Selasa, 19 November 2013

Filled Under:

Abu Dzar Al-Ghifari (Pemimpin Oposisi dan Musuh Kehidupan Mewah).



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
     AbuAl-Ghifari  datang ke Mekkah dengan semangat kegembiraan meski badan terasa sangat letih. Memang benar, sulitnya perjalanan dan panasnya udara padang pasir membuat tubuhnya sakit dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya mampu meringankan penderitaan dan membangkit semangat dan kegembiraan dalam jiwa.

     Ia memasuki kota sambil menyamar. Ia tampak seperti orang yang hendak melakukan tawaf mengelilingi berhala-berhala besar di Ka’bah, atau seorang musafir yang tersesat dalam perjalanan, atau lebih tepat orang yang telah menempuh perjalanan sangat jauh, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

     Seandainya orang-orang Mekkah mengetahui bahwa kedatangannya itu untuk menemui dan mendengar keterangan Muhammad, mereka pasti membunuhnya. Namun, ia tidak peduli meski harus dibunuh, asal saja itu dilaksanakan setelah dirinya melintasi padang pasir luas dan dapat menjumpai laki-laki yang dicarinya dan menyatakan beriman kepadanya. Mereka boleh membunuhnya tetapi setelah ia merasa lega dengan kebenaran dan dakwah yang diberikan oleh Muhammad.

     Ia terus melangkah sambil memasang telinga. Setiap mendengar perbincangan tentang Muhammad, ia menyimak dan mendekat dengan hati-hati, dan dari cerita yang didapat di sana-sini, ia mendapati petunjuk yang bias mengantarkannya ke tempat persembunyiannya Muhammad dan dan mempertemukannya dengan beliau.

     Suatu pagi ia pergi ke tempat tersebut dan mendapati Muhammad sedang duduk seorang diri. Ia mendekati beliau dan berkata, “Selamat pagi, wahai kawan sebangsa!”

     Beliau menjawab, “Keselamatan untukmu, wahai shahabat.”

     “Bacakanlah kepadaku syair anda,” kata Abu Dzar .

     “Itu bukanlah syair yang dapat disenandungkan, melainkan Al-Qur’an yang mulia!” jawab Rasulullah .

     “Bacakanlah kalau begitu!” kata Abu Dzar .

     Rasulullah  pun membacakan Al-Qur’an, sedangkan Abu Dzar  mendengar dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang lama ia pun berseru, “Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan aku juga bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

     Dari manakah asalmu, saudara sebangsa?” Tanya Rasulullah .

     “Dari Ghifar.” Jawabnya.

     Terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah , sementara wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar  juga tersenyum, karena ia mengetahui apa yang tersimpan di balik rasa kagum Rasulullah  saat mendengar bahwa orang yang telah mengaku islam di hadapannya secara terus terang itu, seorang laki-laki dari Bani Ghifar.

     Ghifar adalah kabilah yang tidak mengenal siapa sasarannya ketika membegal di jalanan. Orang-orang Ghifar sangat terkenal sebagai biang keladi perampokan. Mereka adalah shahabat malam dan kegelapan. Celakalah orang yang tersesat atau jatuh ke tangan orang-orang Ghifar dalam perjalanan malam! Namun, hari ini salah satu dari mereka datang untuk menyatakan keislaman saat islam yang baru saja lahir.

     Sungguh, sulit dipercaya seorang dari Bani Ghifar segaja datang untuk masuk islam saat itu. Abu Dzar  menuturkan sendiri kisah keislamannya tersebut, “Rasulullah  pun menatap tajam seolah ingin mendapatkan kepastian dari keheranan beliau karena tahu bagaimana tabiat orang-orang Ghifar. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.’”

     Memang benar, Allah menganugerahkan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Abu Dzar  ialah salah seorang yang dikehendaki Allah beroleh petunjuk dan orang yang dipilih-Nya untuk mendapat kebaikan.

     Abu Dzar  memang seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran. Menurut periwayatan, ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala pada zaman jahiliyyah, dan mempunyai kepercayaan terhadap ketuhanan dan keimanan kepada Rabb Yang Maha Besar lagi Maha Pencipta. Itu terbukti ketika ia baru saja mendengar pengutusan seorang Nabi yang mencela berhala serta pemuja-pemujanya dan menyeru kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, dia pun menyiapkan bekal dan langsung mengayunkan langkahnya.

     Abu Dzar  telah masuk islam tanpa ditunda-tunda lagi. Urutannya di kaum Muslimin ialah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk islam itu pada hari-hari pertama, bahkan pada saat-saat pertama agama islam, hingga keislamannya termasuk ke dalam barisan terdepan.

     Ketika ia masuk islam, Rasulullah  masih menyampaikan dakwahnya secara berbisik-bisik dari satu orang ke orang lain. Beliau membisikkan dakwah itu kepada Abu Dzar  begitu pun kepada lima orang lainnya yang telah beriman kepadanya. Bagi Abu Dzar , tidak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu dalam dada, lalu meninggalkan Mekkah secara diam-diam dan kembali kepada kaumnya.

     Namun, Abu Dzar  adalah seorang yang “radikal” dan “revolusioner.” Menentang kebathilan telah menjadi watak dan tabi’atnya di mana pun dia berada. Dan sekarang kebathilan itu berada di hadapannya serta disaksikannya dengan kedua matanya sendiri. Kebathilan dalam wujud batu-batu yang disusun dan dibentuk oleh para pemujanya; disembah oleh orang-orang dengan menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka. Manusia memanggilnya dengan seruan, “Inilah kami kami datang demi mengikuti titahmu.”

     Abu Dzar  tahu bahwa Rasulullah  memilih cara bisik-bisik pada masa itu, mau tidak mau harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan jiwa pemberontak ulung ini sebelum ia pergi.

     Baru saja masuk islam, ia telah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah , “Wahai Rasulullal, apa yang harus saya kerjakan menurutmu?”

     Beliau menjawab, “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintah-ku nanti!”

     Namun, Abu Dzar  menyahut, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan kembali sebelum meneriakkan Islam di dalam masjid!”

     Bukankah telah saya katakan kepada anda? Abu Dzar  berjiwa “radikal” dan “revolusioner”! apakah pada saat alam baru terbuka secara gambling, yang jelas tertulis pada pribadi Rasulullah  yang diimaninya, serta dakwah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya; apakah pada saat seperti itu ia mampu kembali pada keluarganya dalam keadaan membisu seribu bahasa? Sungguh, hal itu di luar kemampuannya!

       Abu Dzar  pergi menuju Al-Masjid Al-Haram dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Inilah teriakan pertama tentang agama islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraish dan memekakkan telinga mereka.

     Teriakan itu dilontarkan oleh seorang perantau asing, yang tidak mempunyai pelindung, sanak keluarga maupun keluarga di Mekkah. Sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya bisa dipastikan itu akan diterima. Orang-orang mengepung dan memukulnya hingga roboh.

     Berita mengenai peristiwa yang dialami oleh Abu Dzar  itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. Dia segera mendatangi tempat kejadian peristiwa tersebut, namun ia merasa tidak dapat melepaskan Abu Dzar  dari cengkeraman mereka, kecuali dengan menggunakan pendekatan persuasive. Dia pun berkata kepada mereka, “Wahai kaum Quraish, kalian semua adalah bangsa pedagang yang mau tidak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Orang ini salah seorang warganya. Dia bias memobilisasi kaumnya untuk merampok kafilah-kafilah dagang kalian nanti!”

     Mereka menyadarinya akan hal itu, lalu pergi meninggalkannya. Tetapi, Abu Dzar  yang baru saja mengenyam manisnya penderitaan dalam membela agama Allah itu tidak ingin meninggalkan Mekkah sebelum berhasil memperoleh tambahan dari darma baktinya. Dia pun membuktikannya pada hari berikutnya, atau bahkan pada hari yang sama. Dia melihat dua orang wanita sedang tawaf mengelilingi berhala-berhala bernama Usaf dan Nailah sambil memohon kepadanya. Abu Dzar  segera berdiri menghadangnya, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina dan direndahkan olehnya.

     Kedua wanita itu berteriak dengan keras, hingga orang-orang gempar dan datang laksana belalang. Sejurus kemudian, mereka menghujani Abu Dzar  dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, tidak ada kata yang ia ucapkan kecuali, “Bahwa tiada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”

       Rasulullah  menyadari bagaimana tabi’at dan watak murid barunya yang baru datang itu. Beliau memahami keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya saja, saatnya belum tiba sehingga beliau mengulangi perintah agar ia pulang, hingga ketika ia telah mendengar islam telah didakwahkan secara terang-terangan, ia dapat kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya.

     Abu Dzar  kembali menemui keluarga serta kaumnya dan menceritakan kepada mereka tentang nabi yang baru di utus oleh Allah, yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlak mulia. Satu demi satu, kaumnya masuk islam. Bahkan, usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tetapi dilanjutkannya pada suku lain, yaitu suku Aslam. Ia memancarkan cahaya Islam di tengah-tengah mereka.

     Hari-hari telah berlalu telah mengikuti peredaran masa. Rasulullah  pun hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama kaum Muslimin. Suatu hari satu barisan panjang yang terdiri atas pengendara dan pejalan kaki menuju ke pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu di belakang mereka. Kalau bukan karena bunyi suara takbir mereka yang bergerumuh, orang yang melihat pasti akan menyangka mereka itu adalah iring-iringan tentara musyrikin.

     Rombongan besar itu semakin dekat, lalu memasuki Madinah dan langkah mereka mengarah ke Masjid dan tempat kediaman Rasulullah . Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar , baik laki-laki, perempuan, orang tua, remaja, maupun anak-anak.

     Kali ini, Rasulullah  semakin takjub dan kagum. Belum lama berselang, beliau takjub oleh seorang laki-laki dari Ghifar yang menyatakan keislaman di hadapan belia. Ketakjuban beliau itu ditunjukkan dengan sabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

       Nah, kini yang datang itu ialah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keislaman mereka, setelah beberapa tahun lamanya mereka menganut agama nenek moyang, sejak mereka diberi hidayah Allah di tangan Abu Dzar . Suku Aslam juga ikut bersama mereka. Kini, raksasa garong dan komplotan setan telah beralih rupa menjadi pembesar kebajikan dan pendukung kebenaran! Benar, bahwa Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

     Rasulullah  melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi oleh rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, beliau bersabda:

     “Suku Ghifar telah diampuni oleh Allah”

     Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, beliau juga bersabda:

     “Suku Aslam telah diselamatkan oleh Allah"

     Untuk Abu Dzar , mubalig ulung yang berjiwa bebas dan bercita-cita mulia itu, apakan Rasulullah  tidak akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tentu saja, ganjarannya tidak terhingga, serta ucapan kepadanya dipenuhi berkah!

     Bintang tertinggi tentu akan disematkan di dadanya, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Keturunan demi keturunan serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah  mengenai Abu Dzar , “Tidak ada lagi di muka bumii dan di bawah naungan langit orang yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar .”

     Seperti disebutkan sebelumnya, Rasulullah  menyadari sebagaimana watak dan tabi’at murid barunya yang baru datang waktu itu. Beliau memahami keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya saja, saat belum tiba sehingga beliau memerintahkan agar dia pulang ke kaumnya. Dan kini, ketika dia telah mendengar islam telah didakwahkan secara terang-terangan, ia kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya di Madinah.

     Kali ini beliau menyatakan tidak ada orang yang lebih benar daripada ucapan Abu Dzar . Sungguh, Rasulullah  bagai telah membaca masa depan shahabatnya itu, dan menyimpulkan semuanya pada kalimat tersebut. Kebenaran yang disertai dengan keberanian; itulah prinsip hidup Abu Dzar  secara keseluruhan! Benar batinnya, benar pula lahirnya. Benar akidahnya, benar pula ucapannya.

     Dalam kehidupan selanjutnya, Abu Dzar  memang menjalani hidupnya secara jujur. Ia tidak menipu dirinya sendiri maupun orang lain.ia tidak akan membiarkan seorang pun menyimpangkan dirinya dari kebenaran. Kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar , kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran!

     Yang dikatakan benar adalah menyatakan secara terbuka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan menentang yang bathil, mendukung yang benar dan memberantas yang salah. Benar itu ialah loyalitas total terhadap yang haq, mengemukakannya secara berani, dan melaksanakannya secara terpuji.

     Dengan penglihatannya yang tajam bagai menembus kea lam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudra yang tidak terselami, Rasulullah  menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar  sebagai konsekuensi dari kejujuran dan ketegasannya. Karena itu, Rasulullah  selalu berpesan kepadanya agar melatih diri dengan kesabaran dan tidak terburu nafsu.

     Suatu hari Rasulullah  mengemukakan kepadanya pertanyaan, “Wahai Abu Dzar , bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?”

     Abu Dzar  menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutusmu sebagai kebenaran, aku akan menebas mereka dengan pedangku!”

     Beliau bersabda kepadanya, “Maukah kamu bila aku memberikan jalan yang lebih baik daripada itu? Yaitu, bersabar sampai kamu menemuiku.”

     Tahukah anda, mengapa Rasulullah  mengajukan pertanyaan seperti itu? Mengapa pertanyaannya berkaitan dengan pembesar dan harta? Karena, itulah persoalan pokok yang nantinya akan dihadapi oleh Abu Dzar  dalam kehidupan selanjutnya. Itulah permasalahan dirinya dengan masyarakat dan masa depan yang harus dipecahkannya.

     Rasulullah  telah mengetahui hal itu, dan itulah sebabnya beliau mengajukan pertanyaan demikian. Baliau bermaksud membekalinya dengan nasihat yang amat berharga, “Bersabarlah kamu sampai menemuiku.”

     Dalam kehidupan selanjutnya, Abu Dzar  memang selalu ingat wasiat gurunya. Ia tidak pernah menggunakan pedang untuk menghadapi para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat, tetapi ia juga tidak pernah tinggal diam walau sesaat untuk mengingatkan mereka dengan cara lain. Hal itu karena Rasulullah  hanya melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi tidak melarangnya menggunakan lidah yang lebih tajam demi membela kebenaran. Wasiat itu pun dilaksanakannya.

     Masa Rasulullah  berlalu dan kemudian disusul oleh masa Abu Bakar , kemudian masa Umar. Pada masa kedua khalifah ini, godaan hidup dan unsure-unsur fitnah pemecah belah masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan. Ketika itu tidak terdapat penyelewengan-penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar  bangkit menentang dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas.

     Keharusan hidup sederhana, menjauhi kemewahan, dan menegakkan keadilan telah lama berlaku pada pemerintahan Amirul Mukminin Umar, bagi setiap pejabat dan pembesar islam. Begitu pun bagi para hartawan di mana mereka berada, telah diterapkan disiplin ketat yang hamper tidak terpikul oleh kemampuan manusia. Tiada seorang pun di antara pejabatnya, baik di Iraq, Syria, Sana’a, atau di negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang memakan makanan mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar. Pejabat yang bersangkutan pun akan dipanggil menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.

     Abu Dzar  merasa tenang dengan suasana seperti itu. Hatinya tenteram dan damai selama Al-Faruq yang agung masih menjabat sebagai Amirul Mukminin (Umar). Selama Abu Dzar  dalam kehidupannya tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan penyalahgunaan kekuasaan – karena Umar bin Al-Khattab memang memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap harta – maka selama itu pula Abu Dzar  merasa puas dan lega. Dengan demikian, ia dapat memusatkan perhatiannya dalam beribadah kepada Rabbnya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikit pun hendak berdiam diri jika melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu jarang terjadi.

     Namun, ketika khalifah besar yang sangat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan itu wafat, rasanya ada celah yang jauh. Baru saja Umar wafat, langsung timbul gejala yang tidak terelakkan dan tidak terbandung oleh tenaga manusia. Saat itu, ajaran Islam mulai meluas ke berbagai pelosok dunia dan menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerumus ke dalam kemewahan yang melebihi batas. Abu Dzar  melihat bahaya ini.

     Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan kalimat Allah. Dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hamper memperdayai orang-orang yang mengemban risalah untuk mempergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan. Harta yang telah dijadikan oleh Allah sebagai “budak” yang harus tunduk kepada manusia, justru cenderung berubah menjadi tuan yang mengendalikan manusia. Ujian ini telah menimpa sebagian shahabat Muhammad, di mana beliau sendiri pada waktu wafat, baju besinya sedang tergadai, sementara tumpukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kaki beliau.

     Hasil kekayaan bumi yang sengaja dilimpahkan oleh Allah bagi semua umat manusia, dengan menjadikan mereka mempunyai hak yang sama, hamper berubah menjadi suatu keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan. Jabatan yang merupakan amanah untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan ilahi, kini beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan yang menghancurkan.

     Abu Dzar  melihat semua kesenjangan itu. Ia tidak perlu mencari siapakah yang memikul kewajiban itu atau penanggung jawabnya, namun langsung menghunus pedang, mengacungkannya ke udara dan mengayunkannya. Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi, secepat itu pula, hatinya teringat wasiat yang telah disampaikan Rasulullah  kepadanya dulu. Dia pun memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tidak sepantasnya ia mengacungkannya ke wajah seorang Muslim. Dalam hal ini Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

     Bukankah dulu Rasulullah  telah menyatakan di hadapan para shahabatnya bahwa di bawah langit ini takkan ada orang yang lebih benar ucapannya daripada Abu Dzar ? Orang yang memiliki kemampuan mengolah kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya akan lebih tajam dan banyak hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.

     Dengan senjata kebenarannya, ia akan pergi untuk menjumpai para pembesar dan kaum hartawan, atau kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahayakan agama, yakni agama yang sengaja untuk memberikan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan. Agama menjadi rahmat dan karunia, bukan azab dan kesengsaraan. Agama mengajarkan kerendahan hati, bukan kesombongan diri. Agama menanamkan persamaan bukan pengkastaan; kesahajaan bukan keserakahan; kesederhanaan bukan keborosan; kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan kelalaian dan kerakusan dalam mengejarnya.

     Akhirnya, Abu Dzar  pergi menjumpai mereka semua, dan biarlah Allah menjadi hakim antara dirinya dan mereka, karena dialah sebaik-baiknya hakim. Abu Dzar  mendatangi pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar, ia mengubah sikap mental mereka satu per satu. Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.

     Nama Abu Dzar  – bahkan walau baru namanya saja yang terdengar – bagaikan terbang ke setiap wilayah Islam, dan menimbulkan rasa takut dan ngeri di hati pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.

     Seandainya sosok berjiwa revolusioner yang mulia ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, semboyan yang akan terukir di panji-panji itu tiada lain adalah seterika dengan bara yang merah menyala. Sebab, semboyan yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan yang selalu diingat oleh jiwa dari dirinya bagai sebuah lagu perjuangan , ialah kalimat ini:

     “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, yang menyeterika kening dan pinggang mereka pada hari kiamat.”

     Setiap ia mendaki bukit, menuruni lembah, memasuki kota, dan setiap ia berhadapan dengan seorang pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah lisannya. Begitu pula setiap orang melihatnya datang berkunjung , mereka akan menyambutnya dengan ucapan, “Beritakanlah kepada para penumpuk harta dengan seterika dari neraka!

     Kalimat ini benar-benar telah menjadi bagi misinya. Ia memang telah mendedikasikan hidupnya untuk itu, ketika ia telah melihat kekayaan telah dimonopoli; saat jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan dan mengais keuntungan; dan kala cinta dunia telah merajalela dan hamper saja melumuri keutamaan dan kesalehan, kesungguhan dan keikhlasan yang telah dicapai pada tahun-tahun kerasulan.

     Poros utama dan kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan yang menjadi sasaran pertama Abu Dzar  adalah Syria, tempat Mu’awiyah bin Abu Sufyan  memerintah wilayah Islam paling subur, paling banyak hasil bumi, dan paling kaya dengan upetinya. Mu’awiyah  telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukan, dan didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas <Khalid Muhammad Khalid yang merupakan penulis mulai berperasangka buruk kepada Mu’awiyah .>

     Di sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi, dan harta berlimpah telah menggoda sebagian pemikul dakwah yang masih tersisa. Karena itulah, Abu Dzar  harus cepat mengatasinya, sebelum hal itu berlarut-larut; sebelum pertolongan datang terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.

     Pemimpin oposisi terhadap segala bentuk kemewahan ini pun segera bangkit dan secepat kilat berangkat ke Syria. Saat berita keberangkatannya didengar oleh rakyat jelata, mereka pun menyambut kedatangannya dengan semangat penuh kerinduan, dan mengikuti ke mana perginya. “Bicaralah, wahai Abu Dzar ! Bicaralah wahai shahabat Rasulullah!” pinta mereka.

     Abu Dzar  melepaskan pandangan menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumunan. Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Kemudian, pandangan beralih ke tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana. Tampak olehnya gedung-gedung dan kemewahan yang berlebihan. Ia pun menyeru kepada orang-orang yang berkumpul disekelilingnya, “Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, mangapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunuskan pedangnya?

     Tetapi, Abu Dzar  segera teringat kembali dengan wasiat Rasulullah  yang menyuruhnya memilih jalan kesabaran daripada jalan pemberontakan; menggunakan kata-kata tandas daripada senjata pedang yang ganas. Dia pun meninggalkan bahasa-bahasa perang dan kembali menggunakan bahasa yang logis dan persuasive.

     Ia mengajarkan kepada orang-orang itu bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan gigi-gigi sisir. Artinya, mereka berserikat dalam rezeki bahwa tidak ada kelebihan seseorang daripada orang lain kecuali karena ketakwaan dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan harus menjadi orang pertama yang menderita kelaparan sebelum rakyatnya dan yang paling belakangan menikmati kekenyangan setelah mereka.

     Dengan kata-kata dan keberaniannyan Abu Dzar  telah memutuskan untuk membentuk opini public di setiap negeri Islam agar kebenaran, kekuatan dan ketangguhannya menjadi kekangan terhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah munculnya suatu golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan.

     Dalam beberapa hari saja, Syria seakan-akan berubah menjadi sel-sel lebah yang tiba-tiba menemukan ratu yang mereka taati. Seandainya Abu Dzar  memberikan isyarat untuk memberontak, api pemberontakan pasti akan berkobar. Tetapi, seperti yang telah kami katakan sebelumnya, niatnya hanya terbatas untuk membentuk suatu opini public yang harus diindahkan,dan agar ucapan-ucapannya menjadi hiasan bibir di tempat-tempat pertemuan, di masjid, dan di jalan-jalan.

     Bahaya terhadap perbedaan-perbedaaan yang timbul itu mencapai puncaknya, ketika ia mengadakan dialog dengan Mu’awiyah  di hadapan umum, di mana yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir dan beritanya cepat tersebar bagaikan terbang dibawa angin. Abu Dzar  tampil sebagai orang yang paling jitu ucapannya seperti telah dilukiskan oleh Nabi  sebagai gurunya.

     Tanpa rasa gentar dan tidak pandang bulu ia menanyai Mu’awiyah  tentang kekayaannya sebelum menjadi penguasa dan kekayaannya yang sekarang. Dia juga menanyakan rumah yang dihuninya di Mekkah dulu, dan istananya yang terdapat di Syria saat ini.

     Setelah itu Abu Dzar  mengajukan pertanyaan kepada para shahabat di sekelilingnya yang waktu itu ikut bersama Mu’awiyah  ke Syria dan sebagian telah memiliki gedung-gedung dan tanah-tanah pertanian yang luas.

     Dia lalu berseru kepada semua yang hadir, “Apakah kalian adalah orang-orang yang ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah , beliau berada di tempat kalian?”

     Abu Dzar  sendiri memberikan jawaban pertanyaan tersebut kepada mereka, “Benar, Al-Qur’an diturunkan saat kalian masih hidup, dan kalian telah menyertai Rasulullah  dalam beberapa peperangan!

     Kemudian Abu Dzar  mengulangi pertanyaannya, “Apakah kalian tidak menemukan ayat berikut ini di dalam Al-Qur’an?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.<At-Taubah: 34-35>

     Mu’awiyah  memotong jalan pembicaraannya, dengan mengatakan, “Ayat ini diturunkan untuk Ahli Kitab!

   “Bukan, melainkan diturunkan untuk kita dan untuk mereka!

     Abu Dzar  melanjutkan ucapannya, menasihati Mu’awiyah  dan anak buahnya agar melepaskan gedung, tanah, dan harta kekayaan mereka, serta tidak menyimpan untuk kepentingan pribadi melebihi keperluan sehari-hari.

     Berita tentang Abu Dzar  dan soal jawab ini tersebar dari mulut ke mulut, baik orang ke orang maupun kelompok. Semboyannya semakin terdengar di rumah-rumah dan di jalan: “Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika-seterika api neraka!”

     Mu’awiyah  merasa akan ada bahaya yang timbul dan cemas terhadap akibat ucapan tokoh ulung tersebut. Tetapi, ia pun menyadari pengaruh dan kedudukan Abu Dzar , sehingga tidak akan melakukan hal-hal yang menyakitkannya. Karena itu, langkahnya adalah menulis surat kepada Khalifah Utsman, yang berisi pernyataan: “Abu Dzar  telah merusak orang-orang di Syria!

     Sebagai jawabannya, Utsman mengirim surat meminta Abu Dzar  agar datang ke Madinah. Abu Dzar  pun segera menyingsingkan lengan baju dan berangkat ke Madinah. Ia meninggalkan Syria yang harus menyaksikan saat-saat perpisahan dan ucapan selamat jalan setelah mengalami suatu peristiwa yang luar biasa yang belum pernah disaksikannya selama ini.

     “Aku tidak memerlukan dunia kalian.” Itulah jawaban yang diberikan oleh Abu Dzar  kepada Utsman  setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung diskusi yang lama di antara mereka.

     Dari pembicaraannya dengan shahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan kepadanya dari seluruh pelosok yang menyatakan dukungan sebagian besar rakyat terhadap pendapat Abu Dzar , Utsman  menyadari sepenuhnya bahaya gerakan dan pengaruhnya. Karena itu, ia mengambil keputusan untuk membatasi langkahnya, yaitu dengan menyuruh Abu Dzar  tinggal bersamanya di Madinah.

     Keputusan itu disampaikan dan ditawarkan oleh khalifah dengan lemah lembut dan bijaksana. Utsman mengatakan, “Tinggallah di sini di sampingku. Unta yang gemuk telah disediakan bagimu, yang akan mengantarkan susu pada pagi dan sore.

     Namun, Abu Dzar  menjawab, “Aku tidak membutuhkan dunia kalian.

     Benar, ia tidak memerlukan dunia manusia karena ia termasuk golongan orang suci yang mencari kekayaan rohani, dan menjalani kehidupan untuk member dan bukan untuk menerima. Akhirnya ia meminta kepada Khalifah Utsman agar ia diberi izin tinggal di Rabadzah, dan permintaannya dikabulkan.

     Dalam suasana gerakan revolusi yang panas itu, Abu Dzar  tetap memelihara amanat Allah dan Rasul-Nya. Nasihat yang diberikan oleh Nabi  agar tidak menggunakan senjata meresapkan sampai ke tulang sumsumnya. Nasihat amat berharga itu disampaikan oleh beliau karena beliau sepertinya telah mengetahui semua yang akan terjadi pada Abu Dzar  dan masa depannya. Kerena itu, Abu Dzar  pun tidak ingin menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar sebahagian orang yang gemar menyalakan fitnah, dan menggunakan ucapan dan seruannya untuk mendukung keinginan dan siasat licik mereka.

     Suatu hari, sewaktu ia berada di Rabadzah, sekelompok orang dari kufah datang dan memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap Khalifah Utsman. Abu Dzar  menghrdik mereka dengan kata-kata yang tegas, “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di tiang kayu tertinggi atau di atas bukit sekali pun, aku pasti mendengar dan taat. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa hal itu merupakan yang terbaik bagiku! Seandainya Utsman menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, aku pasti akan mendengar dan menaati. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah yang terbaik bagiku!  Begitu juga jika Utsman menyuruhku pulang ke rumahku, aku pasti akan mendengar dan menaati. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah yang terbaik bagiku!

     Itulah dia seorang pahlawan yang tidak menginginkan tujuan duniawi. Karena itu, Allah melimpahkan kepadanya pandangan hati yang tajam, hingga mampu melihat bahaya dan bencana yang tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata, sehingga ia pun menjauhinya.

     Namun, ia juga menyadari bahaya dan bencana yang akan ditimbulkan bila ia hanya membisu dan tidak buka suara melihat penyimpangan tersebut, sehingga ia tidak tinggal diam. Abu Dzar  menajamkan suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan yang benar dari kata-kata yang tegas, tanpa dicampuri oleh suatu keinginan duniawi yang mendorongnya atau kekhawatiran terhadap akibat yang akan menghalanginya.

     Abu Dzar  telah mencurahkan segala tenaganya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala godaan kehidupan dunia. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih dalam tentang harta dan kekuasaan, karena keduanya mempunyai daya tarik dan pangkal fitnah yang dikhawatirkan oleh Abu Dzar  akan menimpa rekan-rekannya yang telah memikul panji-panji Islam bersama Rasulullah , dan yang harus tetap memikulnya untuk seterusnya. Di samping itu, kekuasaan dan harta merupak urat nadi bagi kehidupan bagi umat dan masyarakat, hingga bila keduanya telah diselewengkan, nasib manusia pun akan menghadapi bahaya yang akut.

     Abu Dzar  berkeinginan agar tak ada seorang pun di antara shahabat Rasulullah  menjadi pejabat atau pengumpul harta. Ia menginginkan mereka menjadi pelopor  yang menunjukkan manusia kepada hidayah Allah dan pengabdi bagi-Nya. Ia benar-benar telah mengenali tipu daya dunia dan harta serta menyadari bahwa Abu Bakar  dan Umar  tidak mungkin bangkit kembali. Abu Dzar  pernah mendengar Nabi  memperingatkan shahabat-shahabatnya terhadap tipuan jabatan ini dan bersabda tentang persoalan ini:

Ini (jabatan) merupakan amanah, dan pada hari kiamat menyebabkan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya.

     Bahkan, perjuangan Abu Dzar  sampai pada tindakan menjauhi rekan-rekannya karena mereka telah menjadi pejabat, yang dengan sendirinya memiliki harta dan berkecukupan.

     Suatu hari ia ditemui oleh Abu Musa Al-Asy’ari , dan saat melihatnya, Abu Musa  langsung membentangkan kedua tangannya sambil berseru kegirangan karena pertemuan itu, “Selamat, wahai Abu Dzar ! Selamat, wahai saudaraku!

     Tatapi, Abu Dzar  menolak, dan mengatakan, “Aku bukan saudaramu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan gubernur!”   

     Hal yang sama juga terjadi ketika suatu hari dia ditemui oleh Abu Hurairah  yang memeluknya sambil mengucapkan selamat. Abu Dzar  menghardik dengan tangannya dan berkata, “Menyingkirlah dariku. Bukankah kamu telah menjadi seorang pejabat, hingga terus-menerus mendirikan gedung, memelihara ternak, dan mengusahakan pertanian?” Abu Hurairah  menyanggah dengan gigih dan menolak semua tuduhan itu.

     Abu Dzar  barang kali menunjukkan sikap yang berlebihan dalam memandang harta dan kekuasaan. Tetapi, ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanannya. Abu Dzar  berdiri dengan dengan cita-cita dan karyanya, dengan pikiran dan perbuatannya, mengikuti pola yang dicontohkan bagi mereka oleh Rasulullah  dan kedua shahabatnya, Abu Bakar  dan Umar .

     Bila sebagian orang mungkin berpikir bahwa standar yang ditetapkan Abu Dzar  terlalu ideal dan tidak mungkin dapat dicapai, Abu Dzar  tidaklah demikian. Ia sendiri justru melihat hal itu sebagai keteladanan yang mengukir jalan hidup dan usaha, terutama bagi mereka yang hidup semasa Rasulullah ; yakni yang melakukan shalat di belakang beliau, berjihad bersama beliau, dan telah mengambil baiat untuk taat dan patuh kepada beliau.

     Selain itu, sebagaimana telah kita kemukakan sebelumnya, bahwa dengan penglihatannya yang tajam ia melihat harta dan kekuasaan itu mempunyai pengaruh besar terhadap nasib manusia. Karena itu, setiap celah yang menodai amanah kekuasaan dan kekayaan, pasti akan menimbulkan bahaya besar yang harus ditanggulangi.

     Sepanjang hayatnya, Abu Dzar  dengan sekuat tenaga memikul panji contoh utama dari Rasulullah  dan kedua shahabatnya, menjadi penyangga dan sosok terpercaya dalam memeliharanya. Abu Dzar  telah menjadi mahaguru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

     Suatu saat, Abu Dzar  ditawari sebuah jabatan sebagai gubernur di Iraq, namun ia menjawab, “Demi Allah, kalian tidak akan dapat memancingku dengan dunia kalian selamanya!

     Kali lain, seorang shahabat melihat dirinya memakai jubah usang. Ia pun berkata, “Bukankah anda masih punya baju yang lain? Beberapa hari yang lalu saya melihat anda mempunyai dua helai baju baru.

     Abu Dzar  menjawab, “Wahai putra saudaraku, kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada diriku.

     Shahabat itu pun berkata, “Demi Allah, anda juga membutuhkannya!

     Abu Dzar  menjawab, “Ampunilah, ya Allah! Engkau terlalu mengagumi dunia! Apakah engkau tidak melihat burdah yang saya pakai ini? Aku mempunyai satu lagi untuk shalat Jum’at. Aku punya seekor kambing untuk diperah susunya, dan seekor keledai untuk ditunggangi! Nikmat apa lagi yang lebih besar daripada yang kita miliki ini?

     Suatu hari Abu Dzar  duduk menyampaikan sebuah hadits, dan berkata, “Aku diberi wasiat oleh junjunganku berupa tujuh perkara: beliau memerintahkan agar aku menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka; beliau memerintahkan agar aku berkaca kepada orang yang di bawahku dan bukan kepada orang yang di atasku; beliau memerintahkan agar aku tidak meminta sesuatu kepada orang lain; beliau memerintahkan agar aku menyambung tali silaturahmi; beliau memerintahkan agar aku mengatakan yang benar walau pahit; beliau memerintahkan agar aku dalam menjalankan agama Allah; tidak takut celaan orang; dan beliau memerintahkan agar aku memperbanyak ucapan, ‘LA HAULA WA LA QUWWATA ILLA BILLAH’ (tiada daya dan upaya selain karena Allah).

     Kenyataannya, Abu Dzar  memang hidup menjalani wasiat itu. Ia benar-benar menempa hidupnya sesuai dengan wasiat itu, hingga ia pun menjadi symbol hati nurani masyarakat dari umat dan bangsanya. Imam Ali berkata, “Tidak ada lagi pada zaman sekarang ini orang yang tidak tajut terhadap celaan orang dalam menegakkan agama Allah, selain Abu Dzar .

     Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukkan harta. Hidupnya didedikasikan untuk menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar dan pemikul tanggung jawab menyampaikan nasihat dan peringatan.

     Orang-orang melarang dirinya memberikan fatwa, tetapi suaranya justru bertambah lantang, dan menghardik orang yang melarang itu dengan ucapan, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian menaruh pedang di atas pundakku, namun aku masih merasa ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah  yang kudengar, aku pasti akan menyampaikannya sebelum kalian menebas batang leherku.

     Seandainya kaum Muslimin mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu, niscaya fitnah yang pada waktu itu berkobar dan berlarut-larut, mati ketika baru lahir. Pemerintah dan masyarakat Islam tentu tidak akan dihadapkan pada bahaya dan kepedihan yang tiada tara.

     Kini Abu Dzar  sedang menghadapi sakaratul maut di Rabadzah, suatu tempat yang dipilihnya sebagai tempat kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman. Marilah kita menuju ke sana untuk melapas kepergian orang besar ini, dan menyaksikan akhir kesudahan dari kehidupannya yang luar biasa.

     Seorang perempuan kurus yang kulitnya kemerah-merahan duduk di dekatnya menangis. Perempuan itu adalah istrinya.

     Abu Dzar  bertanya kepadanya, “Apa yang kamu tangisi, sedangkan maut pasti datang?

     “Karena engkau akan meninggal, padahal pada kita tidak ada kain kafan untukmu!” Jawabnya.

     Abu Dzar  bertutur kepada istrinya, “Janganlah menangis! Suatu hari, ketika aku berada di sisi Rasulullah  bersama beberapa orang shahabat, aku mendengar beliau bersabda, ‘Salah seorang di antara kalian sungguh akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!’.

     “Semua yang waktu itu hadir di majelis Rasulullah  itu telah meninggal di kampung dan di hadapan kaum Muslimin. Tidak ada lagi yang masih hidup di antara mereka selain aku. Inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah jalan, siapa tahu rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!” Ruhnya pun kembali ke hadirat Allah.

     Ternyata Abu Dzar  tidak salah. Kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas rombongan orang beriman yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah . Sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas’ud telah melihat sesosok tubuh yang terbujur seperti mayat, sedangkan di sisinya ada seorang wanita tua dengan seorang anak; kedua-duanya menangis.

     Ibnu Mas’ud membelokkan binatang tunggangannya ke tempat itu, dan diikuti oleh anggota rombongan. Saat pandangannya jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah shahabatnya; saudara seiman dan saudaranya dalam membela agama Allah, yakni Abu Dzar .

     Air matanya mengucur deras dan di hadapan tubuh mayat yang suci itu, ia berkata, “Memang benar sabda Rasulullah . Engkau berjalan sebatang kara.” Ibnu Mas’ud duduk, lalu menceritakan kepada para shahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya itu: “Engkau berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.

     Ucapan itu terjadi pada waktu Perang Tabuk pada tahun 9 H. rasulullah  telah menitahkan agar para shahabat mengadakan persiapan untuk menghadapi Romawi, yang waktu itu telah memulai membuat maker dan berencana jahat untuk menggempur umat Islam. Kali ini Nabi  menyerukan kaum Muslimin untuk berjihad pada masa yang sulit dan panas. Tempat yang akan dituju pun jaraknya sangat jauh, selain musuh yang menakutkan. Sebagian kaum Muslimin enggan ikut serta karena berbagai alasan.

     Rasulullah  dan shahabatnya akhirnya berangkat dan diikuti oleh sebagian orang dengan kondisi setengah terpaksa karena enggan. Semakin jauh perjalanan mereka, semakin sulit pula penyiksaan dan penderitaan yang harus dipikul.

     Bila ada orang yang tertinggal di belakang, orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah , si fulan telah tertinggal.” Beliau menjawab, “Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Bila tidak, Allah telah membebaskan kalian dari dirinya

     Suatu saat mereka melihat berkeliling ke sana ke mari karena mereka kehilangan jejak Abu Dzar . Mereka berkata kepada Rasulullah , “Abu Dzar  telah tertinggal, keledainya menyebabkan dirinya terlambat.” Rasulullah  mengulangi jawabannya tadi. Keledai Abu Dzar  memang sangat kelelahan disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi gontai. Ada dicobanya dengan berbagai akal untuk menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.

     Abu Dzar  merasa bahwa jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari kaum Muslimin hingga tidak dapat mengikuti jejak mereka. Dia pun turun dari punggung kendaraannya, lalu diambil barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, dan kemudian meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dia mempercepat langkahnya di tengah-tengah padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah  dan para shahabatnya.

     Suatu pagi, ketika kaum Muslimin telah menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu yang mengepul ke atas, sedangkan di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki-laki yang mempercepat langkahnya.

     “Wahai Rasulullah , ada seorang laki-laki berjalan seorang diri!” kata mereka.

     “Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar ,” jawab Rasulullah .

     Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang memisahkan antara mereka, sehingga mereka mengetahui siapa dia.

     Lambat laun, musafir mulia itu mendekati mereka. Langkahnya bagaikan disentakkan dari pasir lembut yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun, ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi berkah, dan tidak ketinggalan dari Rasulullah  dan saudara-saudaranya seperjuangan.

     Setelah ia sampai dekat rombongan, seseorang berseru, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, ia Abu Dzar .” Sementara itu, Abu Dzar  melangkah menuju ke arah Rasulullah .
     Saat Rasulullah  melihatnya, tersungginglah senyum di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasih. Beliau bersabda:

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar . Ia berjalan sebatang kara, meninggal sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.

     Setelah berlalu masa 20 tahun atau lebih dari hari yang kami sebutkan tadi, Abu Dzar  wafat di padang pasir Rabadzah sebatang kara. Itu terjadi setelah dirinya juga sendirian untuk menempuh hidup yang luar biasa yang tidak seorang pun dapat menyamainya. Dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara – yakni orang satu-satunya – baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita, dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan jasa-jasanya yang tidak terhitung banyaknya, dan tidak ada lowongan bagi orang lain untuk berdampingan dengannya.

Semoga Allah merahmatimu wahai orang yang memusuhi kemewahan.





  ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf