بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Tokoh sahabat mulia ini adalah Ali bin Abu
Thalib, sepupu Rasulullah. Rasulullah menikahkan putrinya, Fatimah dengannya.
Ali adalah salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapatkan kabar gembira
berupa jaminan langsung masuk surga dari Rasulullah.
Sejak kecil beliau dibimbing dan dididik
dengan cahaya wahyu Ilahi di rumah Rasulullah, sehingga tatkala usia beliau
belum mencapai usia sepuluh tahun cahaya Islam masuk di benak jiwanya. Dengan
demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan
anak-anak. Beliau tumbuh dan berkembang di bawah naungan etika dan moral
keislaman.
Dengan demikian, ia adalah orang pertama
yang menjadi tebusan bagi Rasulullah dalam Islam, yang rela menyerahkan jiwa
dan raganya. Ia adalah sosok amanah yang bersegera menyerahkan semua titipan
Rasulullah kepada para pemiliknya, barulah ia hijrah ke Madinah.
Ia senantiasa bersama Rasulullah dalam
setiap pertempuran dan bahkan selalu terlihat bahwa ia adalah seorang mujahid
tangguh lagi handal. Keberaniannya sangat legendaris sehingga tercatat dalam
tinta emas sejarah Islam. Lidahnya sangat fasih dan memperlihatkan bahwa
ilmunya bagaikan samudera lautan.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq, ia selalu menemani sang khalifah. Tatkala Umar bin Al-Khattab
memegang tampuk kekhalifahan, ia adalah orang yang paling dekat dengannya. Umar
selalu meminta nasehat-nasehat darinya dalam banyak urusan yang dihadapinya. Umar
memandangnya sebagai sosok problem solver (pemecah masalah). Tatkala Umar bin Al-Khattab
ditusuk dengan belati beracun, ia merupakan salah satu dari enam sahabat yang
ditunjuk Umar untuk melakukan musyawarah dalam memilih khalifah di antara
mereka.
Kemudian ditetapkanlah Utsman bin Affan
sebagai khalifah. Ali selalu setia berada di samping Utsman dan membantunya
dalam menjalankan roda kekhalifahan. Pada saat terjadi pengepungan terhadap
Utsman, anak-anak Ali adalah orang yang melakukan pembelaan terhadap penjagaan
Utsman bin Affan.
Ali bin Abu Thalib merupakan sahabat mulia
yang memiliki berbagai keutamaan yang Allah anugerahkan kepadanya, yang tidak
dimiliki oleh orang lain. Banyak riwayat yang shahih menyingkap dan menyibak
tentang keutamaannya.
Berbagai penulis tersohor menggoreskan
pena emasnya untuk mengungkapkan aspek keutamaannya. Berbagai penyair ternama
merangkaikan butir-butir syairnya mengungkapkan sisi kelebihannya. Berbagai
pendidikan intens memperhatikan berbagai kelebihannya yang tak pernah henti
diperbincangkan.
Berikut beberapa keutamaan Ali bin Abu Thalib:
1. Teman Setia Dakwah Rasulullah.
Salah satu sahabat yang senantiasa
menyertai Rasulullah dalam mengibarkan panji-panji Islam dan menegakkan bendera
tauhid adalah Ali bin Abu Thalib. Ia seorang pejuang sakwah sejati, pembela
kebenaran, dan pembasmi kebatilan. Oleh karena itu, ia memiliki kedudukan yang
terhormat dan mulia di sisi Rasulullah.
Ia senantiasa berada di samping Rasulullah
untuk menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dalam berdakwah.ia rela
mengorbankan jiwa dan hartanya untuk mendampingi Rasulullah. Siang dan malam
siap sedia untuk menunggu panggilan dan amanat dakwah yang akan diembannya.
Sebelum memegang tampuk kepemimpinan, ia adalah seorang prajurit Islam militant
yang siap setiap saat untuk diperintah oleh panglima perang. Pastas saja,
Rasulullah menyebut kedudukan Ali sebagaimana Nabi Harun di sisi Nabi Musa.
Sa’ad bin Abu Waqqash pernah berkata, “Bahwa
Rasulullah tidak menyertakan Ali bin Abu Thalib pada Perang Tabuk. Dia berkata,
‘Wahai Rasulullah, engkau meninggalkan aku bersama para
wanita dan anak-anak?’ Rasulullah bersabda, ‘Apakah
kamu tidak ridha terhadap kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi
Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?’.”
2. Orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Seseorang tatkala dicintai oleh belahan
hatinya (suami atau istri) sangatlah bahagia dan senang. Seakan-akan tak ada
kebahagiaan yang menandinginya. Bagaimanakah bila ia dicintai oleh Dzat yang
menciptakan, mengatur, dan memberinya rezeki, serta memberikan segala
kenikmatan yang tak terhitung?
Sunguh Ali bin Abu Thalib adalah salah
seorang sahabat Nabi yang meraih kecintaan dari Allah dan Rasul-Nya. Bahkan,
manusia yang terdekat dengan Allah, Nabi Muhammad sendiri yang telah
mengabarkannya. Yang membuat kita kagum, bahwa beliau mengungkapkannya di
hadapan sebaik-baik generasi umat ini, para sahabat Rasulullah.
Sahl bin Sa’ad berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah bersabda pada saat Perang Khaibar, ‘Sungguh
akan kuberikan bendera perang esok hari kepada seseorang yang Allah akan
memenangkan melalui tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan
Rasul-Nya pun mencintainya.’ Malam itu para sahabat ramai
memperbincangkan siapa yang yang akan mendapatkan kehormatan untuk mengemban
bendera perang. Tatkala di pagi hari, semua orang pergi menghadap Rasulullah
dengan mengharap akan diberikan bendera perang. Beliau bertanya, ‘Di mana Ali bin Abu Thalib?’ Dikatakan, ‘Ia sedang sakit di kedua matanya.’ Beliau bersabda, ‘Utuslah seseorang untuk menjemputnya.’ maka datanglah
Ali bin Abu Thalib. Lalu Rasulullah meludahi kedua matanya dan berdoa untuknya,
maka sembuhlah ia hingga seakan-akan tidak pernah sakit mata sebelumnya. Lalu
beliau memberikan Ali bendera perang.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda, “’Sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang dan Dia mengabarkan kepadaku
bahwa Dia mencintai mereka’. Sahabat yang ada di tempat itu
berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebutkanlah kepada kami
nama-nama mereka.’ Maka Rasulullah pun bersabda, ‘Ali adalah dari mereka—beliau bersabda demikian sampai tiga
kali—, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad, dan Salman Al-Farisi. Allah memerintahkan
kepadaku untuk mencintai mereka dan Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia
mencintai mereka’.” (HR.
At-Tirmidzi)
3. Persaksian bahwa Ali masuk Surga.
Surga adalah tempat kebahagiaan dan
kesenangan abadi. Tak ada kesusahan dan kesengsaraan sesaat pun di dalam surga.
Kehidupan bermandikan kenikmatan dan penuh keamanan sejati.
Manusia dari generasi pertama hingga akhir
zaman senantiasa berlomba-lomba untuk meraih surga, bahkan mereka rela
mengorbankan jiwa dan harta mereka. Mereka rela kelelahan guna merengkuh
kenikmatan surga yang tak dapat dilihat dengan mata, tak dapat didengar oleh
telinga dan tak terbesit sedikit pun dalam sanubari.
Ali bin Abu Thalib adalah salah satu dari
sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga tempat
keabadian sejati.
Rasulullah bersabda, “(Sepuluh
sahabat yang dijamin masuk surga adalah):
(1) Abu Bakar; (2)Umar bin
Al-Khattab;(3)Utsman bin Affan; (4)Ali bin Abu Thalib; (5)Thalhah bin
Ubaidullah; (6)Az-Zubair bin Al-Awwam; (7)Abdurrahman bin Auf; (8)Sa’ad bin Abu
Waqqash; (9)Sa’id bin Zaid; (10)Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
4. Kabar Gembira Berupa Mati Syahid.
Mati syahid adalah mati yang
diidam-idamkan oleh setiap insane yang bertakwa. Sebab, siapa saja yang mati
syahid, ia akan memperoleh keutamaan dan kebaikan yang melimpah.
Ia berhak memberikan syafaat kepada tujuh
puluh dua orang keluarganya. Tetesan darah yang mengucur akan menjadi ampunan
baginya. Ia tidak akan diuji di dalam kuburnya, sebab kilatan pedang di duniaa
saat berhadapan dengan musuh cukuplah sebagai penggantinya. Dan berbagai
keutamaan lain yang bisa diraih oleh para syuhada.
Sungguh beruntunglah sahabat yang mulia
ini, Ali bin Abu Thalib. Ia salah satu dari deretan para syuhada yang telah
dikabarkan oleh Rasulullah semasa hidupnya.
Dari Abu Hurairah ia berkata, bahwa
Rasulullah pernah berada di atas bukit Hira’ bersama Abu bajar, Umar ,Utsman,
Ali, Thalhah, dan Zubair. Tiba-tiba sebuah batu besar bergerak, maka Rasulullah
bersabda, “Tenanglah, tidak ada yang di atasmu kecuali
seorang Nabi atau shiddiq atau syahid.”
(HR. Muslim dan At-Tirmidzi)
5. Surga Sangat Merindukan Ali.
Kata-kata rindu, sayang, dan cinta amat
lekat di telinga manusia, terutama bagi pasangan suami istri yang baru
mengarungi bahtera rumah tangga. Bahkan, kata-kata yang seperti ini mebuat hati
manusia berbunga-bunga.
Seorang suami yang dirindukan oleh
istrinya karena lama tak berjumpa pasti amat berharap dan menunggu-nunggu kapan
waktunya perjumpaan mereka berdua tiba.
Itulah gambaran kerinduan kehidupan di
dunia yang fana, yang kenikmatannya tak sebanding sedikit pun dengan selaksa
kenikmatan surga.
Sekarang, bagaimanakah bahagianya
seseorang bila ia dirindukan oleh surga yang menjadi idamannya, surga yang
menjadi tujuan hidupnya, dan surga yang menjadi persinggahan terakhirnya.
Tentunya, kebahagiaan dan kegembiraan yang
tak dapat terlukiskan dan tergambarkan dengan apapun juga.
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata bahwa
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya surga sangat merindukan
tiga orang, yaitu: Ali, Ammar, dan Salman”
(HR. At-tirmidzi dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani)
6. Ali adalah Salah Seorang Sahabat yang ikut serta
dalam Perang Badar.
Perang Badar adalah perang pertama bagi
kaum Muslimin dalam menghadapi musuh dakwah mereka. Perang untuk menguji keteguhan
dan keimanan para sahabat Nabi Muhammad dalam aspek akidah dan loyalitas kepada
Islam.
Barisan pasukan kaum musyrikin berjumlah
tiga kali lebih besar dari kaum Muslimin. Persenjataan mereka begitu lengkap
dan menakjubkan. Situasi ini sangat mencekam dan begitu mengerikan.
Saking dahsyat dan kuatnya peperangan ini,
maka Allah pun memberikan banyak keutamaan bagi para mujahid kaum Muslimin yang
ikut serta dan berlaga dalam medan tempur ini.
Rasulullah telah bersabda kepada Umar bin
Al-Khattab, “Tahukan kamu? Sesungguhnya Allah telah
mengetahui apa yang telah dilakukan oleh para peserta Perang Badar.
Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Lakukanlah sesuka
kalian. Sesungguhnya aku telah mengampuni kalian’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
7. Kelembutan Rasulullah kepada Ali dan Pemberian
Julukan untuknya.
Kepribadian Rasulullah sangat luar biasa.
Akhlak karimah, moralitas penuh etika dan perilaku berbudi yang luhur tercermin
dalam kehidupannya. Beliau merefleksikan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Di
antara akhlak karimah beliau yang menonjol adalah sifat lemah lembut.
Sifat lemah lembut beliau tercurahkan
kepada seluruh Insan, terlebih kepada menantu beliau, Ali bin Abu Thalib.
Marilah kita perhatikan sebuah kisah yang menunjukkan hal tersebut.
Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad, ia
berkata, “Ali menemui Fatimah kemudian keluar, lalu
berbaring di masjid. Rasulullah bertanya, ‘Di manakah
putra pamanmu itu?’ Fatimah menjawab, ‘Di
masjid.’ Maka Rasulullah keluar untuk menemuinya dan mendapati
selendangnya jatuh dari punggungnya sehingga tanah mengotori punggungnya.
Rasulullah menghapus tanah tersebut dari punggungnya seraya bersabda, ‘Duduklah, wahai Abu Turab.’ Beliau mengucapkannya tiga
kali.”
8. Ali adalah Seorang Sahabat yang Ikut Serta dalam
Baiat Ar-Ridwan.
Saat kaum Muslimin berada di Hudaibiyah,
lalu ketika mereka hendak menunaikan ibadah umrah di Mekkah, mereka bertemu
dengan utusan Abu Sufyan. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada kaum
Muslimin berupa larangan bagi mereka untuk menunaikan Umrah di Mekkah.
Mendengar berita tersebut, maka Rasulullah
mengutus Utsman bin Affan untuk melakukan perundingan dengan kaum musyrikin di
Mekkah bahwa mereka hanya akan menunaikan ibadah umrah, bukan untuk berperang.
Maka, terjadilah perundingan yang hangat dan seru di antara mereka. Lalu
tersiarlah kabar bahwa Utsman bin Affan telah terbunuh oleh mereka.
Saat Rasulullah mendengar berita tersebut,
maka beliau mengajak kaum Muslimin untuk berbaiat (berjanji setia) di bawah
pohon untuk menuntut balas darah atas Utsman bin Affan dengan perbekalan dan
persenjataan seadanya. Kaum Muslimin pun sepakat akan hal demikian. Dengan
peristiwa ini, Allah meridhai mereka. Oleh karena itu, baiat tersebut dinamakan
Baiat Ar-Ridwan.
Allah telah berfirman kepada para peserta
baiat Ridwan, dan Ali termasuk di dalamnya:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ
عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي
قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin
ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa
yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
QS:Al-Fat-h | Ayat: 18
QS:Al-Fat-h | Ayat: 18
Rasulullah pun memberikan kabar gembira
bagi para sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan bahwa mereka tidak akan
tersentuh api neraka sedikit pun.
Rasulullah bersabda, “Tidak
akan masuk neraka bagi orang-orang yang ikut serta dalam baiat di bawah sebuah
pohon.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
9. Barangsiapa yang Menjadikan Rasulullah sebagai
Walinya, Berarti Ia telah Menjadikan Ali sebagai Walinya.
Di antara keutamaannya, khutbah Rasulullah
pada hari ke delapan belas di bulan Dzulhijjah pada saat haji wada’ di tempat
yang bernama Ghadir Khum, dalam khutbahnya beliau bersabda, “Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai walinya, maka sesungguhnya ia telah menjadikan Ali
sebagai walinya.” (HR.
At-Tirmidzi)
Rasulullah juga bersabda, “Ya
Allah, belalah siapa saja yang membelanya (Ali), musuhilah siapa saja yang
memusuhinya, tolonglah siapa siapa yang menolongnya, dan hinakanlah siapa saja
yang menghinakannya.” (HR.
Ahmad)
10. Keterangan Abdullah bin Umar tentang Keutamaan
Ali bin Abu Thalib.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ubaidah, ia
berkata, “Seorang lelaki datang menemui Abdullah bin
Umar dan bertanya kepadanya tentang Utsman. Maka, Ibnu Umar menyebutkan tentang
kebaikan-kebaikan Utsman. Beliau berkata, ‘Barangkali
kamu tidak menyukainya?’ ‘Benar!’
sahutnya.
Abdullah bin Umar pun berkata, ‘Semoga Allah
menghinakanmu!’
Kemudian ia bertanya tentang Ali. Ibnu Umar menyebutkan tentang
kebaikan-kebaikannya. Beliau berkata, ‘Begitulah
keutamaannya, rumahnya berada di tengah-tengah rumah Rasulullah.’
Kemudian beliau berkata, ‘Barangkali kamu tidak
menyukainya.’ ‘Benar!’ sahutnya kembali.
Abdullah bin Umar pun berkata, ‘Semoga Allah
menghinakanmu dan menjauhkanmu dariku dengan sejauh-jauhnya’.”
Begitulah keutamaan yang dimiliki oleh
sahabat yang mulia, Ali bin Abu Thalib.
Lalu, bagaimanakah proses pengangkatan Ali
bin Abu Thalib sebagai khalifah?
Pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai
khalifah tidak seperti pengangkatan khalifah yang lain. Jika Abu Bakar diangkat
menjadi khalifah pada saat peristiwa di Saqifah bani Sa’idah, Umar diangkat
menjadi khalifah atas wasiat dari Abu Bakar, dan Utsman diangkat dengan hasil
musyawarah seperti yang diperintahkan oleh Umar, maka pengangkatan Ali sebagai
khalifah adalah berbeda. Inilah fleksibelitas syariat Islam dan bukan
sebaliknya bahwa Islam tidak memiliki ajaran politik sebagaimana yang
disampaikan oleh orang-orang sekuler.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, kaum
Muslimin memilih Ali bin Abu Thalib untuk menjadi pemimpin mereka dengan suara
mayoritas. Para sahabat mendesaknya agar ia menyelesaikan kemelut yang menimpa
mereka. Kondisi saat itu telah mengalami kekacauan dan para pemberontak telah
menguasai kondisi lapangan.
Akhirnya beliau menerima tampuk
kekhalifahan walaupun tidak pernah bernafsu untuk memegangnya. Pembaiatan
terhadap Ali terjadi pada hari jumat 13 Dzulhijjah tahun 35 H.
Memperbincangkan dan membicarakan sosok
sahabat mulia ini dari berbagai aspek positifnya tak akan ada habisnya.
Pesona kebaikannya yang melimpah ada pada
dirinya hingga goresan tinta emas tak ada hentinya mengungkapkan sisi
kepribadiannya.
Jiwa dan hatinya begitu bersih akibat
dipenuhi gizi keimanan. Memang pantas, jika terlahir darinya kepribadian yang
mengagumkan lagi menyenangkan yang layak dijadikan teladan bagi kaum Muslimin.
Berikut ini adalah sosok kepribadiannya
yang amat sangat mengagumkan yang patut bagi kita untuk menirunya:
1. Kepahlawanannya
di Medan Jihad.
Sejak muda, Ali bin Abu Thalib adalah
seorang yang merindukan mati syahid, laksana seseorang yang haus merindukan air
yang segar. Lembaran-lembaran kehidupannya telah ia penuhi dengan semangat
jihad. Ia adalah seorang prajurit berkuda yang tangguh dan seorang mujahid yang
militan.
Sebelum Perang Badar berlangsung, dari
barisan kaum musyrikin tampil tiga orang prajurit pilihan. Mereka adalah Utbah
bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan Walid bin Utbah. Mereka berseru, “Siapakah
yang sanggup melakukan perang tanding melawan kami?” Maka, majulah beberapa pemuda dari kaum
Anshar. Pada saat itu juga, Utbah bin Rabi’ah berkata, “Kami
tidak menginginkan kalian! Yang kami inginkan adalah orang-orang dari suku
kami!” Maka Rasulullah
bersabda, “Bangunlah, wahai Hamzah bin Abdul Muthalib.
Bangunlah, wahai Ali bin Abu Thalib. Dan bangunlah, wahai Ubaidah bin Harits!”
Maka, majulah Hamzah bin Abdul Muthalib
menghadapi Utbah bin Rabi’ah, Ali bin Abu Thalib menghadapi Syaibah bin Utbah,
dan Ubaidah bin Harits melawan Walid bin Utbah, yang masing-masing (antara Ubaidah
dan Walid) melukainya lawannya. Kemudian, Hamzah dan Ali segera menghabisi
Walid, lalu membawa Ubaidah ke dalam barisan kaum Muslimin. Tak lama setelah
itu, Ubaidah bin Harits menghembuskan nafas terakhirnya dan mati syahid.
Kepahlawanan Ali terulang kembali dalam
perang Khandaq. Salah seorang pendekar Quraisy, Amru bin Abdul Wudd keluar dari
tengan-tengah barisan Quraisy, seraya berseru kepada kaum Muslimin, “Siapakah
yang sangguo melawanku?!” Maka, Ali
pun berkata kepada Rasulullah, “Saya akan menghadapinya, wahai
Rasulullah.” Lalu beliau
bersabda, “Duduklah engkau, ia adalah Amru.” Kemudian Amru berteriak sekali lagi, “Tidak
adakah seorang lelaki yang sanggup menghadapiku? Bukankah kalian megatakan
bahwa jika salah seorang di antara kalian terbunuh, maka orang itu akan
memasuki surga? Maka, kenapa tidak ada seorang lelaki di antara kalian yang
tampil?” Ali berkata, “Saya,
wahai Rasulullah!” Beliau
bersabda, “Duduklah.”
Kemudian Amru mengulangi kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair
yang bernuansa kesombongan. Maka Ali berkata, “Meskipun
Amru sekalipun!” Akhirnya
Rasulullah pun mengizinkannya.
2. Kezuhudannya.
Ali bin Abu Thalib tak sedikit pun
terpesona dan terlena dengan kehidupan dunia. Ia benar-benar mengatahui hakikat
kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, ia mampu mengendalikan perhiasan
dunia yang begitu menggoda.
Itulah cahaya kezuhudan yang tertanam
dalam jiwanya. Kezuhudan akibat buah tarbiyah dari madrasah nabawi.
Dhirar bin Dhamrah Al-Kinani pernah
menyifati Ali sebagai berikut:
“Beliau
adalah orang yang jauh pandangannya, kuat fisiknya, kata-katanya tegas dan
jelas, menghukum dengan adil, tidak tertarik dengan dunia dan perhiasannya,
akrab dengan malam dan kesunyiannya, air matanya deras mengalir, banyak
berpikir, sering menghisab dirinya, seorang dengan pakaian yang kasar dan makan
yang sederhana, orang yang kuat untuk tidak berhasrat akan melakukan kebatilan,
aku bersaksi sungguh aku pernah melihatnya dalam kesendiriannya. Ia berdiri di
mihrabnya seraya menggenggam janggutnya, tubuhnya bergoyang bukan karena sakit,
atau menangis sedih, aku mendengar suaranya lirih, ‘Wahai
dunia, wahai dunia, apakah kepadaku engkau hendak menggoda? Apakah kepada
engkau merindu?
Oh… jauh nian, jauh nian… godalah orang
selain diriku, sungguh aku telah menceraikanmu dengan talak tiga, dan tak akan
pernah rujuk kembali! Usiamu sangat singkat, kehidupanmu sungguh hina, bahayamu
sangat besar. Oh… alangkah sedikit bekalku, alangkah jauh perjalananku dan
alangkah sepinya titian jalan…’.”
Ketika memangku jabatan khalifah, ia
diminta untuk tinggal di istana Negara sebagai Amirul Mukminin. Sebuah gedung
yang tinggi, sangat indah, megah dan mempesona. Ketika melihatnya, secara
spontan ia berpaling ke belakang seraya berkata, “Istana
berengsek ini!!! Aku tidak sudi tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya!”
Begitulah, beliau menolak untuk tinggal di
istana. Beliau tetap tingga di rumahnya yang sangat sederhana sampai berpisah
dengan dunia.
Kekhalifahan tidak lah menambah
kemuliaannya, justru beliau yang memperindah kekhalifahan dengan keadilan,
zuhud, dan ilmunya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad bin Hambal,
“Sesungguhnya kekhalifahan tidaklah menghiasi
Ali, justru beliaulah yang menghiasiasi kekhalifahan tersebut.”
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Manusia
yang paling zuhud dengan dunia adalah Ali bin Abu Thalib.”
Amru bin Qais menyatakan bahwa
sesungguhnya Ali bin Abu Thalib pernah terlihat mengenakan sarung yang
bertambal. Kemudian beliau ditegur karena pakaiannya itu, maka ia menjawab, “Agar
orang Mukmin mencontohnya, dan agar hatiku menjadi khusyu karenanya.” (HR. Ahmad)
3. Sifatnya
yang Rendah Hati.
Ali bin Abu Thalib adalah orang yang
sangat rendah hati. Ia pernah berpakaian yang robek dan kasar, padahal ketika
itu ia adalah Amirul Mukminin.
Ia mengenakan pakaian yang robek bukan
karena tidak mampu membelinya yang bagus, akan tetapi ia memaksakan diri untuk
mendidik jiwanya, dan merefleksikan hatinya agar lebih dekat dan khusyu kepada
Allah. Karena semakin jauh dari dunia, maka ia akan semakin dekat dan
bergantung kepada Allah, sehingga membantunya untuk banyak beramal dan
bertaqarrub kepada-Nya. Selain itu pula, sederhana dalam berpakaian juga akan
lebih bisa dijadikan sebagai teladan oleh pengikutnya.
Dalam kesempatan lain, Ali bin Abu Thalib
pernah membeli kurma dengan harga satu dirham, maka ia menjinjingnya sendiri.
Kemudian banyak orang yang menawarkan diri untuk membantunya. Maka, Ali
berkata, “Tidak! Seorang kepala keluarga lebih berhak
untuk membawanya sendiri.” (HR.
Ahmad)
Allahu Akbar, betapa tinggin sifatnya.
Betapa jelas sikap kelembutan pada rakyatnya. Ialah Amirul Mukminin yang
menjinjing belanjaannya sendiri, berjalan di pasar bersama rakyatnya, tidak
ridha atas bantuan orang yang menawarkan bantuannya, sebab ia merasa mampu dan
tidak membutuhkan bantuan tersebut.
Sifat rendah hatinya ini didasari oleh
keyakinannya pada urgensi dari akhlak tersebut. Ia yakin bahwa sikap rendah
hati akan mempengaruhi masyarakat sekitar sehingga mereka pun merasa senang dan
bahagia hidup bersama. Bahkan, inilah satu sikap yang diperintahkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya, Muhammad.
Allah berfirman:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ
لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215
4. Keadilannya.
Adapun akhlak beliau bersama keluarganya,
dan keadilannya bersamaa para istrinya nampak jelas sekali. Ali bin Rabi’ah
telah meriwayatkan bahwa Ali bin Abu Thalib memiliki dua orang istri. Ketika ia
membelikan salah satu istrinya berupa daging seharga setengah dirham, maka
keesokan harinya ia pun membelikan istrinya yang satunya berupa daging seharga
setengah dirham pula.
Kemudian Ashim bin Kulaib pernah
meriwayatkan tentang keadilannya tentang anak-anaknya. Ia berkata, “Pada
suatu hari, Ali bin Abu Thalib datang dari Ashbahan membawa harta, maka ia
membagi harta itu menjadi tujuh bagian. Kemudian ia pun membagi rotinya menjadi
tujuh bagian sebagaimana ia membagi hartanya. Kemudian mengundi ketujuh anaknya
tersebut, siapa pun nama mereka yang keluar, maka akan mendapatkan bagian untuk
pertama kali.”
5. Kebijakannya.
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abu Thalib
memiliki sikap yang tegar dan kuat pendirian dalam membela kebenaran. Setelah
dipilih menjadi khalifah, ia cepat mengambil tindakan dengan segera mengambil
perintah yang menunjukkan ketegasan sikapnya, di antaranya:
a. Memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat
oleh Utsman bin Affan yang berasal dari Bani Umayah. Sebab, menurut ijtihad Ali
bin Abu Thalib mereka adalah penyebab terjadinya fitnah dan kerusuhan.
b. Mengembalikan tanah-tanah dan hibah dalam jumlah
yang sangat besar kepada para pemilik tanah sebelumnya.
6. Sikapnya
kepada Musuh.
Akhlak Ali bin Abu Thalib sangat luas,
sampai-sampai mencakup pada orang-orang yang sangat memusuhinya, bahkan yang
sangat membahayakannya sekalipun, yaitu
Abdurrahman bin Muljam yang telah menikamnya. Amirul mukminin telah
memerintahkan kepada anaknya untuk berbuat baik kepadanya, memberikan makanan
dan minuman yang baik serta tidak memotong mayatnya jika dihukum mati.
Ia mengatakan kepada mereka tentang
Abdurrahman bin Muljam. “Sesungguhnya ia adalah tawanan, maka
baguskanlah jamuannya dan muliakanlah tempatnya. Jika aku hidup, maka aku akan
membunuhnya atau memaafkannya. Jika aku mati, maka bunuhlah ia dan janganlah
kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yeng melampaui batas.” (HR.
Ahmad)
Begitulah sifat-sifatnya yang mengagumkan
yang patut kita teladani.
Ali adalah seorang sahabat yang dikaruniai
oleh Allah berupa ilmu yang luas dan pendalaman yang mendalam. Abu Sa’id Al-Khudri
berkata bahwa ia pernah mendengar Umar bin Al-Khattab bertanya kepada Ali
tentang sesuatu hal. Setelah dijawab oleh Ali, maka Umar berkata, “Aku
berlindung kepada Allah dari hidup di tengah-tengah suatu kaum yang engkau
tidak berada di situ, wahai Abu Hasan (Ali).”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami
berdiskusi bahwa orang yang paling mengerti tentang peradilan di antara
penduduk madinah adalah Ali bin Abu Thalib.”
Abu Al-Aswad Ad-Du’ali pernah memuji Ali
dengan beberapa bait syairnya:
Menegakkan keadilan tanpa ragu-ragu,
bersikap adil baik terhadap musuh maupun kerabat…
Sebuah jiwa yang tak pernah mencicipi dunia, tidak juga lezatnya
makanan…
Makanannya adalah agama sejak kecil, lalu tumbuh di atas ketakwaan, baik
semasa penyusuan maupun setelah penyapihan…
Agama tersebut telah mengasuhnya di atas sifat pemurah dan ringan
tangan, serta membangun baginya pilar keagungan…
Jiwa semerbak dan membumbung tinggi dari tujuan mencari dunia, yang mana
kecintaan terhadapnya (dunia) telah membuat letih dan memperbudak satu kaum…
Ia berpaling darinya (dunia) meskipun dalam penderitaan, muak terhadap
para pemburunya, baik biji emas maupun kepingannya!“
Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Semoga
Allah merahmati Ali. Sesungguhnya Ali adalah panah Allah yang dibidikkan kepada
musuh-musuh-Nya. Ia berada di sumber ilmu yang termulia dan terdekat dengan
Rasulullah. Ia adalah ahli ibadah umat ini. Ia bukanlah orang yang gemar
mencuri harta Allah, dan bukan orang yang suka tidur dalam (menegakkan)
perintah Allah. Ia telah diberi Al-Qur’an, perintah-perintahnya, amal dan
ilmunya, maka ia berada pada kebun-kebun yang indah dan rambu-rambu yang jelas
dari Al-Qur’an. Dialah Ali bin Abu thalib.”
Setelah lima tahun memegang tampuk
kekhalifahan, beliau dibunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin
Muljam pada saat sedang melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini terjadi pada
bulan Ramadhan tahun 40 H/ 661 M.
Ekspedisi pembunuhan Ali bin Abu Thalib
yang dilakukan oleh Abdurrahman dibantu oleh dua temannya yang rela menyertai
dan melindunginya. Mereka adalah Wardan, dari Bani Tamim dan Syabib bin Bajrah
Al-Asyja’i Al-Haruri.
Abdurrahman berkata kepada Syabib, “Maukan
engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
“Apa itu?” tanyanya.
“Membunuh
Ali!” jawab
Abdurrahman.
Ia berkata, “Celakalah
engkau! Engkau telah mengatakan perkara yang besar! Bagaimana mungkin engkau
akan membunuhnya?”
Abdurrahman berkata, “Aku
mengintai di masjid, apabila ia keluar untuk mengerjakan shalat Shubuh, kita
kepung dan bunuh dia. Bila berhasil, maka kita merasa puas dan kita telah
membalas dendam. Dan bila kita terbunuh, maka apa yang ada di sisi Allah lebih
baik daripada dunia.”
Ia berkata, “Celakalah
engkau! Kalaulah bukan Ali tentu aku tidak keberatan untuk melakukannya. Engkau
tentu mengetahui senioritasnya dalam Islam dan kekerabatannya dengan
Rasulullah. Hatiku tidak terbuka untuk membunuhnya.”
Abdurrahman berkata, “Bukankan
ia telah membunuh teman-teman kita di Nahrawan?”
“Benar.” Jawabnya.
“Marilah kita
bunuh ia sebagai balasan bagi teman-teman kita yang telah dibunuhnya.” Kata Abdurrahman.
Beberapa saat kemudian, Syabib
menyambutnya.
Masuklah bulan Ramadhan. Abdurrahman
membuat kesepakatan dengan teman-temannya pada malam Jumat 17 Ramadhan.
Abdurrahman berkata, “Malam itulah aku membuat kesepakatan
dengan teman-temanku untuk membunuh target masing-masing.” Lalu mulailah ketiga orang ini bergerak, yakni
Abdurrahman, Wardan, dan Syabib, dengan menghunuskan pedangnya masing-masing.
Mereka duduk di hadapan pintu yang mana Ali biasa keluar darinya. Ketika Ali
keluar, ia membangunkan orang-orang untuk shalat sembari berkata, “Shalat…
shalat!” dengan cepat
Syabib menyerang dengan pedangnya dan memukulnya tepat mengenai leher beliau.
Kemudian Abdurrahman menebaskan pedangnya ke atas kepala beliau. Darah Ali pun
membasahi janggutnya. Ketika Abdurrahman menebasnya, ia berkata, “Tidak
ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu,
wahai Ali!”, ia membaca
firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 207
QS:Al-Baqarah | Ayat: 207
Ali pun berteriak, “Tangkap
mereka!”
Adapun Wardan yang melarikan diri, namun
berhasil dikejar oleh seorang lelaki dari Hadhramaut lalu membunuhnya. Adapun
Syabib, berhasil menyelamatkan diri dan selamat dari kejaran mereka. Sementara
Abdurrahman berhasil ditangkap.
Ali menyuruh Ja’dah bin Hubairah bin Abu
Wahab untuk mengimami shalat Fajar. Ali pun diangkat ke rumahnya. Lalu digiring
pula Abdurrahman kepadanya dan di bawa ke hadapannya dalam keadaan dibelenggu
tangannya ke belakang pundak. Semoga Allah memburukkan rupanya. Ali berkata
kepadanya, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan
ini?” Abdurrahman
menjawab, “Aku telah mengasah pedang ini selama 40 hari.
Aku memohon kepada Allah agar aku dapat membunuh makhluk-Nya yang paling buruk
dengan pedang ini!”
Ali berkata kepadanya, “Munurutku,
engkau harus terbunuh dengan pedang itu. Dan menurutku engkau adalah orang yang
paling buruk.”
Kemudian Ali berkata, “Jika
aku mati, maka bunuhlah orang ini. Dan jika aku selamat, maka aku lebih tahu
bagaimana aku harus memperlakukan orang ini!”
Akhirnya Ali pun wafat. Setelah beliau
wafat, kedua putranya, yakni Hasan dan Husein memandikan jenazahnya yang
dibantu oleh Abdullah bin Ja’far. Kemudian jenazahnya dishalatkan oleh putra
tertua beliau, yakni Hasan. Hasan bertakbir sebanyak 9 kali.
Jenazah beliau dimakamkan di Darul Imarah
di Kufah, karena kekhawatiran pada kaum Khawarij yang akan membongkar makamnya.
Itulah yang mahsyur. Adapun yang mengatakan bahwa jenazahnya diletakkan di atas
kendaraannya kemudian dibawa entah ke mana perginya, maka sungguh ia telah
keliru dan mengada-ngada sesuatu yang tidak diketahuinya. Akal sehat dan
syariat tentu tidak membenarkan hal semacam itu. Adapun keyakinan mayoritas
kaum Rafidhah yang jahil bahwa makam beliau terletak di suatu tempat di Najaf,
maka tidak ada dalil dan dasarnya sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa makam
yang terletak di sana adalah makam Al-Mughirah bin Syu’bah.
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari
Al-Hafidz Abu Nu’aim dari Abu Bakar Ath-Thalahi dari Muhammad bin Abdullah
Al-Hadhrami Al-Hafidz Muthayyin, bahwa ia berkata, “Sekiranya
orang-orang Syi’ah mengetahui makam siapakah yang mereka agung-agungkan di
Najaf, niscaya mereka akan melemparinya dengan batu. Sebenarnya itu adalah
makam Al-Mughirah.”
Semoga Allah merahmatimu, wahai khalifah
yang termuda. Dan semoga Allah meridhaimu, wahai menantu dan sepupu Rasulullah.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar