Minggu, 08 Desember 2013

Filled Under:

Utsman bin mazh’un (Tokoh yang Mengabdikan Seluruh Hidup untuk Ibadah).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
   
     Seandainya anda hendak menyusun daftar nama shahabat Rasulullah menurut urutan masa masuknya ke dalam agama Islam, maka pada urutan keempat belas ditempati oleh Utsman bin Mazh’un ini merupakan muhajir pertama yang wafat di Madinah, sekaligus sebagai orang Islam pertama yang dimakamkan di Baqi’.

     Hal penting terakhir yang harus anda ketahui bahwa shahabat mulia yang sedang anda telaah riwayat hidupnya sekarang ini ialah seorang suci yang agung, tetapi bukan dari kalangan yang suka mengisolasi diri, dan sebaliknya merupakan orang suci yang terjun di arena kehidupan. Kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai kemaslahatan san kebaikan.

     Ketika agama Islam cahayanya mulai menyinari dari hati Rasulullah dan kalimat-kalimat yang disampaikannya di beberapa majelis, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, Utsman bin Mazh’un adalah salah seorang dari beberapa gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan bergabung ke dalam kelompok pengikut Rasulullah. Ia pun ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagaimana dialami oleh orang beriman lainnya dari kalangan orang-orang yang berhati tabah dan sabar.

     Ketika Rasulullah mengutamakan keselamatan orang-orang beriman dari kalangan bawah dan teraniaya ini, dengan jalan menyuruh mereka berhijrah je Habasyah, sedangkan beliau siap menghadapi bahaya seorang diri, Utsman bin Mazh’un terpilih sebagai pemimpin rombingan hijrah pertama ini. Dengan membawa putranya yang bernama Saib, ia menatap ke depan dan melangkahkan kaki ke suatu negeri yang jauh, guna menghindari muslihat musuh Allah, Abu Jahal, serta kebuasan dan kekejaman orang-orang Quraish lainnya.

     Seperti yang terjadi pada orang-orang yang berhijrah ke Habasyah lainnya, baik hijrah pertama maupun yang kedua, tekad dan kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Islam kian bertambah besar. Memang benar bahwa hijrah ke Habasyah sebanyak dua kali itu telah membentuk sebuah fenomena yang unik dan gemilang dalam urusan umat Islam. Orang-orang yang beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah serta mengikuti cahaya Ilahi yang diturunkan kepada beliau benar-benar merasa muak terhadap pemujaan berhala dengan segala kesestan dan kebodohannya. Dalam diri mereka semua telah tertanam fitrah yang benar yang tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat dari batu atau dibentuk dari tanah liat.

     Ketika mereka berada di Habasyah, mereka menghadapi agama yang teratur dan tersebar luas, lengkap dengan gereja-gereja dan pendeta-pendetanya. Agama itu jauh dari agama berhala yang telah mereka kenal di negeri mereka, begitu cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya yang tidak asing lagi serta dengan u[acara-upacara ibadat yang biasa mereka saksikan di kampung halaman mereka. Orang-orang gereja di negeri Hbasyah itu tentu saja telah berupaya sekuat daya untuk menarik orang-orang yang berhijrah tersebut ke dalam agama mereka, dan meyakinkan agama Masehi. Namun, semua yang kita sebutkan justru mendorong para shahabat yang berhijrah tersebut semakin teguh dan tidak beranjak dari kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan Muhammad, Rasulullah.

     Dengan rindu dan gelisah mereka menunggu suatu saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta, untuk beribadat kepada Allah Yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi yang agung, baik dalam masjid kala damai maupun di medan tempur saat mempertahankan diri dari ancaman kaum musyrikin.

     Demikianlah, para shahabat tinggal di Habasyah dalam aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat saudara sepupunya, Umayyah bin Khalaf, dan pedihnya siksa yang ditimpakan atas dirinya. Karena itu, ia menghibur dirinya dengan menggubah syair yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudara sepupunya itu. Ia berkata:

     Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya

     Kamu meruncingkannya setajam-tajamnya

     Kamu memerangi orang-orang suci lagi mulia

     Kamu mencelakakan orang-orang yang berwibawa

     Ingatlah suatu saat bahaya datang menimpa

     Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata

     Ketika orang-orang muhajirin di tempat mereka hijrah itu beribadah kepada Allah dengan tekun serta mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang ada pada mereka, dengan semangat yang selalu menggelora meskipun berada di negeri orang, tiba-tiba mereka mendengar berita bahwa orang-orang Quraish yelah menganut Islam, dan mengikuti Rasulullah, bersujud kepada Allah.

     Berita tersebut membangkitkan semangat mereka untuk mengemasi barang-barang dan bergegas berangkat ke Mekkah, bersama kerinduan dan kecintaan kepada kampung halaman. Namun, ketika mereka sampai di dekat tempat tujuan, ternyata berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraish itu hanyalah dusta belaka. Mereka merasa sangat kecewa karena telah berlaku ceroboh dan tergesa-gesa. Tetapi, apakah mungkin mereka akan kembali, sedangkan Mekkah berada di hadapan mereka?

     Dipihak lain, orang-orang musyrik di kota Mekkah telah mendengar kedatangan buronan yang telah lama mereka kejar-kejar dan mereka telah memasang jebakan untuk menangkapnya. Kini mereka telah masuk ke dalam jebakan Quraish dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini.

     Pada waktu itu, suaka atau jaminan keamanan merupakan salah satu tradisi Arab yang dijunjung tinggi dan dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraish, berarti ia berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tidak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya tidak perlu dikhawatirkan. Namu, orang-orang yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya.

     Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, termasuk di antaranya ialah Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Al-Walid bin Al-Mughirah. Ia masuk ke Mekkah dalam keadaan aman dan tenteram, dan menyebrangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa khawatir atas kezaliman dan bahaya.

     Ibnu Mazh’un, lelaki yang ditimpa Al-Qur’an dan dididik oleh Muhammad ini, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia melihat saudara-saudara sesama Muslim yang berasal dari kalangan fakir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya tidak bisa memperoleh perlindungan karena tidak ada orang yang bersedia melindungi mereka. Ia melihat mereka dihadang oleh bahaya dari segala jurusan, dikejar kezaliman dari setiap jalan. Sementara itu, ia sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Ruhnya yag biasanya bebas itu berontak dan perasaannya mulai bergejolak. Ia menyesal atas tindakan yang telah diambilnya.

     Utsman keluar dari rumahnya dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan dari Al-Walid. Selama itu perlindungan tersebut memang membuatnya aman derita di jalan Allah yang sebenarnya terasa nikmat. Ia seperti kehilangan rasa senasib sepenanggungan bersama saudaranya kaum Muslimin yang merupakan tunas-tunas dunia dalam keimanan dan generasi alam baru yang esok pagi akan terpancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan, dan ketauhidan.

     Baiklah, mari kita dengar ceritaka dari saksi mata yang melukiskan bagi kita peristiwa yang telah terjadi, yang menuturkan, “Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para shahabat Rasulullah, sedangkan ia sendiri bebas ke mana saja dengan aman dan tenteram berkat perlindungan dari Al-Walid bin Al-Mughirah, ia pun berkata, ‘Demi Allah, sungguh ini kerugian yang besar bagiku karena aku bisa bebas ke mana pun dalam keadaan aman disebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedangkan rekan-rekan seagama menderita azab dan siksa yang tidak kualami.’

     Lalu ia pergi menemui Al-Walid bin Al-Mughirah dan berkata, ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindunganmu dan sekarang ini aku melepaskan diri dari perlindunganmu itu.’ Al-Walid bin Al-Mughira bertanya, ‘Mengapa wahai keponakanku?

     Apakah ada salah seorang anak buahku yang mengganggumu?’

     Utsman menjawab, ‘Tidak, hanya saja saya ingin berlindung kepada Allah, dan tidak suka lagi kepada selain diri-Nya. Karenanya, pergilah ke masjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka, seperti dahulu engkau mengumumkan perlindungan terhadap diriku.’

     Mereka berdua akhirnya pergi ke masjid, lalu Al-Walid berkata, ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya.’

     Utsman menyahut, ‘Betul, seperti yang dikatakan itu. Ia memang seorang yang memegang teguh janjinya. Hanya saja aku berkehendak agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta’ala.’

     Setelah itu Utsman pun bergegas pergi, sedangkan di salah satu gedung pertemuan kaum Quraish, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah syair dan melagukannya di depan mereka, hingga membuat Utsman tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka.

     Lubaid berkata, ‘Ingatlah bahwa apa pun yang berada di bawah kolong langit ini selain daripada Allah adalah bathil.’

     ‘Benar ucapan anda itu,’ kata Utsman menanggapinya.

     Lubaid berkata lagi, ‘Semua kesenangan, pasti lenyap dan sirna.’

     ‘Itu dusta, karena kesenangan surga tidak akan lenyap,’ sahut Utsman.

     Lubaid berkata, ‘Wahai orang-orang Quraish! Demi Allah, tidak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagaimana sikap kalian kalau ini terjadi?’

     Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Si dungu ini telah meninggalkan agama kita. Jadi, tidak usah digubris apa ucapannya!’

     Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka terjadi pertengkaran. Orang itu tiba-tiba datang mendekati Utsman lalu memukulnya hingga tepat mengenai matanya, sementara Al-Walid bin Al-Mughirah masih berada di dekat sana dan menyaksikan apa yang terjadi.

     Ia berkata kepada Utsman, ‘Wahai keponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, itu berarti benteng perlindunganmu sangat tangguh.’

     Utsman menjawab, ‘Tidak, bahkan mataku yang sehat ini juga sangat membutuhkan pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah. Sungguh, wahai Abu Abdi Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripada dirimu.’

     Walid berkata, ‘Ayolah Utsman, jika kamu berkenan, kembalilah masuk ke dalam perlindunganku.’

     ‘Terima kasih!’ jawab Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.

     Ibnu Mazh’ud meninggalkan tempat itu, tempat terjadinya peristiwa tersebut dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati dan kesejahteraan serta penuh harapan. Di tengah jalan menuju ke rumahnya, dengan gembira ia mendendangkan syair:

     Andaikata dalam mencapai keridhaan Ilahi

     Mataku ditinju tangan jahil mulhid

     Maka Dzat Yang Maha Pengasih telah menyediakan imbalannya

     Karena, siapa yang diridhai-Nya pasti berbahagia

     Wahai umat, walau menurut katamu aku ini sesat

     Aku akan tetap dalam agama Rasul, Muhammad

     Tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan agama yang benar

     Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena

     Seperti itulah cara Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya. Demikian pula lembaran kehidupan ini menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang abadi dan memesona, “Demi Allah, sebelah mataku yang sehat ini sangat merindukan pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah dan saat ini aku dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripada dirimu.

     Setelah Utsman mengembalikan perlindungan kepada Al-Walid,  ia pun mendapatkan siksaan dari orang-orang Quraish. Tetapi, dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia. Siksaan itu tidak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni. Ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya.

     Utsman berhijrah ke Madinah hingga tidak diusik lagi oleh Abu Jahal, Umayyah, Utbah, atau oleh tokoh-tokoh Quraish lainnya yang sejak lama telah menyebabkan mereka tidak dapat memejamkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari. Ia berangkat ke Madinah bersama rombongan para shahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitannya dan kesukarannya. Dari pintu gerbang yang luas dari kota itu nanti mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh pelosok bumi, membawa dan mengibarkan panji-panji Ilahi, serta menyampaikan berita gembira dengan kalimat-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya.

     Di kota hijrah Al-Madinah Al-Munawwarah itu, kepribadian Utsman bin Mazh’un yang tidak ubah bagai batu permata yang telah diasah itu terlihat jelas, dan kebesaran jiwanya yang istimewa tampak nyata. Ia adalah seorang ahli ibadah. Seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Ia adalah orang suci dan mulia lagi bijaksana, yang tidak mengurung diri untuk tidak manjauhi kehidupan duniawi, tetapi orang suci yang luar biasa yang mengisi kehidupannya dengan amal dan jihad di jalan Allah. Ia adalah seorang rahib pada larut malam, dan prajurit berkuda pada waktu siang, bahkan ia adalah seorang rahib, baik pada waktu siang maupun malam, sekaligus seorang prajurit berkuda yang berjuang siang dan malam.

     Bisa dikatakan bahwa para shahabat Rasulullah pada masa itu semuanya berjiwa zuhud dan gemar beribadah, tetapi Ibnu Mazh’un memiliki cirri-ciri khas. Dalam zuhud dan ibadahnya ia sangat tekun dan mampu mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya. Setelah merasakan manisnya keasyikan beribadah itu, ia hendak memutuskan hubungan dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia. Ia tidak ingin memakai pakaian kecuali yang kasar, dan tidak mau makan makanan selain yang sangat bersahaja.

     Suatu hari ia masuk masjid, dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengan kulit kepala unta saat Rasulullah sedang duduk-duduk dengan para shahabatnya. Hati Rasulullah pun bagai disayat melihat itu, dan air mata para shahabat mengalir. Rasulullah bertanya kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, bila kalian memiliki satu pakaian untuk siang hari dan satu pakaian untuk malam hari, disediakan satu piring hidangan makanan untuk menggantikan piring lain yang telah disingkirkan, serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana diutupnya Ka’bah?

     Mereka menjawab, “Kami ingin hal itu menjadi kenyataan, wahai Rasulullah, sehingga kami dapat mengalami hidup makmur dan bahagia.

     Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya hal itu telah terjadi. Keadaan kalian sekarang ini lebih baik daripada keadaan kalian waktu lalu.

     Ibnu Mazh’un yang turut mendengarkan percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang sederhana dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia. Bahkan, menahan diri dan tidak ingin menggauli istrinya seandainya hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah yang segera memanggil dan menyampaikan kepadanya, “Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu.

     Ubnu Mazh’un sangat disayangi oleh Rasulullah. Rasulullah berada di sisinya ketika ruhnya yang suci bersiap-siap untuk berangkat menghadap Allah, untuk menjadi orang muhajirin pertama yang wafat di Madinah, sekaligus orang pertama yang merintis jalan menuju surga pada masa beliau.

     Rasulullah membungkuk mencium kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi kasih sayang dan duka cita hingga saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar ceria. Rasulullah bersabda melepas shahabatnya yang tercinta itu, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu, wahai Abu Saib. Engkau pergi meninggalkan dunia, tidak satu keuntungan pun yang kamu peroleh darinya, serta tidak satu kerugian pun yang dideritanya olehmu.


     Sepeninggal shahabat ini, Rasulullah yang sangat penyayang itu tidak pernah melupakannya. Beliau selalu mengingat dan memujinya. Bahan, untuk melepaskan putrid beliau, Raqayyah, yakni ketika nyawanya hendak meninggalkan jasadnya, beliau mengungkapkan, “Pergilah menyusul pendahulu kita yang pilihan, Utsman bin Mazh’un.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf