Rasulullah berdiri
melepas tentara Islam yang akan berangkat menuju medan Perang Mu’tah, melawan
orang-orang Romawi. Beliau memegang tiga nama yang akan memegang pimpinan
pasukan secara berurutan. Beliau bersabda, “Kalian semua
berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Apabila ia gugur, pimpinan akan
diambil oleh Ja’far bin Abu Thalib; dan seandainya Ja’far gugur pula, komando
hendaklah dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.”
Nah, siapakah Zaid bin Haritsah itu?
Bagaimana orangnya? Siapakah yang mendapatkan julukan sebagai orang kesayangan
Rasulullah itu? Tampang dan perawakannya biasa saja; pendek dengan coklat
kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli
sejarah dan riwayat. Namun, sejarah hidupnya sangat agung.
Haritsah, yang merupakan ayahanda Zaid
telah mempersiapkan kendaraan dan bekal untuk istrinya, Su’da, yang telah lama
berniat mengunjungi keluarganya di kampung Bani Ma’an. Ia keluar untuk melepas
keberangkatan istrinya yang akan pergi dengan membawa anaknya yang masih kecil,
Zaid bin Haritsah. Ketika sang suami telah menitipkan istri dan anaknya kepada
rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan istrinya, dan pulang lagi
rumah dan melanjutkan aktivitas kerja, tiba-tiba perasaan sedih menyelinap di
hatinya, disertai perasaan aneh, yang menyuruh agar ia turut serta mendampingi
anak dan istrinya. Teta[I, tempat tinggalnya jauh dan kafilah pun sudah jauh
meninggalkan kampung itu. Karena itu, sekarang Haritsah harus rela melepas
kepergian putra dan istrinya dalam perjalanan itu.
Ia melepas istri dan anaknya dengan air
mata berlinang. Ia diam terpaku sekian lama di tempat berdirinya sampai istri
dan anaknya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya terguncang,
seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. Ia hanyut dibawa perasaan
seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah.
Setelah beberapa lama Su’da berdiam
bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an, suatu hari desa itu dikejutkan
oleh serangan gerombolan perampok Badui yang menyatroni kampung. Akhirnya,
kampung Bani Ma’an hancur karena tidak dapat mempertahankan diri. Semua harta
yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh perampok
itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka
ibu Zaid kembali kepada suaminya seorang diri.
Ketika Haritsah mengetahui kejadian
tersebut, ia langsung jatuh tak sadarkan diri. Setelah sadar, ia berjalan
mencari anaknya dengan membawa tongkat di pundaknya. Kampung demi kampung
diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang
lewat, barang kali di antara mereka ada yang tahu tentang anaknya tersayang
sekaligus buah hatinya, Zaid. Tetapi, usaha itu tidak berhasil. Untuk menghibur
hati, ia melantunkan syair sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari
lubuk hati yang sedang tersiksa:
Kutangisi Zaid, dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya
Dapatkah ia diharapka hidup, atau telah mati?
Demi Allah, aku tidak tahu, sungguh aku hanya bertanya
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa?
Kala matahari terbit aku terkenang padanya
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma
Hembusan angin membangkitkan kerinduan
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku menjadi merana
Sudah berabad-abad lamanya, perbudakan
dianggap sebagai suatu yang lazim oleh masyarakat pada zaman itu. Itulah yang
terjadi di Athena, di Roma, dan begitu pula di seluruh penjuru dunia, tidak
terkecuali di Jazirah Arab sendiri.
Komplotan perampok yang menyerang desa
Bani Ma’an itu pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokan itu ke
pasar Ukazh yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim
bin Hizam, yang kemudian memberikannya kepada bibinya, Khadijah. Pada waktu itu
Khadijah telah menjadi istri Muhammad bin Abdullah, yang pada waktu itu wahyu
belum turun kepada beliau. Hanya saja, beliau telah memiliki semua sifat agung
yang telah disiapkan oleh takdir untuk menjadi seorang utusan.
Khadijah selanjutnya memberikan Zaid
budaknya itu kepada Rasulullah sebagai pelayan beliau. Beliau menerimanya
dengan senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dengan kepribadian yang agung
dan jiwanya yang mulia, beliau mengasuh dan mendidik Zaid dengan segala kelembutan
dan kasih sayang.
Pada salah satu musim haji, sekelompok
orang dari perkampungan Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekkah. Mereka
menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid pun membalasnya dengan
manyampaikan pesan kerinduan dan salam hormat kepada kedua orang tuanya. Ia
berpesan kepada jamaah haji itu, “Kabarkanlah kepada kedua orang tuaku,
bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”
Saat ayah Zaid mengetahui di mana anaknya
berada, ia segera mengatur perjalanan ke Mekkah bersama seorang saudaranya. Di
Mekkah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad Al-Amin. Setelah
berhadapan muka dengan beliau, Haritsah berkata, “Wahai putra
Abdul Muthalib, wahai putra pemimpin kaumnya, engkau termasuk penduduk Tanah
Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka member makanan para
tawanan. Kami datang kepadamu hendak meminta anak kami. Berbelas kasihlah
kepada kami dan terimalah uang tebusannya seberapa adanya.”
Rasulullah sendiri mengetahui bahwa hati
Zaid telah lekat dan terpaut kepada beliau, tetapi beliau memahami bagaimana
hak seorang ayah terhadap anaknya. Karena itu, beliau bersabda kepada Haritsah,
“Panggillah Zaid ke sini dan biarkanlah ia
menentukan pilihannya sendiri. Bila ia memilihmu, aku akan mengembalikannya
kepadamu tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, demi Allah, aku tidak
akan menerima tebusan untuk orang yang telah memilihku.”
Wajah Haritsah berseri-seri dan tidak
menyangka akan mendengarkan kelapangan hati seperti itu. Ia pun berkata, “Engkau
benar-benar menyadarkan kami dan membuat kami insyaf di balik kesadaran itu.”
Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk
memanggil Zaid. Ketika ia sampai di hadapan Rasulullah, Rasulullah langsung
bertanya, “Apakah engkau siapa orang-orang ini?”
Zaid menjawab, “Ya,
yang ini ayahku dan yang itu pamanku.”
Kemudian Nabi mengulangi lagi persoalan
kebebasan memilih orang yan disenanginya seperti yang telah dikatakan
sebelumnya kepada ayah Zaid. Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak
ada orang pilihanku kecuali engkau. Engkaulah ayah dan pamanku.”
Mendengar itu, kedua mata Rasulullah basah
oleh air mata, karena rasa syukur dan haru. Beliau lalu memegang tangan Zaid,
dan menuntunnya ke pelantaran Ka’bah, tempat orang-orang Quraish banyak
berkumpul. Beliau berseru, “Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai
saat ini, Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku menjadi
ahli warisnya.”
Mendengar itu, hati Haritsah seolah-olah
terbang ke awan oleh perasaan gembira, sebab ia bukan saja telah menemukan
kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, melainkan sekarang diangkat anak
pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraish yang terkenal dengan
sebutah Ash-Shadiq Al-Amin, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk Mekkah
seluruhnya.
Akhirnya, ayah Zaid dan pamannya kembali
kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya kepada seorang
pemimpin Mekkah dalam keadaan aman sentosa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui
apakah ia celaka di lembah atau binasa terkapar di bukit. Rasulullah telah
mengangkat Zaid sebagai anak angkat, sehingga membuat dirinya dikenal di
seluruh Mekkah dengan nama Zaid bin Muhammad.
Suatu hari yang cerah seruan wahyu yang
pertama datang kepada Muhammad:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 1
QS:Al-'Alaq | Ayat: 1
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 2
QS:Al-'Alaq | Ayat: 2
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 3
QS:Al-'Alaq | Ayat: 3
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 4
QS:Al-'Alaq | Ayat: 4
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 5
QS:Al-'Alaq | Ayat: 5
Kemudian susul-menyusul datang wahyu
kepada Rasulullah:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
Hai orang yang berkemul (berselimut),
QS:Al-Muddatstsir | Ayat: 1
QS:Al-Muddatstsir | Ayat: 1
قُمْ فَأَنْذِرْ
bangunlah, lalu berilah peringatan!
QS:Al-Muddatstsir | Ayat: 2
QS:Al-Muddatstsir | Ayat: 2
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
dan Tuhanmu agungkanlah!
QS:Al-Muddatstsir | Ayat: 3
QS:Al-Muddatstsir | Ayat: 3
يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.
QS:Al-Maidah | Ayat: 67
QS:Al-Maidah | Ayat: 67
Tidak lama setelah Rasulullah memikul
tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu itu, Zaid menjadi orang kedua yang
masuk Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama. Rasulullah
sangat sayang kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar,
disebabkan kejujurannya yang tidak ada tandingannya, kebesaran jiwanya,
kelembutan dan kesucian hatinya, disertai terpelihara lidah dan tangannya.
Semua itu, atau yang lebih dari itu,
menjadi hiasan bagi Zaid bin Haritsah atau “Zaid
Tersayang” yang merupakan
julukan untuknya oleh shahabat Rasulullah. Aisyah berkata, “Setiap
Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, ia selalu diangkat
oleh Rasulullah sebagai pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah
Rasulullah, tentulah ia akan diangkatnya sebagai Khalifah.”
Begitu tinggi kedudukan Zaid di sisi
Rasulullah. Siapakah sebenarnya Zaid ini? Seperti yang telah penulis katakan,
ia adalah seorang anak yang pernah ditawan, lalu diperjualbelikan, dan akhirnya
dimerdekakan oleh Rasulullah. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek,
berkulit coklat kemerahan, dan hidung tidak mancung. Namun, ia adalah manusia
yang berhati teguh serta berjiwa merdeka. Karena itulah, ia mendapat tempat
tertinggi di dalam Islam dan di hati Rasulullah. Karena Islam dan utusan yang
membawanya tidak sedikit pun memandang kedudukan yang tinggi itu dari keturunan
yang terhormat maupun penampilan luar, maka dalam keluasan paham agama besar
ini, nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, Ammar, Khabbab, Usamah, dan Zaid
mendulang keduduka yang cemerlang. Mereka semua memiliki kedudukan yang
gemilang, baik sebagai orang-orang saleh maupun sebagai pahlawan perang.
Secara tegas, Islam telah mengumandangkan nilai-nilai hidup dalam kitab
sucinya Al-Qur’an yang mulia:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
QS:Al-Hujuraat | Ayat: 13
QS:Al-Hujuraat | Ayat: 13
Islamlah yang membukakan segala pintu dan
jalan untuk mengembangkan berbagai bakat yang baik dan cara hidup yang suci,
jujur dan diridhai Allah.
Rasulullah menikahkan Zaid dengan Zainab,
anak bibinya. Namun, ternyata kesediaan Zainab memasuki jenjang perkawinan
dengan Zaid hanya karena rasa sungkan bila menolak anjuran dan saran dari
Rasulullah, selain karena tidak sampai hati menyatakan penolakan terhadap Zaid
sendiri. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan mereka tidak dapat bertahan
lama, karena tiadanya tali pengikat yang kuat, yaitu cinta yang ikhlas karena
Allah dari Zainab, sehingga berakhir dengan perceraian.
Akhirnya, Rasulullah mengambil tanggung
jawab terhadap rumah tangga Zaid yang telah pecah itu. Langkah pertama, beliau
merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai istri, kemudian mencarikan istri
baru bagi Zaid dengan mengawinkannya dengan Ummu Kultsum binti Uqbah.
Peristiwa tersebut menimbulkan gejolak
dalam kehidupan social di Madinah. Mereka melemparkan kecaman, mengapa
Rasulullah menikahi mantan istri anak angkatnya sendiri? Tudingan dan kecaman
ini dijawab Allah dengan wahyu-Nya, yang membedakan antara anak angkat dan anak
kandung atau anak adopsi dan anak darah daging sendiri, sekaligus membatalkan
adat yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ
أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
QS:Al-Ahzab | Ayat: 40
QS:Al-Ahzab | Ayat: 40
Dengan demikian, Zaid dipanggil dengan
nama semulanya, yaitu Zaid bin Haritsah. Sekarang, tahukah kalian bahwa
kekuatan lascar Islam yang pernah maju ke medan Perang Ath-Tharaf, Al-Ish,
Al-Hismi, dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah? Begitulah
sebagaimana yang pernah kita dengar dari Ummul Mukminin Aisyah sebelumnya, “Setiap
Rasulullah mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, ia pasti yang diangkat menjadi
pemimpinnya.”
Akhirnya Perang Mu’tah pun tiba waktunya.
Orang-orang Romawi dengan kekaisaran mereka yang tua Bangka secara diam-diam
mulai takut dan cemas terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya
bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan eksistensi mereka. Terutama
di daerah jajahan mereka, Syam, yang berbatasan dengan wilayah agama baru ini,
yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan Negara-negara tetangganya dari
cengkeraman penjajah. Bertolak dari kekhawatiran ini, mereka hendak mencaplok
Syam sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Jazirah Arab dan negeri-negeri
Islam.
Nabi mengetahui gerak-gerik orang Romawi
dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam. Nabi memutuskan
untuk mendahului mereka dengan serangan dan menyadarkan mereka akan keampuhan
perlawanan Islam. Tetntara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam.
Ketika sampai di perbatasan, mereka dihadapi oleh tentara Romawi yang dipimpin
oleh Heraklius, yang mengerahkan kabilah-kabilah Badui yang tinggal di
perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama
Masyarif, sedangkan lascar Islam mengambil posisi di dekat suatu negeri kecil
yang bernama Mu’tah, yang jadi nama pertempuran ini sendiri.
Rasulullah mengetahui benar arti penting
dan urgensi peperangan ini. Karena itu, beliau sengaja memilih tiga orang
panglima perang, yang pada waktu malam bertaqarrub kepada Ilahi, sedangkan
siang hari menjadi pendekar pembela agama. Tiga orang pahlawan yang siap
menjual jiwa raga mereka kepada Allah, mereka yang tiada berkeinginan kembali,
yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, hanya
mengharapkan ridha-Nya Yang Maha Mulia kelak. Mereka bertiga yang secara
berurutan memimpin tentara itu ialah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib,
Abdullah bin Rawahah, semoga Allah ridha kepada merekadan menjadikan mereka
ridha kepada-Nya, serta Allah meridhai pula seluruh shahabat-shahabat yang
lain.
Seperti itulah yang kita saksikan pada
permulaan cerita ini. Rasul sendiri berdiri di hadapan pasukan Islam yang
hendak berangkat. Rasul melepas mereka dengan berpesan, “Kalian
harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah. Seandainya ia gugur, pimpinan dipegang
oleh Ja’far bin Abu Thalib. Seandainya pula Ja’far gugur, kepemimpinan diambil
alih oleh Abdullah bin Rawahah.”
Sekalipun Ja’far bin Abu Thalib adalah
orang yang paling dekat kepada Rasulullah dari segi hubungan keluarga, sebagai
anak pamannya sendiri. Sekalipun keberanian dan ketangkasannya tidak diragukan
lagi, di samping berasal dari keturunan yang terhormat, ia harus menjadi orang
kedua sesudah Zaid, sebagai penglima pengganti, sedangkan Zaid beliau angkat
sebagai panglima pertama.
Beginilah contoh dan teladan yang
diperlihatkan Rasulullah dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu
agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada status
keturunan atau yang ditegakkan di atas dasar bathil dan rasialisme, lalu
menggantinya dengan hubungan baru yang dipimpin oleh hidayah Ilahi yang
berpokok pada hakikat kemausiaan.
Rasulullah seola-olah telah mengetahui apa
yang terjadi dalam pertempuran yang akan berlangsung itu, beliau mengatur dan
menetapkan susunan panglimanya secara berurutan; Zaid, lalu Ja’far, kemudian
Ibnu Rawahah. Ternyata ketiganya menemui Rabb merekasebagai syuhada sesuai
dengan urutan itu pula.
Ketika kaum Muslimin melihat tentara
Romawi yang jumlahnya 200 ribu orang; suatu jumlah yang tidak mereka duga sama
sekali, mereka terkejut. Tetapi, kapankah pertempuran yang didasari iman mempertimbangkan
kuantitas?
Ketika itulah, mereka maju terus tanpa
gentar, tidak peduli dan tidak menghiraukan sebanyak apa pun jumlahnya musuh.
Panglima mereka, Zaid, tampak di depan mengendarai kuda dengan tangkasnya,
sambil memegang kuat panji-panji Rasulullah maju menyerbu laksana topan, di
celah desingan anak panah, ujung tombak, dan pedang musuh. Mereka bukan hanya
semata-mata mencari kemenangan, melainkan lebih dari itu; mereka mencari apa
yang telah dijanjikan oleh Allah, yakni tempat pembaringan di sisi-Nya, sesuai
dengan firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ
اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ
الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ
وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚ وَمَنْ أَوْفَىٰ
بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ
ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual
beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
QS:At-Taubah | Ayat: 111
QS:At-Taubah | Ayat: 111
Zaid tidak sempat melihat pasir Baqa’,
bahkan tidak mengetahui keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat
keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau bergelombang laksana
kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya bahwa itulah hari istirahat dan
kemenangannya. Ia telah terjun ke medan laga menerjang, menebas, membunuh atau
dibunuh. Tetapi, ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya. Ia hanyalah
membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian;
surga yang kekal di sisi Allah.
Ia telah menemui tempat peristirahatannya
yang terakhir. Ruhnya yang melayang dalam perjalanannya ke surga tersenyum
bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera, melainkan hanya berbalut
darah suci yang mengalir di jalan Allah. Senyumnya semakin melebar dengan
tenang penuh niknat, karena melihat panglima yang kedua, Ja’far, melesat maju
ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya, untuk menyambar panji-panji
yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ke tanah.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar