بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Hal penting terakhir yang harus anda
ketahui bahwa shahabat mulia yang sedang anda telaah riwayat hidupnya sekarang
ini ialah seorang suci yang agung, tetapi bukan dari kalangan yang suka
mengisolasi diri, dan sebaliknya merupakan orang suci yang terjun di arena
kehidupan. Kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh
jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai
kemaslahatan san kebaikan.
Ketika agama Islam cahayanya mulai
menyinari dari hati Rasulullah dan kalimat-kalimat yang disampaikannya di
beberapa majelis, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, Utsman bin
Mazh’un adalah salah seorang dari beberapa gelintir manusia yang segera
menerima panggilan Ilahi dan bergabung ke dalam kelompok pengikut Rasulullah.
Ia pun ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagaimana dialami oleh orang
beriman lainnya dari kalangan orang-orang yang berhati tabah dan sabar.
Ketika Rasulullah mengutamakan keselamatan
orang-orang beriman dari kalangan bawah dan teraniaya ini, dengan jalan
menyuruh mereka berhijrah je Habasyah, sedangkan beliau siap menghadapi bahaya
seorang diri, Utsman bin Mazh’un terpilih sebagai pemimpin rombingan hijrah
pertama ini. Dengan membawa putranya yang bernama Saib, ia menatap ke depan dan
melangkahkan kaki ke suatu negeri yang jauh, guna menghindari muslihat musuh
Allah, Abu Jahal, serta kebuasan dan kekejaman orang-orang Quraish lainnya.
Seperti yang terjadi pada orang-orang yang
berhijrah ke Habasyah lainnya, baik hijrah pertama maupun yang kedua, tekad dan
kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Islam kian bertambah besar. Memang
benar bahwa hijrah ke Habasyah sebanyak dua kali itu telah membentuk sebuah
fenomena yang unik dan gemilang dalam urusan umat Islam. Orang-orang yang
beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah serta mengikuti cahaya Ilahi yang
diturunkan kepada beliau benar-benar merasa muak terhadap pemujaan berhala
dengan segala kesestan dan kebodohannya. Dalam diri mereka semua telah tertanam
fitrah yang benar yang tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat
dari batu atau dibentuk dari tanah liat.
Ketika mereka berada di Habasyah, mereka
menghadapi agama yang teratur dan tersebar luas, lengkap dengan gereja-gereja
dan pendeta-pendetanya. Agama itu jauh dari agama berhala yang telah mereka
kenal di negeri mereka, begitu cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya
yang tidak asing lagi serta dengan u[acara-upacara ibadat yang biasa mereka
saksikan di kampung halaman mereka. Orang-orang gereja di negeri Hbasyah itu
tentu saja telah berupaya sekuat daya untuk menarik orang-orang yang berhijrah
tersebut ke dalam agama mereka, dan meyakinkan agama Masehi. Namun, semua yang
kita sebutkan justru mendorong para shahabat yang berhijrah tersebut semakin
teguh dan tidak beranjak dari kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan
Muhammad, Rasulullah.
Dengan rindu dan gelisah mereka menunggu
suatu saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta,
untuk beribadat kepada Allah Yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi yang
agung, baik dalam masjid kala damai maupun di medan tempur saat mempertahankan
diri dari ancaman kaum musyrikin.
Demikianlah, para shahabat tinggal di
Habasyah dalam aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang
dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat saudara
sepupunya, Umayyah bin Khalaf, dan pedihnya siksa yang ditimpakan atas dirinya.
Karena itu, ia menghibur dirinya dengan menggubah syair yang berisikan sindiran
dan peringatan terhadap saudara sepupunya itu. Ia berkata:
Kamu melengkapi panah dengan
bulu-bulunya
Kamu meruncingkannya setajam-tajamnya
Kamu memerangi orang-orang suci lagi mulia
Kamu mencelakakan orang-orang yang berwibawa
Ingatlah suatu saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata
Ketika orang-orang muhajirin di tempat mereka hijrah itu beribadah
kepada Allah dengan tekun serta mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang ada pada
mereka, dengan semangat yang selalu menggelora meskipun berada di negeri orang,
tiba-tiba mereka mendengar berita bahwa orang-orang Quraish yelah menganut
Islam, dan mengikuti Rasulullah, bersujud kepada Allah.
Berita tersebut membangkitkan semangat mereka untuk mengemasi
barang-barang dan bergegas berangkat ke Mekkah, bersama kerinduan dan kecintaan
kepada kampung halaman. Namun, ketika mereka sampai di dekat tempat tujuan,
ternyata berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraish itu hanyalah dusta
belaka. Mereka merasa sangat kecewa karena telah berlaku ceroboh dan
tergesa-gesa. Tetapi, apakah mungkin mereka akan kembali, sedangkan Mekkah
berada di hadapan mereka?
Dipihak lain, orang-orang musyrik di kota Mekkah telah mendengar
kedatangan buronan yang telah lama mereka kejar-kejar dan mereka telah memasang
jebakan untuk menangkapnya. Kini mereka telah masuk ke dalam jebakan Quraish
dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini.
Pada waktu itu, suaka atau jaminan keamanan merupakan salah satu tradisi
Arab yang dijunjung tinggi dan dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang
beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraish, berarti ia
berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tidak boleh
ditumpahkan dan keamanan dirinya tidak perlu dikhawatirkan. Namu, orang-orang
yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk
mendapatkannya.
Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, termasuk di
antaranya ialah Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Al-Walid bin
Al-Mughirah. Ia masuk ke Mekkah dalam keadaan aman dan tenteram, dan
menyebrangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa
khawatir atas kezaliman dan bahaya.
Ibnu Mazh’un, lelaki yang ditimpa Al-Qur’an dan dididik oleh Muhammad
ini, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia melihat saudara-saudara sesama
Muslim yang berasal dari kalangan fakir miskin dan orang-orang yang tidak
berdaya tidak bisa memperoleh perlindungan karena tidak ada orang yang bersedia
melindungi mereka. Ia melihat mereka dihadang oleh bahaya dari segala jurusan,
dikejar kezaliman dari setiap jalan. Sementara itu, ia sendiri aman tenteram,
terhindar dari gangguan bangsanya. Ruhnya yag biasanya bebas itu berontak dan
perasaannya mulai bergejolak. Ia menyesal atas tindakan yang telah diambilnya.
Utsman keluar dari rumahnya dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti
hendak menanggalkan perlindungan dari Al-Walid. Selama itu perlindungan
tersebut memang membuatnya aman derita di jalan Allah yang sebenarnya terasa
nikmat. Ia seperti kehilangan rasa senasib sepenanggungan bersama saudaranya
kaum Muslimin yang merupakan tunas-tunas dunia dalam keimanan dan generasi alam
baru yang esok pagi akan terpancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan,
dan ketauhidan.
Baiklah, mari kita dengar ceritaka dari saksi mata yang melukiskan bagi
kita peristiwa yang telah terjadi, yang menuturkan, “Ketika
Utsman bin Mazh’un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para shahabat
Rasulullah, sedangkan ia sendiri bebas ke mana saja dengan aman dan tenteram
berkat perlindungan dari Al-Walid bin Al-Mughirah, ia pun berkata, ‘Demi Allah,
sungguh ini kerugian yang besar bagiku karena aku bisa bebas ke mana pun dalam
keadaan aman disebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedangkan
rekan-rekan seagama menderita azab dan siksa yang tidak kualami.’
Lalu ia pergi menemui Al-Walid bin Al-Mughirah dan berkata, ‘Wahai Abu
Abdi Syams, cukuplah sudah perlindunganmu dan sekarang ini aku melepaskan diri
dari perlindunganmu itu.’ Al-Walid bin Al-Mughira bertanya, ‘Mengapa wahai
keponakanku?
Apakah ada salah seorang anak buahku yang mengganggumu?’
Utsman menjawab, ‘Tidak, hanya saja saya ingin berlindung kepada Allah,
dan tidak suka lagi kepada selain diri-Nya. Karenanya, pergilah ke masjid serta
umumkanlah maksudku ini secara terbuka, seperti dahulu engkau mengumumkan
perlindungan terhadap diriku.’
Mereka berdua akhirnya pergi ke masjid, lalu Al-Walid berkata, ‘Utsman
ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya.’
Utsman menyahut, ‘Betul, seperti yang dikatakan itu. Ia memang seorang
yang memegang teguh janjinya. Hanya saja aku berkehendak agar tidak lagi
mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta’ala.’
Setelah itu Utsman pun bergegas pergi, sedangkan di salah satu gedung
pertemuan kaum Quraish, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah syair dan
melagukannya di depan mereka, hingga membuat Utsman tertarik karenanya dan ikut
duduk bersama mereka.
Lubaid berkata, ‘Ingatlah bahwa apa pun yang berada di bawah kolong
langit ini selain daripada Allah adalah bathil.’
‘Benar ucapan anda itu,’ kata Utsman menanggapinya.
Lubaid berkata lagi, ‘Semua kesenangan, pasti lenyap dan sirna.’
‘Itu dusta, karena kesenangan surga tidak akan lenyap,’ sahut Utsman.
Lubaid berkata, ‘Wahai orang-orang Quraish! Demi Allah, tidak pernah aku
sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagaimana sikap kalian
kalau ini terjadi?’
Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Si dungu ini telah meninggalkan
agama kita. Jadi, tidak usah digubris apa ucapannya!’
Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka terjadi
pertengkaran. Orang itu tiba-tiba datang mendekati Utsman lalu memukulnya hingga
tepat mengenai matanya, sementara Al-Walid bin Al-Mughirah masih berada di
dekat sana dan menyaksikan apa yang terjadi.
Ia berkata kepada Utsman, ‘Wahai keponakanku, jika matamu kebal terhadap
bahaya yang menimpa, itu berarti benteng perlindunganmu sangat tangguh.’
Utsman menjawab, ‘Tidak, bahkan mataku yang sehat ini juga sangat
membutuhkan pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah. Sungguh,
wahai Abu Abdi Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan
lebih mampu daripada dirimu.’
Walid berkata, ‘Ayolah Utsman, jika kamu berkenan, kembalilah masuk ke
dalam perlindunganku.’
‘Terima kasih!’ jawab Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.
Ibnu Mazh’ud meninggalkan tempat itu, tempat terjadinya peristiwa
tersebut dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar
memancarkan keteguhan hati dan kesejahteraan serta penuh harapan. Di tengah
jalan menuju ke rumahnya, dengan gembira ia mendendangkan syair:
Andaikata dalam mencapai keridhaan Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil mulhid
Maka Dzat Yang Maha Pengasih telah menyediakan imbalannya
Karena, siapa yang diridhai-Nya pasti berbahagia
Wahai umat, walau menurut katamu aku ini sesat
Aku akan tetap dalam agama Rasul, Muhammad
Tujuanku tiada lain hanyalah Allah
dan agama yang benar
Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena”
Seperti itulah cara Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan
utama yang memang layak dan sewajarnya. Demikian pula lembaran kehidupan ini
menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum
semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang
abadi dan memesona, “Demi Allah, sebelah mataku yang sehat
ini sangat merindukan pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah dan
saat ini aku dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripada
dirimu.”
Setelah Utsman mengembalikan perlindungan kepada Al-Walid, ia pun mendapatkan siksaan dari orang-orang
Quraish. Tetapi, dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia. Siksaan itu
tidak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan
bertambah murni. Ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak
gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya.
Utsman berhijrah ke Madinah hingga tidak diusik lagi oleh Abu Jahal,
Umayyah, Utbah, atau oleh tokoh-tokoh Quraish lainnya yang sejak lama telah
menyebabkan mereka tidak dapat memejamkan mata di malam hari, dan bergerak
bebas di siang hari. Ia berangkat ke Madinah bersama rombongan para shahabat
utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian
yang telah mencapai puncak kesulitannya dan kesukarannya. Dari pintu gerbang
yang luas dari kota itu nanti mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh
pelosok bumi, membawa dan mengibarkan panji-panji Ilahi, serta menyampaikan
berita gembira dengan kalimat-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya.
Di kota hijrah Al-Madinah Al-Munawwarah itu, kepribadian Utsman bin
Mazh’un yang tidak ubah bagai batu permata yang telah diasah itu terlihat
jelas, dan kebesaran jiwanya yang istimewa tampak nyata. Ia adalah seorang ahli
ibadah. Seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah. Ia adalah orang suci dan mulia lagi bijaksana, yang tidak
mengurung diri untuk tidak manjauhi kehidupan duniawi, tetapi orang suci yang
luar biasa yang mengisi kehidupannya dengan amal dan jihad di jalan Allah. Ia
adalah seorang rahib pada larut malam, dan prajurit berkuda pada waktu siang,
bahkan ia adalah seorang rahib, baik pada waktu siang maupun malam, sekaligus
seorang prajurit berkuda yang berjuang siang dan malam.
Bisa dikatakan bahwa para shahabat Rasulullah pada masa itu semuanya
berjiwa zuhud dan gemar beribadah, tetapi Ibnu Mazh’un memiliki cirri-ciri
khas. Dalam zuhud dan ibadahnya ia sangat tekun dan mampu mencapai puncak
tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya
menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya. Setelah
merasakan manisnya keasyikan beribadah itu, ia hendak memutuskan hubungan
dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia. Ia tidak ingin memakai pakaian
kecuali yang kasar, dan tidak mau makan makanan selain yang sangat bersahaja.
Suatu hari ia masuk masjid,
dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengan kulit
kepala unta saat Rasulullah sedang duduk-duduk dengan para shahabatnya. Hati
Rasulullah pun bagai disayat melihat itu, dan air mata para shahabat mengalir.
Rasulullah bertanya kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, bila kalian
memiliki satu pakaian untuk siang hari dan satu pakaian untuk malam hari,
disediakan satu piring hidangan makanan untuk menggantikan piring lain yang
telah disingkirkan, serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian
sebagaimana diutupnya Ka’bah?”
Mereka menjawab, “Kami ingin hal itu menjadi kenyataan,
wahai Rasulullah, sehingga kami dapat mengalami hidup makmur dan bahagia.”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya hal itu telah terjadi.
Keadaan kalian sekarang ini lebih baik daripada keadaan kalian waktu lalu.”
Ibnu Mazh’un yang turut mendengarkan percakapan itu bertambah tekun
menjalani kehidupan yang sederhana dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan
dunia. Bahkan, menahan diri dan tidak ingin menggauli istrinya seandainya hal
itu tidak diketahui oleh Rasulullah yang segera memanggil dan menyampaikan
kepadanya, “Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai
hak atas dirimu.”
Ubnu Mazh’un sangat disayangi oleh Rasulullah. Rasulullah berada di
sisinya ketika ruhnya yang suci bersiap-siap untuk berangkat menghadap Allah,
untuk menjadi orang muhajirin pertama yang wafat di Madinah, sekaligus orang
pertama yang merintis jalan menuju surga pada masa beliau.
Rasulullah membungkuk mencium kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua
pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi kasih
sayang dan duka cita hingga saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar
ceria. Rasulullah bersabda melepas shahabatnya yang tercinta itu, “Semoga
Allah melimpahkan rahmat kepadamu, wahai Abu Saib. Engkau pergi meninggalkan
dunia, tidak satu keuntungan pun yang kamu peroleh darinya, serta tidak satu
kerugian pun yang dideritanya olehmu.”
Sepeninggal shahabat ini, Rasulullah yang sangat penyayang itu tidak
pernah melupakannya. Beliau selalu mengingat dan memujinya. Bahan, untuk
melepaskan putrid beliau, Raqayyah, yakni ketika nyawanya hendak meninggalkan
jasadnya, beliau mengungkapkan, “Pergilah menyusul pendahulu kita yang
pilihan, Utsman bin Mazh’un.”
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar