Senin, 02 Desember 2013

Filled Under:

Ammar bin Yasir (Seorang Tokoh Penghuni Surga).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
   
       Seandainya ada orang yang dilahirkan di surga dan dibesarkan dalam buaiannya hingga dewasa, lalu dikeluarkan ke dunia sebagai hiasan dan cahayanya, Ammar (Arab:عمار بن ياسر) beserta ibunya Sumayyah dan ayahnya Yasir adalah beberapa orang di antara mereka. Namun, mengapa kita mengatakan “seandainya” dan mengumpamakan seperti itu, padahal keluarga Yasir benar-benar penduduk surga?

     Ketika itu, Rasulullah bersabda, “Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga!” sabda beliau tersebut bukan hanya sebagai hiburan belaka, melainkan pengakuan atas kenyataan yang bisa dilihat dan menguatkan fakta yang disaksikan.

     Ayahanda Ammar, Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya. Rupanya ia merasa kerasan dan cocok tinggal di Mekkah. Akhirnya, ia bermukim di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah. Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang budaknya yang bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini, kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.

     Mereka masuk Islam lebih awal dan masuk dalam barisan orang-orang berbakti yang diberi petunjuk oleh Allah. Sebagai keniscayaan bagi oleh orang-orang berbakti golongan awal masuk Islam, mereka pun harus menderita karena siksa dan kekejaman Quraish.

     Orang-orang Quraish selalu mencari-cari jalan agar kaum Muslimin ditimpa kebinasaan. Seandainya orang yang beriman itu dari kalangan bangsawan dan berpengaruh, mereka menghadapinya dengan ancaman dan gertakan. Salah satunya adalah Abu Jahal yang menggertak sebagian kaum Muslimin dengan ungkapan, “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu, padahal mereka lebih baik daripada dirimu! Kami akan menguji sampai di mana ketabahanmu. Kami akan menjatuhkan kehormatanmu, merusak perniagaanmu, dan memusnahkan harta bendamu!

     Setelah itu, mereka melancarkan perang urat syaraf yang sangat sengit terhadap korban mereka. Namun, bila yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekkah yang rendah martabatnya dan miskin, atau dari golongan budak, mereka mencambuk dan menyundut yang bersangkutan dengan api.

     Keluarga Yasir termasuk ke dalam golongan yang kedua tersebut. Penyiksaan mereka diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah, dan Ammar di bawa ke padang pasir Mekkah yang sangat panas, lalu disiksa dengan berbagai bentuk kekejaman.

     Penderitaan yang dialami oleh Sumayyah sangat memilukan, tetapi tidak akan kita uraikan secara luas sekarang ini. Pada kesempatan lain, Insya Allah kami akan menuturkan pengorbanan dan keteguhan hati yang ditunjukkan oleh Sumayyah bersama rekan-rekan seperjuangannya pada hari-hari yang bersejarah itu.

     Cukuplah kita sebutkan sekarang—tanpa berlebih-lebihan—bahwa Sumayyah yang gugur syahid itu telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh. Sejak awal hingga akhir, ia telah membuktikan kepada manusia suatu kemuliaan yang tidak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tidak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya sebagai seorang bunda kandung bagi orang-orang beriman setiap zaman, dan sebagai orang-orang mulia sepanjang masa.

     Rasulullah tidak lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai ladang penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri. Hal itu memang telah menjadi kehendak Allah.

     Agama baru, yakni agama Nabi Ibrahim yang lurus dan panji-panjinya hendak dikibarkan oleh Muhammad itu, bukanlah suatu gerakan reformasi dadakan dan temporer semata, melainkan suatu pedoman hidup bagi manusia beriman. Manusia beriman ini pun harus mewarisi agama itu beserta sejarahnya yang lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan, dan pengorbanan.

     Pengorbanan mulia yang luar biasa ini ibarat beton yang menguatkan agama dan akidah hingga menjadi keteguhan yang tidak akan pernah lapuk dan kekekalan yang tidak pernah usang. Ia juga menjadi teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan, dan kasih sayang. Ia adalah mercusuar yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat, kebenaran, dan kebesaran agama. Jadi, memang harus ada korban dan pengorbanan dalam agama Islam.

     Makna ini telah dijelaskan oleh Allah melalui Al-Qur’an kepada kaum Muslimin, bukan hanya pada satu atau dua ayat. Allah berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 2

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.
QS:Ali Imran | Ayat: 142

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 3

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
QS:At-Taubah | Ayat: 3

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.
QS:Ali Imran | Ayat: 179

وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ
Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman.
QS:Ali Imran | Ayat: 166

     Seperti itulah Al-Qur’an mendidik putra dan para pendukungnya bahwa pengorbanan merupakan esensi dan inti keimanan, dan bahwa kepahlawanan menghadapi kekejaman dan kekerasan dihadapi dengan kesabaran, keteguhan, dan pantang mundur, niscaya membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan mengagumkan. Karena itu, saat sedang meletakkan dasar, memancangkan tiang, dan mengemukakan model panutan, agama Allah ini memperkokoh diri dengan pengorbanan dan membersihkan jiwa dengan tebusan, maka untuk kepentingan mulia ini terpilihlah beberapa orang putra, para pemuka, dan tokoh-tokoh utamanya untuk menjadi panutan sempurna serta teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang menyusul kemudian.

     Sumayyah, Yasir, dan Ammar masuk dalam golongan yang diberkahi ini, menjadi orang terpilih dalam agama ini untuk memberikan pengorbanan, ketekunan dan keuletan sebagai pengisi lembaran kebesaran dan keabadian Islam. Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa setiap hari Rasulullah berkunjung ke tempat penyiksaan keluarga Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya, sementara hati beliau yang mulia bagaikan hancur karena rasa kasihan saat menyaksikan mereka menerima siksa di luar batas kemanusiaan.

     Suatu hari, ketika Rasulullah mengunjungi mereka, Ammar memanggilnya, “Wahai Rasulullah, siksa yang kami derita telah mencapai puncaknya.” Rasulullah pun bersabda, “Bersabarlah, wahai Abu Al-Yaqzhan. Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.

     Siksaan yang dialami oleh Ammar dilukiskan oleh para shahabat dalam beberapa riwayat. Amr bin Al-Hakam menuturkan, “Ammar disiksa hingga tidak menyadari apa yang diucapkannya.” Sementara itu, Amr bin Maimun mengatakan, “Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Rasulullah lewat di tempatnya lalu memegang kepalanya dengan tangan beliau sambil bersabda, ‘Wahai api, mendinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ammar, sebagaimana dulu kamu mendingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.’.

     Meski sebesar itu siksaan yang dialami, Ammar tetap tidak berubah. Ia tetap teguh meski derita telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Puncak siksaan yang membuatnya benar-benar seperti binasa adalah ketika suatu hari tukang-tukang cambuk dan para algojo menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya. Mereka membakarnya dengan besi panas, menyalibnya di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan mereka menenggelamkannya ke dalam air hingga sulit bernafas dan kulitnya yang penuh dengan luka mengelupas.

     Pada hari tersebut, ia telah tidak tersadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat dan saat itulah orang-orang Quraish mengatakan kepadanya, “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!” kemudian, mereka pun menuntunnya untuk mengucapkan kata-kata pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.

     Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar atas apa yang telah diucapkannnya. Hatinya gundah dan terbayang di ruang matanya betapa besarnya kesalahan yang telah dilakukannya, yang tidak dapat ditebus dan diampuni lagi. Saat itu juga, ia dihantui oleh perasaan bersalah yang lebih menyiksa dirinya daripada siksaan yang ia terima dari orang-orang musyrik sebelumnya karena siksaan mereka itu tidak lebih daripada kenikmatan. Seandainya ia dibiarkan dalam tekanan perasaan dosa itu beberapa jam saja, rasa bersalah itu niscaya akan membawa ajalnya.

     Ammar dapat bertahan menanggungkan semua siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, karena jiwanya sedang berada pada kondisi puncak keimanan. Namun, sekarang ini, jiwanya yang merasa telah menyerah kalah, duka cita dan kekecewaannya hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya. Tetapi, kehendak Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah memutuskan agar peristiwa mengharukan itu berkesudahan dengan akhir yang sangat luhur.

     Tangan wahyu yang penuh berkah pun menjabat tangan Ammar, dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya, “Bangunlah, wahai pahlawan, tidak ada penyesalan atasmu dan tidak ada cacat.” Ketika Rasulullah menemui shahabatnya itu sedang dalam kondisi menangis, beliau mengusap air mata itu dengan tangan beliau seraya bersabda, “Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?

     “Benar, wahai Rasulullah.” Jawab Ammar sambil meratap.

     Rasulullah bersabda sambil tersenyum, “Jika mereka memaksamu lagi, tidak mengapa engkau mengucapkan seperti apa yang engkau katakana tadi.” Setelah itu, Rasulullah membacakan kepadanya ayat yang mulia:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
QS:An-Nahl | Ayat: 106

     Ammar kembali diliputi oleh ketenangan. Siksaannya yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi, terjadilah. Ia tidak akan peduli. Hatinya berbahagia, keimanannya di pihak yang menang. Ucapan yang dikeluarkan secara paksa itu dijamin bebas oleh Allah melalui Al-Qur’an, sehingga tidak ada lagi yang perlu dirisaukan.

     Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan yang luar biasa, hingga orang-orang yang menyiksanya merasa lelah dan bosan. Mereka bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang sangat kokoh.
     Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, kaum Muslimin tinggal bersama beliau di sana dan tidak lama kemudian masyarakat Islam terbentuk dan barisan mereka menjadi sempurna. Di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini, Ammar mendapatkan kedudukan yang tinggi. Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar kepada para shahabat. Rasulullah bersabda, “Ammar dipenuhi dengan keimanan sampai ke tulang punggungnya.

     Ketika terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Ammar, Rasulullah bersabda, “Siapa yang memusuhi Ammar, ia akan memusuhi Allah, dan siapa yang membenci Ammar, ia akan membenci Allah.” Tidak ada pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain mendatangi Ammar untuk mangakui kekhilafannya dan meminta maaf.

     Ketika Rasulullah bersama para shahabat mendirikan masjid di Madinah, yakni pada awal hijrah beliau ke sana, Ali mengubah sebuah bait syair yang didendang berulang-ulang dan diikuti oleh kaum Muslimin yang sedang bekerja itu:

     “Orang yang memakmurkan masjid nilainya tidak sama

     Selalu bekerja dalam keadaan duduk maupun berdiri

     Sedangkan pemalas lari menghindar tertidur di sana.

     Waktu itu Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. Ia juga turut berdendang dan mengulang-ulang bait syair itu dengan nada tinggi. Salah seorang menyangka bahwa Ammar bermaksud menonjolkan dirinya dengan nyanyian itu, hingga di antara mereka terjadi pertengkaran dan keluar kata-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu, Rasulullah murka dan bersabda, “Apa maksud mereka terhadap Ammar? Ia menyeru mereka ke surga, sedangkan mereka hendak mengajaknya ke neraka. Sungguh, Ammar tak ubahnya seperti diriku sendiri.

     Jika Rasulullah telah menyatakan perasaan sayangnya terhadap seorang Muslim sedemikian rupa, dapat dipastikan keimanan, kecintaan dan jasa orang itu terhadap Islam. Kebesaran jiwa, ketulusan hati, serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan.

     Demikian halnya Ammar. Berkat nikmat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Berkat tingkatan petunjuk dan keyakinan yang telah dicapainya itu, Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai teladan bagi para shahabat. Beliau bersabda, “Ikutilah Abu Bakar dan Umar setelah kematianku nanti, dan ambillah petunjuk Ammar sebagai pelajaran.

     Mengenai perawakannya, para ahli riwayat melukiskan bahwa ia bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang biru. Ia sangat pendiam dan tidak suka banyak bicara. Bagaimanakah kehidupan seorang pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh dengan bekas-bekas siksaan kejam ini, dan pada waktu yang bersamaan jiwanya telah ditimpa ketabahan yang sangat mengagumkan dan kebesaran yang luar biasa? Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur, mukmin yang tulus, serta pejuang yang berani mati itu?

     Ammar telah berjuang bersama Rasulullah yang merupakan gurunya dalam semua perjuangan bersenjata, baik Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, maupun pertempuran lainnya. Ketika Rasulullah pergi mendahuluinya untuk pergi ke Ar-Rafiq A-A’la, sosok yang berjiwa besar ini tetap melanjutkan perjuangannya. Saat kaum Muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Persia dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad, Ammar selalu berada di barisan pertama, sebagai seorang prajurit gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tidak pernah meleset. Sebagai seorang Mukmin yyang saleh dan mulia, tidak seorang pun dapat menghalanginya dalam mencapai ridha Allah.

     Ketika Amirul Mukminin Umar memilih calon-calon pemimpin kaum Muslimin di beberapa negeri secara cermat dan hati-hati, mata Umar tertuju dan tidak ingin beralih dari Ammar bin Yasir. Ia segera menemui dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas’ud sebagai pengelola Baitul Mal. Umar menulis sepucuk surat berisi berita gembira kepada penduduk Kufah atas pengangkatan pemimpin negeri baru itu. Umar mengatakan, “Saya mengirimkan kepada kalian Ammar bin Yasir sebagai gubernur, dan Ibnu Mas’ud sebagai guru penasihat. Mereka berdua adalah orang pilihan dari golongan shahabat Muhammad dan termasuk pahlawan Badar.

     Dalam melaksanakan pemerintahan, Ammar mengharapkan regulasi yang rupanya tidak dapat ditembus oleh orang-orang yang rakus terhadap dunia, hingga mereka mengadakan—atau hampir mengadakan—persekongkolan terhadap dirinya. Pangkat dan jabatannya itu tidak menambah, kecuali kesalehan, kezuhudan, dan kerendahan hatinya, salah seorang yang hidup semasanya di Kufah, Ibnu Abil Hudzail menuturkan, “Saya melihat Ammar bin Yasir, kala menjadi gubernur di Kufah, membeli sayuran di pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, kemudian membawanya pulang.

     Salah seorang dari kalangan awam berkata kepada kepadanya sewaktu ia menjadi gubernur di Kufah, “Wahai orang yang telinganya terpotong!” ia menghinanya dengan menyebut telinga yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad di pertempuran Yamamah. Namun, jawaban gubernur yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari ungkapan, “Engkau telah menghina telingaku yang terbaik, karena ia ditimpa musibah waktu perang di jalan Allah.” Telinga Ammar memang terputus dalam Perang Ymamah, yang merupakan salah satu di antara hari-hari gemilang bagi Ammar. Sosok berjiwa besar ini maju bagaikan angin topan dan menyerbu barisan tentara Musailamah Al-Kadzab hingga mampu melumpuhkan kekuasaan musuh.

     Ketika ia melihat gerakan kaum Muslimin mengendur, ia segera membangkitkan semangat mereka dengan seruannya yang lantang, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Abdullah bin Umar yang menceritakan peristiwa itu menuturkan, “Pada Perang Yamamah, aku melihat Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru, ‘Wahai kaum Muslimin, apakah kalian hendak lari dari surga? Inilah saya Ammar bin Yasir, kemarilah kalian!’ ketika aku melihat dan memperhatikannya, ternyata salah satu telinganya putus berayun-ayun, sedangkan ia berperang dengan sangat sengitnya.

     Orang yang masih meragukan kebesaran Muhammad, seorang Rasul yang benar dan guru yang sempurna, hendaknya berdiri sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan shahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya, “Siapakah yang mampu melahirkan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang utusan yang mulia dan guru yang agung?” ketika mereka terjun ke suatu medan perjuangan di jalan Allah, mereka pasti maju ke depan bagaikan perang yang hendak mencari kematian, dan bukan bertarung karena menginginkan kemenangan.

     Jika mereka menjadi Khalifah dan hakim pengadilan, mereka tidak akan keberatan memerah susu untuk wanita janda tua atau membuat adonan tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Jika mereka menjadi pembesar, mereka tidak akan malu dan merasa segan untuk memikul makanan yang diikat dengan tali di atas punggung mereka, seperti yang kita saksikan pada Ammar. Mereka juga tidak akan ragu untuk menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi untuk membuat bakul dari anyaman daun kurma, seperti yang dilakukan oleh Salman.

     Mari kita renungkan dan menundukkan kepala, sebagai penghargaan dan penghormatan untuk agama yang telah mengajari mereka semua, dan untuk Rasulullah yang telah mendidik mereka. Dan sebelum penghormatan untuk agama serta Rasulullah itu, persembahkanlah pujian kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang telah memilih mereka untuk semua ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik umat yang pernah dilahirkan untuk menjadi teladan bagi seluruh manusia.

     Ketika Abu Hudzaifah bin Al-Yaman yang ahli tentang bahasa hati dan bisikan nurani itu sedang berkemas-kemas untuk menghadapi panggilan Ilahi dan menghadapi sakaratul mautnya. Rekan-rekannya yang sedang berkumpul di sekelilingnya menanyakan kepadanya, “Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara umat?” sambil mengucapkan kata-kata terakhir, Hudzaifah menjawab, “Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, karena sampai matinya ia tidak hendak berpisah dengan kebenaran.

     Benar, Ammar akan tetap mengikuti kebenaran itu ke mana saja perginya. Dan sekarang ini kita sedang menyelusuri jejak langkahnya, dan menyelidiki peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupannya. Marilah kita pergi untuk menyaksikan suatu peristiwa besar. Namun, sebelum kita memperhatikan kejadian yang mempesona dan sangat mengharukan itu, baik tentang keutamaan, kesempurnaan, kemampuan, keunggulan, kegigihan, maupun kesungguhannya, sebaiknya kita perhatikan lebih dulu suatu peristiwa lain yang terjadi sebelumnya.

     Rasulullah mengungkapkan peristiwa yang akan menimpa Ammar di kemudian hari. Hal ini terjadi tidak lama setelah menetapnya kaum Muslimin di Madinah. Rasul Al-Amin yang dibantu oleh shahabat-shahabatnya yang budiman sibuk dalam membaktikan diri kepada Rabb mereka, membina dan mendirikan masjid-Nya. Hati yang beriman dipenuhi dengan kegembiraan dan sinar harapan menyampaikan puji dan syukur kepada Allah.

     Semua bekerja dengan riang dan gembira, semua mengangkat batu, mangaduk pasir dengan kapur atau mendirikan tembok, sekelompok di sini dan sekelompok lagi di sana, sedangkan cakrawala bahagia bergema dipenuhi senandung mereka yang dikumandangkan dengan suara merdu, “Bila kita hanya duduk berpangku tangan, sedangkan Nabi sibuk bekerja, tentu kita telah melakukan perbuatan yang sesat.

     Sementara itu, sekelompok lain menyanyikan senandung:

     “Ya Allah, tidak ada kehidupan sejati selain kehidupan akhirat

     Sayangilah kaum Anshar dan Muhajirin.

     Sementara itu terdengar pula senandung ketiga:

     “Tidak sama antara orang yang memakmurkan masjid

     Bekerja, baik saat berdiri maupun duduk

     Dengan yang menyingkir dan berpangku tangan.

     Mereka tak ubahnya bagai anai-anai yang sedang sibuk bekerja demi Allah, bahkan mereka adalah tentara Allah yang memanggul bendera-Nya dan meninggikan bangunan-Nya. Sementara itu, Rasulullah yang mulia lagi terpercaya tidak terpisah dari mereka, ikut mengangkat batu yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sulit.

     Alunan suara mereka yang sedang berdendang melukiskan kegembiraan yang tulus dan hati yang pasrah. Langit tempat mereka bernaung merasa bangga terhadap bumi tempat mereka berpijak. Kehidupan penuh dengan gairah dengan pesta yang paling meriah.

     Di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, Ammar bin Yasir kelihatan sedang mengangkat batu besar dari tempat pengambilannya ke tempat peletakannya. Tiba-tiba Rasulullah melihatnya, dan rasa belas kasihan telah mendorong beliau untuk mendekatinya, dan setelah berhadap-hadapan, tangan beliau yang penuh berkah itu mengipaskan debu yang menutupi kepala Ammar lalu dengan pandangan yang dipenuhi cahaya Ilahi, beliau mengamati wajah yang beriman dan diliputi keimanan itu. Kemudian, beliau bersabda di hadapan semua shahabat, “Aduhai Ibnu Sumayyah, engkau akan dibunuh oleh golongan yang melampaui batas.

     Sabda tersebut diulangi oleh Rasulullah sekali lagi dan waktu itu bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat Ammar bekerja, hingga sebagian shahabat menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu. Para shahabat terkejut dan menjadi rebut karenanya, tetapi dengan nada yang menenangkan dan penuh kepastian, Rasulullah bersabda, “Tidak, Amar tidak apa-apa, hanya saja nanti ia akan dibunuh oleh golongan yang melampaui batas.

     Siapakah gerangan yang dimaksud dengan golongan yang melampaui batas itu? Kapankah itu terjadi dan bagaimana prosesnya? Ammar mendengarkan sabda tersebut dan meyakini kebenaran pandangan jauh yang disingkap oleh Rasul yang utama tersebut. Tetapi, ia tidak merasa gentar, karena sejak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan syahid setiap detik, baik siang maupun malam.

     Hari demi hari terus berganti, tahun demi tahun terus berputar. Rasulullah telah kembali ke tempat tertinggi, disusul oleh Abu Bakar, lalu Umar pergi mengiringi menghadap keridhaan Ilahi. Setelah itu, kekhalifahan dipegang oleh Dzun Nurain, Utsman bin Affan. Sementara itu, musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah berusaha menebus kekalahannya di medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah.

     Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai ole persekongkolan jahat, yang gerakannya menyusup ke Madinah bagai angin panas, dan bergerak dari negeri kerajaan dan singgasananya telah dibebaskan oleh umat Islam. Keberhasilan upaya mereka dalam membunuh Umar rupanya membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkan misi jahat. Mereka menyebarkan fitnah dan menyalakan apinya ke sebagian besar negeri Islam. Utsman bisa jadi tidak melihat gelagat jahat tersebut, sehingga persekongkolan itu pun menargetkan dirinya, hingga menyebabkan Utsman gugur syahid dan pintu fitnah pun terbuka dan melanda kaum Muslimin.

     Mu’aawiyah bangkit untuk mendapatkan jabatan khalifah dari tangan khalifah Ali yang baru diangkat dan dibaiat. Pendirian shahabat pun bermacam-macam; ada yang menghindar dan mengunci dirinya di rumahnya, dengan mengambil ucapan Ibnu Umar sebagai semboyannya, “Siapa yang menyerukan: marilah salat, saya penuhi. Dan siapa yang mengatakan: marilah menuju kemenangan, saya turuti. Tetapi, siapa yang mengatakan: marilah membunuh saudaramu semuslim dan mari rampas harta bendanya, saya jawab, ‘Tidak’.” Di antara mereka ada yang berpihak kepada Mu’awiyah. Ada pula yang berdiri mendampingi Ali, mambaiat dan menganggap sah pengangkatannya sebagai khalifah kaum Muslimin.

     Tahukah anda, di pihak mana Ammar berdiri waktu itu? Di pihak siapakah keberpihakan lelaki yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda, “Dan ambillah olehmu petunjuk Ammar sebagai bimbingan”? bagaimanakah pendirian orang yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa memusuhi Ammar, ia akan dimusuhi oleh Allah” ini? Ia adalah sosok yang bila suaranya kedengaran mendekat ke rumah Rasulullah, beliau segera menyambutnya dengan sabda, “Selamat datang untuk orang baik dan diterima dengan baik, izinkanlah ia masuk!

     Ternyata, ia berdiri membela Ali bin Abu Thalib, tetapi bukan karena fanatic atau berpihak kepadanya, melainkan karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji. Ali adalah khalifah kaum Muslimin, yang berhak menerima baiat sebagai pemimpin umat. Ia menerima kekhalifahan itu karena Ali memang berhak untuk itu dan layak untuk menjabatnya. Baik sebelum maupun sesudah ini, Ali memiliki keutamaan yang menjadikan kedudukannya di sisi Rasul tidak ubahnya bagai kedudukan Harun di sisi Musa.

     Dengan pandangan cahaya hati nurani dan ketulusannya, Ammar selalu mengikuti kebenaran ke mana pun juga perginya. Ia dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini. Menurut keyakinannya, tidak seorang pun berhak atas hal ini pada saat itu selain Ali, sehingga ia berdiri di sampingnya. Ali sendiri merasa gembira atas dukungan yang diberikannya itu, bahkan mungkin tidak ada kegembiraan yang lebih besar daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak yang benar kian bertambah, yakni selama tokoh utama pecinta kebenaran, Ammar, datang kepadanya dan berdiri di sisinya.

     Akhirnya Perang Shiffin yang mengerikan itu pun meletus. Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan atau pemberontakan. Ammar ikut bersamanya, yang waktu itu usianya telah mencapai 93 tahun.

     Apakah orang berusia 93 tahun masih pantas pergi ke medan juang? Tentu saja, selama menurut keyakinannya peperangan itu menjadi tugas dan kewajibannya. Bahkan, ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang yang berusia 30 tahun. Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan permohonan perlindungan, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah.

     Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan doa yang selalu membasahi bibirnya. Setiap hari ia selalu memperbanyak doa dan memohon perlindungan Allah dari fitnah tersebut, seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan menghampiri juga.

     Tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, Ibnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Pada hari perang Shiffin, meski kita telah sebutkan usianya telah mencapai 93 tahun, ia bangkit untuk menghunuskan pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.

     Pandangan terhadap pertempuran ini telah dinyatakan dengan ungkapan, 

     “Wahai umat manusia, marilah kita berangkat menuju kelompok yang mengaku-ngaku hendak menuntut beka bagi Utsman. Demi Allah, maksud mereka bukanlah hendak menuntut bela, melainkan karena telah merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya. Mereka mengetahui bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka.

     Mereka bukan orang-orang terdahulu memeluk Islam yang berhak untuk ditaati oleh kaum Muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka untuk mengikuti kebenaran. Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntut bela atas kematian Utsman, padahal tujuan mereka yang sesungguhnya ialah hendak menjadi tiran dan penguasa.

     Ia kemudian mengambil bendera dengan tangannya, lalu mengibarkannya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, “Demi Dzat yang menguasai nyawaku, aku telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasulullah, dan inilah aku siap berperang dengan mengibarkannya ini. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga berhasil mencapai kubu pertahanan kita, aku tahu pasti bahwa kita berada di pihak yang benar, dan bahwa mereka di pihak yang salah.

     Orang-orang mengikuti Ammar karena mereka percaya kebenaran ucapannya. Abu Abdirrahman As-Sulami berkata, “Kami ikut serta dengan Ali di pertempuran Shiffin, maka saya melihat setiap Ammar bin Yasir menyerbu ke sesuatu sasaran atau turun ke sesuatu lembah, para Shahabat Rasulullah pun mengikutinya. Ia tidak ubahnya bagai panji-panji bagi mereka.

     Ammar menerjang dan menyusup ke medan juang. Ia yakin akan menjadi salah seorang syuhadanya. Ramalan Rasulullah terang terpampang di depan matanya dengan huruf-huruf yang besar, “AMMAR AKAN DIBUNUH OLEH GOLONGAN YANG MELAMPAUI BATAS.” Karena itu, suaranya bergema di seluruh medan perang dengan senandung ini, “Hari ini aku akan berjumpa dengan kekasih tercinta. Muhammad dan para shahabatnya.

     Kemudian bagai sebuah peluru yang dahsyat ia menyerbu ke arah Mu’awiyah dan orang-orang di sekelilingnya dari golongan Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring dan menggetarkan:

     “Dahulu kami memerangi kalian atas dasar perintah Al-Qur’an

     Kini kami memerangi kalian lagi atas dasar penafsiran Al-Qur’an

     Tebasan maut menghentikan niat jahat dan memisahkan kawanan pengkhianat

     Agar kebenaran berjalan kembali pada relnya.

     Maksud Ammar dengan syairnya itu, bahwa para shahabat yang terdahulu, dan Ammar termasuk salah seorang di antara mereka, telah memerangi Bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan, ayah Mu’awiyah, pemanggul panji-panji syirik dan pemimpin tentara musyrikin. Para shahabat memerangi orang-orang itu karena secara jelas Al-Qur’an turun dengan perintah itu disebabkan mereka adalah orang-orang musyrik. Nah, sekarang di bawah pimpinan Mu’awiyah, walaupun mereka telah menganut Islam dan meskipun Al-Qur’an Al-Karim tidak menitahkan secara tegas memerangi mereka. Namun, menurut ijtihad Ammar dalam penyelidikannya mengenai kebenaran dan pemahamannya terhadap maksud dan tujuan Al-Qur’an, ia meyakinkan dirinya akan keharusan memerangi mereka, agar barang yang dirampas itu kembali kepada pemiliknya, serta api fitnah dan pemberontakan itu dapat dipadamkan untuk selama-lamanya.

     Bisa juga diartikan bahwa dulu mereka memerangi orang-orang Bani Umayyah karena mereka kafir kepada Islam dan Al-Qur’an. Sekarang, mereka memerangi orang-orang itu karena menyelewengkan Islam, manyimpang dari ajaran Al-Qur’an yang mulia, mengacaukan takwil dan tafsirnya, dan hendak menyesuaikan tujuan ayat-ayatnya dengan kemauan dan keinginan mereka pribadi. Karena itulah, tokoh tua yang berusia 93 tahun ini menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang agung. Sebelum wafat, ia hendak menanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran, dan mewariskan contoh perjuangannya yang besar dan mulia, yang menimbulkan kesan yang mendalam.

     Orang-orang dari pihak Mu’awiyah berupaya sekuat tenaga untuk menghindari Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya hingga nyata bagi manusia bahwa merekalah golongan yang melampaui batas itu. Tetapi, keberanian Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan tentara, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Sebagian dari anak buah Mu’awiyah menanti kesempatan untuk membunuhnya, dan ketika kesempatan itu datang, mereka pun menikamnya.

     Sebagian besar tentara Mu’awiyah terdiri dari orang-orang yang baru saja masuk Islam, yakni orang-orang yang menganutnya tidak lama setelah genderang kemenangan atas kebanyakan negeri yang dibebaskan Islam bergema, baik dari kekuasaan Romawi maupun dari penjajahan Persia. Mereka inilah sebenarnya yang menjadi biang keladi dan menyalakan api perang saudara yang dimulai oleh pembangkangan Mu’awiyah dan penolakannya untuk mengakui Ali sebagai khalifah dan imam. Jadi, mereka inilah yang bagaikan kayu bakar menyalakan apinya hingga jadi besar dan menggejolak.

     Bagaimanapun gentingnya pertikaian ini, mestinya dapat diselesaikan dengan jalan damai, andai saja persoalan tersebut berada dalam kendali kaum Muslimin generasi awal. Namun, perselisihan tersebut meruncing karena jatuh ke tangan tokoh-tokoh kotor yang tidak peduli terhadap nasib Islam hingga api kian menyala dan tambah berkobar.

     Berita tewasnya Ammar segera tersebar dan ramalan Rasulullah yang didengar oleh semua shahabatnya ketika mereka sedang membangun masjid di Madinah pada masa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari mulut ke mulut, “Aduhai Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan yang melampaui batas.” Dengan demikian, sekarang orang-orang tahu siapa kiranya golongan yang melampaui batas itu, yakni golongan yang membunuh Ammar, yang tidak lain dari pihak Mu’awiyah.

     Dengan kematian Ammar tersebut, keimanan para pengikut Ali semakin bertambah, sedangkan di pihak Mu’awiyah keraguan mulai menyusup ke dalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia hendak memisahkan diri dan bergabung ke pihak Ali. Mu’awiyah sendiri yang ketika mendengar peristiwa yang telah terjadi, ia segera keluar mendapatkan orang-orang dan meyatakan kepada mereka bahwa ramalan itu benar adanya, dan Rasulullah benar-benar telah meramalkan bahwa Ammar akan dibunuh oleh golongan pemberontak. Tetapi, siapakah yang telah membunuhnya itu?

     Kepada orang-orang di sekelilingnya, ia berseru, “Yang membunuh Ammar ialah orang-orang yang keluar bersama dari rumahnya dan membawanya pergi berperang.” Takwil yang dicari-cari ini berhasil mengelabui orang-orang yang memendam maksud tertentu dalam hatinya, sehingga pertempuran kembali berkobar sampai saat yang telah ditentukan.

     Adapun Ammar, ia dipangku oleh Ali ke tempat ia manshalatkannya bersama kaum Muslimin, lalu dimakamkan dengan pakaiannya. Ia dimakamkan dengan pakaiannya yang dilumuri oleh darahnya yang bersih suci, sebab tidak satu pun kain sutera atau beludru dunia yang layak untuk menjadi kain kafan bagi seorang syahid mulia, seorang yang suci dan utama setingkat Ammar.

     Kaum Muslimin pun berdiri di kuburnya dengan penuh ketakjuban. Beberapa saat yang lalu, Ammar berdendang di depan mereka di medan perang, hatinya penuh dengan kegembiraan. Bagai seorang perantau yang merindukan kampung halaman, sedang dalam perjalanan pulang. Mulutnya melambaikan seruan, “Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta; dangan Muhammad dan para shahabatnya.

     Apakah Rasulullah dan para shahabatnya memang sudah mempunyai satu hari yang mereka janjikan untuk bertemu dengan Ammar dan tempat berjumpa yang ditunggu-tunggu? Para shahabat saling bertnya, “Apakah engkau masih ingat sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk dengan Rasulullah, dan tiba-tiba wajah beliau berseri-seri lalu bersabda, ‘Surga telah merindukan Ammar’?” teman bicaranya menjawab, “Benar, dan waktu itu beliau juga menyebutkan beberapa nama lain, di antarannya Ali, Salman, dan Bilal.

     Ini berarti surga benar-benar telah merindukan Ammar. Bila demikian, berarti surga telah lama merindukannya, hanya saja kerinduannya tertangguhkan karena Ammar masih harus menyelesaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya.


     Kini tugas itu telah dilaksanakannya dan dipenuhi dengan hati gembira. Jadi, sekarang sudah sepantasnya ia memenuhi panggilan kerinduan yang memanggil dari haribaan surga. Kini telah tiba waktu bagi Ammar untuk mengabulkan panggilan itu, karena tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. Ia melemparkan tombaknya, dan setelah itu ia pergi berlalu. Ketika tanah pusarannya telah didatarkan oleh para shahabat di atas jasadnya, ruhnya yang mulia telah bersemayam di tempat bahagia, jauh di sana di dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf