بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Mendengar nama Abu Al-Hakam (Abu Jahal), membuat
hati kaum Muslimin menjadi sangat geram karena sosoknya yang sangat memusuhi
Islam. Dia merupakan lelaki yang terhormat di kaumnya. Dia memiliki harta yang
amat banyak, sehingga memiliki kedudukan yang tinggi di mata kaum Quraisy.
Namun, dia telah mengubur dalam-dalam
dirinya ke dalam lumpur kemusyrikan, padahal jika ia mau menerima hidayah dan
cahay islam, niscaya ia akan menjadi orang yang berpengaruh dalam Islam. Sesuai
dengan doa Rasulullah, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Amr
bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Al-Khattab.”
Namun, apa daya Allah lebih mengetahui
perkara yang ghaib. Dia-lah yang menentukan takdir seseorang sehingga Dia
menjadikan Umar bin Al-Khattab, yang merupakan keponakan Abu Jahal untuk
memeluk Islam.
Abu Jahal merupakan Fir’aun bagi umat ini.
Ia hidup sezaman dengan Rasulullah dan mendedikasikan dirinya untuk memusuhi
Allah dan Rasul-Nya. Ia berusaha keras untuk menghentikan dakwah Rasulullah
bahkan untuk membunuhnya. Namun, Rasulullah memang bukan manusia yang pantas
untuk dibunuh. Ia melihat sejumlah tanda kekuasaan-Nya dan mukjizat Rasulullah,
namun hatinya yang sudah terlanjur keras bagaikan semen yang sulit untuk
dilunakkan kembali.
Saat menjelang Perang Badar, Abu Jahal
selalu mendesak kaumnya agar tetap melaksanakan perang walaupun kafilah dagang
Abu Sufyan selamat. Ia telah tertipu oleh bujuk rayu setan. Ia yakin bahwa kaum
Quraisy akan menang dalam perang yang menentukan nasib kaum Muslimin.
Namun, dia sendirilah yang merasakan
pahitnya kekalahan, bahkan lebih dari itu. Ia merasakan kematiannya yang sunguh
tragis.
Mengenai ini, Al-Bukhari dan Muslim
menuturkan bahwa Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, “Sesungguhnya
aku berada di tengah-tengah pasukan saat Perang Badar. Ketika menengok ke kiri
dan ke kanan, aku melihat dua orang bocah belia. Aku nyaris tak percaya dengan
keberadaan keduanya. Seorang dari mereka berbisik kepadaku tanpa diketahui
temannya, ‘Paman, tunjukkan kepadaku orang yang bernama
Abu Jahal!’
Aku menjawab, ‘Wahai keponakanku, apa yang akan
kauperbuat dengannya?’
Ia menjawab, ‘Aku mendengar kabar bahwa ia telah
mencaci Rasulullah. Maka, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bila aku
bertemu dengannya, niscaya aku tidak akan berpisah dengannya sebelum terbukti
siapa yang lebih dulu mati di antara kami!’
Aku terkejut mendengar perkataannya.”
Abdurrahman bin Auf melanjutkan, “Kemudian,
bocah satunya bertanya dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Namun, belum
sempat aku menjawab keduanya. Tiba-tiba kulihat kelebat Abu Jahal di
tengah-tengah pasukan yang sedang berperang. Maka aku berkata, ‘Apakah kalian berdua tidak melihatnya? Itulah orang yang
kalian tanyakan kepadaku.’ Seraya menunjuk ke arah Abu jahal.
Keduanya bergegas menghampiri Abu Jahal dengan menghunus pedang
masing-masing. Setelah dekat, mereka langsung menyerang Abu Jahal hingga tewas,
lalu pergi menghadap Rasulullah untuk melaporkan hal itu. Maka beliau bertanya,
‘Siapa di antara kalian yang membunuhnya?’
‘Aku yang membunuhnya.’ Jawab keduanya
bersamaan.
Rasulullah bertanya kembali, ‘Sudahkah kalian
menghapus (darah) yang ada di pedang kalian?’
Keduanya serentak menjawab, ‘Belum.’
Rasulullah memeriksa kedua pedang mereka, kemudian bersabda, ‘Kalian berdua telah membunuhnya secara bersamaan’.”
Sejak kejadian itu, muncullah Ikrimah bin Abu Jahal yang mulai menaruh dendam
terhadap kaum Muslimin. Dulu, sebelum ayahnya terbunuh, ia memusuhi Islam
karena ingin membahagiakan ayahnya. Namun, sejak saat itu pendiriannya berubah
drastis saat ayahnya terbunuh dalam Perang Badar.
Saat Rasulullah memulai dakwahnya, Ikrimah
berusia 30 tahun dan ia merupakan seorang bangsawan yang dihormati karena
berasal dari keturunan yang dihormati pula oleh rakyatnya.
Ia dikenal sebagai orang yang gagah dan
seorang penunggang kuda yang mahir. Ini merupakan kebanggaan sendiri bagi
pemuda Jazirah Arab pada saat itu.
Semenjak Perang Badar, ia benar-benar
ingin membunuh Rasulullah karena rasa dendamnya yang sudah membara di dalam
hatinya yang keras.
Rasa dendam itu ia lampiaskan di Perang
Uhud. Ia tampil sebagai pasukan berkuda kaum Quraisy yang ada dalam pasukan
inti bersama Khalid bin Al-Walid. Tujuan mereka adalah bukan untuk memenangkan
pertempuran, melainkan untuk membunuh Rasulullah dan Hamzah.
Mereka—termasuk Ikrimah—sangat bersemangat
sekali untuk memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Ikrimah melihat bayangan peristiwa
kematian ayahnya di depan matanya hingga membuat pasukan kaum Muslimin
mengalami kekalahan yang disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh
pasukan pemanah.
Dalam Perang Khandaq, Ikrimah adalah salah
satu dari ribuan pasukan kaum musyrikin yang mengepung Madinah. Mereka sangat
terkejut sekali melihat pertahanan kaum Muslimin—sebuah parit—yang belum pernah
ada di wilayah jazirah Arab. Benar saja, strategi itu atas usul dari seorang
berkebangsaan Persia, Salman Al-Farisi.
Setelah pasukan Quraisy terkejut, tiba-tiba
salah seorang pendekar Quraisy, Amru bin Abdul Wudd keluar dari tengan-tengah
barisan Quraisy, seraya berseru kepada kaum Muslimin, “Siapakah
yang sangguo melawanku?!” Maka, Ali
pun berkata kepada Rasulullah, “Saya akan menghadapinya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Duduklah
engkau, ia adalah Amru.” Kemudian
Amru berteriak sekali lagi, “Tidak adakah seorang lelaki yang
sanggup menghadapiku? Bukankah kalian megatakan bahwa jika salah seorang di
antara kalian terbunuh, maka orang itu akan memasuki surga? Maka, kenapa tidak
ada seorang lelaki di antara kalian yang tampil?” Ali berkata, “Saya, wahai
Rasulullah!” Beliau bersabda,
“Duduklah.”
Kemudian Amru mengulangi kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair
yang bernuansa kesombongan. Maka Ali berkata, “Meskipun
Amru sekalipun!” Akhirnya
Rasulullah pun mengizinkannya.
Ali bin Abu Thalib berhasil memenangkan
duel dengannya . ia memenggal kepala Amru bin Wudd dan melemparkannya pada
pasukan kafir Quraisy. Melihat kejadian ini, Ikrimah lari terbirit-birit
bagaikan tikus ketakutan.
Singkat cerita, kaum kafir Quraisy
maninggalkan Madinah karena Allah telah mengirimkan badai yang telah
memporak-porandakan kemah mereka.
Pada akhir tahun 6 H, Rasulullah bersama
para shahabatnya mengadakan perjalanan ke Mekkah dengan tujuan berziarah ke
Baitullah dan melakukan umrah, bukan hendak berperang, dan mereka juga tidak
mengadakan persiapan untuk peperangan. Keberangkatan mereka ini diketahui oleh
kaum Quraisy, sehingga mereka keluar untuk menghalangi jalan kaum Muslimin dan
membatalkan niat mereka. Suasana pun menjadi tegang dan hati kaum Muslimin
berdebar-debar. Rasulullah bersabda kepada para shahabatnya, “Jika
pada waktu ini Quraisy mengajak kita untuk mengambil langkah ke arah pertalian silaturahmi,
aku pasti mengabulkan.”
Kaum Quraisy pun mengirim utusan demi
utusan kepada Rasulullah. Beliau selalu memberitahukan kepada mereka bahwa
beliau datang tidak untuk berperang, tetapi hanyalah untuk mengunjungi Baitul
Haram dan menjunjung tinggi kesuciannya. Setiap utusan Quraisy kembali tanpa
hasil, mereka mengirim lagi utusan yang lebih bijak dan lebih disegani, hingga
sampai pada giliran Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi.
Ia merupakan tokoh Quraisy yang paling
kuat dan brilian. Menurut anggapan Quraisy, ia akan mampu meyakinkan Rasulullah
untuk kembali pulang ke Madinah. Tetapi, tidak lama setelah itu, Urwah kembali
lagi dan berkata kepada mereka, “Wahai kaum Quraisy, aku ini pernah
berkunjung kepada Kaisar, Kisra, dan Najasyi di istana mereka masing-masing.
Namun, demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja yang dihormati oleh
rakyatnya seperti halnya Muhammad dihormati oleh para shahabatnya. Aku melihat
di sekelilingnya suatu kaum yang sekali-kali tidak akan rela membiarkannya
mendapat cedera selamanya. Karena itu, pertimbangkanlah apa yang hendak kalian
lakukan.”
Saat itulah orang-orang Quraisy yakin
bahwa usaha mereka tidak akan berhasil. Mereka akhirnya memutuskan untuk
menempuh jalan perundingan dan perdamaian. Untuk melaksanakan tugas ini, mereka
memilih pemimpin mereka yang tepat, yang tiada lain adalah Suhail bin Amr. Kaum
Muslimin melihat Suhail saat ia datang dan mereka langsung mengenal siapa dia.
Kedatangannya itu membuat kaum Muslimin memahami bahwa orang-orang Quraisy
akhirnya berusaha untuk berdamai dan mencapai kesepakatan karena yang mereka
utus ialah Suhail bin Amr.
Suhail duduk berhadapan dengan Rasulullah
dan terjadilah perundingan yang berlangsung lama di antara mereka dan berakhir
dengan tercapainya nota kesepakatan damai. Dalam perundingan ini Suhail
berusaha mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Quraisy. Hal ini
dipermudah oleh toleransi luhur dan mulia dari Rasulullah yang berlangsung saat
negosiasi dalam perdamaian tersebut.
Hari terus bergulir hingga tibalah tahun 8
H. Rasulullah bersama kaum Muslimin berangkat untuk membebaskan Mekkah, yaitu
setelah Quraisy melanggar perjanjian dan ikrar mereka dengan Rasulullah, serta
orang-orang Muhajirin pun kembali ke kampung halaman mereka setelah mereka dulu
diusir secara paksa. Mereka kembali bersama orang-orang Anshar, yang dahulu
telah membawa mereka berlindung di Madinah dan mengutamakan mereka daripada
diri sendiri. Islam kembali secara keseluruhannya dan mengibarkan panji-panji
kemenangannya di angkasa luas. Mekkah pun membukakan semua pintunya.
Orang-orang musyrik hanya bisa berdiri
tanpa bisa berbuat apa-apa. Menurut anda, apakah nasib yang akan dialami oleh
mereka sekarang ini? Apa gerangan yang akan diterima oleh orang-orang yang
telah menyalahgunakan kekuatan mereka selama ini terhadap kaum Muslimin dengan
melakukan pembunuhan, pembakaran, penyiksaan, dan membuat kelaparan?
Rasulullah yang sangat pengasih itu tidak
akan membiarkan mereka terlalu lama di bawah tekanan perasaan yang sangat pahit
dan getir ini. Dengan dada yang lapang dan sikap yang lunak dan lembut, beliau
menghadapkan wajah kepada mereka sambil bersabda dengan getaran dan irama suara
bagai siraman air kasih sayang berkumandang di telinga mereka, “Wahai
kaum Quraisy, menurut kalian apakah yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Mendengar itu, sosok yang sebelumnya
menjadi musuh Islam, Suhail bin Amr maju memberikan jawaban, “Kami
yakin engkau akan berbuat baik karena engkau adalah saudara kami yang mulia,
putra saudara kami yang mulia.”
Sebuah senyuman bagaikan cahaya,
tersungging di kedua bibir Rasulullah kekasih Allah itu, lalu bersabda, “Pergilah
kalian karena kalian semua bebas.”
Kata-kata Rasulullah yang baru saja
memperoleh kemenangan ini semestinya tidak akan diterima begitu saja oleh orang
yang masih mempunyai perasaan, kecuali dengan hati yang telah menjadi peleburan
dan perpaduan antara rasa malu, ketundukan, dan penyesalan.
Namun, saat kejadian ini, Ikrimah bin Abu
Jahal berusaha melarikan diri karena takut akan pembalasan kaum Muslimin yang
akan ditimpakan kepadanya.
Mengenai ini, Abu Ishaq meriwayatkan bahwa
ketika
Rasulullah berhasil menaklukkan kota Makkah, maka Ikrimah berkata, “Aku tidak akan tinggal di tempat ini!" Setelah berkata
demikian, dia pun pergi berlayar dan memerintahkan supaya isterinya membantunya.
Akan tetapi isterinya berkata, "Hendak kemana kamu
wahai pemimpin pemuda Quraisy? Apakah kamu akan
pergi kesuatu tempat yang tidak kamu ketahui?" Ikrimah pun melangkahkan kakinya tanpa sedikitpun
memperhatikan perkataan isterinya.
Ketika Rasulullah bersama para sahabat lainnya telah berhasil
menaklukkan kota Makkah, maka kepada Rasulullah isteri Ikrimah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ikrimah telah melarikan diri
ke negeri Yaman karena ia takut kalau-kalau kamu akan membunuhnya. Justru itu
aku memohon kepadamu supaya engkau berkenan menjamin keselamatannya." Rasulullah pun menjawab,
"Dia akan berada dalam keadaan
aman!"
Mendengar jawaban itu, maka isteri Ikrimah memohon diri dan pergi untuk mencari
suaminya.
Di saat yang sama,
di pesisir Tihamah, ia akan menaiki sebuah kapal yang hendak membawanya ke
daerah Yaman. Seketika itu juga, sang nahkoda kapal mengatakan agar ia
menyucikan dirinya, ketika ditanyakan tentang apa yang harus dilakukannya, sang
nahkoda berkata, “Ucapkanlah kalimat, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad utusan Allah.”
Maka, dengan nada
membentak, Ikrimah berkata, “Tidak ada yang menyebabkan aku melarikan diri dari negeriku,
kecuali dari kalimat yang baru saja engkau ucapkan!”
Sang nahkoda tetap
mendesaknya agar mengucapkan kalimat tersebut, bahkan ia mengancamnya tidak
akan membawanya berlayar ke tempat tujuannya. Dalam suasana yang menegangkan
ini, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya yang tak lain adalah Ummu Hakim
binti Harits bin Hisyam, isterinya sendiri yang telah memeluk Islam.
Ikrimah pun
menghentikan pertengkarannya dengan sang nahkoda dan segera berpaling kepada
istrinya. Maka, Ummu Hakim berkata kepadanya dari kejauhan, “Wahai putra pamanku,
aku telah datang kepadamu dari sisi orang yang paling banyak menyambung
silaturahmi, sebaik-baik manusia dan semulia-mulia manusia. Maka, janganlah
engkau membinasakan dirimu sendiri.”
Setelah ia
mendekat, ia berkata lagi, “Sesungguhnya aku telah meminta jaminan keselamatan untukmu
dari Rasulullah.”
Maka, dengan rasa
setengah percaya Ikrimah bertanya, “Engkau telah melakukannya?”
“ya, aku telah
berbicara dengan Rasulullah dan meminta jaminan keselamatan untukmu. Dan beliau
memberikan jaminan keselamatan itu untukmu!” jawab istrinya.
Nampaknya tidak
ada pilihan lain bagi Ikrimah, karena sang nahkoda kapal menolaknya untuk
mengantarkannya ke Yaman sebelum ia mengucapkan syahadat, yang artinya ia harus
memeluk Islam. Padahal hal itulah yang membuatnya melarikan diri menuju ke
Yaman. Akhirnya ia pun memenuhi permintaan istrinya dan mereka berdua pun
kembali ke Mekkah.
Sedangkan di
Mekkah, Rasulullah yang telah mengetahui bahwa Ummu Hakim berhasil membawa
kembali suaminya, bersabda kepada para sahabat, “Ikrimah bin Abu Jahal
akan datang kepada kalian sebagai orang yang beriman dan Muhajirin, maka
janganlah kalian mencaci bapaknya, karena cacian terhadap orang yang sudah
meninggal akan menyakiti orang yang masih hidup, padahal cacian itu tidak
terdengar oleh orang yang sudah meninggal.”
Ketika Ikrimah dan
istrinya memasuki majelis Rasulullah, beliau berdiri dan menyambutnya dengan
gembira. Ketika Rasulullah duduk kembali, Ikrimah pun duduk di hadapan beliau
dan mengucapkan kalimat syahadat, tanda keislamannya. Setelah itu, ia memohon
kepada Rasulullah untuk mendoakannya agar Allah mengampuni dosa-dosa dan
kesalahannya yang lampau dengan berkata, “Ya Rasulullah,
hendaknya engkau memohankan ampun bagiku atas setiap permusuhanku terhadapmu,
atas setiap perjalanan yang untaku kupacu kencang untuk memusuhimu, dan di mana
pun aku menemuimu untuk menyakitimu, juga atas setiap ucapan yang keluar dari
mulutku, di hadapanmu atau di belakangmu.” Rasulullah pun memenuhi
permintaannya dengan mendoakannya dan para sahabat yang hadir pun mengamininya.
Maka, seketika itu
juga wajahnya pun berseri-seri bagaikan matahari yang menyinari di malam yang
kelam. Ia pun berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Aku akan mengorbankan hartaku
di jalan Allah dua kali lebih banyak daripada harta yang kupakai untuk
menghalangimu di jalan Allah sebelum ini. Dan aku akan berperang di jalan Allah
dua kali lebih banyak daripada peperangan yang telah aku lakukan untuk
menghalangimu di jalan Allah sebelum ini. ”
Sesuai dengan
janjinya, ia selalu menyertai Rasulullah dalam setiap peperangan yang terjadi
setelah keislamannya itu. Dalam Perang Hunain, di mana pada awalnya pasukan
Muslimin sempat terdesak dan kocar-kacir, Suhail bin Amr menyertai perang itu
walaupun belum menerima hidayah dari Islam, berkomentar dengan sinis, “Muhammad dan para
sahabatnya tidak akan bisa memperbaiki apa yang telah hilang dari mereka, dan
tidak akan pernah bisa mendapatkannya lagi.”
Mendengar
perkataannya tersebut, Ikrimah membantahnya dengan berkata, “Ini bukanlah ucapan
yang tepat dan urusan ini sedikit pun bukan hak Muhammad. Jika hari ini ia
dikalahkan, maka besok ia akan memiliki kesudahannya sendiri.”
Mendengar ucapan
yang keluar dari mulut Okromah ini, Suhail berkata dengan heran, “Demi Allah,
sesungguhnya zaman di mana engkau memusuhi Muhammad baru saja engkau
tinggalkan, wahai Ikrimah.”
“Wahai Abu Yazid
(Suhail), Demi Allah dahulu kita telah memacukan kuda kita untuk tujuan yang
sia-sia, sedangkan akal kita adalah akal kita sendiri. Dahulu kita menyembah
batu yang tidak bisa memberi manfaat dan madharat apapun kepada kita.” Sahut Ikrimah.
Akhirnya Suhail
bin Amr tidak mampu lagi mendebat pernyataan Ikrimah tersebut.
Ikrimah pernah
ditugaskan oleh Rasulullah untuk menjadi pemungut zakat dari Bani Hawazin
ketika beliau sedang menunaikan ibadah haji. Bahkan ketika Rasulullah wafat, ia
sedang mengemban tugas Rasulullah di daerah Tabalah, sebuah kota di Yaman yang
cukup terkenal.
Ikrimah sendiri
akhirnya mati syahid dalam Perang Yarmuk, di mana pasukan Muslimin melawan
pasukan Romawi pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab.
Bagaimana
kisahnya?
Ketika Perang
Yarmuk sedang berkecamuk, Ikrimah maju dengan hati yang bersemangat. Ia
memiliki semangat jihad yang tinggi, yang akan ia gunakan sebagai tebusan atas
masa lalunya. Melihat tindakannya itu, Khalid bin Al-Walid mengejarnya sambil
berteriak, “Janganlah engkau bertindak bodoh, wahai Ikrimah. Kembalilah,
karena kematianmu adalah kerugian besar bagi kaum Muslimin.”
Namun, Ikrimah
tidak mempedulikan peringatan tersebut. Seketika itu juga ia menghampiri Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah sembari
berkata, “Aku sudah bertekad mati syahid, apakah engkau
mempunyai pesan penting yang akan kusampaikan kepada Rasulullah, bila aku
menemuinya nanti?” Abu
Ubaidah menjawab, “Ada, katakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya kami telah menemukan bahwa apa
yang dijanjikan Allah kepada kami, memang benar!’”
Ia pun
langsung melesat maju menyerang bagai anak panah lepas dari busurnya. Ia
menyerbu ke tengah-tengah pertempuran dahsyat, merindukan tempat peraduan dan
pembaringannya. Ia menyerang dengan sebilah pedang, dan dilawan oleh seribu
pedang, hingga menemui kesyahidan.
Itulah dia Ikrimah bin Abu Jahal. Dia
memang anak Abu Jahal, namun sifatnya sungguh berbanding terbalik dengan
ayahnya. Ketika tekanan orang Romawi semakin berat, ia berseru kepada kaum
Muslimin dengan suara lantang, “Sungguh, aku telah lama memerangi
Rasulullah pada masa yang lalu sebelum Allah memberikan petunjuk kepadaku untuk
masuk Islam. Apakah pantas aku lari dari musuh-musuh Allah hari ini?”
Kemudian ia berteriak, “Siapakah
yang bersedia dan berjanji untuk mati?”
sejumlah orang berjanji kepadanya untuk berjuang sampai mati, kemudian mereka
menyerbu ke jantung pertempuran bersamaan. Bukan hanya mencari kemenangan,
melainkan bila kemenangan itu harus ditebus dengan jiwa dan raga, mereka sudah
siap untuk mati syahid. Allah telah menerima pengorbanan dan baiat mereka.
Mereka semuanya gugur syahid.
Di akhir pertempuran,
di bumi Yarmuk berjejer tiga mujahid Muslim yang terkapar dalam keadaan kritis.
Mereka menderita luka yang sangat parah; Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi
Rabi'ah dan Ikrimah bin Abu Jahal.
Ada pula orang-orang yang luka berat, dia adalah
Al-Harits. Seseorang membawakan air kepadanya. Ketika air
didekatkan ke mulutnya, ia melihat Ikrimah dalam keadaan seperti yang ia alami.
"Berikan dulu
kepada Ikrimah," kata Al-Harits. Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat
Ayyasy menengok kepadanya. "Berikan dulu kepada Ayyasy!" ujarnya. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, dia telah
meninggal. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan
Ikrimah, namun keduanya pun telah meninggal pula.
Begitulah keadaan mereka,
sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, hingga
akhirnya mereka semua mati syahid. Itulah
yang terjadi. Mereka rela menderita kehausan sewaktu ruh-ruh mereka melayang.
Inilah contoh teladan yang paling indah tentang pengorbanan dan mendahulukan
kepentingan orang lain. Semoga Allah melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada mereka bertiga.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
2 komentar:
mana refensinya :
semua tulisannya tidak ada sumbernya. tolong kalau bisa sertakan refensinya dari kitab arabnya.
Alloh maha besar
Posting Komentar