Sabtu, 30 November 2013

Filled Under:

Hudzaifah bin Al-Yaman (Musuh Kemunafikan, Teman Keterbukaan).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

   Penduduk Madain keluar berduyun-duyun untuk menyambut kedatangan wali negeri mereka yang baru diangkat oleh Amirul Mukminin Umar. Mereka pergi menyambutnya karena telah lama hati mereka rindu untuk bertemu muka dengan shahabat Nabi   yang mulia ini, yang telah banyak mereka dengar mengenai kesalehan dan ketakwaannya, tidak ketinggalan tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah Iraq.

     Ketika mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba muncullah di hadapan mereka seorang lelaki dengan wajah berseri-seri. Ia mengendarai seekor keledai dengan punggung yang dialasi kain usang. Kedua kakinya terjuntai ke bawah, kedua tangannya menggenggam roti serta garam, sedangkan mulutnya mengunyah makanan. Ketika ia berada di tengah-tengah orang banyak, dan mereka tahu bahwa orang itu tidak lain adalah Hudzaifah bin Al-Yaman, mereka bingung dan hampir-hampir tidak percaya.

     Apa yang membuat mereka heran? Sosok seperti apakah yang sebenarnya mereka harapkan dari pilihan Umar tersebut? Ketidakpercayaan mereka itu bisa dimaklumi karena pada masa Kerajaan Persia yang terkenal itu, atau pada masa sebelumnya, tidak pernah diketahui ada pemimpin semulia ini.

     Hudzaifah terus berjalan, sedangkan orang-orang berkerumunan dan mengiringinya. Ketika ia memperhatikan, mereka menatapnya seolah-olah menunggunya untuk mengucapkan sesuatu.

     Ia pun mendatangi mereka dengan tatapan yang tajam menyelidiki sembari berkata, “Jauhilah kalian oleh tempat-tempat fitnah.

     “Di manakah tempat-tempat fitnah itu, wahai Abu Abdillah?” Tanya mereka.

     “Pintu-pintu para pembesar. Kalian masuk menemui mereka dan membenarkan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tidak pernah mereka lakukan.

     Suatu pernyataan yang luar biasa dan menakjubkan! Dari ucapan yang mereka dengar dari wali negeri yang baru ini, orang-orang segera mendapatkan kesimpulan bahwa tidak ada yang lebih dibencinya dari semua yang terdapat di dunia ini, begitu pun yang lebih hina dalam pandangan matanya, daripada kemunafikan. Pernyataan ini sekaligus merupakan ungkapan yang paling tepat bagi kepribadian wali negeri baru ini, sekaligus bagi system yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan.

     Hudzaifah Al-Yaman memasuki arena kehidupan ini dengan bekal istimewa. Di antara ciri-cirinya ialah anti kemunafikan, dan mampu melihat jejak dan gejalanya, walau tersembunyi di tempat-tempat yang jauh sekali pun. Sejak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani ayahnya menghadap Rasulullah   dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan wataknya bertambah terang dan cemerlang, maka ia benar-benar menganutnya secara teguh dan suci, serta lurus dan gagah berani. Ia melihat kepengecutan, kebohongan, dan kemunafikan sebagai sifat yang rendah dan hina.

     Hudzaifah terdidik di tangan Rasulullah   yang membawa cahaya yang terang bagai cahaya subuh. Tidak ada yang sisi kehidupan beliau yang tersembunyi, dan tidak ada pula rahasia yang terpendam dalam lubuk hatinya. Beliau adalah seorang yang benar dan terpercaya, mencintai orang-orang yang teguh membela kebenaran, dan sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit, riya’, dan culas bermuka dua. Tidak ada tempat yang lebih baik untuk menyemai bakat Hudzaifah ini agar tumbuh subur dan berkembang daripada di arena ini, yakni dalam pangkuan Agama Islam, di hadapan Rasulullah  , dan di tengah-tengah golongan besar kaum perintis dan para shahabat Rasulullah  . Bakatnya ini benar-benar tumbuh nyata, hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabiat dan air muka seseorang. Ia dapat mengetahui rahasia di balik wajah seseorang dalam sekejap pandangan dan tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang tersembunyi serta simpanan yang terpendam.

     Kemampuannya dalam hal ini telah sampai kepada apa yang diinginkan, hingga Amirul Mukminin Umar yang dikenal sebagai orang yang penuh inspirasi, cerdas, dan ahli, sering juga mengandalkan pendapat Hudzaifah, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh dan mengenali mereka.

     Hudzaifah telah dikaruniai pikiran yang jernih, hingga menyebabkannya pada suatu kesimpulan bahwa sesuatu yang baik dalam kehidupan ini adalah yang jelas dan gamblang, yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya. Sebaliknya, yang jelek ialah yang gelap atau samar-samar. Karena itu, orang yang bijaksana hendaklah mempelajari sumber-sumber keburukan ini dan kemungkinan-kemungkinannya.

     Hudzaifah terus-menerus mempelajari kejahatan dan orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafik. Ia berkata, “Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah   tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya. Suatu saat saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah  , dahulu kita berada dalam kejahiliahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini. Apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?’ beliau menjawab, ‘Ada.’ Saya bertanya, ‘Kemudian, apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?’ beliau menjawab, ‘Benar, tetapi kabur dan bahaya.’ Saya bertanya, ‘Apakah bahaya itu?’ beliau menjawab, ‘Yaitu segolongan ummat mengikuti sunnah yang bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk yang bukan petunjukku. Kenalilah mereka dan laranglah!’ saya bertanya lagi, ‘Kemudian setelah kebaikan tersebut, apakah masih ada lagi kejahatan?’ beliau menjawab, ‘Ada, yakni pada dai yang menyeru di pintu neraka. Barang siapa menyambut seruan mereka, mereka melemparkan ke dalam neraka.’ Kemudian kutanyakan kepada Rasulullah  , ‘Ya Rasulullah  , apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?’ Rasulullah   menjawab, ‘Senantiasa mengikuti jamaah kaum Muslimin dan pemimpin mereka.’ Saya bertanya, ‘Bagaimana bila mereka tidak memiliki jamaah dan tidak pula pemimpin?’ beliau bersabda, ‘Tinggalkanlah semua golongan itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menemui ajal dalam keadaan demikian.’.

     Apakah anda tidak memperhatikan ucapannya “Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah   tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepada Rasulullah   tentang kejahatan karena takut akan terlibat di dalamnya”?

     Hudzaifah bin Al-Yaman menjalani kehidupan ini dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Ia mampu melihat rahasia kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang, serta meraba situasi.

     Semua masalah itu diolah dan direbus dalam akar pikirannya, lalu dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang arif dan bijaksana. Ia berkata, “Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad  . Beliau menyeru manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Sebagian orang pun menyambut seruan beliau. Dengan kebenaran itu, yang mati menjadi hidup. Dan sebaliknya dengan kebathilan, yang hidup menjadi mati.

     Kemudian masa kenabian berlalu, dan disusul oleh masa kekhalifahan mengikuti jejak beliau. Setelah itu, tiba giliran zaman raja-raja yang zalim. Di antara manusia ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan kata dan lisannya. Merekalah yang benar-benar menerima kebenaran. Di antara ada yang menentangnya dengan hati dan lisannya, tanpa mengikutsertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang kebenaran. Ada pula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikutsertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari kebenaran. Dan ada pula yang tidak menentang sama sekali, baik dengan hati, tangan, maupun lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa.

     Ia juga berbicara tentang hati beserta kehidupan petunjuk atau sebaliknya kesesatan di dalamnya. Ia menuturkan, “Hati itu ada empat macam: hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir. Hati yang bermuka dua, itulah dia orang munafik. Hati yang suci bersih dan di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan. Perumpamaan keimanan itu seperti sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tidak ubahnya bagai bisul yang dialiri darah dan nanah. Manakah di antara keduanya yang lebih kuat, itulah yang menang.

     Pengalaman Hudzaifah yang luas terhadap kejahatan dan ketekunannya untuk melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan pedas. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, dalam ungkapannya, “Saya datang menemui Rasulullah  , lalu saya berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir bila hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka.’ Rasulullah   pun bersabda, ‘Mengapa engkau tidak beristighfar? Sungguh, aku beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali’.

     Itulah dia Hudzaifah, musuh kemunafikan dan shahabat keterbukaan. Tokoh semacam ini bisa dipastikan imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya Hudzaifah, dalam keimanan dan kecintaannya.

     Ia menyaksikan ayahnya yang telah beragama Islam gugur di perang Uhud dan di tangan seorang Muslimah, yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang musyrik. Hudzaifah melihat dari jauh pedang sedang dihujamkan kepada ayahnya, ia berteriak, “Ayahku… Ayahku! Jangan, ia ayahku!” Tetapi, takdir Allah menetapkan lain. Dan ketika kaum muslimin mengetahui hal itu, mereka pun diliputi suasana duka. Mereka semua membisu. Namun, sambil memandangi mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, Hudzaifah berkata, “Semoga Allah mengampuni kalian, karena Dia Maha Penyayang di antara yang menyayangi.” Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke medan pertempuran yang sedang berkecamuk dan membaktikan tenaga serta menunaikan kewajibannya.

     Akhirnya peperangan pun berakhir dan berita terbunuhnya ayahnya tersebut sampai ke telinga Rasulullah  . Beliau pun memerintahkan membayar diyat atas kematian ayahanda Hudzaifah (Husail bin Jabir). Namun, Hudzaifah menolak tebusan tersebut dan memerintahkan agar membagikannya kepada kaum Muslimin. Hal itu semakin menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah   kepada dirinya.

     Keimanan dan kecintaan Hudzaifah tidak mengenal lelah dan lemah, bahkan tidak ada yang mustahil baginya. Ketika Perang Khandaq, yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam barisan kafir Quraish dan sekutu-sekutu mereka dari goongan Yahudi, Rasulullah   bermaksud mengetahui perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya. Ketika itu, malam gelap gulita dan menakutkan. Angin topan dan badai mengamuk, seolah-olah hendak mencabut dan menggulingkan semua gunung di padang pasir yang berdiri tegak di tempatnya.

     Suasana pada saat itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisahan, mengundang ketakutan dan kecemasan, sementara itu kelaparan telah mencapai saat-saat yang gawat di kalangan para shahabat Rasulullah  . Pada saat seperti itu, siapakah yang memiliki kekuatan apa pun bentuknya dan berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh, menyibak bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui, dan memburunya, untuk secara diam-diam menyelinap ke dalam dan menyelidiki keadaan mereka?

     Rasulullah   yang memilih di antara para shahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang sangat sulit ini. Tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu? Itulah dia Hudzaifah bin Al-Yaman. Ia dipanggil oleh Rasulullah   untuk melakukan tugas tersebut, da ia pun melaksanakannya dengan patuh. Sebagai bukti kejujurannya, ketika ia mengisahkan peristiwa tersebut, ia menyatakan bahwa ia mau tidak mau harus menerimanya. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya ia takut menghadapi tugas yang dipikulkan atas pundaknya serta khawatir akan akibatnya. Apalagi bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan lapar dan terpaan hujan es, serta keadaan jasmaniah yang sangat lemah, sebagai akibat pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih.

     Peristiwa yang dialami oleh Hudzaifah malam itu, sangat menakjubkan! Ia telah menempuh jarak yang terbentang di antara kedua perkemahan dan berhasil menembus kepungan, lalu diam-diam manyelinap ke perkemahan musuh. Ketika itu angin kencang telah memadamkan alat-alat penerangan pihak lawan hingga mereka berada dalam gelap gulita, sementara Hudzaifah telah mengambil tempat di tengah-tengah pasukan musuh itu.

     Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai panglima besar Quraish, takut bila kegelapan malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata kaum Muslimin untuk menyusup ke perkemahan mereka. Dia pun berdiri dan memperingatkan anak buahnya. Ia berteriak, “Wahai orang-orang Quraish, hendaklah kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui siapa namanya!” seruan yang diucapkan dengan keras itu kedengaran oleh Hudzaifah.

     Hudzaifah menuturkan, “Aku pun segera menjabat tangan seorang lelaki yang duduk di dekatku, dan berkata kepadanya, ‘Siapa kamu ini?’ ia menjawab, ‘Si fulan bin fulan.’.” Seperti itulah cara Hudzaifah mengamankan kehadirannya di kalangan tentara musuh itu hingga selamat.

     Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada tentaranya, “Wahai orang-orang Quraish, kekuatan kita sudah tidak utuh lagi. Kuda-kuda kita telah binasa, demikian halnya dengan unta. Bani Quraidzah telah mengkhianati kita hingga kita mengalami akibat yang tidak kita inginkan. Sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami bencana angin topan. Periuk-periuk beterbangan, api menjadi padam, dan kemah-kemah berantakan. Karena itu, berangkatlah kalian karena saya pun akan berangkat!” Ia kemudian naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya.

     Hudzaifah berkata, “Kalau bukan karena pesan Rasulullah   kepada saya agar saya tidak mengambil sesuatu tindakan sebelum menemuinya kembali, saya pasti membunuh Abu Sufyan dengan anak panah.

     Hudzaifah kembali kepada Rasulullah   dan menceritakan keadaan musuh, serta menyampaikan berita gembira itu. Barang siapa yang pernah bertatap muka dengan Hudzaifah, dan merenungkan buah pikiran dan filasafatnya, serta ketekunannya untuk mencapai makrifat, itu saja tentu sudah cukup dan tidak perlu mencari-cari apa wujud kepahlawanannya di medan perang. Tetapi, dalam bidang ini pun Hudzaifah melenyapkan segala prasangka.

     Lelaki yang tekun beribadah ini, akan menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa saat ia menggenggam pedang menghadapi tentara berhala dan pembela kesesatan. Cukuplah sebagai bukti bahwa ia merupakan orang ketiga atau orang kelima dalam deretan tokoh terpenting pada pembebasan seluruh wilayah Iraq. Kota-kota Hamdan, Rayy, dan Dainawar, selesai pembebasannya di bawah komando Hudzaifah.

     Pada pertempuran besar Nahawand, yang ketika itu orang-orang Persia berhasil menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mukminin Umar memilih An-Nu’man bin Muqarrin sebagai panglima Islam, sedangkan Hudzaifah diberi mandat melalui surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah. Kepada para pejuang itu, Umar mengirimkan surat, yang berisi, “Jika kaum Muslimin telah berkumpul, tiap-tiap panglimanya hendaknya memimpin anak buahnya, sedangkan yang akan menjadi panglima besar ialah An-Nu’man bin Muqarrin. Seandainya Nu’man gugur, panji kepemimpinan hendaknya dipegang oleh Hudzaifah dan bila ia gugur pula, hendaknya digantikan oleh Jabir bin Abdullah.” Amirul Mukminin masih menyebutkan beberapa nama lagi, hingga tujuh orang yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan.

     Kedua pasukan pun berhadapan. Pasukan Persia dengan 150 ribu tentara, sedangkan kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak lebih. Perang berkobar dengan pertempuran yang tidak ada bandingannya. Itu merupakan perang terdahsyat dan paling sengit sepanjang sejarah. Panglima besar kaum Muslimin, An-Nu’man bin Muqarrin, gugur sebagai syahid. Tetapi, sebelum bendera kaum Muslimin menyentuh tanah, panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin kemenangan pun meniup dan menggiring tentara maju ke depan dengan semangat baja dan keberanian luar biasa. Panglima yang baru itu tiada lain ialah Hudzaifah bin Al-Yaman.

     Bendera segera diambilnya. Ia berpesan agar kematian An-Nu’man bin Muqarrin tidak disiarkan, sebelum peperangan berakhir. Kemudian ia memanggil Na’im bin Muqarrin dan memberikan tugas agar menggantikan posisi saudaranya, An-Nu’man, sebagai penghormatan kepadanya. Semua itu dilaksanakan dengan cepat. Ia bertindak dalam waktu hanya beberapa saat, sedangkan roda peperangan berputar cepat.

     Kemudian bagai angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persia sambil menyerukan, “Allahu Akbar, Dia telah menepati janji-Nya. Allahu Akbar, Dia telah membela tentara-Nya.” Ia lalu memutar tali kekang kudanya ke arah anak buahnya, dan berseru, “Wahai ummat Muhammad  , pintu-pintu surga telah terbuka lebar dan siap menyambut kedatangan kalian. Jangan biarkan ia menunggu lebih lama. Ayolah, wahai pahlawan-pahlawan Badar, majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq, dan Tabuk!” dengan kata-kata itu, Hudzaifah telah memelihara semangat tempur dan ketahanan anak buahnya, jika tidak dapat dikatakan telah menambah dan melipatgandakannya. Perang pun berakhir dengan kekalahan pahit bagi orang-orang Persia, sesuatu kekalahan yang jarang ditemukan bandingannya.

     Hudzaifah ialah seorang pahlawan di bidang hikmah, ketika sedang tenggelam dalam renungan. Seorang pejuang di medan juang, ketika berada di medan laga. Ia seorang tokoh dalam urusan apa saja yang dipikulkan di atas pundaknya, dalam setiap persoalan yang membutuhkan pertimbangannya.

     Ketika kaum Muslimin berada di bawah komando Sa’ad bin Abu Waqqash, hendak pindah dari Madain ke Kufah dan bermukim di sana, yakni setelah situasi kota Madain membawa akibat buruk terhadap kaum Muslimin dari golongan Arab, menyebabkan Umar memerintahkan Sa’ad segera meninggalkan kota itu setelah menyelidiki suatu daerah yang paling cocok sebagai tempat pemukiman kaum Muslimin. Siapakah dia yang diserahi tugas untuk memilih tempat dan daerah tersebut? Itulah dia Hudzaifah bin Al-Yaman, yang pergi bersama Salman bin Ziyad guna menyelidiki lokasi yang tepat bagi pemukiman baru itu.

     Tatkala mereka sampai di Kufah, yang ternyata merupakan tanah kosong yang berpasir dan berbatu, Hudzaifah menghirup udara segar, lalu berkata kepada shahabatnya, “Di sinilah tempat permukiman itu, Insya Allah.” Rencana pembangunan kota Kufah diatur sedemikian rupa, yang oleh ahli bangunan diwujudkan menjadi sebuah kota besar yang maju. Dengan perpindahan kaum Muslimin di tempat yang baru tersebut, mereka yang sakit segera sembuh, yang lemah menjadi kuat, dan urat-urat mereka berdenyut menyebarkan aura kesehatan.

     Hudzaifah benar-benar seorang yang berpikiran cerdas dan berpengalaman luas. Ia selalu berpesan kepada kaum Muslimin, “Tidaklah termasuk yang terbaik di antara kalian, orang yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat, dan tidak pula yang meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia. Tetapi, yang terbaik adalah siapa yang mengambil bagian dari keduanya.

     Suatu hari pada tahun 36 H, Hudzaifah mendapat panggilan menghadap Ilahi. Ketika ia sedang berkemas-kemas untuk berangkat melakukan perjalanannya yang terakhir, beberapa orang shahabatnya datang menjenguk.

     Dia bertanya kepada mereka, “Apakah kalian membawa kain kafan?

     “Ya,” Jawab mereka.

     “Tunjukkanlah kepadaku,” Kata Hudzaifah.

     Ketika ia melihat kain kafan itu ternyata masih baru dan mewah, terlukislah pada kedua bibirnya senyuman terakhir bernada ketidaksenangan, lalu berkata, “Kain kafan ini tidak cocok bagiku. Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju. Tidak lama aku akan berada dalam kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek.


     Kemudian ia mengucapkan beberapa kalimat, sedangkan orang-orang yang hadir memasang telinganya, “Selamat datang wahai kematian. Kekasih tiba saat dalam kerinduan. Tidak ada kemenangan bagi orang yang menyesal.” Setelah itu, roh yang agung, penuh dengan ketakwaan, ketundukan, dan kepasrahan itu naik ke hadirat Ilahi.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf