Dalam menjalankan pemerintahan, Judhaimah dibantu oleh sekretaris berkebangsaan
Persia. Hal ini disengaja untuk menghadang masuknya kepentingan-kepentingan
Romawi dan bangsa Arab dari Syam yang telah dipersatukan oleh Romawi.
Salah satu raja Hirah yang cukup
termahsyur adalah Nu’man bin Al-Mundzir, raja yang akhirnya mengorbankan
semangat perlawanan terhadap Persia. Ia menyerang tentara Persia di sebuah
tempat yang bernama Dzu Qar setelah kelahiran Rasulullah. Terkait dengan
peristiwa ini, Rasulullah bersabda, “Ini adalah kali pertama bangsa Arab
ini bersih dari kekuasaan asing, dan karena diriku mereka menang.”
c. Kekuasaan di Syam
Pada saat di jazirah Arab terjadi
gelombang eksodus kabilah-kabilahnya, suku-suku dari kabilah Qudha’ah pergi ke
daerah pegunungan Syam dan menetap di tempat-tempat tersebut. Mayoritas dari
mereka berasal dari kerabat Bani Salih bin Hilwan. Salah satu sukunya yang
terkenal adalah Bani Dhaj’am bin Salih, atau lebih dikenal dengan bani
Dhaj’amah. Tak lama kemudian, mereka dipersatukan oleh Romawi untuk mencegah
punahnya bangsa Arab daratan, sekaligus dijadikan buffer terhadap Persia. Untuk kepentingan itu, mereka mengangkat
salah satu daro mereka menjadi raja. Kekuasaan ini sempat bertahan cukup lama
dan mengalami pergantian raja berkali-kali sebelum mereka dikalahkan oleh bangsa
Ghassasinah. Meskipun demikian, dalam menjalankan pemerintahan, Ghassasinah
masih tunduk pada pengawasan Romawi sampai terjadinya peristiwa Yarmuk tahun 13
H/634 M. raja terakhir mereka adalah Jabalah bin Aiham. Ia masuk Islam pada
masa pemerintahan Umar bin Al-Khatthab.
d. Kekuasaan di Hijaz
Di wilayah ini hampir belum pernah ada
satu kekuasaan yang tumbuh dan pantas disebut Negara. Hanya saja, di negeri ini
berdiri banyak kota, dan masing-masing memiliki system pemerintahan yang lebih
mendekati pola kekuasaan Al-Masyikhah (pucuk
pimpinan dipegang oleh seorang syaikh), bukan system kerajaan. Di antara
kota-kotanya yang terkenal adalah Mekkah, Yatsrib (sekarang Madinah), dan
Tha’if.
- Mekkah
Sepeninggal Isma’il a.s., kabilah Jurhum
tidak bisa menjaga kemuliaan tanah haram. Di Mekkah merebak berbagai macam
kemaksiatan dan kerusakan moral. Mereka bahkan berani mencuri harta kekayaan
Ka’bah, yaitu harta dari persembahan orang-orang kepadanya. Disebutkan pula,
kala itu mata air Zam-zam mongering dan tidak lagi mengeluarkan air lagi
sehingga kemahsyuran sumur Zam-zam akhirnya lenyap dengan sendirinya.
Setelah diterpa banjir besar, bangsa Arab
Yaman tercerai-berai ke berbagai Negara. Di antara mereka adalah Tsa’labah bin
Amru bin Amir. Bersama kaumnya, ia pergi ke Mekkah. Akan tetapi, kabilah Jurhum
menolak mereka sehingga terjadi pertempuran yang berakhir dengan kekalahan
Jurhum. Sejak itu, Mekkah berada di bawah kekuasaan Tsa’labah.
Ketika suatu ketika jatuh sakit, Tsa’labah pun pulang ke Syam. Ia menyerahkan
pemerintahan Mekkah dan kekuasaan atas Ka’bah kepada putra saudaranya, Rabi’ah
bin Haritsah bin Amru, yaitu Luhai. Adapun kaumnya dikenal dengan sebutan kaum
Khuza’ah. Saat itu, keluarga Isma’il bin Ibrahim sudah bisa membaur dengan
keluarga Tsa’labah. Bahkan mereka juga telah melupakan pertempuran yang pernah
terjadi di antara mereka.
Kaum Khuza’ah berkuasa atas urusan Ka’bah
selama hampir 300 tahun, bahkan ada yang menyebut hampir 500 tahun. Saat itu
kaum Quraish masih tersebar di antara bani Kinanah dan belakangan dipersatukan
oleh Qushay bin Kilab. Dengan kekuatan ini, Qushai mencetuskan peperangan
melawan kam Khuza’ah untuk merebut kekuasaan atas Ka’bah. Dalam perang
tersebut, kaum Quraish dibantu oleh kabilah Qudha’ah dan beberapa kabilah Arab
lainnya. Peperangan diakhiri dengan perjanjian yang a lot dan menghasilkan
penyerahan kekuasaan atas Ka’bah kepada Qushai bin Kilab. Sejak itulah kaum
Quraish mulai diakui keberadaannya dan makin disegani di kalangan bangsa Arab.
Qushai membagi Mekkah menjadi empat daerah
kekuasaan di antara kaumnya. Ia juga membagi-bagikan kekuasaan di Mekkah kepada
para pemua Quraish, hampir semuanya pada posisi petinggi. Ada yang memegang
urusan keamanan Ka’bah, urusan air, urusan pelayanan Ka’bah, maupun urusan
militer. Qushai juga mendirikan sebuah lembaga peradilan untuk menyelesaikan
setiap perselisihan dan pelanggaran yang terjadi. Lembaga tersebut terkenal
dengan sebutan Darun Nadwah. Adapun
yang memimpin setiap pertemuan dan menangani segala urusannya adalah Qushai
sendiri. Selain itu, Qushai juga mewajibkan segenap kaum Quraish untuk membayar
pajak tahunan guna memberi makan kaum fakir dan jamaah haji.
Setelah merasa uzur, Qushai menyerahkan
semua pemerintahan dan kepemimpinan kepada putra sulungnya, Abdud Dar. Adapun
sepeninggal Abdud Dar dan saudara-saudaranya, keturunan mereka saling berebut
jabatan. Walhasil, mereka terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok
pendukung Bani Abdud Dar dan kelompok pendukung Bani Abdu Manaf.
Dikisahkan, sewaktu melakukan bai’at, para
pendukung Bani Abdu Manaf menaruh tangan mereka di atas sebuah mangkok besar
berisi wewangian. Setelah itu, mereka berdiri dan mengusapkan tangan mereka ke
tiang-tiang Ka’bah. Mereka menamakan peristiwa ini Bai’at Mutayyabun.
Lain halnya dengan Bani Abdud Dar dan
pendukungnya. Mereka menyediakan mangkok besar yang penuh dengan darah, lalu
melakukan seperti apa yang dilakukan pendukung Bani Abdu Manaf ke Ka’bah.
Mereka menyebut bai’at mereka Bai’at Al-Ahlaf.
Untunglah, akhirnya kedua kelompok itu
bisa berdamai dan sepakat untuk memberikan hak pengurusan makanan dan air
kepada Bani Abdu Manaf, sedangkan hak pengamanan Ka’bah, kepemimpinan militer,
dan Darun Nadwah diberikan kepada Bani Abdud Dar. Di kalangan Bani Adu Manaf,
kedudukan itu dibagi lagi di antara Hasyim dan saudaranya, Abdu Syams. Urusan
air dan makanan untuk Hasyim dan kepemimpinan militer untuk Abdu Syams.
Pamor Hasyim semakin bersinar di
tengah-tengah kaumnya. Hal itu membuat kemenakannya yang bernama Umayyah bin
Abdu Syams merasa iri. Ia berupaya menyaingi Hasyim dalam memberikan makanan
kepada jamaah haji, tetapi upayanya gagal sehingga justru dicibir oleh kaumnya.
Akibatnya, kedengkian kian mengkristal terhadap pamannya, Hasyim.
Setelah Hasyim meninggal, urusan air dan
makanan untuk jamaah haji diteruskan oleh adiknya, Muthalib. Selanjutnya,
sepeninggal Muthalib, posisi itu digantikan oleh kemenakannya, Abdul Muthalib
bin Hasyim. Setelah Abdul Muthalib meninggal, tugasnya diambil alih oleh
putranya, Abbas bin Abdul Muthalib. Oleh Rasulullah, tepatnya setelah penaklukan
Mekkah, penanganan kedua urusan itu tetap dipercayakan kepada Abbas bin Abdul
Muthalib.
Sementara itu, Bani Abdud Dar mewarisi hak
keamanan Ka’bah, kemiliteran, dan kepemimpinan Darun Nadwah. Setelah penaklukan
Mekkah, Rasulullah mempercayakan urusan keamanan Ka’bah kepada mereka dan
menyerahkan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah. Bahkan hingga kini urusan
tersebut masih dipercayakan kepada mereka. Diriwayatkan firman Allah yang
berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ
بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
QS:An-Nisaa | Ayat: 58
QS:An-Nisaa | Ayat: 58
Terkait dengan peristiwa di atas. Terkait
dengan pendapat ini, Ath-Thabari tidak mengingkarinya, bahkan mengutip beberapa
pendapat lain yang senada.
- Yatsrib (Madinah)

Yang pertama kali menempati Yatsrib adalah
kabilah Amaliqah. Beberapa waktu kemudian, beberapa golongan Yahudi berhasil
menguasai mereka dan akhirnya menetap di Yatsrib. Hal ini terjadi sekitar abad
I dan II Masehi, tepatnya setelah berlangsungnya sejumlah peperangan yang
dikobarkan oleh Romawi melawan bangsa Yahudi di Suriah. Akibat peperangan
tersebut, bangsa Yahudi Suriah tercerai-berai. Beberapa kabilahnya, termasuk
Bani Nadhr dan Bani Quraidhah, mengungsi ke Yatsrib dan menetap di sana. Selang
beberapa waktu kemudian, kabilah Aus dan Khazraj dari Yaman bergabung dengan
mereka, yaitu setelah Sidda M’rib hancur lebur diterjang banjir.
Cukup lama bangsa Yahudi hidup tenteram
berdampingan dengan kabilah Aus dan Khazraj. Bahkan mereka pernah membuat
perjanjian untuk saling menjaga di antara mereka. Namun, ketika kabilah Aus dan
Khazraj semakin kuat, Yahudi Yatsrib memupuk dendam dan amarah. Mereka akhirnya
melanggar perjanjian yang telah mereka sepakati. Melihat itu, bangsa Aus dan
Khazraj meminta bantuan militer dari keturunan paman-paman mereka dari Bani
Ghassanah. Demi menjaga keluarga agar tidak dikuasai oleh bangsa Yahudi, mereka
pun mengirimkan bantuan tentara yang cukup besar.
Pada awalnya, Kabilah Aus dan Khazraj bisa
hidup berdampingan dengan damai selama beberapa waktu. Namun, setelah itu mulai
terjadi pertikaian dan peperangan di antara mereka. Dalam rentetan peperangan
yang cukup lama, kabilah Khazraj lebih sering menang. Karena itu, kabilah Aus
berusaha menjalin persekutuan dengan kaum Quraish untuk melawan Khazraj. Namun,
mereka gagal sehingga upaya mencari dukungan dialihkan kepada Bani Quraidzah
dan Bani Nadhr.
Kabila Khazraj mengetahui hal ini. Mereka
kemudian mengirimkan utusan kepada kedua kelompok Yahudi tersebut untuk meminta
kejelasan sikap mereka. Dalam jawabannya, mereka mengatakan tidak ingin
berperang dengan Khazraj. Akan tetapi, kabilah Khazraj belum yakin dengan
jawaban tersebut dan ingin membuktikannya. Mereka meminta golongan Yahudi
Yatsrib agar mengirimkan 40 orang pemuda sebagai tawanan atau jaminan. Golongan
Yahudi memenuhi permintaan itu. Namun, setelah 40 pemuda diserahkan, Khazraj
belum juga percaya. Mereka bahkan meminta golongan Yahudi untuk memilih satu di
antara dua: meninggalkan Yatsrib atau 40 pemuda itu dibunuh.
Golongan Yahudi sepakat untuk meninggalkan
Yatsrib. Akan tetapi, Ka’ab bin Asad Al-Qurazhi berhasil membujuk mereka untuk
tetap tinggal dan membiarkan para pemuda tadi dibunuh. Akhirnya, kabilah
Khazraj benar-benar membunuh para tawanan tersebut. Akibatnya, golongan Yahudi
marah besar dan menyatakan diri bersekutu dengan kabilah Aus. Mereka membantu
kabilah Aus dalam perang Bu’ats. Pertempuran ini dimenangkan oleh Aus setelah
berhasil menjatuhkan banyak korban di pihak Khazraj.
Tak lama kemudian, kedua pihak berdamai
dan sepakat untuk mendirikan sebuah pemerintahan bersama yang bertujuan untuk
menciptakan keteneraman di Yatsrib. Kepemimpinan pemerintahan baru ini akan
diserahkan kepada Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Khazraji.
Pada saat mereka tengah mempersiapkan
realisasi rencana tersebut, tibalah Muhammad di Madinah. Ternyata mayoritas
penduduk Madinah memilih untuk patuh pada pemerintahan Islam. Abdullah bin Ubay
sebenarnya tidak setuju dengan hal tersebut. Namun, karena mayoritas sepakat
demikian, ia pun dengan setengah hati masuk Islam. Hal itu terlihat jelas
setelah terjadinya Perang Badar. Sejak saat itu, sikap dan tindakannya semakin
memperjelas kemunafikannya, sebagaimana penulis akan terangkan nanti. Bahkan ia
termasuk salah satu yang disepakati kemunafikannya oleh seluruh ulama hadits,
tafsir, sirah, dan siyar.
Sikap berbeda ditunjukkan oleh pemimpin Aus, Abu Amir bin Shaifi bin
Nu’man, putra Abu Handhalah Al-Ghasil. Ia dengan tegas untuk menolak masuk
Islam dan tetap dalam kekufurannya. Ia pun pergi ke Mekkah dan terus ke Thaif.
Dari Thaif, ia menuju Romawi dan Syam. Setiap langkah dalam perjalanannya
dilakukan dalam rangka menghancurkan agama Islam. Disebutkan bahwa sebelum
Islam datang (pada zaman Jahiliyyah), Abu Amir adalah seorang pendeta Yahudi
sehingga orang-orang sering memanggilnya rahib. Terkait dengan panggilannya ini, Rasulullah
bersabda, “Janganlah kalian senut ‘rahib’ tetapi sebutlah
‘fasiq’.”
- Thaif

Pada zaman jahiliyyah, kota Thaif lebih
dikenal sebagai kota Waj. Nama ini dinisbatkan kepada Waj bin Abdil Hai,
seorang pemuka Bani Amaliqah yang merupakan penduduk asli daerah tersebut. Pada
tahap berikutnya, datanglah kabilah Hawazin dari lembah Qura untuk menetap di
situ pula. Pemimpin kabilah ini, Qasab bin Munabbih bin Bakar bin Hawazin,
akhirnya menikah dengan anak gadis Waj Amir Al-Adwani. Anak keturunan Qasab
inilah yang nantinya dikenal sebagai Bani Tsafiq.
Setelah berkembang semakin banyak, Bani
Tsafiq membangun pagar mengelilingi kota layaknya sebuah benteng. Mereka
menyebut pagar ini Thaif (yang
mengelilingi), sebab pagar ini mengelilingi kediaman mereka. Maka sejak saat
itu, kota ini lebih dikenal sebagai kota Thaif.
Setelah kedatangan Islam, Bani Tsafiq terpecah menjadi dua kelompok:
Bani Malik dan Al-Ahlaf. Kedua kelompok ini saling bermusuhan, bahkan sampai
terjadi perang di antara keduanya. Peperangan dimenagkan oleh Al-Ahlaf, dan
mereka berhasil mengusir Bani Malik sampai di sebuah lembah yang berada di
pinggiran kota Thaif. Tak lama kemudian, Bani Malik menyusun kekuatan baru
dengan menyatukan beberapa kabilah lain (termasuk kabilah Daus dan Khats’aman)
untuk menyerang Al-Ahlaf. Namun demikian, setelah itu justru tidak pernah
terjadi peperangan yang cukup berarti di antara mereka.
2. Kondisi Keagamaan Bangsa Arab di
Jazirah Arab
Keluarga Khuza’ah berkuasa atas Ka’bah selama kurang lebih 300 tahun,
ada juga yang mengatakan sampai 500 tahun. Akan tetapi, mereka adalah kaum yang
menyakahgunakan kekuasaannya atas Ka’bah. Mereka inilah yang pertama kali
menaruh barhala-berhala di Ka’bah dan menjadi kaum penyembah berhala yang
pertama di Hijaz. Hal itu awalnya dirintis oleh pemimpin mereka, Amru
bin Luhay. Kisahnya sebagai berikut:
Saat berkunjung ke Syam, ia berjumpa dengan kabilah Amaliq di Muab,
salah satu wilayah Balqa’, yang menyembah berhala. Mereka mengatakan kepadanya
bahwa berhala-berhala itu bisa menurunkan hujan dan mendatangkan pertolongan
kepada mereka.
Usai mendengar penjelasan hal itu, Amru bin Luhay meminta mereka untuk
memberikan satu berhala kepadanya. Mereka pun memberikannya salah satu berhala
mereka yang bernama Hubal. Ia membawa berhala itu ke Mekkah, lalu
mengenalkannya kepada penduduknya dan meminta mereka menyembah dan memujanya.
Karena ia seorang penguasa yang disegani, perintahnya pun ditaati oleh banyak
orang.
Pada masa pemerintahan Khuza’ah ini, anak keturunan Isma’il (Bani
Isma’il) berkembang dan berangsur-angsur menyebar ke seluruh penjuru jazirah
Arab. Dalam soal agama atau peribadatan, mereka memiliki tradisi tersendiri.
Diriwayatkan bahwa ke mana pun pergi untuk menetap di suatu daerah, mereka
selalu membawa sebongkah batu dari tanah Haram sebagai penghormatan terhadap
tanah Haram. Di tempat mereka yang baru, batu-batu tersebut diletakkan di
tempat khusus, dan pada waktu-waktu tertentu mereka mengelilinginya seperti
orang thawaf mengelilingi Ka’bah. Ritual semacam ini terus berjalan sampai
akhirnya terkikis dengan sendirinya dan kemudian tergantikan oleh ritual
penyembahan terhadap batu-batu yang mereka pahat dengan bagus. Begitulah,
mareka benar-benar lepas dan tercabut dari akar agama Ibrahim.
Ditengah-tengah mereka terdapat banyak sekali berhala. Di antara
nama-nama berhala yang terkenal adalah Wadd milik Bani Kilab bin Murrah di
Dumatul Jandal, Suwa’ milik Bani Hudzail bin Rahath (berjarak kira-kira tiga
malam perjalanan dari Mekkah), Yaghuts milik Bani An’am dari wilayah Thaiy’ dan
golongan Jurasy yang tinggal di wilayah Madzhij Al-Yamaniyah, Ya’uq milik Bani
Khaiwan Al-Hamdaniyah, Nasr milik kabilah Kila’ Al-Himyariyah.
Berhala-berhala inilah yang dulu pernah disembah oleh kaum Nuh. Kisah
ini diceritakan di dalam Al-Qur’an, yaitu dalam firman-Nya:
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ
آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ
وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa´, yaghuts, ya´uq dan
nasr".
QS:Nuh | Ayat: 23
QS:Nuh | Ayat: 23
وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا ۖ وَلَا
تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا
Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan
janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.
QS:Nuh | Ayat: 24
QS:Nuh | Ayat: 24
Demikianlah, serta meninggalkan ajaran Ibrahim, anak cucu Isma’il dan
kabilah-kabilah Arab pun menyembah berhala-berhala tersebut.
Di tempat terpisah, kabilah Khaulan memiliki sebuah patung berhala yang
bernama Ammu Anas, atau ada yang menyebutnya Umyanus. Mereka berkeyakinan bahwa
mereka harus memberikan sebagian dari binatang ternak dan hasil pertanian
mereka kepada berhala Ammu Anas dan sebagian lagi kepada Allah. Terkait dengan
perilaku mereka ini, Allah berfirman:
وَجَعَلُوا لِلَّهِ
مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ
بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا ۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ
إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَائِهِمْ ۗ سَاءَ
مَا يَحْكُمُونَ
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari
tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai
dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala
kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka
tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka
sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka
itu.
QS:Al-An'am | Ayat: 136
QS:Al-An'am | Ayat: 136
Bani Malakan bin Kinanah memiliki sebuah berhala bernama Sa’ad. Demikian
pula dengan Bani Daus. Berhala mereka adalah sebuah patung milik Amru bin
Hamamah Ad-Dausi. Sedangkan kabilah Quraish, selain memiliki berhala bernama
Hubal, mereka memiliki dua berhala lain,yaitu Isaf dan Na’ilah. Kedua berhala
ini diletakkan di sekitar Zamzam. Mereka selalu melakukan penyembelihan
binatang kurban untuk keduanya. Tentang kedua berhala ini, Aisyah ra berkata, “Kami
masih mendengar kisah bahwa Isaf dan Na’ilah adalah seorang lelaki dan
perempuan dari kabilah Jurhum yang membuang hajat di Ka’bah sehingga Allah
mengubah keduanya menjadi dua buah batu.”
Fenomena lain, saat itu setiap keluarga pasti memiliki satu berhala
untuk disembah setiap hari. Mereka mengusap patung tersebut setiap kali hendak
bepergian dan sepulang dari bepergian. Maka dari itu, ketika Allah mengutus
Rasulullah dengan membawa ajaran Tauhid (pengesaan Tuhan), mereka pun mengolok-oloknya.
perkataan mereka tercantum dalam Al-Qur’an Al-Karim:
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ
إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.
QS:Shaad | Ayat: 5
QS:Shaad | Ayat: 5
Dalam Shahih Bukhari disebutkan, Abu Raja’ Al-Atharidi menceritakan, “Pada
saat kami hidup di zaman Jahiliyyah, apabila tidak menemukan batu, kami membuat
gundukan tanah. Setelah itu, kami datang membawa kambing ke tempat itu lalu
memerah susunya di atasnya, kemudian berthawaf mengelilinginya.”
Ibnu Katsir meriwayatkan beberapa hadits shahih yang menceritakan
perihal peribadatan baru yang dibuat oleh Amru bin Luhay dan diikuti masyarakat
Arab hingga mereka menjadi sangat sesat. Beberapa riwayat itu antara lain
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim berikut ini.
Rasulullah bersabda, “Aku bermimpi melihat Amru bin Amir
Al-Khuza’I (Amru bin Luhay) tengah menyeret sebatang kayu di dalam neraka. Ia
adalah orang pertama yang meninggalkan orang-orang yang ditinggalkan…”
Adapula hadits riwayat Ibnu Ishaq yang lebih detail dan ber-sanad shahih
sebagai berikut, “…ia (Amru bin Luhay) adalah orang yang
pertama kali mangubah ajaran Isma’il, lalu mengangkat berhala-berhala, mengiris
lautan, meninggalkan orang-orang yang ditinggalkan, menyambungkan penyambung,
dan menjaga orang yang menjaga.”
Allah telah berulangkali menyangkal kepercayaan itu di dalam ayat-ayat
Al-Qur’an. Allah berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا
تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
لَا يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
QS:An-Nahl | Ayat: 116
QS:An-Nahl | Ayat: 116
Ibnu Abbas berkata, “Apabila kalian tertarik untuk mengetahui
kebodohan masyarakat Arab lebih jauh, bacalah ayat-ayat Al-Ma’idah, tepatnya
ayat-ayat setelah ayat 130…” Di
dalamnya terdapat ringkasan berbagai bentuk Ibadah masyarakat Jahiliyyah dan
dampak negatifnya bagi kehidupan social mereka.
Pada waktu yang sama, ajaran-ajaran Ibrahim yang tersisa di
tengah-tengah masyarakat Arab tinggal sedikit sekali. Di antaranya:
penghormatan terhadap Ka’bah, thawaf di sekelilingnya, beribadah haji dan
umrah, wukuf di Arafah dan Muzdalifah, dan penyembelihan binatang kurban.
Beberapa ajaran yang tersisa ini pun sudah mereka cemari dengan unsure-unsur
kemusyrikan yang tidak diajarkan dalam agama Ibrahim.
Kaum Kinanah dan Quraish misalnya, dalam ibadah haji dan umrahnya
mengucapkan talbiyah seperti ini, “Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah,
aku memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali satu sekutu-Mu.
Ebgkau memilikinya dan apa yang ia memiliki.” Terlihat jelas
salam talbiyah ini bahwa mereka mentauhidkan Allah, tetapi kemudian menyertakan
berhala-berhala sebagai sekutu-Nya dan menjadikan kepemilikan atas
berhala-berhala tersebut kepada-Nya. (Ibnu Ishaq, tanpa sanad, Ibnu Hisyam, 1,
hlm.22)
Anda juga dapat menemukan sebuah
hadits yang memperlihatkan bagaimana orang-orang Arab memasukkan unsure-unsur
kemusyrikan pada talbiyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan
riwayat hasan. Ada pun kalimatnya sebagai berikut, “Dan setan
selalu membisikkan sesuatu kepada manusia untuk memalingkan mereka (masyarakat
Arab) dari Islam. Bahkan, ia memasukkan kata-kata syirik ke dalam kaimat
talbiyah mereka seperti ini, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi
panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali seorang sekutu-Mu. Di mana
Engkau memilikinya apa yang ia miliki.’ Ia akan ters menggoda mereka sampai
mereka keluar dari Islam dan berada dalam kemusyrikan.”
Sedangkan dalam hal pemuliaan Ka’bah, masyarakat Arab mencemarinya
dengan membuat rumah-rumah berhala khusus (Thaqut) yang mereka muliakan
sebagaimana Ka’bah. Mereka menyelenggarakan kepengurusan khusus untuk
rumah-rumah berhala itu, memberikan persembahan kepadanya, berthawaf
mengelilinginya, dan menyembelih binatang kurban di dalamnya.
Di antara rumah-rumah berhala yang termahsyur adalah sebagai berikut:
- Rumah berhala Uzza milik kaum Quraish dan Kinanah di Nakhla. Kepengurusan rumah ini diserahkan kepada Bani Syaiban, sekutu Bani Hasyim dan Sulaim.
- Rumah berhala Latta milik kabilah Tsaqif di Thaif. Tugas dan tanggung jawab atas segala urusan rumah ini diserahkan kepada Bani Mu’tab, salah satu puak kabilah Tsafiq.
- Rumah berhala Manat milik kabilah Aus dan Khazraj serta orang-orang yang mengikuti ajaran mereka. Rumah ini terletak di daerah Musyallal, Qudaid.
Berhala-berhala itulah yang disebutkan Al-Qur’an dalam salah satu
ayatnya tentang firman Allah:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ
وَالْعُزَّىٰ
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap
al Lata dan al Uzza,
QS:An-Najm | Ayat: 19
QS:An-Najm | Ayat: 19
وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ
الْأُخْرَىٰ
dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak
perempuan Allah)?
QS:An-Najm | Ayat: 20
QS:An-Najm | Ayat: 20
beberapa
rumah berhala lain yang juga cukup dikenal adalah sebagai berikut:
- Rumah berhala Dzul Khalashah milik suku Daus, Kats’am, dan Bajilah. Mereka menyebut rumah berhala ini “Ka’bah Yamaniyah”, sedangkan Baitullah yang ada di Mekkah disebut “Ka’bah Syamiah”.
- Rumah kabilah Falas milik kabilah Thaiy’ dan orang-orang tinggal di dua daerah pegunungan Thaiy’, yaitu Aja dan Salma.
- Rumah berhala Ri’am milik masyarakat Humair dan Yaman.
- Rumah berhala Radha’ milik anak cucu Rabi’ah bin Ka’ab.
- Rumah berhala Dzul Ka’bat milik Bani Bakar dan mayoritas keturunan Wa’il dan Iyadh yang tinggal di wilayah Sindad.
Selain
disebutkan di atas, bangsa Arab memiliki berhala-berhala lain yang sering
disebut berbagai buku rujukan sejarah
Ada
beberapa anekdot berkenaan dengan perilaku masyarakat Arab terhadap
berhala-berhala mereka. Salah satunya kisah Sa’id bin Abdillah. Alkisah, pada
zaman Jahiliyyah Sa’id memahat sendiri patung berhala yang akan disembahnya.
Bila pekerjaannya selesai, ia menghirupkan susu kental ke hidung patung itu,
kemudian menyiramkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, seekor anjing datang
menghampiri patung itu dan menjilatinya. Ironisnya, sesudah itu anjing tersebut
mengangkat satu kakinya dan mengencingi berhala tersebut.
Anekdot
lain terjadi pada Bani Hanifah. Pada zaman Jahiliyyah, kaum ini menuat
patung-patung berhala mereka dari tepung terigu. Penyembahan mereka terhadap patung-patung
berhala dari tepung ini berlangsung selama berabad-abad. Syahdan, ketika mereka
diterpa bencana kelaparan, patung-patung sembahan mereka pun mereka makan
sendiri. Melihat hal itu, seorang penyair dari Bani Tamim berkata dalam sebuah
syairnya:
“Bani Hanifah telah
memakan tuhannnya sendiri,
Saat bencana kelaparan menimpa mereka.“
Penyair
lain mengilustrasi kebodohan mereka itu sebagai berikut:
“Bani Hanifah memakan
tuhan mereka
Bila paceklik dan kelaparan melanda
Mereka memakannya tanpa takut akan terjadi
malapetaka di tengah-tengah mereka.”
Kisah-kisah lain yang telah tersebar luas adalah kisah kisah seorang
penyair Jahiliyyah yang justru menyenandungkan bait-bait syairnya ketika
melihat dua ekor serigala mengencingi berhalanya, kisah Umar bin Al-Khatthab
yang pernah memakan berhalanya yang terbuat dari kurma yang dihaluskan ketika
lapar, dan sebagainya.
Meskipun
hanya kisah dan sebagian besar bukan hadits, cerita-cerita tadi kiranya cukup untuk
menggambarkan kondisi kebodohan masyarakat Arab pada zaman Jahiliyyah.
Selain
penyembahan berhala, di Jazirah Arab juga berkembang penyembahan terhadap
bintang-bintang dan planet-planet. Ritual ini banyak dilakukan di Haran,
Bahrain, dan beberapa wilayah pedalaman. Disebutkan bahwa di kota Mekkah pernah
tinggal seorang penyembah bintang. Orang itu bernama Abu Kabsyah dan bintang
yang disembahnya bernama tuhan Sya’ra. Ia menyebarkan ajarannya di kalangan
kaum Quraish, kemudian diikuti oleh orang-orang dari kabilah Lakhm, Khuza’ah,
dan sebagian kecil orang Quraish. Itu sebabnya, pada saat Rasulullah datang
menyebarkan ajaran tauhid di Mekkah, kaum Quraish menyebut beliau Ibnu Abu
Kabsyah (anak Abu Kabsyah). Yakni ajaran beliau yang bertentangan dengan
kepercayaan mereka, yaitu ajaran yang disebarkan oleh Abu Kabsyah.
Adapun di
Yaman, masyarakatnya banyak yang menuhankan dan menyembah matahari. Fenomena
ini disinggung Allah ketika menceritakan kisah Ratu Saba’. Allah berfirman:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً
تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah
mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang
besar.
QS:An-Naml | Ayat: 23
QS:An-Naml | Ayat: 23
وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا
يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ
أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain
Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan
mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat
petunjuk,
QS:An-Naml | Ayat: 24
QS:An-Naml | Ayat: 24
Beberapa
aliran agama Majusi (penyembah api) yang berasal dari Persia juga masuk ke
Jazirah Arab. Ibnu Qutaibah mengatakan, “Beberapa penganut agama Majusi di wilayah Tamim yang
cukup terkenal adalah Zurarah dan anaknya. Adapun di kalangan Quraish, yang
dianut saat itu adalah agama Majusi aliran Zindiq. Aliran ini mereka ambil dari
Hirah.” Tercatat, Aqra’ bin
Habis dan Abu Sud (kakek Waki’ bin Hisan) termasuk di antara mereka yang
beragama Majusi. Ajaran Majusi ini juga masuk ke wilayah Hajar dari Bahrain.
Mereka beranggapan bahwa apabila musuh-musuh mereka terbunuh di negeri mereka,
hal itu akan mengotori mereka.
Adapun
agama Yahudi yang masuk ke Jazirah Arab (khususnya Madinah, Khaibar, Wadil
Qura, Fadak, dan Taima) bersamaan dengan eksodus besar-besaran golongan Yahudi
ke wilayah ini. Agama Yahudi juga masuk di Yaman yang dianut oleh Dzu Nuwas,
Raja Himyar. Orang inilah yang kemudian memaksa kaum Nasrani untuk menganut
ajaran Yahudi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Agama
Yahudi juga memiliki pemeluk dari Bani Kinanah dan Bani Haris bin Ka’ab. Yang
menyebarkannya kepada mereka kemungkinan adalah kaum Yahudi Yatsrib dan
Khaibar.
Sedangkan
agama Nasrani boleh dibilang hanya berkembang di Ghasasinah dan Manadzirah. Ada
beberapa biara yang terkenal di kota Hirah, yaitu biara Hindun Al-Aqdam (si
pemberani), biara Lahaj, dan biara Harah. Selain itu, ajaran Nasrani juga
berkembang secara terbatas di wilayah Jazirah Arab bagian selatan. Para
pengikut Kristen di wilayah ini mendirikan gereja di Dhaffar dan And. Adapun
penganut Kristen dari Najran, mereka memiliki kisah tersendiri bersama
Rasulullah di Mekkah dan juga Madinah. Kisah ini akan kita bahas di bab
berikutnya.
Pada sisi
lain, ada beberapa kabilah Quraish yang memeluk Nasrani. Salah satunya adalah
Bani Asad bin Abdul Uzza. Agama Kristen di peluk juga oleh Bani Amri Al-Qais
dari kabilah Tamim, Bani Taglab dari suku Rabi’ah, dan sebagian kabilah
Qudha’ah. Disebutkan bahwa mereka mendapatkan ajaran Kristen ini dari bangsa
Arab yang cukup terkenal saat itunadalah Adi bin Hatim Ath-Thaiy’.
Dari
sejarah dan perkembangan agama Yahudi maupun Nasrani di Jazirah Arab, terlihat
bahwa kedua agama ini tidak menyebar secara luas di wilayah Arab. Pada sisi
lain, penganut ajaran Ibrahim pun sebenarnya tidak punah seluruhnya. Bahkan di
tengah-tengah kesesatan dan penyembahan berhala tadi, masih ada sebagian
masyarakat Arab—sekalipun jumlahnya sedikit—yang masih memegang teguh ajaran
Ibrahim. Mereka inilah yang disebut Al-Hamifiyyun atau Al-Hunafa (orang-orang yang
menganut ajaran lurus dan benar). Mereka beriman kepada Allah, mengesakan-Nya,
dan menantikan datangnya seorang Nabi yang dijanjikan.
Di antara mereka yang masih berpegang
teguh pada agama Ibrahim itu adalah Quss bin Sa’idah Al-Iyyadi, Zaid bin Amru
bin Nufail, Umayyah bin Abu Shalt, Abu Qais bin Abu Anas, Khalid bin Sinan,
Nabighah Adz-Dzibyani, Zuhair bin Abu Salma, dan Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib,
salah satu kakek Rasulullah.
Mereka disebut ”Al-Hunafa” karena Al-Qur’an,
ajaran Ibrahim disebut agama hanif. Allah berfirman:
إِنِّي وَجَّهْتُ
وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
QS:Al-An'am | Ayat: 79
QS:Al-An'am | Ayat: 79
مَا كَانَ
إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا
وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang
Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
QS:Ali Imran | Ayat: 67
QS:Ali Imran | Ayat: 67
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ
فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan)
Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang musyrik.
QS:Ali Imran | Ayat: 95
QS:Ali Imran | Ayat: 95
Untuk
mengenal sosok-sosok “Al-Hanifiyyun” tadi lebih dekat,
berikut akan dipaparkan secara ringkas sejarah hidup dan keimanan beberapa
orang di antara mereka
a. Zaid bin Amru bin Nufail
Ibnu
Ishaq menuturkan, Asma binti Abu Bakar bercerita; “Aku melihat Zaid bin Amru bin Nufail menyandarkan
punggungnya ke Ka’bah seraya berseru, ‘Hai orang-orang Quraish, demi jiwa Zaid
yang di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya tidak ada satu pun di antara kalian
yang mempertahankan agama Ibrahim selain diriku.’ Lalu ia berkata lagi, ‘Ya
Allah, seandainya aku mengetahui cara ibadah yang paling Kau sukai, niscaya aku
akan menyembah-Mu dengan cara itu. Akan tetapi, aku tidak mengetahuinya.’
Kemudian ia bersujud di atas kendaraannya dan berdoa dengan menghadap ke Ka’bah
seraya berkata, ‘Tuhanku adalah Tuhan Ibrahim dan agamaku adalah agama
Ibrahim.’ Ia juga seorang penentang adat penguburan hidup-hidup anak-anak
perempuannya, ‘Jangan membunuhnya. Penuhilah tanggung jawabmu kepadanya.
Apabila ia telah dewasa, engkau dapat terus mengurusnya atau menikahkannya’.”
Al-Bukhari menuturkan, “Ibnu Umar menceritakan bahwa Zaib bin Amru bin Nufail pernah pergi ke
syam mencari agama yang benar untuk dianutnya. Ia menemui seorang pemuka Yahudi
dan bertanya padanya tentang agama mereka dengan harapan akan menemukan agama
yang akan dianutnya. Orang Yahudi itu menjawab, ‘Engkau tidak akan menganut
agama kami sebelum engkau mengambil bagianmu dari murka Allah.’
Zaid pun berkata, ‘Aku tidak akan pernah
lari kecuali dari kemurkaan Allah, dan aku tidak kuasa dan sanggup menanggung
kemurkaan-Nya sedikit pun. Dapatkah engkau menunjukkan kepadaku ajaran
lainnya?’
Orang Yahudi itu menjawab, ‘Aku tidak
mengetahui jalan lain kecuali engkau mau menjadi seorang hanif.’
Zaid bertanya, ‘Apakah hanif itu?’
Orang Yahudi tersebut menjawab, ‘Hanif
adalah agama Ibrahim. Ia bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang
Nasrani. Dan ia juga tidak menyembah kepada selain Allah.’
Kemudian Zaid meninggalkan orang itu dan
menemui seorang pemuka Nasrani. Keduanya terlibat percakapan yang sama dengan
percakapannya dengan orang Yahudi tadi. Setelah mendengar pengakuan mereka
tentang Ibrahim, Zaid meninggalkan Syam. Sesampainya di luar Syam, ia
mengangkat kedua tangannya seraya berseru, ‘Ya Allah, aku bersaksi kepada-Mu
bahwa aku telah masuk agama Ibrahim’.”
Kabarnya
Zaid tidak pernah mau memakan daging sembelihan orang-orang Quraish. Ia selalu
berkata, “Aku tidak akan pernah memakan apa yang kalian sembelih untuk
berhala-berhala kalian. Aku tidak akan pernah memakan binatang kecuali yang
disembelih dengan menyebut nama Allah. ”
Dalam
celaannya terhadap penyembelihan masyarakat Quraish, ia sering mengatakan, “Binatang ternak itu
diciptakan oleh Allah. Dia pula yang telah menurunkan air hujan dari langit
untuk member minum dan makan kepadanya. Maka, mengapa kalian menyembelih binatang
tersebut tanpa menyebut nama Allah?”
Ada
beberapa hadits dha’if yang bercerita tentang
tokoh ini. Kendati dha’if, hadits-hadits ini
memuat beberapa tambahan keterangan yang memperkuat hadits-hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Oleh karena itu, martabat hadits-hadits dha’if ini naik menjadi hasan li ghairih. Pada umumnya,
semua hadits ini menunjukkan bahwa Zaid adalah sosok pencari agama yang benar
dan akhirnya berketetapan hati pada agama Ibrahim a.s.
Tentang Zaid bin Amru bin Nufail,
Rasulullah pernah bersabda, “Pada hari itu satu umat akan dikumpulkan di antara umtku dan umat Isa bin
Maryam.” Beliau berkata lagi, “Aku masuk ke dalam surga dan melihat Zaid bin Amru memiliki dua batang
pohon yang indah.”
Zaid bin Amru bin Nufail sempat bertemu
dengan Rasulullah dan meninggal sebelum beliau diutus menjadi nabi.
b. Waraqah
bin Naufal
Pada suatu hari, Rasulullah mengatakan kepada Khadijah r.a. bahwa beliau baru saja melihat seberkas sinar dan beliau khawatir sinar itu adalah para jin. Khadijah pun menenteramkan beliau. Kemudian ia menjumpai Waraqah dan menceritakan kepadanya tentang apa yang dialami oleh Rasulullah. Waraqah berkata, “Apabila ia benar, sinar itu adalah wahyu seperti wahyu Nabi Musa. Dan sesungguhnya apabila beliau (Muhammad) diutus (menjadi Nabi) saat aku masih hidup, niscaya aku akan memuliakannya, membantunya, dan beriman kepadanya.”
Berbagau khabar dan atsar lain yang menceritakan proses keislaman tokoh ini akan kita kupas lebih
dalam di bahasan permulaan turunnya wahyu kepada Muhammad dan kaum Muslimin
generasi pertama. Pada bab ini akan kita kutipkan beberapa bait syair yang
indah terkait dengan masalah ketauhidan dan kenabian tersebut.
c. Quss
bin Sa’idah Al-Iyadi
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ketika para
utusan Abdul Qais datang, Rasulullah menanyakan kepada mereka kabar Quss.
Mereka mengabarkan bahwa Quss telah meninggal. Kemudian beliau berkata seperti
yang telah disebutkan dalam riwayat Ibnu Shamit tadi.
Ibnu Ktsir dan Al-Baihaqi meriwayatkan
pula beberapa hadits lain yang berhubungan dengan kisah Quss ini. Substansi
ceritanya sama dengan riwayat di atas, yakni tentang keteguhan Quss dalam
mempertahankan agama Ibrahim, berbagai perkataannya yang mengarah kepada hal
itu, dan syair-syairnya yang berhubungan dengan religiusitas dirinya. Ini
berarti, kisah tentang Quss memang memiliki sumber sejarah, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Katsir dan Al-Baihaqi.
d. Umayyah
bin Abi Shalt
Nama ini pernah disebut-sebut Rasulullah
dalam salah satu sabdanya. Beliau bersabda, “Umayyah bin Abi Shalt seperti sudah memeluk Islam.” Riwayat lain
menyebutkan beliau pernah bersabda, “Ia (Umayyah bin Abi Shalt) seperti beragama Islam dalam syair-syairnya.”
Diriwayatkan, Umayyah bin Abi Shalt
termasuk salah satu pengikut ajaran Ibrahim yang akhirnya menjadi pemeluk
Nasrani dan syair-syairnya banyak mengandung makna ketauhidan, hari
kebangkitan, dan Hari Kiamat. Umayyah bin Abi Shalt juga termasuk salah satu
penyair ulung pada zamannya. Ia hidup sampai masa kerasulan Muhammad untuk
menyebarkan ajaran Islam. Sayangnya, ia tidak beriman karena merasa gengsi bila
harus menjadi pengikut Muhammad. Sikap inilah yang melatarbelakangi turunnya
firman Allah yang berbunyi:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ
نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ
الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian
dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan
(sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
QS:Al-A'raf | Ayat: 175
QS:Al-A'raf | Ayat: 175
Konon ia meninggal pada tahun ke-9 H. akan
tetapi, riwayat lain menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun ke-2 H. yang
jelas, Umayyah pernah mengarang sebuah syair tentang dkacitanya karena banyak
kaum Quraish yang tewas pada Perang Badar Kubra.
e. Labid
bin Rabi’ah Al-Amiri Al-Kilabi Al-Ja’fari
Labid wafat setelah masuk Islam, tepatnya
pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Disebutkan bahwa saat wafat ia berumur
150 tahun. Namun, ada riwayat lain yang mengatakan umurnya lebih dari 150
tahun.
Selain nama-nama di atas, masih banyak tokoh
lain yang juga dikenal sebagai penganut agama hanif (ajaran Ibrahim). Mereka adalah Arbab bin Ri’ab,
penyair ternama Suwaid bin Amir Al-Musthaliqi, As’ad bin Abu Karab Al-Himyari,
Waqi’ bin Salamah bin Zuhair Al-Iyadi, Umair bin Haidzab Al-Juhani, Adi bin
Zaid Al-Ubaddi, akhirnya menjadi penganut Kristen. Yang lain adalah Abu Qais
Surrah bin Abi Anas Al-Bukhari, Saif bin Dzi Yazan Al-Humairi, Amir bin Dharab
Al-Adwani, penyair Abdul Thanijah bin Tsa’lab bin Wabrah bin Qudha’ah, Alaf bin
Syihab At-Tamimi, Multamis bin Umayyah Al-Kanani, para penyair. Berikutnya
Suhair bin Abi Salma, Khalid bin Sinan bin Ghaits Al-Abasi, Abdullah Al-Qudai,
Ubaid bin Abrash Al-Asadi, Ka’ab bil Lu’ay bin Ghalib Al-Quraishi (salah satu
kakek Rasulullah), dan Utsman bin Huwairits, salah satu orang yang juga pernah
melakukan perjalanan untuk mencari ilmu agama. Namun, kemudian ia mendapat
kedudukan yang cukup terhormat dari Kaisar Romawi sehingga akhirnya beragama
Nasrani. Nama-nama lain yang sempat terekam oleh sejarah adalah Amru bin Abasah
As-Silmi (akhirnya masuk Islam), Aktam bin Shaifi bin Rabah, dan Abdul
Muthalib, kakek Rasulullah.
3.
Kondisi Sosial
Bangsa Arab Jahiliyyah
Situasi dan kondisi social suatu
masyarakat di mana pun berada tidak bisa dipisahkan dari kondisi politik,
ekonomi, dan keagaan masyarakat tersebut. Pada masyarakat Arab Jahiliyyah,
penyembahan terhadap berhala merupakan fenomena umum keagaan di tengah-tengah
mereka. Padahal penyembahan terhadap berhala sangat bertentangan dengan fitrah
dan logika manusia. Akibatnya, fenomena social kehidupan masyarakat Arab kala
itu juga sangat banyak yang bertentangan dengan fitrah dan logika.
Salah satu fenomena tersebut adalah
degradasi moral yang cukup parah di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah.
Hal itu tercermin dari merajalelanya praktek-praktek perbuatan tercela di
antara mereka, seperti meminum minuman keras, perjudian, nikah tanpa batasan,
pembunuhan terhadap anak-anak karena miskin atau takut miskin, pembunuhan
terhadap anak-anak perempuan karena takut terkena aib, juga berbagai konflik
social (perang antar kelompok) dan aksi balas dendam.
Semua perbuatan itu hampir semuanya
diceritakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam
sabda-sabdanya. Bahkan Allah berulangkali melontarkan kecaman keras atas
perilaku mereka. Sementara itu, Rasulullah sendiri sepanjang hidupnya
senantiasa memerangi berbagai perilaku tercela mereka.
Ibnu Abbas menuturkan, “Rasulullah bersabda,
‘Apabila engkau ingin mengetahui kebodohan masyarakat Arab, bacalah ayat 130 ke
atas dari surat Al-An’am’.”
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an lain yang
membicarakan masalah perbuatan kaum Jahiliyyah di antaranya sebagai berikut:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
QS:At-Takwiir | Ayat: 8
QS:At-Takwiir | Ayat: 8
بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
karena dosa apakah dia dibunuh,
QS:At-Takwiir | Ayat: 9
QS:At-Takwiir | Ayat: 9
وَإِذَا بُشِّرَ
أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَٰنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ
كَظِيمٌ
Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar
gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah;
jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.
QS:Az-Zukhruf | Ayat: 17
QS:Az-Zukhruf | Ayat: 17
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ
ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat
marah.
QS:An-Nahl | Ayat: 58
QS:An-Nahl | Ayat: 58
يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ
سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي
التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan
buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
QS:An-Nahl | Ayat: 59
QS:An-Nahl | Ayat: 59
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.
QS:Al-Maidah | Ayat: 90
QS:Al-Maidah | Ayat: 90
قُلْ تَعَالَوْا
أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).
QS:Al-An'am | Ayat: 151
QS:Al-An'am | Ayat: 151
وَلَا تَقْتُلُوا
أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ
قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
QS:Al-Israa' | Ayat: 31
QS:Al-Israa' | Ayat: 31
Di kalangan masyarakat Arab kelas menengah
ke bawah saat itu juga marak berbagai praktek perkawinan yang tidak jauh berbeda
dengan prostitusi.
Al-Bukhari dan Abu Daud menuturkan bahwa
Aisyah r.a. berkata, “Ada empat bentuk praktek perkawinan pada zaman Jahiliyyah:
- Perkawinan seperti yang lazim kita kenal sekarang ini.
- Perkawinan istibdha’: yakni kawinnya seorang lelaki dengan istri orang lain setelah ia menggaulinya pada saat sedang suci dan belum digauli oleh suaminya yang sah.
- Perkawinan rahth: yakni perkawinan yang telah terjadi setelah sekelompok lelaki berjumlah kurang dari 10 orang sepakat untuk melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan yang bukan istri mereka secara bergiliran. Apabila hamil dan telah melahirkan, perempuan tersebut dihadirkan di depan para lelaki tadi untuk memilih siapa yang harus menjadi ayah dari anak yang baru saja dilahirkannya.
- Perkawinan rabi’: yaitu ketika sekelompok lelaki berjumlah lebih dari 20 orang secara bergiliran menggauli seorang perempuan di rumahnya yang bertanda khusus. Setelah perempuan tersebut hamil dan melahirkan, para lelaki tadi dikumpulkan di depannya. Selanjutnya, si perempuan akan menentukan siapa ayah si anak dari orang yang paling banyak memiliki kemiripan dengan anak tersebut.”
Agama Islam melarang semua bentuk
pernikahan Jahiliyyah,yakni bentuk pernikahan di luar yang lazim dilakukan oleh
orang-orang pada zaman sekarang ini.
Ironisnya, dalam melakukan praktek-praktek
perkawinan amoral itu, mereka tidak merasa malu atau menganggapnya sebagai aib.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, “Seseorang pernah berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, si Fulan
(dengan menyebutkan nama seseorang) adalah putraku. Aku telah berzina dengan
ibunya pada zaman Jahiliyyah’ .”
Rasulullah pun bersabda, “Tidak ada lagi
tuduhan pada masa Islam ini. Semua perkara zaman Jahiliyyah telah berlalu.
Seorang anak adalah milik tempat tidur dan bagi seorang pezina adalah rajam.”
Penulis bisa menyebutkan kisah perseteruan
Sa’ad bin Abu Waqqash dengan Abdu bin
Zam’ah terkait dengan masalah anak budak perempuan Zam’ah, yaitu Abdurrahman
bin Zam’ah.
Lebih dari itu, di masyarakat Arab
Jahiliyyah juga berlaku kebiasaan mengawini dua perempuan bersaudara dalam satu
waktu, menikahi istri-istri ayah sendiri yang sudah diceraikan atau ditinggal
mati oleh sang ayah. Terkait masalah ini, Allah berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS:An-Nisaa | Ayat: 23
QS:An-Nisaa | Ayat: 23
Pada ayat lain, Allah menegaskan:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا
نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
QS:An-Nisaa | Ayat: 22
QS:An-Nisaa | Ayat: 22
Pada masa Jahiliyyah, perjatuhan talak
juga tidak memiliki batas tertentu. Seorang lelaki bisa sesuka hati menjatuhkan
talak kepada istrinya, kemudian rujuk kembali sampai berkali-kali. Islam
kemudian membatasinya sampai dua saja. Hal ini ditegaskan Allah dalam
firman-Nya:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ
أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا
تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 229
QS:Al-Baqarah | Ayat: 229
Sekalipun banyak penyakit moral yang
merebak di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah kala itu, masih ada
beberapa hal positif dalam kehidupan politik dan social mereka. Agaknya,
realitas inilah yang mendasari terpilihnya mereka sebagai pemikul atau
pengemban ajaran-Nya ke seluruh alam semesta.
Di antara hal-hal positif itu adalah bahwa
kebodohan masyarakat Arab Jahiliyyah bukanlah sesuatu yang mengakar, alias
tidak didasari oleh suatu doktrin filosofis yang kuat dan sulit untuk dikikis
sebagaimana yang terjadi di wilayah-wilayah sekitarnya.
Hal-hal positif lain yang dimiliki
masyarakat Arab adalah: pertama, mereka keras dalam kemauan dan teguh dalam memegang keimanan. Tentang
kedua karakter ini Allah berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ
نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak merubah (janjinya),
QS:Al-Ahzab | Ayat: 23
QS:Al-Ahzab | Ayat: 23
Kedua, mayoritas bangsa Arab sangat
menghormati nilai-nilai keutamaan dan orang-orang yang berakhlak mulia. Ini
dapat gilihat dari sikap mereka terhadap Rasulullah sebagai orang yang memenuhi
criteria di atas. Jelasnya adalah seperti tercermin dalam pernyataan Abu Sufyan
kepada Heraklius, yang akan kita bahas pada bab berikutnya.
Ketiga, mayoritas bangsa Arab memiliki
daya ingat yang sangat kuat. Ada banyak fakta dan cerita sehubungan dengan
realitas ini. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri
menceritakan, “Suatu ketika aku akan melewati Baqi’. Maka aku pun bersiap-siap menutupi
kedua lubang telingaku agar tidak mendengar perkataan-perkataan buruk. Akan
tetapi, demi Allah, tidak tidak satu kata pun yang kulupakan.”
Ibnu Abdill Barr juga mengatakan, “Salah satu dari
mereka mampu menghapal syair-syair orang lain dengan sekali dengar saja.
Diceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. mampu menghapal salah satu syair milik Umar
bin Abi Rabi’ah kendati baru mendengarnya sekali saja. Kita tidak dapat
menemukan orang seperti itu pada zaman sekarang ini. Seandainya pada saat ini
tidak ada para penulis, niscaya berbagai ilmu pengetahuan akan hilang dari
kita.”
Fakta di atas memperkuat pendapat bahwa
tidaklah aneh bila Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, dan Aisyah r.a.
memiliki hapalan hadits yang sangat banyak jumlahnya. Tercatat, Abu Hurairah
meriwayatkan sebanyak 5.374 hadits, Abdullah bin Amru meriwayatkan sebanyak
2.630 hadits, dan seterusnya.
Bangsa Arab Jahiliyyah waktu itu sangat
menyukai kebebasan. Mereka tidak mengenal kata tunduk, kecuali kepada
orang-orang yang memiliki pengaruh, pemberani, disegani, memiliki sifat jantan,
sabar, penyayang, toleran, dan sifat-sifat baik lainnya.
Bahkan, sekalipun menyembah berhala,
mereka tidak mengingkari keberadaan Allah. Tentang hal ini, Allah befirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan
bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah
mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 61
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 61
Allah mempertegas lagi dalam firman-Nya:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu
bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah",
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya).
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 63
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 63
Satu lagi, masyarakat Arab memiliki satu
bahasa, bahasa yang sangat istimewa dan jelas, serta dapat menggambarkan Islam
dengan terang.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar