Rabu, 05 Februari 2014

Filled Under:

Ali bin Abu Thalib (Berbudi sejak Muda).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Tokoh sahabat mulia ini adalah Ali bin Abu Thalib, sepupu Rasulullah. Rasulullah menikahkan putrinya, Fatimah dengannya. Ali adalah salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapatkan kabar gembira berupa jaminan langsung masuk surga dari Rasulullah.

     Sejak kecil beliau dibimbing dan dididik dengan cahaya wahyu Ilahi di rumah Rasulullah, sehingga tatkala usia beliau belum mencapai usia sepuluh tahun cahaya Islam masuk di benak jiwanya. Dengan demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Beliau tumbuh dan berkembang di bawah naungan etika dan moral keislaman.

     Dengan demikian, ia adalah orang pertama yang menjadi tebusan bagi Rasulullah dalam Islam, yang rela menyerahkan jiwa dan raganya. Ia adalah sosok amanah yang bersegera menyerahkan semua titipan Rasulullah kepada para pemiliknya, barulah ia hijrah ke Madinah.

     Ia senantiasa bersama Rasulullah dalam setiap pertempuran dan bahkan selalu terlihat bahwa ia adalah seorang mujahid tangguh lagi handal. Keberaniannya sangat legendaris sehingga tercatat dalam tinta emas sejarah Islam. Lidahnya sangat fasih dan memperlihatkan bahwa ilmunya bagaikan samudera lautan.

     Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia selalu menemani sang khalifah. Tatkala Umar bin Al-Khattab memegang tampuk kekhalifahan, ia adalah orang yang paling dekat dengannya. Umar selalu meminta nasehat-nasehat darinya dalam banyak urusan yang dihadapinya. Umar memandangnya sebagai sosok problem solver (pemecah masalah). Tatkala Umar bin Al-Khattab ditusuk dengan belati beracun, ia merupakan salah satu dari enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk melakukan musyawarah dalam memilih khalifah di antara mereka.

     Kemudian ditetapkanlah Utsman bin Affan sebagai khalifah. Ali selalu setia berada di samping Utsman dan membantunya dalam menjalankan roda kekhalifahan. Pada saat terjadi pengepungan terhadap Utsman, anak-anak Ali adalah orang yang melakukan pembelaan terhadap penjagaan Utsman bin Affan.

     Ali bin Abu Thalib merupakan sahabat mulia yang memiliki berbagai keutamaan yang Allah anugerahkan kepadanya, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Banyak riwayat yang shahih menyingkap dan menyibak tentang keutamaannya.

     Berbagai penulis tersohor menggoreskan pena emasnya untuk mengungkapkan aspek keutamaannya. Berbagai penyair ternama merangkaikan butir-butir syairnya mengungkapkan sisi kelebihannya. Berbagai pendidikan intens memperhatikan berbagai kelebihannya yang tak pernah henti diperbincangkan.

     Berikut beberapa keutamaan Ali bin Abu Thalib:

     1.   Teman Setia Dakwah Rasulullah.
     Salah satu sahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah dalam mengibarkan panji-panji Islam dan menegakkan bendera tauhid adalah Ali bin Abu Thalib. Ia seorang pejuang sakwah sejati, pembela kebenaran, dan pembasmi kebatilan. Oleh karena itu, ia memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia di sisi Rasulullah.

     Ia senantiasa berada di samping Rasulullah untuk menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dalam berdakwah.ia rela mengorbankan jiwa dan hartanya untuk mendampingi Rasulullah. Siang dan malam siap sedia untuk menunggu panggilan dan amanat dakwah yang akan diembannya. Sebelum memegang tampuk kepemimpinan, ia adalah seorang prajurit Islam militant yang siap setiap saat untuk diperintah oleh panglima perang. Pastas saja, Rasulullah menyebut kedudukan Ali sebagaimana Nabi Harun di sisi Nabi Musa.

     Sa’ad bin Abu Waqqash pernah berkata, “Bahwa Rasulullah tidak menyertakan Ali bin Abu Thalib pada Perang Tabuk. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau meninggalkan aku bersama para wanita dan anak-anak?’ Rasulullah bersabda, ‘Apakah kamu tidak ridha terhadap kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?’.

     2.   Orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
     Seseorang tatkala dicintai oleh belahan hatinya (suami atau istri) sangatlah bahagia dan senang. Seakan-akan tak ada kebahagiaan yang menandinginya. Bagaimanakah bila ia dicintai oleh Dzat yang menciptakan, mengatur, dan memberinya rezeki, serta memberikan segala kenikmatan yang tak terhitung?

     Sunguh Ali bin Abu Thalib adalah salah seorang sahabat Nabi yang meraih kecintaan dari Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, manusia yang terdekat dengan Allah, Nabi Muhammad sendiri yang telah mengabarkannya. Yang membuat kita kagum, bahwa beliau mengungkapkannya di hadapan sebaik-baik generasi umat ini, para sahabat Rasulullah.

     Sahl bin Sa’ad berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bersabda pada saat Perang Khaibar, ‘Sungguh akan kuberikan bendera perang esok hari kepada seseorang yang Allah akan memenangkan melalui tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.’ Malam itu para sahabat ramai memperbincangkan siapa yang yang akan mendapatkan kehormatan untuk mengemban bendera perang. Tatkala di pagi hari, semua orang pergi menghadap Rasulullah dengan mengharap akan diberikan bendera perang. Beliau bertanya, ‘Di mana Ali bin Abu Thalib?’ Dikatakan, ‘Ia sedang sakit di kedua matanya.’ Beliau bersabda, ‘Utuslah seseorang untuk menjemputnya.’ maka datanglah Ali bin Abu Thalib. Lalu Rasulullah meludahi kedua matanya dan berdoa untuknya, maka sembuhlah ia hingga seakan-akan tidak pernah sakit mata sebelumnya. Lalu beliau memberikan Ali bendera perang.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

     Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang dan Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka’. Sahabat yang ada di tempat itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebutkanlah kepada kami nama-nama mereka.’ Maka Rasulullah pun bersabda, ‘Ali adalah dari mereka—beliau bersabda demikian sampai tiga kali—, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad, dan Salman Al-Farisi. Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai mereka dan Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka’.” (HR. At-Tirmidzi)

     3.   Persaksian bahwa Ali masuk Surga.
     Surga adalah tempat kebahagiaan dan kesenangan abadi. Tak ada kesusahan dan kesengsaraan sesaat pun di dalam surga. Kehidupan bermandikan kenikmatan dan penuh keamanan sejati.

     Manusia dari generasi pertama hingga akhir zaman senantiasa berlomba-lomba untuk meraih surga, bahkan mereka rela mengorbankan jiwa dan harta mereka. Mereka rela kelelahan guna merengkuh kenikmatan surga yang tak dapat dilihat dengan mata, tak dapat didengar oleh telinga dan tak terbesit sedikit pun dalam sanubari.

     Ali bin Abu Thalib adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga tempat keabadian sejati.

     Rasulullah bersabda, “(Sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga adalah): (1) Abu Bakar; (2)Umar bin Al-Khattab;(3)Utsman bin Affan; (4)Ali bin Abu Thalib; (5)Thalhah bin Ubaidullah; (6)Az-Zubair bin Al-Awwam; (7)Abdurrahman bin Auf; (8)Sa’ad bin Abu Waqqash; (9)Sa’id bin Zaid; (10)Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

      4.   Kabar Gembira Berupa Mati Syahid.
     Mati syahid adalah mati yang diidam-idamkan oleh setiap insane yang bertakwa. Sebab, siapa saja yang mati syahid, ia akan memperoleh keutamaan dan kebaikan yang melimpah.

     Ia berhak memberikan syafaat kepada tujuh puluh dua orang keluarganya. Tetesan darah yang mengucur akan menjadi ampunan baginya. Ia tidak akan diuji di dalam kuburnya, sebab kilatan pedang di duniaa saat berhadapan dengan musuh cukuplah sebagai penggantinya. Dan berbagai keutamaan lain yang bisa diraih oleh para syuhada.

     Sungguh beruntunglah sahabat yang mulia ini, Ali bin Abu Thalib. Ia salah satu dari deretan para syuhada yang telah dikabarkan oleh Rasulullah semasa hidupnya.

     Dari Abu Hurairah ia berkata, bahwa Rasulullah pernah berada di atas bukit Hira’ bersama Abu bajar, Umar ,Utsman, Ali, Thalhah, dan Zubair. Tiba-tiba sebuah batu besar bergerak, maka Rasulullah bersabda, “Tenanglah, tidak ada yang di atasmu kecuali seorang Nabi atau shiddiq atau syahid.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)

     5.   Surga Sangat Merindukan Ali.
     Kata-kata rindu, sayang, dan cinta amat lekat di telinga manusia, terutama bagi pasangan suami istri yang baru mengarungi bahtera rumah tangga. Bahkan, kata-kata yang seperti ini mebuat hati manusia berbunga-bunga.

     Seorang suami yang dirindukan oleh istrinya karena lama tak berjumpa pasti amat berharap dan menunggu-nunggu kapan waktunya perjumpaan mereka berdua tiba.

     Itulah gambaran kerinduan kehidupan di dunia yang fana, yang kenikmatannya tak sebanding sedikit pun dengan selaksa kenikmatan surga.

     Sekarang, bagaimanakah bahagianya seseorang bila ia dirindukan oleh surga yang menjadi idamannya, surga yang menjadi tujuan hidupnya, dan surga yang menjadi persinggahan terakhirnya.

     Tentunya, kebahagiaan dan kegembiraan yang tak dapat terlukiskan dan tergambarkan dengan apapun juga.

     Diriwayatkan dari Anas, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya surga sangat merindukan tiga orang, yaitu: Ali, Ammar, dan Salman” (HR. At-tirmidzi dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani)

     6.   Ali adalah Salah Seorang Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar.
     Perang Badar adalah perang pertama bagi kaum Muslimin dalam menghadapi musuh dakwah mereka. Perang untuk menguji keteguhan dan keimanan para sahabat Nabi Muhammad dalam aspek akidah dan loyalitas kepada Islam.

     Barisan pasukan kaum musyrikin berjumlah tiga kali lebih besar dari kaum Muslimin. Persenjataan mereka begitu lengkap dan menakjubkan. Situasi ini sangat mencekam dan begitu mengerikan.

     Saking dahsyat dan kuatnya peperangan ini, maka Allah pun memberikan banyak keutamaan bagi para mujahid kaum Muslimin yang ikut serta dan berlaga dalam medan tempur ini.

     Rasulullah telah bersabda kepada Umar bin Al-Khattab, “Tahukan kamu? Sesungguhnya Allah telah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh para peserta Perang Badar. Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Lakukanlah sesuka kalian. Sesungguhnya aku telah mengampuni kalian’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

     7.   Kelembutan Rasulullah kepada Ali dan Pemberian Julukan untuknya.
     Kepribadian Rasulullah sangat luar biasa. Akhlak karimah, moralitas penuh etika dan perilaku berbudi yang luhur tercermin dalam kehidupannya. Beliau merefleksikan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Di antara akhlak karimah beliau yang menonjol adalah sifat lemah lembut.

     Sifat lemah lembut beliau tercurahkan kepada seluruh Insan, terlebih kepada menantu beliau, Ali bin Abu Thalib. Marilah kita perhatikan sebuah kisah yang menunjukkan hal tersebut.

     Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad, ia berkata, “Ali menemui Fatimah kemudian keluar, lalu berbaring di masjid. Rasulullah bertanya, ‘Di manakah putra pamanmu itu?’ Fatimah menjawab, ‘Di masjid.’ Maka Rasulullah keluar untuk menemuinya dan mendapati selendangnya jatuh dari punggungnya sehingga tanah mengotori punggungnya. Rasulullah menghapus tanah tersebut dari punggungnya seraya bersabda, ‘Duduklah, wahai Abu Turab.’ Beliau mengucapkannya tiga kali.

     8.   Ali adalah Seorang Sahabat yang Ikut Serta dalam Baiat Ar-Ridwan.
     Saat kaum Muslimin berada di Hudaibiyah, lalu ketika mereka hendak menunaikan ibadah umrah di Mekkah, mereka bertemu dengan utusan Abu Sufyan. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada kaum Muslimin berupa larangan bagi mereka untuk menunaikan Umrah di Mekkah.

     Mendengar berita tersebut, maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk melakukan perundingan dengan kaum musyrikin di Mekkah bahwa mereka hanya akan menunaikan ibadah umrah, bukan untuk berperang. Maka, terjadilah perundingan yang hangat dan seru di antara mereka. Lalu tersiarlah kabar bahwa Utsman bin Affan telah terbunuh oleh mereka.

     Saat Rasulullah mendengar berita tersebut, maka beliau mengajak kaum Muslimin untuk berbaiat (berjanji setia) di bawah pohon untuk menuntut balas darah atas Utsman bin Affan dengan perbekalan dan persenjataan seadanya. Kaum Muslimin pun sepakat akan hal demikian. Dengan peristiwa ini, Allah meridhai mereka. Oleh karena itu, baiat tersebut dinamakan Baiat Ar-Ridwan.

     Allah telah berfirman kepada para peserta baiat Ridwan, dan Ali termasuk di dalamnya:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
QS:Al-Fat-h | Ayat: 18

     Rasulullah pun memberikan kabar gembira bagi para sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan bahwa mereka tidak akan tersentuh api neraka sedikit pun.

     Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk neraka bagi orang-orang yang ikut serta dalam baiat di bawah sebuah pohon.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

     9.   Barangsiapa yang Menjadikan Rasulullah sebagai Walinya, Berarti Ia telah              Menjadikan Ali sebagai Walinya.
     Di antara keutamaannya, khutbah Rasulullah pada hari ke delapan belas di bulan Dzulhijjah pada saat haji wada’ di tempat yang bernama Ghadir Khum, dalam khutbahnya beliau bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai walinya, maka sesungguhnya ia telah menjadikan Ali sebagai walinya.” (HR. At-Tirmidzi)

     Rasulullah juga bersabda, “Ya Allah, belalah siapa saja yang membelanya (Ali), musuhilah siapa saja yang memusuhinya, tolonglah siapa siapa yang menolongnya, dan hinakanlah siapa saja yang menghinakannya.” (HR. Ahmad)

     10.   Keterangan Abdullah bin Umar tentang Keutamaan Ali bin Abu Thalib.
     Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ubaidah, ia berkata, “Seorang lelaki datang menemui Abdullah bin Umar dan bertanya kepadanya tentang Utsman. Maka, Ibnu Umar menyebutkan tentang kebaikan-kebaikan Utsman. Beliau berkata, ‘Barangkali kamu tidak menyukainya?’ ‘Benar!’ sahutnya.

     Abdullah bin Umar pun berkata, ‘Semoga Allah menghinakanmu!

     Kemudian ia bertanya tentang Ali. Ibnu Umar menyebutkan tentang kebaikan-kebaikannya. Beliau berkata, ‘Begitulah keutamaannya, rumahnya berada di tengah-tengah rumah Rasulullah.’ Kemudian beliau berkata, ‘Barangkali kamu tidak menyukainya.’ ‘Benar!’ sahutnya kembali.

     Abdullah bin Umar pun berkata, ‘Semoga Allah menghinakanmu dan menjauhkanmu dariku dengan sejauh-jauhnya’.

     Begitulah keutamaan yang dimiliki oleh sahabat yang mulia, Ali bin Abu Thalib.

     Lalu, bagaimanakah proses pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah?

     Pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah tidak seperti pengangkatan khalifah yang lain. Jika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pada saat peristiwa di Saqifah bani Sa’idah, Umar diangkat menjadi khalifah atas wasiat dari Abu Bakar, dan Utsman diangkat dengan hasil musyawarah seperti yang diperintahkan oleh Umar, maka pengangkatan Ali sebagai khalifah adalah berbeda. Inilah fleksibelitas syariat Islam dan bukan sebaliknya bahwa Islam tidak memiliki ajaran politik sebagaimana yang disampaikan oleh orang-orang sekuler.

     Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, kaum Muslimin memilih Ali bin Abu Thalib untuk menjadi pemimpin mereka dengan suara mayoritas. Para sahabat mendesaknya agar ia menyelesaikan kemelut yang menimpa mereka. Kondisi saat itu telah mengalami kekacauan dan para pemberontak telah menguasai kondisi lapangan.

     Akhirnya beliau menerima tampuk kekhalifahan walaupun tidak pernah bernafsu untuk memegangnya. Pembaiatan terhadap Ali terjadi pada hari jumat 13 Dzulhijjah tahun 35 H.

     Memperbincangkan dan membicarakan sosok sahabat mulia ini dari berbagai aspek positifnya tak akan ada habisnya.

     Pesona kebaikannya yang melimpah ada pada dirinya hingga goresan tinta emas tak ada hentinya mengungkapkan sisi kepribadiannya.

     Jiwa dan hatinya begitu bersih akibat dipenuhi gizi keimanan. Memang pantas, jika terlahir darinya kepribadian yang mengagumkan lagi menyenangkan yang layak dijadikan teladan bagi kaum Muslimin.

     Berikut ini adalah sosok kepribadiannya yang amat sangat mengagumkan yang patut bagi kita untuk menirunya:

1.    Kepahlawanannya di Medan Jihad.
     Sejak muda, Ali bin Abu Thalib adalah seorang yang merindukan mati syahid, laksana seseorang yang haus merindukan air yang segar. Lembaran-lembaran kehidupannya telah ia penuhi dengan semangat jihad. Ia adalah seorang prajurit berkuda yang tangguh dan seorang mujahid yang militan.

     Sebelum Perang Badar berlangsung, dari barisan kaum musyrikin tampil tiga orang prajurit pilihan. Mereka adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan Walid bin Utbah. Mereka berseru, “Siapakah yang sanggup melakukan perang tanding melawan kami?” Maka, majulah beberapa pemuda dari kaum Anshar. Pada saat itu juga, Utbah bin Rabi’ah berkata, “Kami tidak menginginkan kalian! Yang kami inginkan adalah orang-orang dari suku kami!” Maka Rasulullah bersabda, “Bangunlah, wahai Hamzah bin Abdul Muthalib. Bangunlah, wahai Ali bin Abu Thalib. Dan bangunlah, wahai Ubaidah bin Harits!

     Maka, majulah Hamzah bin Abdul Muthalib menghadapi Utbah bin Rabi’ah, Ali bin Abu Thalib menghadapi Syaibah bin Utbah, dan Ubaidah bin Harits melawan Walid bin Utbah, yang masing-masing (antara Ubaidah dan Walid) melukainya lawannya. Kemudian, Hamzah dan Ali segera menghabisi Walid, lalu membawa Ubaidah ke dalam barisan kaum Muslimin. Tak lama setelah itu, Ubaidah bin Harits menghembuskan nafas terakhirnya dan mati syahid.

     Kepahlawanan Ali terulang kembali dalam perang Khandaq. Salah seorang pendekar Quraisy, Amru bin Abdul Wudd keluar dari tengan-tengah barisan Quraisy, seraya berseru kepada kaum Muslimin, “Siapakah yang sangguo melawanku?!” Maka, Ali pun berkata kepada Rasulullah, “Saya akan menghadapinya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Duduklah engkau, ia adalah Amru.” Kemudian Amru berteriak sekali lagi, “Tidak adakah seorang lelaki yang sanggup menghadapiku? Bukankah kalian megatakan bahwa jika salah seorang di antara kalian terbunuh, maka orang itu akan memasuki surga? Maka, kenapa tidak ada seorang lelaki di antara kalian yang tampil?” Ali berkata, “Saya, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Duduklah.” Kemudian Amru mengulangi kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair yang bernuansa kesombongan. Maka Ali berkata, “Meskipun Amru sekalipun!” Akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.

2.    Kezuhudannya.
     Ali bin Abu Thalib tak sedikit pun terpesona dan terlena dengan kehidupan dunia. Ia benar-benar mengatahui hakikat kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, ia mampu mengendalikan perhiasan dunia yang begitu menggoda.
     Itulah cahaya kezuhudan yang tertanam dalam jiwanya. Kezuhudan akibat buah tarbiyah dari madrasah nabawi.

     Dhirar bin Dhamrah Al-Kinani pernah menyifati Ali sebagai berikut:

     “Beliau adalah orang yang jauh pandangannya, kuat fisiknya, kata-katanya tegas dan jelas, menghukum dengan adil, tidak tertarik dengan dunia dan perhiasannya, akrab dengan malam dan kesunyiannya, air matanya deras mengalir, banyak berpikir, sering menghisab dirinya, seorang dengan pakaian yang kasar dan makan yang sederhana, orang yang kuat untuk tidak berhasrat akan melakukan kebatilan, aku bersaksi sungguh aku pernah melihatnya dalam kesendiriannya. Ia berdiri di mihrabnya seraya menggenggam janggutnya, tubuhnya bergoyang bukan karena sakit, atau menangis sedih, aku mendengar suaranya lirih, ‘Wahai dunia, wahai dunia, apakah kepadaku engkau hendak menggoda? Apakah kepada engkau merindu?

     Oh… jauh nian, jauh nian… godalah orang selain diriku, sungguh aku telah menceraikanmu dengan talak tiga, dan tak akan pernah rujuk kembali! Usiamu sangat singkat, kehidupanmu sungguh hina, bahayamu sangat besar. Oh… alangkah sedikit bekalku, alangkah jauh perjalananku dan alangkah sepinya titian jalan…’.

     Ketika memangku jabatan khalifah, ia diminta untuk tinggal di istana Negara sebagai Amirul Mukminin. Sebuah gedung yang tinggi, sangat indah, megah dan mempesona. Ketika melihatnya, secara spontan ia berpaling ke belakang seraya berkata, “Istana berengsek ini!!! Aku tidak sudi tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya!

     Begitulah, beliau menolak untuk tinggal di istana. Beliau tetap tingga di rumahnya yang sangat sederhana sampai berpisah dengan dunia.

     Kekhalifahan tidak lah menambah kemuliaannya, justru beliau yang memperindah kekhalifahan dengan keadilan, zuhud, dan ilmunya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya kekhalifahan tidaklah menghiasi Ali, justru beliaulah yang menghiasiasi kekhalifahan tersebut.

     Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Manusia yang paling zuhud dengan dunia adalah Ali bin Abu Thalib.

     Amru bin Qais menyatakan bahwa sesungguhnya Ali bin Abu Thalib pernah terlihat mengenakan sarung yang bertambal. Kemudian beliau ditegur karena pakaiannya itu, maka ia menjawab, “Agar orang Mukmin mencontohnya, dan agar hatiku menjadi khusyu karenanya.” (HR. Ahmad)

3.    Sifatnya yang Rendah Hati.
     Ali bin Abu Thalib adalah orang yang sangat rendah hati. Ia pernah berpakaian yang robek dan kasar, padahal ketika itu ia adalah Amirul Mukminin.

     Ia mengenakan pakaian yang robek bukan karena tidak mampu membelinya yang bagus, akan tetapi ia memaksakan diri untuk mendidik jiwanya, dan merefleksikan hatinya agar lebih dekat dan khusyu kepada Allah. Karena semakin jauh dari dunia, maka ia akan semakin dekat dan bergantung kepada Allah, sehingga membantunya untuk banyak beramal dan bertaqarrub kepada-Nya. Selain itu pula, sederhana dalam berpakaian juga akan lebih bisa dijadikan sebagai teladan oleh pengikutnya.

     Dalam kesempatan lain, Ali bin Abu Thalib pernah membeli kurma dengan harga satu dirham, maka ia menjinjingnya sendiri. Kemudian banyak orang yang menawarkan diri untuk membantunya. Maka, Ali berkata, “Tidak! Seorang kepala keluarga lebih berhak untuk membawanya sendiri.” (HR. Ahmad)

     Allahu Akbar, betapa tinggin sifatnya. Betapa jelas sikap kelembutan pada rakyatnya. Ialah Amirul Mukminin yang menjinjing belanjaannya sendiri, berjalan di pasar bersama rakyatnya, tidak ridha atas bantuan orang yang menawarkan bantuannya, sebab ia merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan tersebut.

     Sifat rendah hatinya ini didasari oleh keyakinannya pada urgensi dari akhlak tersebut. Ia yakin bahwa sikap rendah hati akan mempengaruhi masyarakat sekitar sehingga mereka pun merasa senang dan bahagia hidup bersama. Bahkan, inilah satu sikap yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad.

     Allah berfirman:

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215

4.    Keadilannya.
     Adapun akhlak beliau bersama keluarganya, dan keadilannya bersamaa para istrinya nampak jelas sekali. Ali bin Rabi’ah telah meriwayatkan bahwa Ali bin Abu Thalib memiliki dua orang istri. Ketika ia membelikan salah satu istrinya berupa daging seharga setengah dirham, maka keesokan harinya ia pun membelikan istrinya yang satunya berupa daging seharga setengah dirham pula.

     Kemudian Ashim bin Kulaib pernah meriwayatkan tentang keadilannya tentang anak-anaknya. Ia berkata, “Pada suatu hari, Ali bin Abu Thalib datang dari Ashbahan membawa harta, maka ia membagi harta itu menjadi tujuh bagian. Kemudian ia pun membagi rotinya menjadi tujuh bagian sebagaimana ia membagi hartanya. Kemudian mengundi ketujuh anaknya tersebut, siapa pun nama mereka yang keluar, maka akan mendapatkan bagian untuk pertama kali.

5.    Kebijakannya.
     Sudah diketahui bahwa Ali bin Abu Thalib memiliki sikap yang tegar dan kuat pendirian dalam membela kebenaran. Setelah dipilih menjadi khalifah, ia cepat mengambil tindakan dengan segera mengambil perintah yang menunjukkan ketegasan sikapnya, di antaranya:

a.     Memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh Utsman bin Affan yang berasal dari Bani Umayah. Sebab, menurut ijtihad Ali bin Abu Thalib mereka adalah penyebab terjadinya fitnah dan kerusuhan.

b.     Mengembalikan tanah-tanah dan hibah dalam jumlah yang sangat besar kepada para pemilik tanah sebelumnya.

6.    Sikapnya kepada Musuh.
     Akhlak Ali bin Abu Thalib sangat luas, sampai-sampai mencakup pada orang-orang yang sangat memusuhinya, bahkan yang sangat membahayakannya sekalipun,  yaitu Abdurrahman bin Muljam yang telah menikamnya. Amirul mukminin telah memerintahkan kepada anaknya untuk berbuat baik kepadanya, memberikan makanan dan minuman yang baik serta tidak memotong mayatnya jika dihukum mati.

     Ia mengatakan kepada mereka tentang Abdurrahman bin Muljam. “Sesungguhnya ia adalah tawanan, maka baguskanlah jamuannya dan muliakanlah tempatnya. Jika aku hidup, maka aku akan membunuhnya atau memaafkannya. Jika aku mati, maka bunuhlah ia dan janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yeng melampaui batas.” (HR. Ahmad)

     Begitulah sifat-sifatnya yang mengagumkan yang patut kita teladani.

     Ali adalah seorang sahabat yang dikaruniai oleh Allah berupa ilmu yang luas dan pendalaman yang mendalam. Abu Sa’id Al-Khudri berkata bahwa ia pernah mendengar Umar bin Al-Khattab bertanya kepada Ali tentang sesuatu hal. Setelah dijawab oleh Ali, maka Umar berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari hidup di tengah-tengah suatu kaum yang engkau tidak berada di situ, wahai Abu Hasan (Ali).

     Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami berdiskusi bahwa orang yang paling mengerti tentang peradilan di antara penduduk madinah adalah Ali bin Abu Thalib.

     Abu Al-Aswad Ad-Du’ali pernah memuji Ali dengan beberapa bait syairnya:

     Menegakkan keadilan tanpa ragu-ragu, bersikap adil baik terhadap musuh maupun kerabat…

     Sebuah jiwa yang tak pernah mencicipi dunia, tidak juga lezatnya makanan…

     Makanannya adalah agama sejak kecil, lalu tumbuh di atas ketakwaan, baik semasa penyusuan maupun setelah penyapihan…

     Agama tersebut telah mengasuhnya di atas sifat pemurah dan ringan tangan, serta membangun baginya pilar keagungan…

     Jiwa semerbak dan membumbung tinggi dari tujuan mencari dunia, yang mana kecintaan terhadapnya (dunia) telah membuat letih dan memperbudak satu kaum…

     Ia berpaling darinya (dunia) meskipun dalam penderitaan, muak terhadap para pemburunya, baik biji emas maupun kepingannya!

     Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Semoga Allah merahmati Ali. Sesungguhnya Ali adalah panah Allah yang dibidikkan kepada musuh-musuh-Nya. Ia berada di sumber ilmu yang termulia dan terdekat dengan Rasulullah. Ia adalah ahli ibadah umat ini. Ia bukanlah orang yang gemar mencuri harta Allah, dan bukan orang yang suka tidur dalam (menegakkan) perintah Allah. Ia telah diberi Al-Qur’an, perintah-perintahnya, amal dan ilmunya, maka ia berada pada kebun-kebun yang indah dan rambu-rambu yang jelas dari Al-Qur’an. Dialah Ali bin Abu thalib.

     Setelah lima tahun memegang tampuk kekhalifahan, beliau dibunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat sedang melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H/ 661 M.

     Ekspedisi pembunuhan Ali bin Abu Thalib yang dilakukan oleh Abdurrahman dibantu oleh dua temannya yang rela menyertai dan melindunginya. Mereka adalah Wardan, dari Bani Tamim dan Syabib bin Bajrah Al-Asyja’i Al-Haruri.

     Abdurrahman berkata kepada Syabib, “Maukan engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?

     “Apa itu?” tanyanya.

     “Membunuh Ali!” jawab Abdurrahman.

     Ia berkata, “Celakalah engkau! Engkau telah mengatakan perkara yang besar! Bagaimana mungkin engkau akan membunuhnya?

     Abdurrahman berkata, “Aku mengintai di masjid, apabila ia keluar untuk mengerjakan shalat Shubuh, kita kepung dan bunuh dia. Bila berhasil, maka kita merasa puas dan kita telah membalas dendam. Dan bila kita terbunuh, maka apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada dunia.

     Ia berkata, “Celakalah engkau! Kalaulah bukan Ali tentu aku tidak keberatan untuk melakukannya. Engkau tentu mengetahui senioritasnya dalam Islam dan kekerabatannya dengan Rasulullah. Hatiku tidak terbuka untuk membunuhnya.

     Abdurrahman berkata, “Bukankan ia telah membunuh teman-teman kita di Nahrawan?

     “Benar.” Jawabnya.

     “Marilah kita bunuh ia sebagai balasan bagi teman-teman kita yang telah dibunuhnya.” Kata Abdurrahman.

     Beberapa saat kemudian, Syabib menyambutnya.

     Masuklah bulan Ramadhan. Abdurrahman membuat kesepakatan dengan teman-temannya pada malam Jumat 17 Ramadhan. Abdurrahman berkata, “Malam itulah aku membuat kesepakatan dengan teman-temanku untuk membunuh target masing-masing.” Lalu mulailah ketiga orang ini bergerak, yakni Abdurrahman, Wardan, dan Syabib, dengan menghunuskan pedangnya masing-masing. Mereka duduk di hadapan pintu yang mana Ali biasa keluar darinya. Ketika Ali keluar, ia membangunkan orang-orang untuk shalat sembari berkata, “Shalat… shalat!” dengan cepat Syabib menyerang dengan pedangnya dan memukulnya tepat mengenai leher beliau. Kemudian Abdurrahman menebaskan pedangnya ke atas kepala beliau. Darah Ali pun membasahi janggutnya. Ketika Abdurrahman menebasnya, ia berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, wahai Ali!”, ia membaca firman Allah:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 207

     Ali pun berteriak, “Tangkap mereka!

     Adapun Wardan yang melarikan diri, namun berhasil dikejar oleh seorang lelaki dari Hadhramaut lalu membunuhnya. Adapun Syabib, berhasil menyelamatkan diri dan selamat dari kejaran mereka. Sementara Abdurrahman berhasil ditangkap.

      Ali menyuruh Ja’dah bin Hubairah bin Abu Wahab untuk mengimami shalat Fajar. Ali pun diangkat ke rumahnya. Lalu digiring pula Abdurrahman kepadanya dan di bawa ke hadapannya dalam keadaan dibelenggu tangannya ke belakang pundak. Semoga Allah memburukkan rupanya. Ali berkata kepadanya, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?” Abdurrahman menjawab, “Aku telah mengasah pedang ini selama 40 hari. Aku memohon kepada Allah agar aku dapat membunuh makhluk-Nya yang paling buruk dengan pedang ini!

     Ali berkata kepadanya, “Munurutku, engkau harus terbunuh dengan pedang itu. Dan menurutku engkau adalah orang yang paling buruk.

     Kemudian Ali berkata, “Jika aku mati, maka bunuhlah orang ini. Dan jika aku selamat, maka aku lebih tahu bagaimana aku harus memperlakukan orang ini!

     Akhirnya Ali pun wafat. Setelah beliau wafat, kedua putranya, yakni Hasan dan Husein memandikan jenazahnya yang dibantu oleh Abdullah bin Ja’far. Kemudian jenazahnya dishalatkan oleh putra tertua beliau, yakni Hasan. Hasan bertakbir sebanyak 9 kali.

     Jenazah beliau dimakamkan di Darul Imarah di Kufah, karena kekhawatiran pada kaum Khawarij yang akan membongkar makamnya. Itulah yang mahsyur. Adapun yang mengatakan bahwa jenazahnya diletakkan di atas kendaraannya kemudian dibawa entah ke mana perginya, maka sungguh ia telah keliru dan mengada-ngada sesuatu yang tidak diketahuinya. Akal sehat dan syariat tentu tidak membenarkan hal semacam itu. Adapun keyakinan mayoritas kaum Rafidhah yang jahil bahwa makam beliau terletak di suatu tempat di Najaf, maka tidak ada dalil dan dasarnya sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa makam yang terletak di sana adalah makam Al-Mughirah bin Syu’bah.

     Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Al-Hafidz Abu Nu’aim dari Abu Bakar Ath-Thalahi dari Muhammad bin Abdullah Al-Hadhrami Al-Hafidz Muthayyin, bahwa ia berkata, “Sekiranya orang-orang Syi’ah mengetahui makam siapakah yang mereka agung-agungkan di Najaf, niscaya mereka akan melemparinya dengan batu. Sebenarnya itu adalah makam Al-Mughirah.


     Semoga Allah merahmatimu, wahai khalifah yang termuda. Dan semoga Allah meridhaimu, wahai menantu dan sepupu Rasulullah.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf