Pahlawan yang akan kita bicarakan
sekarang ini berasal dari Persia. Dari Persia ini pula agama islam nanti dianut
oleh orang-orang Mukmin yang tidak sedikit jumlahnya dan dari kalangan mereka
muncul pribadi-pribadi yang tiada tanding, baik dalam keimanan, keilmuan,
keagamaan, maupun persoalan keduniaan.
Salah satu keistimewaan dan keagungan islam ialah, setiap islam memasuki suatu negeri, maka dengan keajaiban luar biasa segala keahlian, kemampuan dan kejeniusan yang tersembunyi dari warga dan penduduk negeri itu dibangkitkan, sehingga muncullah para filosof, dokter, ahli hukum, ahli astronomi, penemu, dan ahli matematika yang semuanya Muslim.
Pada waktu menggali parit, Salman tidak
ketinggalan bekerja bersama dengan kaum Muslimin. Mereka menggali tanah dengan
penuh semangat. Tidak ketinggalan, Rasulullah juga membawa cangkul dan bekerja
bersama mereka. Tidak disangka, di tempat penggalian Salman bersama
rekan-rekannya, cangkul mereka terbentur oleh sebuah batu besar. Salman adalah
seorang yang berperawakan besar dan bertenaga kuat. Sekali ayun, lengannya yang
kuat akan dapat membelah batu dan memecahkannya berkeping-keping. Tetapi, ia tidak
berdaya menghadapi batu besar ini, sedangkan bantuan dari rekan-rekannya hanya
menghasilkan kegagalan belaka.
Salman mengatakan, “Aku melihat percikan
api itu menerangi pinggiran Madinah.” Sementara itu, Rasulullah mengucapkan
takbir, “Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri
Persia dan percikan api tadi tampak olehku dengan nyata istana-istana Kerajaan
Hirah dan kota-kota raja Persia. Sungguh, umatku akan menguasai semua itu.”
Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya, “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” perintah itu pun dituruti oleh istrinya. Tidak lama antara waktu itu dan istrinya kembali masuk, ruh yang beroleh berkah itu telah meninngalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Dia telah mencapai alam yang tinggi, di bawa terbang oleh sayap kerinduan. Kerinduan untuk memenuhi janjinya, bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad dengan kedua shahabat beliau, Abu Bakar dan Umar , serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama.
Salah satu keistimewaan dan keagungan islam ialah, setiap islam memasuki suatu negeri, maka dengan keajaiban luar biasa segala keahlian, kemampuan dan kejeniusan yang tersembunyi dari warga dan penduduk negeri itu dibangkitkan, sehingga muncullah para filosof, dokter, ahli hukum, ahli astronomi, penemu, dan ahli matematika yang semuanya Muslim.
Ternyata bahwa tokoh-tokoh itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari
setiap bangsa, hingga masa-masa awal perkembangan islam penuh dengan
orang-orang jenius dalam segala bidang, baik citra maupun karsa, yang berlainan
tanah air dan suku bangsanya, tapi satu agama, yakni islam.
Rasulullah sendiri memang telah mengabarkan perkembangan yang penuh
berkah dari agama ini, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari
Rabbnya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui, bahwa suatu hari nanti tidak ada
lagi baginya jarak pemisah tempat dan waktu, hingga sejauh mata memandangan
akan menyaksikan panji-panji islam berkibar di seluruh muka bumi, serta di
istana-istana pera penduduknya.
Salman
Al-Farisi sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia terlibat dan
mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi ketika Perang
Khandaq pada tahun 5 H. awalnya, beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekkah
untuk memobilisasi orang-orang musyrik dan membentuk pasukan gabungan untuk
menghadapi Rasulullah dan kaum Muslimin. Mereka berjanji akan memberikan
bantuan dalam perang penentuan yang akan mencabut agama baru ini.
Siasat da taktik perang pun diatur secara licik. Tentara Quraish dan
Ghatafan akan menyerang kota Madinah dari depan, sedangkan Bani Quraizhah akan
menyerangnya dari belakang barisan kaum Muslimin sehingga mereka akan terjepit
dari dua arah. Dengan demikian, mereka akan hancur lebur dan hanya tinggal
kenangan saja.
Demikianlah kaum Muslimin tiba-tiba melihat kedatangan pasukan besar
mendekat dan membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk
menghancurkan Madinah. Kaum Muslimin panic dan mereka bagaikan kehilangan akal
melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka terlukiskan di
Al-Qur’an, dalam firman Allah:
إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
(Yaitu)
ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak
tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan
kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. <Al-Ahzab: 10>
24.000 prajurit di bawah pimpinan Abu
Sufyan dan Uyainah bin Hishn menyatroni kota Madinah dengan tujuan hendak
mengepung dan melepaskan serangan penentuan agar mereka terbebas dari Muhammad,
agama serta para shahabatnya.
Pasukan ini tidak saja terdiri dari
orang-orang Quraish, tetapi juga dari berbagai kabilah dan kelompok-kelompok
berkepentingan yang menganggap islam sebagai lawan yang membahayakan mereka.
Peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan penentuan bagi pihak musuh-musuh
islam, baik individu, kelompok, suku, maupun golongan yang memiliki kepentingan
tersendiri.
Kaum Muslimin menyadari bahwa mereka
sedang dalam keadaan yang gawat. Rasulullah pun mengumpulkan para shahabat
untuk bermusyawarah. Mereka semua tentu saja setuju untuk melawan, tetapi apa
yang harus mereka lakukan untuk melawan?
Ketika itulah, tampil seorang yang
berbadan tinggi dan berambut lebat.dialah orang yang disayangi dan dihormati
oleh Rasulullah , itulah dia Salman Al-Farisi . Dari tempat ketinggian ia
melayangkan pandangan meninjau sekitar Madinah, dan ternyata bahwa kota itu
terlindungi oleh gunung dan bukit-bukit batu yang mengelilinginya. Namun, di
sana terdapat juga daerah terbuka yang luas dan terbentang panjang, hingga
dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negerinya Salman telah mempunyai
pengalaman luas tentang strategi dan siasat perang. Karena itu, ia mengajukan
suatu usulan kepada Rasulullah , yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal
oleh orang-orang arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana tersebut
adalah menggali parit sebagai perlindungan sepanjang daerah terbuka di sekitar
Madinah.
Hanya Allah yang mengetahui apa yang akan
dialami kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali
parit. Ketika pasukan Quraish menyaksikan parit terbentang di hadapan, mereka
merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, sehingga tidak
kurang sebulan lamanya kekuatan mereka hanya mendekam di kemah-kemah, tanpa
daya untuk menerobos Madinah. Akhirnya pada suatu malam Allah ta’ala mengirim
angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memorak-porandakan kesatuan
mereka.
Abu Sufyan pun memerintahkan agar anak
buahnya kembali pulang kembali ke kampung mereka, dalam keadaan berputus asa
serta menderita kekalahan pahit.
Salman pergi menemui Rasulullah dan
meminta izin untuk mengalihkan jalur parit dari garis semula, guna menghindari
batu besar yang tidak tergoyahkan itu. Rasulullah pun pergi bersama Salman
untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tersebut. Setelah melihat
batu itu, Rasulullah meminta cangkul dan menyuruh para shahabat agar mundur
agar terhindar dari pecahan-pecahan batu itu nanti.
Rasulullah lalu membaca basmalah dan
mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat cangkul itu.
Beliau menghantamkan cangkul ke batu besar itu dengan sekuat tenaga, hingga
batu itu pun terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar percikan apu
yang tinggi dan menerangi.
Kemudian Rasulullah mengangkat cangkul itu
kembali dan memukulkannya kebatu untuk kedua kalinya. Fenomena yang sama
terjadi lagi. Pecahan batu tersebut menyemburkan kilatan api yang tinggi dan
menerangi. Rasulullah pun bertakbir kembali, “Allah Maha Besar! Aku telah
dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan Nampak nyata olehku istana-istana
megahnya. Sungguh umatku akan menguasainya.”
Kemudian beliau memukulkan cangkul itu
untuk ketiga kalinya dan batu besar itu pun hancur lebur, serta menimbulkan
kilatan api yang terang benderang. Rasulullah mengucapkan kalimat tahlil dan
diikuti oleh kaum Muslimin. Rasulullah menceritakan kepada mereka bahwa beliau
sekarang melihat istana-istana di Syria, sana’a, dan daerah-daerah lain yang
suatu ketika nanti akan berada di naungan bendera Allah yang berkibar. Dengan
keimanan penuh kaum Muslimin pun serentak berseru, “Inilah yang dijanjikan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” <Riwayat dari Salman disebutkan dalam
Sirah Ibnu Ishaq. Riwayat yang semisal juga terdapat dalam Shahih Al-Bukhari,
sunan An-Nasa’I, dan Musnad Ahmad dari Jabir bin Abdullah dan Al-Bara’ bin Azid
– edt.>
Salman -lah yang mengajukan saran untuk
membuat parit dan dia pula yang menemukan batu yang telah memancarkan
rahasia-rahasia yang akan terjadi di masa mendatang, yakni ketika ia meminta
tolong kepada Rasulullah . Ia berdiri di samping Rasulullah menyaksikan cahaya
dan mendengar berita gembira itu. Dia masih hidup ketika berita gembira itu
menjadi kenyataan. Ia sendiri melihat, mengalami dan merasakannya. Ia
menyaksikan penaklukan kota-kota di Persia dan Romawi, istana di Sana’a, Mesir,
Syria, dan Iraq. Ia menjadi saksi seluruh penjuru bumi seakan berguncang keras
oleh seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara tinggi
di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah dan petunjuk Allah.
Lihatlah, Salman sedang duduk di bawah
naungan sebatang pohon yang rindang, sedangkan di negerinya nan jauh di Madain
sana, teman-teman dekatnya sedang membicarakan petualangan berat yang
dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia
berpindah dari agama nenek moyangnya bangsa Persia menuju agama Nasrani dan
terakhir jatuh ke pelukan agama Islam.
Sungguh, ia telah meninggalkan kekayaan
berlimpah dari orang tuanya dan merelakan dirinya jatuh ke dalam lembah
kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya. Dalam pengembaraan mencari
kebenaran ia pernah dijual di pasar budak, hingga akhirnya bertemu dengan
Rasulullah dan beriman kepadanya. Semua itu dibahas oleh rekan-rekannya di
seberang sana.
Sekarang, marilah kita dekati majelisnya
yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceritakannya:
“Aku berasal dari Asbahan, warga suatu desa yang bernama Ji
(Jayyan). Ayahku seorang kepala kampung di daerah itu, dan aku merupakan hamba
Allah yang paling di sayang olehnya. Aku sangat taat menjalani agama Majusi,
hingga akhirnya diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas
nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki sebidang tanah. Suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam
perjalanan ke tempat tujuan, aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Aku
mendengar mereka sedang mengadakan “kebaktian”, lalu aku masuk ke dalam untuk
melihat apa yang mereka lakukan.
Aku kagum melihat cara mereka beribadah. Aku berkata di dalam hati, ‘ini
lebih baik daripada apa yang aku anut selama ini.’ Aku tidak beranjak dari
tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku
serta tidak kembali lagi pulang, hingga ayah mengirim orang untuk menyusulku.
Karena agama mereka menarik perhatianku, aku menanyakan kepada orang-orang
Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. Mereka menjawab, ‘Dari Syria.’
Ketika aku telah berada di hadapan ayahku, aku bercerita kepadanya, ‘Aku tadi
melewati suatu kaum yang sedang melakukan upacara peribadatan di gereja.
Upacara mereka amat memikat hatiku. Aku merasa agama mereka lebih baik dari
agama kita.’ Setelah itu kami berdebat dan akhirnya kakiku diikat dan
dipenjarakan.
Aku mengirim berita kepada orang-orang Nasrani bahwa aku telah menganut agama
mereka. Aku juga berpesan bila rombongan dari Syria datang, aku hendaknya
dikabari sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana.
Permitaan itu mereka kabulkan.
Aku memutus rantai yang membelenggu kaki dan meloloskan diri dari penjara, lalu
bergabung dengan rombongan itu menuju Syria.ketika telah tiba di tempat
tujuan,aku menanyakan siapakah ahli dalam agama itu. Ada seseorang yang
mengatakan kepadaku orang yang aku maksud adalah uskup, pemilik gereja. Aku pun
mendatanginya dan menceritakan keadaanku.
Akhirnya aku tinggal bersamanya sebagai pelayan, sekaligus melaksanakan ajaran
mereka dan belajar. Namun, sosok uskup ini adalah sosok yang tidak baik dalam
menjalankan ajaran agamanya. Pasalnya, ia mengumpulkan sedekah dari orang-orang
dengan alasan untuk dibagikan, namun disimpan hanya untuk dirinya sendiri.
Kemudian uskup itu wafat. Orang-orang mengangkat orang lain sebagai gantinya,
dan aku pikir tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya daripada uskup
baru ini. Aku pun mencintainya sedemikian rupa, sehingga hatiku merasa tidak
ada orang yang lebih kucintai sebelum itu daripada dirinya.
Tatkala ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya, ‘Seperti yang anda
ketahui, takdir Allah atas diri anda telah dekat masanya. Apakah yang harus aku
lakukan dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?’ ia menjawab, ‘Anakku,
tidak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku,
kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul.’
Ketika ia wafat, aku pergi ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya.
Aku menceritakannya kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya
selama waktu yang dikehendaki oleh Allah.
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang
harus aku ikuti. Ia pun menunjukkan kepadaku seorang saleh yang tinggal di
Nashibin. Aku mendatanginya dan menceritakan keadaanku, lalu tinggal bersamanya
selama waktu yang dikehendaki oleh Allah.
Ketika ia telah mendekati ajalnya, aku menanyakan hal yang sama kepadanya. Aku
diperintahkan olehnya agar menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria,
suatu kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal
bersamanya. Sebagai bekal hidup, aku beternak sapi dan beberapa ekor kambing.
Saat ajal hampir menjemputnya, aku pun menanyakan kepadanya, ‘Siapakah yang
engkau wasiatkan agar aku mengikutinya?’ ia menjawab, ‘Anakku, tidak ada
seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan
engkau kepadanya. Tetapi, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan
seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Ia nanti akan hijrah ke
suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah
berbatu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai
tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan harta sedekah, namun
bersedia menerima hadiah, dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila engkau
melihatnya, engkau pasti mengenalinya.’
Suatu hari, suatu rombongan datang, lalu aku menanyakan dari mana asal mereka.
Akhirnya aku mendapatkan jawaban bahwa mereka berasal dari Jazirah Arab, maka
aku katakan kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan
sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku
ini?’ mereka menjawab, ‘Baiklah.’
Akhirnya mereka membawaku ikut dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri
yang bernama Wadil Qura. Di tempat itulah mereka tampak olehku banyak pohon
kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu,
yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku
tidak benar.
Mulai saat ini aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga suatu hari
datang seorang Yahudi Bani Quraizhah yang membeliku dari yang membeli diriku
sebelumnya. Aku dibawanya ke Madinah, dan – DEMI ALLAH – baru saja kulihat negeri
itu, akupun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama orang Yahudi tersebut dan bekerja di perkebunan kurma milik
Bani Quraizhah, hingga tiba waktu Allah mengutus Rasul-Nya, lalu hijrah ke
Madinah dan singgah di Bani Amr bin Auf di Quba’.
Suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sementara majikanku duduk
di bawahnya, tiba-tiba seorang Yahudi saudara sepupunya datang menghampirinya
dan mengatakan, ‘Celakalah Bani Qailah! Mereka berkerumun mengelilingi seorang
laki-laki di Quba’ yang datang dari Mekkah dan mengaku sebagai Nabi.’
Demi Allah, tubuhku bergetar hebat seketika mendengar ucapan orang
itu hingga pohon kurma itu bagai berguncang dan hampir saja aku jatuh menimpa
majikanku. Aku segera turun dan berkata kepada orang tadi, ‘Apa katamu? Ada
berita apakah?’
Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, dan membentak, ‘Apa
urusanmu dengan ini, kembalilah bekerja!’ aku pun kembali bekerja.
Setelah hari petang, aku mengumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar untuk
menemui Rasulullah di Quba’. Aku menjumpai beliau ketika sedang duduk bersama
beberapa orang anggota rombongan. Lalu berkata kepadanya, ‘Tuan-tuan adalah
seorang perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai
persediaan makanan yang telah kuniatkan untuk sedekah. Setelah mendengar
keadaan tuan-tuan, aku berpikir bahwa tuan-tuanlah yang lebih layak
menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini.’ Aku pun meletakkan makanan itu di
hadapan beliau.
‘Makanlah dengan menyebut nama Allah.’ Sabda Rasulullah kepada para
shahabatnya. Tetapi, beliau tidak mengulurkan tangannya untuk menjamah makanan
itu. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, inilah satu dari tanda-tandanya, ia
tidak mau memakan harta sedekah.’
Setelah aku pulang dan keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah sambil
membawa makanan. Aku berkata kepadanya, ‘Aku melihat tuan tidak sudi memakan
sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin aku serahkan kepada tuan
sebagai hadiah.’ Kemudian aku meletakkan makanan itu di hadapan beliau,
‘Makanlah dengan menyebut nama Allah,’ sabda beliau kepada shahabat, dan beliau
pun turut makan bersama mereka. Aku kembali berbisik dalam hati,’Demi Allah, inilah
tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.’
Setelah itu aku pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian aku
pergi mencari Rasulullah dan berjumpa di Baqi’, saat sedang mengiring jenazah
dan dikelilingi oleh shahabat-shahabatnya. Beliau memakai dua lembar kain
lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
Aku mengucapkan salam kepada beliau dan kemudian menyejajarkan tubuhku di dekat
beliau untuk melihat bagian atas punggungnya. Ternyata beliau memahami
keinginanku dan menyingkap kain burdah beliau dari lehernya hingga tampak pada
pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian seperti disebutkan oleh pendeta
dulu. Aku pun langsung membalikkan badan dan menciumnya sambil menangis.
Kemudian Rasulullah memanggilku. Aku duduk di hadapan beliau dan menceritakan
kisahku seperti yang telah kucertakan tadi. Kemudian aku masuk islam, dan
perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Perang
Uhud.
Suatu hari, Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu agar
bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.’ Aku pun meminta kepada
majikanku agar aku dibebaskan sebagaimana dititahkan oleh Rasulullah , sedangkan
beliau menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam persoalan keuangan,
akhirnya, aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang
bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq
dan peperangan selanjutnya.” <Kisah ini
disebutkan di dalam Ath-thabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’ad, juz IV>
Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan
menyejukkan, Salman menceritakan kepada kita upaya dan perjuangan suci nan
mulia dan agung untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai
kepada agama Allah Ta’ala dan menjadi jalan hidup terakhir yang harus
ditempuhnya.
Nah, manusia ulung seperti apakah dia?
Keistimawaan apakah yang mampu mengangkat jiwanya yang agung dan melecut
kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan dan mengubah sesuatu
yang mustahil menjadi mungkin baginya? Kehausan dan kecintaan terhadap
kebenaran seperti apakah yang telah menyebabkan Salman rela meninggalkan
kampung halaman beserta harta benda dan segala macam kesenangan? Dia harus
menempuh daerah yang belum dikenal – dengan segala halangan dan beban
penderitaan – dan pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke
negeri lain, tidak kenal letih atau lelah, di samping tidak lupa beribadah
secara tekun.
Pandangannya yang tajam selalu
memperhatikan hikmah yang ada pada manusia, kehidupan dan jalan hidup mereka
yang berbeda, dan tujuannya yang utama tidak pernah menyimpang dari semula,
yang tiada lain adalah mencari kebenaran. Pengorbanan yang ia lakoni demi
mencapai hidayah Allah, bahkan ia pernah dijual sebagai budak. Akhirnya, Allah
menganugerahkan ganjaran yang setimpal kepadanya lalu dikaruniai usia lanjut,
hingga ia dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah
berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara umat islam mengisi ruangan dan
sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah, serta dengan kemakmuran dan
keadilan.
Apa yang kita harapkan akan terjadi pada
keislaman seorang tokoh yang tulus dan bertekad baja seperti itu? Sungguh,
keislaman Salman adalah keislaman orang-orang utama dan takwa. Orang-orang
menyerupakan Salman dengan Umar bin Al-Khattab dalam hal kecerdasan,
kesahajaan, dan kebebasan dari pengaruh dunia.
Ia pernah tinggal bersama Abu Darda’ di
sebuah rumah beberapa hari lamanya. Abu Darda’ telah terbiasa beribadah pada
waktu malam dan berpuasa pada waktu siang. Salman melihatnya terlalu berlebihan
dalam beribadah. Suatu hari Salman berusaha mencegat niat Abu Darda’ untuk
berpuasa sunnah esok hari. Namun, Abu Darda’ justru berkata, “Apakah engkau
hendak melarangku berpuasa dan shalat karena Allah?”
Salman menjawab, “Kedua matamu mempunyai
hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu.
Berpuasalah dan (jangan lupakan hak untuk) berbukalah, shalatlah dan (jangan
lupakan jatah untuk) tidurlah.”
Ketika peristiwa itu sampai ke pendengaran
Rasulullah , beliau bersabda, “Salman telah kenyang dengan ilmu.”
Rasulullah sendiri sering memuji
kecerdasan Salman serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji akhlak
dan agamanya. Pada waktu Perang Khandaq, kaum Anshar berdiri dan berkata,
“Salman dari golongan kami.” Kaum Muhajirin pun juga bangkit dan berkata,
“tidak, ia dari golongan kami.” Rasulullah pun memanggil mereka semua dan
bersabda, “Salman berasal dari kami, AHLUL BAIT.”
Salman memang layak mendapatkan kehormatan
itu. Ali bin Abu Thalib menggelari Salman dengan sebutan “LUQMAN AL-HAKIM”.
Ketika Salman telah wafat, Ali ditanya tentang pemberian gelar itu. Ia menjawab,
“Ia adalah seorang yang berasal dari kami dan kembali pada kami, AHLUL BAIT.
Siapa di antara kalian yang menyamai Luqman Al-Hakim (Salman)? Ia telah di
karuniai ilmu yang pertama dan juga ilmu yang terakhir. Ia telah membaca kitab
yang pertama dan juga kitab terakhir. Ia bagaikan lautan yang airnya tidak
pernah kering.”
Salman telah mendapatkan kedudukan mulia
dan derajat utama di dalam hati semua shahabat. Pada masa kekhalifahan Umar ,
Salman datang berkunjung ke Madinah. Umar melakukan penyambutan yang setahu
kita belum pernah dilakukannya kepada siapa pun juga. Umar mengumpulkan para
shahabat dan menghimbau dengan seruan, “Marilah kita pergi menyambut kehadiran
Salman .” Kemudian Umar keluar bersama mereka menuju pinggiran Madinah untuk
menyambutnya.
Sejak bertemu dan beriman kepada
Rasulullah , Salman hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang
dan selalu berbakti. Ia mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar , kemudian
masa Amirul Mukminin Umar , lalu masa Khalifah Utsman , dan pada masa inilah ia
kembali ke hadirat Rabbnya.
Pada tahun-tahun kejayaan umat islam,
panji-panji islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tidak
sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan, baik sebagai
fa’i maupun jizyah, untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan islam,
hingga Negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Ketika itu banyak
tanggung jawab pemerintahan di semua tingkatannya, sehingga banyak pula
pekerjaan dan peluang jabatan sebagai konsekuensi logisnya.
Dalam kesempatan yang terbuka luas untuk
meraih jabatan itu, di manakah kita menemukan Salman ? Di manakah kita dapat
menjumpainya saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran terbentang
itu? Bukalah mata anda lebar-lebar!
Apakah anda tidak melihat seorang tua
berwibawa duduk di sana, di bawah naungan pohon, sedang menjalin anyaman untuk
dijadikan bakul atau keranjang? Itulah dia Salman ! Perhatikanlah lagi dengan
cermat! Perhatikanlah baik-baik jubahnya yang sangat pendek, sehingga hanya
sebatas lutut saja. Itulah dia, seorang tua yang berwibawa dan hidup dalam
kesederhanaan meskipun banyak harta.
Tunjangan yang diperolehnya tidak
sedikit, antara 4-6 ribu dirham per tahun. Namun, semua itu ia bagi-bagikan hingga
habis. Ia menolak meski hanya untuk mengambil 1 dirham saja dan mengatakan,
“Aku membeli bahan anyaman dengan uang 1 dirham, lalu kuanyam dan kujual
seharga 3 dirham. 1 dirham kuambil untuk modal lagi, satu dirham berikutnya
untuk nafkah keluargaku, sedangkan 1 dirham sisanya untuk sedekah. Seandainya
Umar bin Al-Khattab melarangku berbuat demikian, aku tidak akan berhenti!”
Lantas bagaimana dengan kita, wahai umat
Rasulullah ? Apa yang ada di pikiran kita tentang kehormatan manusia di mana
saja dan kapan saja? Sebagian orang ketika mendengar kehidupan sebagian
shahabat yang bersahaja, seperti Abu Bakar , Umar , Abu Dzar , dan lain-lain, langsung
berpikir bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana orang
arab mendapatkan ketentraman hatinya dengan kesederhanaan. Nah, sekarang kita
berhadapan dengan seorang putra Persia, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan
dan kesenangan serta hidup boros.
Salman yang sedang kita ceritakan ini
bukanlah dari golongan miskin atau bawahan, melainkan dari golongan kaya dan
kelas tinggi. Mengapa sekarang (setelah memeluk islam) menolak harta, kekayaan
dan kesenangan? Mengapa ia lebih memilih kehidupan bersahaja, tidak lebih dari
1 dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri?
mengapa ia menolak jabatan? Ia lebih
memilih menghindari dunia itu dan mengatakan, “Seandainya kamu bisa hidup
dengan memakan tanah, asal tidak membawahi 2 orang, maka lakukanlah!”
mengapa ia menolak pangkat dan jabatan,
dan mau menerima jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan
perang? Kecuali dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung
jawab kecuali dia, ia bersedia melakukannya dengan hati murung dan jiwa
merintih. Tetapi, mengapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia
tidak mau menerima tunjangan yang diberikan kepadanya secara Cuma-Cuma padahal
itu halal baginya?
Hisyam meriwayatkan dari Al-Hassan dari
Al-Hasan, “tunjangan Salman sebanyak 5 ribu per tahun, namun ia berpidato di
hadapan 30 ribu orang dengan separuh mantelnya dijadikan alas duduknya dan
separuh lagi untuk menutupi badannya. Jika tunjangannya datang, ia
membagi-bagikannya sampai habis. Untuk makan, ia mengandalkan hasil usaha kedua
tangannya.”
Mengapa itu jalan hidup yang ia pilih dan
sangat zuhud dari keinginan dunia, padahal ia seorang putra Persia yang biasa
tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar
jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajal; kala
ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Rabbnya Yang Maha
Tinggi lagi Maha Penyayang.
Sa’ad bin Abu Waqqash datang menjenguknya,
maka Salman menangis. Sa’ad pun bertanya, “Apa yang engkau tangisi, wahai Abu
Abdillah? Padahal Rasulullah wafat dalam keadaan ridha kepadamu.”
Salman menjawab. “Demi Allah, aku menangis
bukan karena takut mati taupun mengharap kemewahan dunia, melainkan karena
Rasulullah telah menyampaikan pesan kepada kita, dalam sabdanya, ‘Hendaklah
bagian setiap kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara.’
Padahal, harta milikku begini banyaknya.”
Sa’ad berkata sendiri, “Aku perhatikan,
tidak ada yang tampak di sekelilingku kecuali 1 piring dan sebuah wadah untuk
bersuci.”
Dia bertutur, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah
tentang keinginanmu ketika engkau sedang berkehendak; tentang keputusanmu ketika
engkau sedang memutuskan, dan tentang apa yang di tanganmu ketika engkau sedang
membagi.”
Itulah rupanya yang telah membuat hati
Salman menjadi kaya dan puas. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia
dan segala harta, dan pangkat dengan segala pengaruhnya. Itulah pesan
Rasulullah kepadanya dan kepada semua shahabatnya: Agar mereka tidak membiarkan
dunia menguasai mereka dan tidak mengambil bagian darinya, kecuali sekedar
bekal seorang pengendara.
Salman telah memenuhi pesan itu
sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh jatuh berderai ketika ruhnya
telah siap untuk berangkat; khawatir bila ia telah melampaui batas yang
ditetapkan. Tidak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring makanannya dan
sebuah wadah untuk tempat minum dan wudhu. Meski demikian ia menganggap dirinya
sebagai orang yang berharta banyak. Nah, bukankah kami telah ceritakan kepada
anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar ?
Pada hari-hari ia bertugas sebagai
gubernur di Madain, keadaannya tidak sedikit pun berubah. Seperti yang telah
kita ketahui, ia menolak gaji sebagai gubernur, 1 dirham sekalipun. Ia tetap
mengambil nafkahnya dari hasil menganyam, sedangkan pakaiannya tidak lebih dari
sehelai mantel. Bajunya yang sudah tua itu berlomba dengan kesejahteraan dan
kesahajaannya.
Suatu hari, ketika ia sedang berjalan di
suatu jalan, seseorang datang dari Syria datang menjumpainya. Orang itu membawa
buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga membuatnya kelelahan.
Ketika ia melihat Salman yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan
miskin, orang itu hendak menyuruhnya membawa buah-buahan dengan memberi imbalan
atas jerih payahnya bila sampai ke tempat tujuan.
Dia memberi isyarat supaya datang kepadanya
dan Salman pun menuruti dengan patuh. Orang Syria itu berkata, “Tolong bawakan
barangku ini!” barang itu pun di pikul
oleh Salman . Mereka berdua berjalan bersama-sama.
Di tengah perjalanan mereka berdua
berpapasan dengan satu rombongan. Salman memberi salam kepada mereka, dan
mereka pun berhenti dan menjawab, “Semoga keselamatan juga dilimpahkan kepada
gubernur.”
Orang dari Syria itu bergumam sendiri,
“Semoga keselamatan juga dilimpahkan kepada gubernur? Gubernur mana yang mereka
maksudkan?” keheranannya kian bertambah
ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang
dipikul oleh Salman dengan maksud hendak menggantikannya. Mereka berkata,
“Berikanlah kepada kami, wahai gubernur!”
Sekarang, orang Syria itu paham bahwa
kulinya tiada lain adalah Salman Al-Farisi, gubernur Madain. Orang itu pun
sangat menyesal dan mengungkapkan permintaan maaf dari bibirnya. Ia mendekat
untuk menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman menolak dan menggelengkan
kepala sembari mengatakan, “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu.”
Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang,
“Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai gubernur?” ia menjawab,
“Karena manis waktu memegangnya, tetapi pahit sewaktu melepaskannya!”
Kali ini, shahabat memasuki rumah Salman ,
didapatinya ia sedang duduk merebus tepung, maka shahabat itu bertanya,
“Kemanakah pelayan?” ia menjawab, “Aku suruh untuk suatu keperluan, dan aku
tidak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus.”
Ketika kita hendak membicarakan tentang
rumah Salman , hendaknya kita benar-benar ingat, bagaimana rumahnya. Ketika
hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai rumah, Salman bertanya kepada tukangnya, “Bagaimana model rumah yang hendak anda dirikan?”
Tukang bangunan ini adalah seorang yang
arif dan bijaksana. Ia mengetahui kesederhanaan dan sifat Salman yang tidak
suka bermewah-mewah. Ia menjawab, “Jangan khawatir, rumah itu merupakan
bangunan yang dapat digunakan bernaung kala panas dan tempat berteduh kala
hujan. Andainya anda berdiri, kepala anda akan sampai pada langit-langitnya;
dan jika anda berbaring, kaki anda akan terantuk pada dindingnya.” Salman pun
berkata, “Benar, seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun.”
Tak satu pun barang berharga dalam
kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman , kecuali suatu
barang yang memang amat diharapkan dan dianggap penting, bahkan telah
dititipkan kepada istrinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.
Ketika sakit yang berakhir pada ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, ia
memanggil istrinya untuk mengambil titipannya dahulu. Ternyata, barang itu
hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu.
Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian pada hari wafatnya.
Kemudian ia menyuruh sang istri untuk
mengambil air. Salman menaburkan bubuk kesturi itu ke dalam cangkir dan
mengaduknya dengan tangan, lalu berkata kepada istrinya, “Percikanlah air ini
ke sekelilingku. Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Allah yang tidak
suka makanan, tetapi gemar wangi-wangian.”
Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya, “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” perintah itu pun dituruti oleh istrinya. Tidak lama antara waktu itu dan istrinya kembali masuk, ruh yang beroleh berkah itu telah meninngalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Dia telah mencapai alam yang tinggi, di bawa terbang oleh sayap kerinduan. Kerinduan untuk memenuhi janjinya, bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad dengan kedua shahabat beliau, Abu Bakar dan Umar , serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama.
Salman …
Telah lama
Salman menantikan itu dalam kerinduan dahaga
Hari ini
rindu itu telah terobati dan dahaga itu pun telah hilang
Semoga ridha
dan rahmat Allah menyertainya.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
27 komentar:
Ternyata Ada Tokoh Agama Yang Hebat Selain Abu Bakar Dan Umar.Salut Deh.Nambah Ilmu Nih :)
subhanallah, jadi lebih mengetahui tokoh-tokoh dalam dunia islam.
subhanallah :) seandainy pejuang2 Islam masih ada sampai sekarang :)
ane memang salut dengan salman...islam banyak memiliki org hebat.. blog wlking gan
http://www.akhirmali.com/
Moga manfaat,........ Mas senang, saya juga senang
Insya Allah sekarang ada. Jika belum ada, mustahil Islam masih ada
subhanllah.. salam :D
Subhanllah Bermanfaat Sekali Artikel Ini Lanjutkan :)
wah ilmu agama nih, izin baca, supaya nambah wawasan tentang agama islam :D
Thanks Gan, Infonya Mantab !
Ada bgt banyak tokoh hebat di dunia ini yg patut kita contoh
Wah gan Mantap gan, nice share gan
Infonya Gurih Gurih Nyoi, Mantab Abiz
mmpir lagi nih :D
Wah makasih gan.! Infonya bagus
mantap siraman rohaninya...kisah beginian lebih asik ketimbang dengar ceramah
menambah pengetahuan tentang agama mas , nice post
ane sering denger nama ini, ternyata tokoh yang juga berpengaruh bagi islam, sangat bermanfaat gan thankz
Alhamdulillah Thx banget gan udh share postan ini :)
nice share gan.. bagus nih post
Saya juga pernah mendengar namanya. Dia dulunya seorang penyembah api, lalu beralih ke ajaran kristus, lalu menemukan kebenaran sejati, yaitu Islam
nice info gan
makasih udah share
Menyentuh hati banget gan -_- Tapi baca ini aja hati langsung tenang :D
langsung relaks gan ati ane baca ini
woow nice share..lengkap bgt gan
Wah Menambah Ilmu Nih , Thanks Gan
thanks gan.. bisa menanmbah wawasan..
nice artikel
Posting Komentar