Senin, 06 Januari 2014

Filled Under:

Abdullah bin Az-Zubair (Seorang Tokoh dan Syahid yang Luar Biasa).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ia masih merupakan janin dalam rahim ibunya ketika sang ibu menempuh perjalanan di padang pasir yang panas dalam perjalanan hijrah dari Mekkah ke Madinah yang agung. Abdullah bin Az-Zubair  memang ditakdirkan untuk melakukan hijrah bersama kaum Muhajirin selagi belum muncul ke alam dunia, namun masih tersimpan dalam perut ibunya.

     Ibunya, Asma’, semoga Allah ridha kepadanya dan ia pun ridha kepada Allah, ketika telah tiba di Quba’, suatu dusun di luar Madinah, saat melahirkan pun tiba dan jabang bayi yang muhajir itu pun masuk ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya Muhajirin lainnya dari para shahabat Rasulullah .

     Bayi yang pertama lahir pada saat hijrah itu dibawa kepada Rasulullah  di rumahnya di Madinah. Beliau menciumi kedua pipinya dan mengecup mulutnya, hingga yang pertama masuk ke rongga perut Abdullah bin Az-Zubair  itu ialah air liur Rasulullah  yang mulia.

     Kaum Muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dab takbir. Itu mereka lakukan karena ketika Rasulullah  dan para shahabatnya tiba di Madinah, orang-orang Yahudi merasa kesal dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap kaum Muslimin. Mereka menyebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum Muslimin dan membuat mereka menjadi mandul, sehingga mereka tidak akan mempunyai bayi di Madinah. Karena itulah, ketika Abdullah bin Az-Zubair  muncul dari alam rahim, hal ini merupakan suatu kenyataan yang menolak kebohongan orang-orang Yahudi di Madinah dan mematahkan tipu daya mereka.

     Pada masa hidup Rasulullah , Abdullah  belum mencapai dewasa. Tetapi, lingkungan hidup dan hubungannya yang akrab dengan Rasulullah  telah membentuk kerangka kepahlawanan dari prinsip hidupnya, sehingga darma baktinya dalam menempuh kehidupan di dunia ini tetap dikenang orang dan tercatat dalam sejarah dunia.

     Anak kecil itu tumbuh dengan cepat. Vitalitas, kecerdasan, dan keuletannya yang luar biasa. Masa mudanya dilaluinya tanpa noda sebagai seorang suci, tekun ibadah, hidup sederhana, dan perwira gagah perkasa. Demikianlah, hari-hari dan peruntungan itu dijalaninya dengan tabiatnya yang tidak berubah dan semangat yang tidak pernah kendur. Ia benar-benar seorang lelaki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan kokoh dan luar biasa.

     Ketika terjadi penaklukan di Afrika, Andalusia, dan Konstantinopel, ia, yang waktu itu belum melebihi usia tujuh belas tahun, tampil sebagai salah seorang pahlawan yang namanya terukir sepanjang masa. Dalam pertempuran di Afrika, kaum Muslimin yang jumlahnya hanya 20 ribu personel itu menghadapi musuh yang berkekuatan sebanyak 120 ribu orang.

     Pertempuran berkecamuk dan pasukan Islam terancam bahaya besar. Abdullah bin Az-Zubair  mengamati kekuatan musuh dan segera menangkap di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain ialah dari Raja Barbar yang menjadi tentara panglima tentaranya sendiri. Raja itu tidak putus-putusnya berteriak kepada tentaranya dan membangkitkan semangat mereka dengan cara istimewa yang mendorong mereka untuk menerjuni maut tanpa rasa takut.

     Abdullah  menyadari bahwa pasukan berani mati itu tidak mungkin ditaklukan, kecuali dengan kematian panglima yang menakutkan tersebut. Tetapi, bagaimana cara untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kokoh yang terdiri dari susunan tentara musuh yang bertempur laksana badai itu?

     Namun, keberanian dan kenekatan Ibnu Zubair  tidak akan pernah berhenti pada pertanyaan-pertanyaan saja. Ketika itulah ia memanggil sebagian rekan-rekannya, lalu berkata, “Lindungilah aku dari belakang dan mari menyerbu bersamaku.

     Bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya, mereka berkibar di tempat panglima Barbar berdiri, menyampaikan perintah, dan mengatur siasat, mereka tahu bahwa kemenangan telah tercapai. Secara serentak mereka menyerbu ke gelanggang dan segala sesuatu pun berakhir dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin.

     Panglima tentara Islam pada waktu itu, Abdullah bin Abu Sarah , mengetahui peranan penting yang telah dilakukan oleh Ibnu Zubair . Sebagai imbalannya, ia memintanya agar menyampaikan sendiri berita kemenangan itu ke Madinah, terutama kepada Khalifah Utsman bin Affan .

     Kepahlawanannya dalam medan perang memang unggul dan luar biasa, tetapi hal itu tidak bisa mengungguli kepahlawanannya dalam beribadah. Orang yag keunggulannya bisa membangkitkan rasa bangga dan ujub dengan berbagai alasannya itu akan membuat kita takjub, karena ia selalu ditemukan dalam lingkungan orang-orang saleh dan rajin beribadah.

     Jadi, reputasi, usia muda, kedudukan yang tinggi, kejayaan, dan kekuatannya tidak mampu sama sekali menghalangi Abdullah bin Az-Zubair  untuk menjadi seorang lelaki yang ahli ibadah yang berpuasa pada siang hari dan qiyamul lail pada malam hari dengan kekhusyukan yang menakjubkan hati.

     Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz  berkata kepada Ibnu Abu Mulaikah , “Ceritakanlah kepada kami kepribadian Abdullah bin Az-Zubair .

     Ibnu Abu Mulaikah  berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat jiwa yang menyatu dalam raga seperti jiwanya. Ia tekun melakukan shalat dan mengakhiri segala sesuatu dengannya. Ia selalu rukuk dan sujud yang lama hingga burung-burung pipit bertengger di atas bahu dan punggungnya, menyangkanya tembok atau kain yang tergantung. Sebuah peluru dengan pelontar manjaniq pernah lewat di antara janggut dan dadanya saat ia shalat. Tetapi, Demi Allah, ia tidak peduli dan tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu rukuknya.

     Berita-berita yang sebenarnya yang diceritakan oleh sejarah tentang ibadah Ibnu Zubair  memang mirip dongeng. Karena, ia memang tiada tanding dalam ibadah puasa, shalat, haji, zakat, demikian juga ambisinya yang tinggi, kemuliaan dirinya, menghabiskan malam sepanjang hidupnya untuk bersujud dan beribadah, Manahan lapar waktu siang, sepanjang usianya untuk berpuasa dan berjihad, keimanannya yang teguh kepada Allah, dan ketakutannya kepada-Nya yang dahsyat.

     Ibnu Abbas  pernah ditanyai orang mengenai Ibnu Zubair . Walaupun diantara dua orang ini terdapat perselisihan paham, Ibnu Abbas  menjawab, “Ia adalah seorang qari’ Kitab Allah dan pengikut sunnah Rasul-Nya, tekun beribadah kepada-Nya, serta puasa pada siang hari karena takut kepada-Nya. Ia adalah seorang putra pengikut Rasulullah , ibunya ialah Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, sedangkan bibinya ialah A’isyah istri Rasulullah . Tidak ada seorang pun yang tidak mengakui keutamaannya, kecuali orang yang dibutakan matanya oleh Allah.

     Soal kekuatan akhlak dan kekonsistenan sifat, Abdullah bin Az-Zubair  menandingi kekokohan gunung. Ia merupakan pribadi yang terbuka, mulia, tangguh, dan selalu dalam kondisi siap mempertaruhkan nyawanya sebagai tebusan keterusterangan dan lurusnya jalan yang akan ditempuhnya.

     Ketika ia masuk dalam perselisihan dengan orang-orang Umawiyah, ia dikunjungi oleh Hushain bin Numair , panglima tentara yang dikirim oleh Yazid untuk memadamkan pemberontakkan Ibnu Az-Zubair . Hushain  berkunjung kepadanya tidak lama setelah terdengar berita di Mekkah tentang kematian Yazid . Menawarkan kepada Ibnu Zubair  untuk ikut pergi bersamanya ke Syria, dan ia akan menggunakan pengaruhnya yang besar di sana agar baiat dapat diberikan kepadanya.

     Abdullah  menolak kesempatan emas ini karena menurut keyakinannya, pasukan Syria seharusnya menerima hukuman qishash sebagai balasan atas perbuatan keji yang dilakukan oleh anak buahnya selama invasi mereka yang amoral terhadap Madinah, demi memenuhi kehendak orang-orang Bani Umayyah.

     Kita mungkin saja berbeda pendapat dengan Abdullah  mengenai pendiriannya ini karena kita berharap ia lebih mementingkan perdamaian dan kententeraman, serta menggunakan kesempatan langka yang ditawarkan Hushain, panglima perang Yazid. Tetapi, pendirian seorang ksatria mana saja yang didasari oleh keyakinan dan kepercayaannya, dan penolakannya terhadap kesombongan dan kemunafikan merupakan suatu hal yang patut mendapatkan penghargaan dan kekaguman.

     Ketika ia diserang oleh Al-Hajjaj dengan bala tentaranya yang mengepungnya dengan ketat, di antara anak buah Ibnu Zubair  sebagian besar merupakan orang-orang Habasyah (Ethiopia) yang selalu hidup di medan perang dan para pemanah yang mahir. Ibnu Zubair  mendengar mereka sedang membicarakan khalifah yang telah wafat, Utsman bin Affan , tanpa mengindahkan tata tertib kesopanan dan tidak adil. Ketika itu ia mencela mereka, “Demi Allah, aku tidak sudi meminta bantuan dalam menghadapi musuhku kepada orang-orang yang membenci Utsman .

     Pada saat itu ia sangat memerlukan bantuan, bagaikan seseorang yang tenggelam membutuhkan pertolongan, tetapi uluran tangan orang tersebut ditolaknya. Keterbukaannya terhadap dirinya dan kesetiaannya terhadap akidah dan prinsipnya yang tidak peduli kehilangan dua ratus orang pemanah termahir yang agama mereka tidak dipercayai dan berkenan dihatinya. Padahal, waktu itu ia sedang berada dalam peperangan yang akan menentukan hidup matinya, dan kemungkinan besar akan berubah arah seandainya pemanah-pemanah ahli itu tetap berada di sampingnya.

     Kemudian penolakannya terhadap Mu’awiyah dan putranya, Yazid, sungguh-sungguh merupakan kepahlawanan yang luar biasa. Menurut pandangannya, Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb  itu adalah orang terakhir yang layak menjadi khalifah kaum Muslimin, bila ia memang layak secara umum. Pandangannya ini memang beralasan karena Yazid buruk dalam soal apa pun. Ia tidak memiliki satu pun keutamaan yang dapat menghapus kejahatan dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita. Maka bagaimana mungkin Ibnu Az-Zubair  akan berbaiat kepadanya?

     Ia telah menyampaikan kata-kata penolakannya yang sangat keras terhadap Yazid kepada Mu’awiyah selagi ia masih hidup. Ia mengulangi penolakannya itu ketika Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubair  yang mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak mau berbaiat kepada Yazid.

     Ketika itu Ibnu Zubair  memberikan jawabannya, “Aku tidak akan berbaiat kepada si pemabuk selamanya.

     Ia kemudian melantunkan syair:

Tidak ada kelembutan kepada selain kebenaran

Kecuali bila geraham dapat mengunyah batu menjadi lembut.

     Ibnu Zubair  tetap menjadi Amirul Mukminin dengan mengambil wilayah Mekkah sebagai ibukota pemerintahan dan kekuasaan meliputi Hijaz, Yaman, Bashrah, Kufah, Khurasan, dan seluruh kecuali Damaskus, setelah ia mendapatkan baiat dari seluruhwarga di semua wilayah tersebut.

     Tetapi, orang-orang Bani Umayyah tidak tinggal diam dantidak pernah tenang sebelum menjatuhkannya. Mereka melancarkan serangan yang bertubi-tubi, yang sebagian besar di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kegagalan.

     Perlawanan itu terus berlangsung hingga akhirnya datanglah masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Untuk menyerang Abdullah  di Mekkah itu, Abdul Malik memiliki salah seorang anak manusia yang paling celaka dan paling merajalela kekejaman dan kebuasannya. Dialah Al-Hajjaj Ats-Tsaqafi yang mengenai pribadinya Umar bin Abdul Aziz, imam yang adil itu, pernah berkata, “Andainya semua umat datang dengan membawa kesalahan masing-masing, sedangkan kami hanya datang dengan kesalahan Al-Hajjaj seorang saja, kami pasti mengungguli mereka semua.

     Dengan mengerahkan anak buah dan orang-orang bayarannya, Al-Hajjaj datang menyerang Mekkah. Ia mengepung kota itu dan penduduknya selama sekitar enam bulan dan memutus sumber makanan dan air bagi penduduk, dengan harapan agar mereka meninggalkan Ibnu Zubair  sebatang kara, tanpa tentara dan sanak saudara.

     Di bawah tekanan kelaparan yang menyerang itu banyak orang yang menyerahkan diri, hingga Ibnu Zubair  mendapatkan dirinya sendirian meloloskan diri dan menyelamatkan nyawanya masih terbuka, Ibnu Zubair  memutuskan akan memikul tanggung jawabnya sampai titik terakhir. Ia terus menghadapi serangan tentara Al-Hajjaj itu dengan keberanian yang tidak dapat dilukiskan, padahal usianya ketika itu mencapau 70 tahun.

     Kita tidak dapat melihat gambaran sesungguhnya dari pendirian yang luar biasa ini, kecuali kita mendengarkan percakapan yang berlangsung antara Abdullah  dan ibunya yang agung dan mulia, Asma’binti Abu Bakar, yakni saat-saat terakhir dari kehidupannya.

     Ia menemui ibunya dan menjelaskan sikapnya secara terperinci di hadapannya, termasuk hasil akhir yang sudah tampak jelas dan menunggunya.

     Asma’ berkata kepadanya, “Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu. Bila menurut keyakinanmu, engkau berada dijalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, bersabarlah dan bertawakal dalam melaksanakan tugas itu hingga engkau mati di jalan kebenaran itu. Tidak ada kata menyerah di dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak bani Umayyah. Tetapi, bila menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, engkau adalah seburuk-buruk hamba. Engkau akan mencelakakan dirimu sendiri dan orang-orang yang berperang bersamamu.

     Abdullah  berkata, “Demi Allah, wahai bunda. Aku tidak mengharapkan dunia atau hendak mendapatkannya. Aku tidak akan berlaku aniaya dalam hukum Allah, melanggar batas, atau berbuat curang.

     Asma’ berkata lagi, “Aku memohon kepada Allah, semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku yang mendahuluimu. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, puasanya sepanjang siang, dan kebaktian kepada kedua orang tuanya Engkau terima dengan rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah, berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Az-Zubair  ini, pahalanya orang-orang yang bersabar dan bersyukur.

     Ibu dan anak itu kemudian berpelukan menyatakan perpisahan dan selamat tinggal. Beberapa lama setelah itu, Abdullah bin Az-Zubair  terlibat dalam pertempuran sengit yang tidak seimbang hingga menemui kesyahidan agung oleh pukulan yang mematikan. Peristiwa itu menjadikan Al-Hajjaj berkesempatan melaksanakan segala kejahatan dan kebuasan yang paling biadab di muka bumi. Ia tidak pernah puas sebelum menyalib tubuh syahid suci yang telah kaku itu dengan kejam dan tidak manusiawi.

     Ibunya yang waktu itu sudah berusia 97 tahun berdiri untuk melihat putranya yang disalib. Bagaikan sebuah gunung yang tinggi, ia berdiri menghadap ke arahnya tanpa bergerak. Sementara itu, Al-Hajjaj menghampirinya dengan lemah lembut dan merendahkan diri. Ia berkata, “Wahai ibu, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan memberiku wasiat agar memperlakukan ibu dengan baik. Apakah engkau membutuhkan sesuatu?

     Wanita itu berteriak di mukanya, “Aku ini bukanlah ibumu. Aku adalah ibu bagi orang yang disalib di kayu itu. Aku tidak butuh apa pun dari kalian. Aku hanya ingin menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang kudengar dari Rasulullah , ‘Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang pembunuh keji. Tentang si pembohong kita semua telah mengetahuinya (Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Ats-Tsaqafi Al-Kadzab yang mengaku nabi), sedangkan si pembunuh keji aku tidak melihatnya selain engkau’.

     Abdullah bin Umar  datang menghiburnya dan membujuknya agar bersabar. Ia menjawab, “Apa yang mengahalangiku untuk bersabar, sedangkan kepala Yahya bin Zakariyya sendiri telah diserahkan kepada salah seorang penindas dari Bani Israil?

     Betapa agungnya engkau, wahai putri Abu Bakar Ash-Shiddiq . Engkau benar, memang tidak ada lagi kata-kata yang lebih tepat diucapkan selain itu kepada orang-orang yang telah memisahkan kepada Ibnu Zubair  dari tubuhnya sebelum mereka menyalibnya.

     Bila kepala Ibnu Zubair  telah dihadiahkan kepada Al-Hajjaj dan Abdul Malik, kepala nabi yang mulia itu Yahya yang dulunya juga dihadiahkan kepada Salome, seorang wanita penindas yang hina dari Bani Israil. Ini merupakan penyerupaan yang memesona dan kata-kata yang tepat.


     Selanjutnya, apakah mungkin Abdullah bin Az-Zubair  akan menjalani hidupnya selain peringkat yang sangat tinggi dalam keunggulan, kepahlawanan, dan kesalehan, sedangkan ia menyusu kepada seorang ibu yang tipenya seperti itu? Salam bagi Abdullah . Salam bagi Asma’. Salam bagi mereka berdua di lingkungan para syuhada yang kekal dan di kalangan orang-orang utama lagi bertakwa.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf