Minggu, 08 Desember 2013

Kondisi Jazirah Arab saat Muhammad diutus

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Selama dua abad lebih, tepatnya dari abad VI-VII M, umat manusia hidup dalam suasana kelaliman dan kebodohan. Di segenap penjuru merenbak ketiadaan agama, penyembahan berhala, takhayul, fanatisme, dan berbagai bentuk penyimpangan social serta penyalahgunaan kekuasaan. Di sisi lain, telah disimpangkan pula pemikiran-pemikiran dan ajaran kebenaran, baik yang datang dari para nabi dan utusan Allah maupun dari para ahli hikmah, yang secara fitrah senantiasa berpegang kepada nilai-nilai kebajikan. Realitas ini digambarkan Rasulullah dalam sabdanya berikut, “Sesungguhnya Allah telah melihat keadaan para penghuni dunia ini sehingga Dia sangat murka terhadap mereka, bangsa Arab maupun non-Arab, kecuali sisa-sisa Ahli Kitab.

     Di beberapa halaman berikut, penulis (Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad) akan memaparkan dengan ringkas kondisi umat manusia sepanjang periode tersebut. Tak lain adalah untuk menerangkan pentingnya ajaran yang dibawa Muhammad dengan segala doktrin dan nilai moralnya sebagai salah satu unsure dan elemen terpenting dalam proses pembangunan peradaban manusia.


     1.  Kondisi Politik

a.  Kekuasaan di Yaman
    Kabilah tertua dari bangsa Arab Aribah yang terkenal di Yaman adalah kaum Saba’, salah satu kaum yang diceritakan di dalam Al-Qur’an. Peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka di Yaman Berjaya selama 11 abad dan berakhir pada 300 M, saat kabilah Himyar berhasil menaklukan kerajaan mereka. Setelah itu, Yaman mulai mengalami kemunduran dan satu per satu kabilah Qahthaniyyah melakukan eksodus ke berbagai Negara.

     Berbagai bentuk kekacauan dan perang saudara mendera mereka selama rentang waktu 270 tahun sebelum Islam masuk ke Yaman. Kondisi itulah yang menyebabkan orang-orang asing menjajah mereka. Bangsa Romawi berhasil masuk ke Aden. Dengan bantuan mereka, kabilah-kabilah dari Habasyah berhasil menjajah Yaman untuk pertama kalinya pada tahun 340 M, dengan memanfaatkan persaingan yang terjadi antara kabilah Hamadan dan Himyar. Penjajahan terhadap Yaman berlangsung sampai tahun 378 M. setelah itu, negeri itu merdeka. Akan tetapi, belum lama kemerdekaan itu mereka nikmati, Allah mengirimkan air bah kepada mereka pada tahun 450 atau 451 M. akibatnya, bendungan Sidda Ma’rib yang pernah dijadikan Allah sebagai sumber kenikmatan dan kebahagiaan mereka hancur. Itu terjadi karena kezaliman, kecongkakan, dan kemaksiatan yang merebak di tengah-tengah mereka. Demikianlah sunnatullah yang terjadi karena faktor-faktor seperti itu.

     Pada tahun 523 M, Raja Dzu Nuwas menekan kaum Nasrani agar meninggalkan agama mereka. Namun, mereka memilih enggan dan melawan. Maka dengan kejam Dzu znuwas membuat parit-parit dan menyalakan api di dalamnya. Lantas, ia membakar mereka di dalam parit-parit tersebut. Orang-orang itulah yang diceritakan Allah dalam firman-Nya:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ
Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 4
النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ
yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 5
إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ
ketika mereka duduk di sekitarnya,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 6
وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ
sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.
QS:Al-Buruuj | Ayat: 7
وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,
QS:Al-Buruuj | Ayat: 8

     Peristiwa ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Romawi membujuk Habasyah agar menjajah Yaman untuk kedua kalinya. Akhirnya, di bawah komando Aryath, bangsa Habsyah menjajah Yaman kembali pada tahun 525 M. Aryath menjadi penguasa Yaman sampai terbunuh oleh sebuah konspirasi yang disusun oleh Abrahah, salah satu komandan pasukannya. Setelah itu, Abrahah memperoleh mandate dari Habasyah untuk menggantikan kedudukan Aryath. Diriwayatkan, tak lama kemudian Abrahah berupaya menghancurkan Ka’bah di Mekkah. Namun, niatnya tidak tercapai. Allah terlebih dahulu membinasakan dia dan seluruh pasukannya, seperti dikisahkan di QS Al-Fil.

     Untuk melawan Habasyah, bangsa Yaman meminta bantuan Persia. Pada tahun 575, dengan dipimpin oleh Ma’di Karb, Persia membantu Yaman dan berhasil mengusir pasukan Habasyah. Selanjutnya mereka mengangkat Ma’di Karb sebagai raja mereka. Saat itu, ia menyisakan beberapa orang dari Habasyah untuk dijadikan pelayannya. Akan tetapi, mereka justru berkhianat dan membunuhnya. Dengan kematiannya ini, terputuslah kekuasaan dari keluarganya. Maka sejak itu, Kisra Persia menempatkan seorang pejabatnya di kota Shan’a dan memasukkan Yaman ke dalam wilayah kedaulatan Persia. Adapun pejabat terakhir dari Persia yang berkuasa di Yaman adalah Bazan. Pejabat ini akhirnya masuk Islam, dan dengan keislamannya ini pengaruh Persia di Yaman berangsur-angsur lenyap. Diriwayatkan, Bazan memeluk Islam pada bulan Jumadil Awal pada tahun 7 H/627 M.


b.   Kekuasaan di Hirah
     Persia berkuasa atas Iraq dan beberapa wilayah di sekitarnya setelah Qurusy Al-Kabir atau Cyrus Agung (557-529 SM) berhasil menyatukan mereka. Namun, pada tahun 326 SM, Iskandar Al-Maqduni atau Alexander Agung berhasil memecah kekuatan tersebut setelah ia membunuh raja mereka yang bergelar Dara I. sejak itu, negeri tersebut berada di bawah kekuasaan Ath-Thawa’if sampai tahun 330 M. Pada masa kekuasaan Ath-Thawa’if inilah beberapa suku Qahthan melakukan eksodus dan menetap di wilayah pinggiran Iraq. Tak lama kemudian, kaum Adnaniyin bergabung dengan mereka sehingga wilayah tersebut menjadi ramai. Bahkan sebagian dari mereka terpaksa harus menempati salah satu kawasan Al-Furatiyah (Eufrat).

     Ardasyir Al-Farisi (pendiri dinasti Sassanid sejak tahun 226 M) berhasil mempersatukan Persia dan menguasai bangsa Arab yang tinggal di daerah kekuasaannya. Inilah penyebab perginya kabilah Qudha’ah ke Syam. Bersamaan dengan itu, kaum Hirah dan Anbar juga tunduk pada kekuasaan Ardasyir. Karena merasa kesulitan mengatur daerah-daerah yang jauh, Ardasyir mengangkat seorang raja dari salah satu warga mereka, yaitu Judhaimah Al-Wadhdhah. Dalam menjalankan pemerintahan, Judhaimah dibantu oleh sekretaris berkebangsaan Persia. Hal ini disengaja untuk menghadang masuknya kepentingan-kepentingan Romawi dan bangsa Arab dari Syam yang telah dipersatukan oleh Romawi.

     Salah satu raja Hirah yang cukup termahsyur adalah Nu’man bin Al-Mundzir, raja yang akhirnya mengorbankan semangat perlawanan terhadap Persia. Ia menyerang tentara Persia di sebuah tempat yang bernama Dzu Qar setelah kelahiran Rasulullah. Terkait dengan peristiwa ini, Rasulullah bersabda, “Ini adalah kali pertama bangsa Arab ini bersih dari kekuasaan asing, dan karena diriku mereka menang.


c.   Kekuasaan di Syam
     Pada saat di jazirah Arab terjadi gelombang eksodus kabilah-kabilahnya, suku-suku dari kabilah Qudha’ah pergi ke daerah pegunungan Syam dan menetap di tempat-tempat tersebut. Mayoritas dari mereka berasal dari kerabat Bani Salih bin Hilwan. Salah satu sukunya yang terkenal adalah Bani Dhaj’am bin Salih, atau lebih dikenal dengan bani Dhaj’amah. Tak lama kemudian, mereka dipersatukan oleh Romawi untuk mencegah punahnya bangsa Arab daratan, sekaligus dijadikan buffer terhadap Persia. Untuk kepentingan itu, mereka mengangkat salah satu daro mereka menjadi raja. Kekuasaan ini sempat bertahan cukup lama dan mengalami pergantian raja berkali-kali sebelum mereka dikalahkan oleh bangsa Ghassasinah. Meskipun demikian, dalam menjalankan pemerintahan, Ghassasinah masih tunduk pada pengawasan Romawi sampai terjadinya peristiwa Yarmuk tahun 13 H/634 M. raja terakhir mereka adalah Jabalah bin Aiham. Ia masuk Islam pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khatthab.


d.   Kekuasaan di Hijaz
     Di wilayah ini hampir belum pernah ada satu kekuasaan yang tumbuh dan pantas disebut Negara. Hanya saja, di negeri ini berdiri banyak kota, dan masing-masing memiliki system pemerintahan yang lebih mendekati pola kekuasaan Al-Masyikhah (pucuk pimpinan dipegang oleh seorang syaikh), bukan system kerajaan. Di antara kota-kotanya yang terkenal adalah Mekkah, Yatsrib (sekarang Madinah), dan Tha’if.

  •    Mekkah
     Pada awal pembahasan ini kita sudah mengkaji salah satu bagian dari sejarah perkembangan kota Mekkah. Disebutkan, penduduk aslinya adalah kabilah Jurhum. Ada juga yang mengatakan bukan Jurhum, melainkan kabilah Amaliq yang saat itu masih tinggal di pinggiran kota Mekkah.

     Sepeninggal Isma’il a.s., kabilah Jurhum tidak bisa menjaga kemuliaan tanah haram. Di Mekkah merebak berbagai macam kemaksiatan dan kerusakan moral. Mereka bahkan berani mencuri harta kekayaan Ka’bah, yaitu harta dari persembahan orang-orang kepadanya. Disebutkan pula, kala itu mata air Zam-zam mongering dan tidak lagi mengeluarkan air lagi sehingga kemahsyuran sumur Zam-zam akhirnya lenyap dengan sendirinya.

     Setelah diterpa banjir besar, bangsa Arab Yaman tercerai-berai ke berbagai Negara. Di antara mereka adalah Tsa’labah bin Amru bin Amir. Bersama kaumnya, ia pergi ke Mekkah. Akan tetapi, kabilah Jurhum menolak mereka sehingga terjadi pertempuran yang berakhir dengan kekalahan Jurhum. Sejak itu, Mekkah berada di bawah kekuasaan Tsa’labah.

     Ketika suatu ketika jatuh sakit,  Tsa’labah pun pulang ke Syam. Ia menyerahkan pemerintahan Mekkah dan kekuasaan atas Ka’bah kepada putra saudaranya, Rabi’ah bin Haritsah bin Amru, yaitu Luhai. Adapun kaumnya dikenal dengan sebutan kaum Khuza’ah. Saat itu, keluarga Isma’il bin Ibrahim sudah bisa membaur dengan keluarga Tsa’labah. Bahkan mereka juga telah melupakan pertempuran yang pernah terjadi di antara mereka.

     Kaum Khuza’ah berkuasa atas urusan Ka’bah selama hampir 300 tahun, bahkan ada yang menyebut hampir 500 tahun. Saat itu kaum Quraish masih tersebar di antara bani Kinanah dan belakangan dipersatukan oleh Qushay bin Kilab. Dengan kekuatan ini, Qushai mencetuskan peperangan melawan kam Khuza’ah untuk merebut kekuasaan atas Ka’bah. Dalam perang tersebut, kaum Quraish dibantu oleh kabilah Qudha’ah dan beberapa kabilah Arab lainnya. Peperangan diakhiri dengan perjanjian yang a lot dan menghasilkan penyerahan kekuasaan atas Ka’bah kepada Qushai bin Kilab. Sejak itulah kaum Quraish mulai diakui keberadaannya dan makin disegani di kalangan bangsa Arab.

     Qushai membagi Mekkah menjadi empat daerah kekuasaan di antara kaumnya. Ia juga membagi-bagikan kekuasaan di Mekkah kepada para pemua Quraish, hampir semuanya pada posisi petinggi. Ada yang memegang urusan keamanan Ka’bah, urusan air, urusan pelayanan Ka’bah, maupun urusan militer. Qushai juga mendirikan sebuah lembaga peradilan untuk menyelesaikan setiap perselisihan dan pelanggaran yang terjadi. Lembaga tersebut terkenal dengan sebutan Darun Nadwah. Adapun yang memimpin setiap pertemuan dan menangani segala urusannya adalah Qushai sendiri. Selain itu, Qushai juga mewajibkan segenap kaum Quraish untuk membayar pajak tahunan guna memberi makan kaum fakir dan jamaah haji.

     Setelah merasa uzur, Qushai menyerahkan semua pemerintahan dan kepemimpinan kepada putra sulungnya, Abdud Dar. Adapun sepeninggal Abdud Dar dan saudara-saudaranya, keturunan mereka saling berebut jabatan. Walhasil, mereka terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok pendukung Bani Abdud Dar dan kelompok pendukung Bani Abdu Manaf.

     Dikisahkan, sewaktu melakukan bai’at, para pendukung Bani Abdu Manaf menaruh tangan mereka di atas sebuah mangkok besar berisi wewangian. Setelah itu, mereka berdiri dan mengusapkan tangan mereka ke tiang-tiang Ka’bah. Mereka menamakan peristiwa ini Bai’at Mutayyabun.

     Lain halnya dengan Bani Abdud Dar dan pendukungnya. Mereka menyediakan mangkok besar yang penuh dengan darah, lalu melakukan seperti apa yang dilakukan pendukung Bani Abdu Manaf ke Ka’bah. Mereka menyebut bai’at mereka Bai’at Al-Ahlaf.

     Untunglah, akhirnya kedua kelompok itu bisa berdamai dan sepakat untuk memberikan hak pengurusan makanan dan air kepada Bani Abdu Manaf, sedangkan hak pengamanan Ka’bah, kepemimpinan militer, dan Darun Nadwah diberikan kepada Bani Abdud Dar. Di kalangan Bani Adu Manaf, kedudukan itu dibagi lagi di antara Hasyim dan saudaranya, Abdu Syams. Urusan air dan makanan untuk Hasyim dan kepemimpinan militer untuk Abdu Syams.

     Pamor Hasyim semakin bersinar di tengah-tengah kaumnya. Hal itu membuat kemenakannya yang bernama Umayyah bin Abdu Syams merasa iri. Ia berupaya menyaingi Hasyim dalam memberikan makanan kepada jamaah haji, tetapi upayanya gagal sehingga justru dicibir oleh kaumnya. Akibatnya, kedengkian kian mengkristal terhadap pamannya, Hasyim.

     Setelah Hasyim meninggal, urusan air dan makanan untuk jamaah haji diteruskan oleh adiknya, Muthalib. Selanjutnya, sepeninggal Muthalib, posisi itu digantikan oleh kemenakannya, Abdul Muthalib bin Hasyim. Setelah Abdul Muthalib meninggal, tugasnya diambil alih oleh putranya, Abbas bin Abdul Muthalib. Oleh Rasulullah, tepatnya setelah penaklukan Mekkah, penanganan kedua urusan itu tetap dipercayakan kepada Abbas bin Abdul Muthalib.

     Sementara itu, Bani Abdud Dar mewarisi hak keamanan Ka’bah, kemiliteran, dan kepemimpinan Darun Nadwah. Setelah penaklukan Mekkah, Rasulullah mempercayakan urusan keamanan Ka’bah kepada mereka dan menyerahkan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah. Bahkan hingga kini urusan tersebut masih dipercayakan kepada mereka. Diriwayatkan firman Allah yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
QS:An-Nisaa | Ayat: 58

     Terkait dengan peristiwa di atas. Terkait dengan pendapat ini, Ath-Thabari tidak mengingkarinya, bahkan mengutip beberapa pendapat lain yang senada.

  •  Yatsrib (Madinah)

     Yang pertama kali menempati Yatsrib adalah kabilah Amaliqah. Beberapa waktu kemudian, beberapa golongan Yahudi berhasil menguasai mereka dan akhirnya menetap di Yatsrib. Hal ini terjadi sekitar abad I dan II Masehi, tepatnya setelah berlangsungnya sejumlah peperangan yang dikobarkan oleh Romawi melawan bangsa Yahudi di Suriah. Akibat peperangan tersebut, bangsa Yahudi Suriah tercerai-berai. Beberapa kabilahnya, termasuk Bani Nadhr dan Bani Quraidhah, mengungsi ke Yatsrib dan menetap di sana. Selang beberapa waktu kemudian, kabilah Aus dan Khazraj dari Yaman bergabung dengan mereka, yaitu setelah Sidda M’rib hancur lebur diterjang banjir.

     Cukup lama bangsa Yahudi hidup tenteram berdampingan dengan kabilah Aus dan Khazraj. Bahkan mereka pernah membuat perjanjian untuk saling menjaga di antara mereka. Namun, ketika kabilah Aus dan Khazraj semakin kuat, Yahudi Yatsrib memupuk dendam dan amarah. Mereka akhirnya melanggar perjanjian yang telah mereka sepakati. Melihat itu, bangsa Aus dan Khazraj meminta bantuan militer dari keturunan paman-paman mereka dari Bani Ghassanah. Demi menjaga keluarga agar tidak dikuasai oleh bangsa Yahudi, mereka pun mengirimkan bantuan tentara yang cukup besar.

     Pada awalnya, Kabilah Aus dan Khazraj bisa hidup berdampingan dengan damai selama beberapa waktu. Namun, setelah itu mulai terjadi pertikaian dan peperangan di antara mereka. Dalam rentetan peperangan yang cukup lama, kabilah Khazraj lebih sering menang. Karena itu, kabilah Aus berusaha menjalin persekutuan dengan kaum Quraish untuk melawan Khazraj. Namun, mereka gagal sehingga upaya mencari dukungan dialihkan kepada Bani Quraidzah dan Bani Nadhr.

     Kabila Khazraj mengetahui hal ini. Mereka kemudian mengirimkan utusan kepada kedua kelompok Yahudi tersebut untuk meminta kejelasan sikap mereka. Dalam jawabannya, mereka mengatakan tidak ingin berperang dengan Khazraj. Akan tetapi, kabilah Khazraj belum yakin dengan jawaban tersebut dan ingin membuktikannya. Mereka meminta golongan Yahudi Yatsrib agar mengirimkan 40 orang pemuda sebagai tawanan atau jaminan. Golongan Yahudi memenuhi permintaan itu. Namun, setelah 40 pemuda diserahkan, Khazraj belum juga percaya. Mereka bahkan meminta golongan Yahudi untuk memilih satu di antara dua: meninggalkan Yatsrib atau 40 pemuda itu dibunuh.

     Golongan Yahudi sepakat untuk meninggalkan Yatsrib. Akan tetapi, Ka’ab bin Asad Al-Qurazhi berhasil membujuk mereka untuk tetap tinggal dan membiarkan para pemuda tadi dibunuh. Akhirnya, kabilah Khazraj benar-benar membunuh para tawanan tersebut. Akibatnya, golongan Yahudi marah besar dan menyatakan diri bersekutu dengan kabilah Aus. Mereka membantu kabilah Aus dalam perang Bu’ats. Pertempuran ini dimenangkan oleh Aus setelah berhasil menjatuhkan banyak korban di pihak Khazraj.

     Tak lama kemudian, kedua pihak berdamai dan sepakat untuk mendirikan sebuah pemerintahan bersama yang bertujuan untuk menciptakan keteneraman di Yatsrib. Kepemimpinan pemerintahan baru ini akan diserahkan kepada Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Khazraji.

     Pada saat mereka tengah mempersiapkan realisasi rencana tersebut, tibalah Muhammad di Madinah. Ternyata mayoritas penduduk Madinah memilih untuk patuh pada pemerintahan Islam. Abdullah bin Ubay sebenarnya tidak setuju dengan hal tersebut. Namun, karena mayoritas sepakat demikian, ia pun dengan setengah hati masuk Islam. Hal itu terlihat jelas setelah terjadinya Perang Badar. Sejak saat itu, sikap dan tindakannya semakin memperjelas kemunafikannya, sebagaimana penulis akan terangkan nanti. Bahkan ia termasuk salah satu yang disepakati kemunafikannya oleh seluruh ulama hadits, tafsir, sirah, dan siyar.

     Sikap berbeda ditunjukkan oleh pemimpin Aus, Abu Amir bin Shaifi bin Nu’man, putra Abu Handhalah Al-Ghasil. Ia dengan tegas untuk menolak masuk Islam dan tetap dalam kekufurannya. Ia pun pergi ke Mekkah dan terus ke Thaif. Dari Thaif, ia menuju Romawi dan Syam. Setiap langkah dalam perjalanannya dilakukan dalam rangka menghancurkan agama Islam. Disebutkan bahwa sebelum Islam datang (pada zaman Jahiliyyah), Abu Amir adalah seorang pendeta Yahudi sehingga orang-orang sering memanggilnya rahib. Terkait dengan panggilannya ini, Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian senut ‘rahib’ tetapi sebutlah ‘fasiq’.

  •  Thaif

     Pada zaman jahiliyyah, kota Thaif lebih dikenal sebagai kota Waj. Nama ini dinisbatkan kepada Waj bin Abdil Hai, seorang pemuka Bani Amaliqah yang merupakan penduduk asli daerah tersebut. Pada tahap berikutnya, datanglah kabilah Hawazin dari lembah Qura untuk menetap di situ pula. Pemimpin kabilah ini, Qasab bin Munabbih bin Bakar bin Hawazin, akhirnya menikah dengan anak gadis Waj Amir Al-Adwani. Anak keturunan Qasab inilah yang nantinya dikenal sebagai Bani Tsafiq.

     Setelah berkembang semakin banyak, Bani Tsafiq membangun pagar mengelilingi kota layaknya sebuah benteng. Mereka menyebut pagar ini Thaif (yang mengelilingi), sebab pagar ini mengelilingi kediaman mereka. Maka sejak saat itu, kota ini lebih dikenal sebagai kota Thaif.

     Setelah kedatangan Islam, Bani Tsafiq terpecah menjadi dua kelompok: Bani Malik dan Al-Ahlaf. Kedua kelompok ini saling bermusuhan, bahkan sampai terjadi perang di antara keduanya. Peperangan dimenagkan oleh Al-Ahlaf, dan mereka berhasil mengusir Bani Malik sampai di sebuah lembah yang berada di pinggiran kota Thaif. Tak lama kemudian, Bani Malik menyusun kekuatan baru dengan menyatukan beberapa kabilah lain (termasuk kabilah Daus dan Khats’aman) untuk menyerang Al-Ahlaf. Namun demikian, setelah itu justru tidak pernah terjadi peperangan yang cukup berarti di antara mereka.



     2.  Kondisi Keagamaan Bangsa Arab di Jazirah Arab

     Keluarga Khuza’ah berkuasa atas Ka’bah selama kurang lebih 300 tahun, ada juga yang mengatakan sampai 500 tahun. Akan tetapi, mereka adalah kaum yang menyakahgunakan kekuasaannya atas Ka’bah. Mereka inilah yang pertama kali menaruh barhala-berhala di Ka’bah dan menjadi kaum penyembah berhala yang pertama di Hijaz. Hal itu awalnya dirintis oleh pemimpin mereka, Amru bin Luhay. Kisahnya sebagai berikut:

     Saat berkunjung ke Syam, ia berjumpa dengan kabilah Amaliq di Muab, salah satu wilayah Balqa’, yang menyembah berhala. Mereka mengatakan kepadanya bahwa berhala-berhala itu bisa menurunkan hujan dan mendatangkan pertolongan kepada mereka.

     Usai mendengar penjelasan hal itu, Amru bin Luhay meminta mereka untuk memberikan satu berhala kepadanya. Mereka pun memberikannya salah satu berhala mereka yang bernama Hubal. Ia membawa berhala itu ke Mekkah, lalu mengenalkannya kepada penduduknya dan meminta mereka menyembah dan memujanya. Karena ia seorang penguasa yang disegani, perintahnya pun ditaati oleh banyak orang.

     Pada masa pemerintahan Khuza’ah ini, anak keturunan Isma’il (Bani Isma’il) berkembang dan berangsur-angsur menyebar ke seluruh penjuru jazirah Arab. Dalam soal agama atau peribadatan, mereka memiliki tradisi tersendiri. Diriwayatkan bahwa ke mana pun pergi untuk menetap di suatu daerah, mereka selalu membawa sebongkah batu dari tanah Haram sebagai penghormatan terhadap tanah Haram. Di tempat mereka yang baru, batu-batu tersebut diletakkan di tempat khusus, dan pada waktu-waktu tertentu mereka mengelilinginya seperti orang thawaf mengelilingi Ka’bah. Ritual semacam ini terus berjalan sampai akhirnya terkikis dengan sendirinya dan kemudian tergantikan oleh ritual penyembahan terhadap batu-batu yang mereka pahat dengan bagus. Begitulah, mareka benar-benar lepas dan tercabut dari akar agama Ibrahim.

     Ditengah-tengah mereka terdapat banyak sekali berhala. Di antara nama-nama berhala yang terkenal adalah Wadd milik Bani Kilab bin Murrah di Dumatul Jandal, Suwa’ milik Bani Hudzail bin Rahath (berjarak kira-kira tiga malam perjalanan dari Mekkah), Yaghuts milik Bani An’am dari wilayah Thaiy’ dan golongan Jurasy yang tinggal di wilayah Madzhij Al-Yamaniyah, Ya’uq milik Bani Khaiwan Al-Hamdaniyah, Nasr milik kabilah Kila’ Al-Himyariyah.

     Berhala-berhala inilah yang dulu pernah disembah oleh kaum Nuh. Kisah ini diceritakan di dalam Al-Qur’an, yaitu dalam firman-Nya:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa´, yaghuts, ya´uq dan nasr".
QS:Nuh | Ayat: 23
وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا ۖ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا
Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.
QS:Nuh | Ayat: 24

     Demikianlah, serta meninggalkan ajaran Ibrahim, anak cucu Isma’il dan kabilah-kabilah Arab pun menyembah berhala-berhala tersebut.

     Di tempat terpisah, kabilah Khaulan memiliki sebuah patung berhala yang bernama Ammu Anas, atau ada yang menyebutnya Umyanus. Mereka berkeyakinan bahwa mereka harus memberikan sebagian dari binatang ternak dan hasil pertanian mereka kepada berhala Ammu Anas dan sebagian lagi kepada Allah. Terkait dengan perilaku mereka ini, Allah berfirman:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا ۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَائِهِمْ ۗ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.
QS:Al-An'am | Ayat: 136

     Bani Malakan bin Kinanah memiliki sebuah berhala bernama Sa’ad. Demikian pula dengan Bani Daus. Berhala mereka adalah sebuah patung milik Amru bin Hamamah Ad-Dausi. Sedangkan kabilah Quraish, selain memiliki berhala bernama Hubal, mereka memiliki dua berhala lain,yaitu Isaf dan Na’ilah. Kedua berhala ini diletakkan di sekitar Zamzam. Mereka selalu melakukan penyembelihan binatang kurban untuk keduanya. Tentang kedua berhala ini, Aisyah ra berkata, “Kami masih mendengar kisah bahwa Isaf dan Na’ilah adalah seorang lelaki dan perempuan dari kabilah Jurhum yang membuang hajat di Ka’bah sehingga Allah mengubah keduanya menjadi dua buah batu.

     Fenomena lain, saat itu setiap keluarga pasti memiliki satu berhala untuk disembah setiap hari. Mereka mengusap patung tersebut setiap kali hendak bepergian dan sepulang dari bepergian. Maka dari itu, ketika Allah mengutus Rasulullah dengan membawa ajaran Tauhid (pengesaan Tuhan), mereka pun mengolok-oloknya. perkataan mereka tercantum dalam Al-Qur’an Al-Karim:

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.
QS:Shaad | Ayat: 5
     Dalam Shahih Bukhari disebutkan, Abu Raja’ Al-Atharidi menceritakan, “Pada saat kami hidup di zaman Jahiliyyah, apabila tidak menemukan batu, kami membuat gundukan tanah. Setelah itu, kami datang membawa kambing ke tempat itu lalu memerah susunya di atasnya, kemudian berthawaf mengelilinginya.

     Ibnu Katsir meriwayatkan beberapa hadits shahih yang menceritakan perihal peribadatan baru yang dibuat oleh Amru bin Luhay dan diikuti masyarakat Arab hingga mereka menjadi sangat sesat. Beberapa riwayat itu antara lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim berikut ini. Rasulullah bersabda, “Aku bermimpi melihat Amru bin Amir Al-Khuza’I (Amru bin Luhay) tengah menyeret sebatang kayu di dalam neraka. Ia adalah orang pertama yang meninggalkan orang-orang yang ditinggalkan…

     Adapula hadits riwayat Ibnu Ishaq yang lebih detail dan ber-sanad shahih sebagai berikut, “…ia (Amru bin Luhay) adalah orang yang pertama kali mangubah ajaran Isma’il, lalu mengangkat berhala-berhala, mengiris lautan, meninggalkan orang-orang yang ditinggalkan, menyambungkan penyambung, dan menjaga orang yang menjaga.

     Allah telah berulangkali menyangkal kepercayaan itu di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Allah berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
QS:An-Nahl | Ayat: 116

     Ibnu Abbas berkata, “Apabila kalian tertarik untuk mengetahui kebodohan masyarakat Arab lebih jauh, bacalah ayat-ayat Al-Ma’idah, tepatnya ayat-ayat setelah ayat 130…Di dalamnya terdapat ringkasan berbagai bentuk Ibadah masyarakat Jahiliyyah dan dampak negatifnya bagi kehidupan social mereka.

     Pada waktu yang sama, ajaran-ajaran Ibrahim yang tersisa di tengah-tengah masyarakat Arab tinggal sedikit sekali. Di antaranya: penghormatan terhadap Ka’bah, thawaf di sekelilingnya, beribadah haji dan umrah, wukuf di Arafah dan Muzdalifah, dan penyembelihan binatang kurban. Beberapa ajaran yang tersisa ini pun sudah mereka cemari dengan unsure-unsur kemusyrikan yang tidak diajarkan dalam agama Ibrahim.

     Kaum Kinanah dan Quraish misalnya, dalam ibadah haji dan umrahnya mengucapkan talbiyah seperti ini, “Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali satu sekutu-Mu. Ebgkau memilikinya dan apa yang ia memiliki.” Terlihat jelas salam talbiyah ini bahwa mereka mentauhidkan Allah, tetapi kemudian menyertakan berhala-berhala sebagai sekutu-Nya dan menjadikan kepemilikan atas berhala-berhala tersebut kepada-Nya. (Ibnu Ishaq, tanpa sanad, Ibnu Hisyam, 1, hlm.22)

     Anda juga dapat menemukan sebuah hadits yang memperlihatkan bagaimana orang-orang Arab memasukkan unsure-unsur kemusyrikan pada talbiyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan riwayat hasan. Ada pun kalimatnya sebagai berikut, “Dan setan selalu membisikkan sesuatu kepada manusia untuk memalingkan mereka (masyarakat Arab) dari Islam. Bahkan, ia memasukkan kata-kata syirik ke dalam kaimat talbiyah mereka seperti ini, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali seorang sekutu-Mu. Di mana Engkau memilikinya apa yang ia miliki.’ Ia akan ters menggoda mereka sampai mereka keluar dari Islam dan berada dalam kemusyrikan.

     Sedangkan dalam hal pemuliaan Ka’bah, masyarakat Arab mencemarinya dengan membuat rumah-rumah berhala khusus (Thaqut) yang mereka muliakan sebagaimana Ka’bah. Mereka menyelenggarakan kepengurusan khusus untuk rumah-rumah berhala itu, memberikan persembahan kepadanya, berthawaf mengelilinginya, dan menyembelih binatang kurban di dalamnya.

     Di antara rumah-rumah berhala yang termahsyur adalah sebagai berikut:

  1.          Rumah berhala Uzza milik kaum Quraish dan Kinanah di Nakhla. Kepengurusan rumah ini diserahkan kepada Bani Syaiban, sekutu Bani Hasyim dan Sulaim.
  2.          Rumah berhala Latta milik kabilah Tsaqif di Thaif. Tugas dan tanggung jawab atas segala urusan rumah ini diserahkan kepada Bani Mu’tab, salah satu puak kabilah Tsafiq.
  3.          Rumah berhala Manat milik kabilah Aus dan Khazraj serta orang-orang yang mengikuti ajaran mereka. Rumah ini terletak di daerah Musyallal, Qudaid.

     Berhala-berhala itulah yang disebutkan Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya tentang firman Allah:

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza,
QS:An-Najm | Ayat: 19
وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ
dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?
QS:An-Najm | Ayat: 20

          beberapa rumah berhala lain yang juga cukup dikenal adalah sebagai berikut:

  1.          Rumah berhala Dzul Khalashah milik suku Daus, Kats’am, dan Bajilah. Mereka menyebut rumah berhala ini “Ka’bah Yamaniyah”, sedangkan Baitullah yang ada di Mekkah disebut “Ka’bah Syamiah”.
  2.          Rumah kabilah Falas milik kabilah Thaiy’ dan orang-orang tinggal di dua daerah pegunungan Thaiy’, yaitu Aja dan Salma.
  3.          Rumah berhala Ri’am milik masyarakat Humair dan Yaman.
  4.          Rumah berhala Radha’ milik anak cucu Rabi’ah bin Ka’ab.
  5.          Rumah berhala Dzul Ka’bat milik Bani Bakar dan mayoritas keturunan Wa’il dan Iyadh yang tinggal di wilayah Sindad.

     Selain disebutkan di atas, bangsa Arab memiliki berhala-berhala lain yang sering disebut berbagai buku rujukan sejarah

     Ada beberapa anekdot berkenaan dengan perilaku masyarakat Arab terhadap berhala-berhala mereka. Salah satunya kisah Sa’id bin Abdillah. Alkisah, pada zaman Jahiliyyah Sa’id memahat sendiri patung berhala yang akan disembahnya. Bila pekerjaannya selesai, ia menghirupkan susu kental ke hidung patung itu, kemudian menyiramkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, seekor anjing datang menghampiri patung itu dan menjilatinya. Ironisnya, sesudah itu anjing tersebut mengangkat satu kakinya dan mengencingi berhala tersebut.

     Anekdot lain terjadi pada Bani Hanifah. Pada zaman Jahiliyyah, kaum ini menuat patung-patung berhala mereka dari tepung terigu. Penyembahan mereka terhadap patung-patung berhala dari tepung ini berlangsung selama berabad-abad. Syahdan, ketika mereka diterpa bencana kelaparan, patung-patung sembahan mereka pun mereka makan sendiri. Melihat hal itu, seorang penyair dari Bani Tamim berkata dalam sebuah syairnya:

     “Bani Hanifah telah memakan tuhannnya sendiri,

     Saat bencana kelaparan menimpa mereka.

     Penyair lain mengilustrasi kebodohan mereka itu sebagai berikut:

     “Bani Hanifah memakan tuhan mereka

     Bila paceklik dan kelaparan melanda

     Mereka memakannya tanpa takut akan terjadi malapetaka di tengah-tengah mereka.

     Kisah-kisah lain yang telah tersebar luas adalah kisah kisah seorang penyair Jahiliyyah yang justru menyenandungkan bait-bait syairnya ketika melihat dua ekor serigala mengencingi berhalanya, kisah Umar bin Al-Khatthab yang pernah memakan berhalanya yang terbuat dari kurma yang dihaluskan ketika lapar, dan sebagainya.

     Meskipun hanya kisah dan sebagian besar bukan hadits, cerita-cerita tadi kiranya cukup untuk menggambarkan kondisi kebodohan masyarakat Arab pada zaman Jahiliyyah.

     Selain penyembahan berhala, di Jazirah Arab juga berkembang penyembahan terhadap bintang-bintang dan planet-planet. Ritual ini banyak dilakukan di Haran, Bahrain, dan beberapa wilayah pedalaman. Disebutkan bahwa di kota Mekkah pernah tinggal seorang penyembah bintang. Orang itu bernama Abu Kabsyah dan bintang yang disembahnya bernama tuhan Sya’ra. Ia menyebarkan ajarannya di kalangan kaum Quraish, kemudian diikuti oleh orang-orang dari kabilah Lakhm, Khuza’ah, dan sebagian kecil orang Quraish. Itu sebabnya, pada saat Rasulullah datang menyebarkan ajaran tauhid di Mekkah, kaum Quraish menyebut beliau Ibnu Abu Kabsyah (anak Abu Kabsyah). Yakni ajaran beliau yang bertentangan dengan kepercayaan mereka, yaitu ajaran yang disebarkan oleh Abu Kabsyah.

     Adapun di Yaman, masyarakatnya banyak yang menuhankan dan menyembah matahari. Fenomena ini disinggung Allah ketika menceritakan kisah Ratu Saba’. Allah berfirman:

إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
QS:An-Naml | Ayat: 23
وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk,
QS:An-Naml | Ayat: 24

     Beberapa aliran agama Majusi (penyembah api) yang berasal dari Persia juga masuk ke Jazirah Arab. Ibnu Qutaibah mengatakan, “Beberapa penganut agama Majusi di wilayah Tamim yang cukup terkenal adalah Zurarah dan anaknya. Adapun di kalangan Quraish, yang dianut saat itu adalah agama Majusi aliran Zindiq. Aliran ini mereka ambil dari Hirah.” Tercatat, Aqra’ bin Habis dan Abu Sud (kakek Waki’ bin Hisan) termasuk di antara mereka yang beragama Majusi. Ajaran Majusi ini juga masuk ke wilayah Hajar dari Bahrain. Mereka beranggapan bahwa apabila musuh-musuh mereka terbunuh di negeri mereka, hal itu akan mengotori mereka.

     Adapun agama Yahudi yang masuk ke Jazirah Arab (khususnya Madinah, Khaibar, Wadil Qura, Fadak, dan Taima) bersamaan dengan eksodus besar-besaran golongan Yahudi ke wilayah ini. Agama Yahudi juga masuk di Yaman yang dianut oleh Dzu Nuwas, Raja Himyar. Orang inilah yang kemudian memaksa kaum Nasrani untuk menganut ajaran Yahudi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

     Agama Yahudi juga memiliki pemeluk dari Bani Kinanah dan Bani Haris bin Ka’ab. Yang menyebarkannya kepada mereka kemungkinan adalah kaum Yahudi Yatsrib dan Khaibar.

     Sedangkan agama Nasrani boleh dibilang hanya berkembang di Ghasasinah dan Manadzirah. Ada beberapa biara yang terkenal di kota Hirah, yaitu biara Hindun Al-Aqdam (si pemberani), biara Lahaj, dan biara Harah. Selain itu, ajaran Nasrani juga berkembang secara terbatas di wilayah Jazirah Arab bagian selatan. Para pengikut Kristen di wilayah ini mendirikan gereja di Dhaffar dan And. Adapun penganut Kristen dari Najran, mereka memiliki kisah tersendiri bersama Rasulullah di Mekkah dan juga Madinah. Kisah ini akan kita bahas di bab berikutnya.

     Pada sisi lain, ada beberapa kabilah Quraish yang memeluk Nasrani. Salah satunya adalah Bani Asad bin Abdul Uzza. Agama Kristen di peluk juga oleh Bani Amri Al-Qais dari kabilah Tamim, Bani Taglab dari suku Rabi’ah, dan sebagian kabilah Qudha’ah. Disebutkan bahwa mereka mendapatkan ajaran Kristen ini dari bangsa Arab yang cukup terkenal saat itunadalah Adi bin Hatim Ath-Thaiy’.

     Dari sejarah dan perkembangan agama Yahudi maupun Nasrani di Jazirah Arab, terlihat bahwa kedua agama ini tidak menyebar secara luas di wilayah Arab. Pada sisi lain, penganut ajaran Ibrahim pun sebenarnya tidak punah seluruhnya. Bahkan di tengah-tengah kesesatan dan penyembahan berhala tadi, masih ada sebagian masyarakat Arab—sekalipun jumlahnya sedikit—yang masih memegang teguh ajaran Ibrahim. Mereka inilah yang disebut Al-Hamifiyyun atau Al-Hunafa (orang-orang yang menganut ajaran lurus dan benar). Mereka beriman kepada Allah, mengesakan-Nya, dan menantikan datangnya seorang Nabi yang dijanjikan.

     Di antara mereka yang masih berpegang teguh pada agama Ibrahim itu adalah Quss bin Sa’idah Al-Iyyadi, Zaid bin Amru bin Nufail, Umayyah bin Abu Shalt, Abu Qais bin Abu Anas, Khalid bin Sinan, Nabighah Adz-Dzibyani, Zuhair bin Abu Salma, dan Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib, salah satu kakek Rasulullah.

     Mereka disebut ”Al-Hunafa” karena Al-Qur’an, ajaran Ibrahim disebut agama hanif. Allah berfirman:

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
QS:Al-An'am | Ayat: 79

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
QS:Ali Imran | Ayat: 67

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.
QS:Ali Imran | Ayat: 95

     Untuk mengenal sosok-sosok “Al-Hanifiyyun” tadi lebih dekat, berikut akan dipaparkan secara ringkas sejarah hidup dan keimanan beberapa orang di antara mereka


    a.   Zaid bin Amru bin Nufail
     Ibnu Ishaq menuturkan, Asma binti Abu Bakar bercerita; “Aku melihat Zaid bin Amru bin Nufail menyandarkan punggungnya ke Ka’bah seraya berseru, ‘Hai orang-orang Quraish, demi jiwa Zaid yang di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya tidak ada satu pun di antara kalian yang mempertahankan agama Ibrahim selain diriku.’ Lalu ia berkata lagi, ‘Ya Allah, seandainya aku mengetahui cara ibadah yang paling Kau sukai, niscaya aku akan menyembah-Mu dengan cara itu. Akan tetapi, aku tidak mengetahuinya.’ Kemudian ia bersujud di atas kendaraannya dan berdoa dengan menghadap ke Ka’bah seraya berkata, ‘Tuhanku adalah Tuhan Ibrahim dan agamaku adalah agama Ibrahim.’ Ia juga seorang penentang adat penguburan hidup-hidup anak-anak perempuannya, ‘Jangan membunuhnya. Penuhilah tanggung jawabmu kepadanya. Apabila ia telah dewasa, engkau dapat terus mengurusnya atau menikahkannya’.

      Al-Bukhari menuturkan, “Ibnu Umar menceritakan bahwa Zaib bin Amru bin Nufail pernah pergi ke syam mencari agama yang benar untuk dianutnya. Ia menemui seorang pemuka Yahudi dan bertanya padanya tentang agama mereka dengan harapan akan menemukan agama yang akan dianutnya. Orang Yahudi itu menjawab, ‘Engkau tidak akan menganut agama kami sebelum engkau mengambil bagianmu dari murka Allah.’

     Zaid pun berkata, ‘Aku tidak akan pernah lari kecuali dari kemurkaan Allah, dan aku tidak kuasa dan sanggup menanggung kemurkaan-Nya sedikit pun. Dapatkah engkau menunjukkan kepadaku ajaran lainnya?’

     Orang Yahudi itu menjawab, ‘Aku tidak mengetahui jalan lain kecuali engkau mau menjadi seorang hanif.’

     Zaid bertanya, ‘Apakah hanif itu?’

     Orang Yahudi tersebut menjawab, ‘Hanif adalah agama Ibrahim. Ia bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani. Dan ia juga tidak menyembah kepada selain Allah.’

     Kemudian Zaid meninggalkan orang itu dan menemui seorang pemuka Nasrani. Keduanya terlibat percakapan yang sama dengan percakapannya dengan orang Yahudi tadi. Setelah mendengar pengakuan mereka tentang Ibrahim, Zaid meninggalkan Syam. Sesampainya di luar Syam, ia mengangkat kedua tangannya seraya berseru, ‘Ya Allah, aku bersaksi kepada-Mu bahwa aku telah masuk agama Ibrahim’.

     Kabarnya Zaid tidak pernah mau memakan daging sembelihan orang-orang Quraish. Ia selalu berkata, “Aku tidak akan pernah memakan apa yang kalian sembelih untuk berhala-berhala kalian. Aku tidak akan pernah memakan binatang kecuali yang disembelih dengan menyebut nama Allah.

     Dalam celaannya terhadap penyembelihan masyarakat Quraish, ia sering mengatakan, “Binatang ternak itu diciptakan oleh Allah. Dia pula yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk member minum dan makan kepadanya. Maka, mengapa kalian menyembelih binatang tersebut tanpa menyebut nama Allah?

     Ada beberapa hadits dha’if yang bercerita tentang tokoh ini. Kendati dha’if, hadits-hadits ini memuat beberapa tambahan keterangan yang memperkuat hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Oleh karena itu, martabat hadits-hadits dha’if ini naik menjadi hasan li ghairih. Pada umumnya, semua hadits ini menunjukkan bahwa Zaid adalah sosok pencari agama yang benar dan akhirnya berketetapan hati pada agama Ibrahim a.s.

     Tentang Zaid bin Amru bin Nufail, Rasulullah pernah bersabda, “Pada hari itu satu umat akan dikumpulkan di antara umtku dan umat Isa bin Maryam.” Beliau berkata lagi, “Aku masuk ke dalam surga dan melihat Zaid bin Amru memiliki dua batang pohon yang indah.

     Zaid bin Amru bin Nufail sempat bertemu dengan Rasulullah dan meninggal sebelum beliau diutus menjadi nabi.


    b.   Waraqah bin Naufal
     Syahdan, Waraqah bin Naufal pergi bersama Zaid bin Amru bin Nufail dalam rangka mencari agama yang benar untuk dianut. Namun, akhirnya Waraqah memilih agama Nasrani, sedangkan Zaid bin Amru bersih kukuh memeluk agama Ibrahim a.s.

     Pada suatu hari, Rasulullah mengatakan kepada Khadijah r.a. bahwa beliau baru saja melihat seberkas sinar dan beliau khawatir sinar itu adalah para jin. Khadijah pun menenteramkan beliau. Kemudian ia menjumpai Waraqah dan menceritakan kepadanya tentang apa yang dialami oleh Rasulullah. Waraqah berkata, “Apabila ia benar, sinar itu adalah wahyu seperti wahyu Nabi Musa. Dan sesungguhnya apabila beliau (Muhammad) diutus (menjadi Nabi) saat aku masih hidup, niscaya aku akan memuliakannya, membantunya, dan beriman kepadanya.

     Berbagau khabar dan atsar lain yang menceritakan proses keislaman tokoh ini akan kita kupas lebih dalam di bahasan permulaan turunnya wahyu kepada Muhammad dan kaum Muslimin generasi pertama. Pada bab ini akan kita kutipkan beberapa bait syair yang indah terkait dengan masalah ketauhidan dan kenabian tersebut.


c.   Quss bin Sa’idah Al-Iyadi
     Ubadah bin Shamit r.a. dan beberapa perawi lain menceritakan bahwa ketika para utusan Iyadh datang menemui Rasulullah, beliau menanyakan kepada mereka tentang Quss bin Sa’idah Al-Iyadi. Mereka mengatakan bahwa ia telah meninggal. Maka Rasulullah bersabda, “Pada suatu hari aku pernah melihatnya di Ukazh. Ia berada di atas seekor unta berwarna coklat tua seraya melontarkan pernyataan-pernyataan yang sangat bagus, tetapi sayang aku tidak hafal ucapannya.” Kemudian seseorang dari utusan tadi mengaku masih hafal ucapan Quss saat itu. Ia menirukannya sebagai berikut, “Wahai manusia, berkumpullah. Ketahuilah, setiap yang mati itu telah kehilangan segala kesempatan. Segala sesuatu yang datang pastilah akan terjadi. Perhatikanlah malam yang gelap gulita, langit yang dipenuhi bintang-bintang, laut yang bergemuruh, bintang-bintang yang berkilauan, gunung-gunung yang terpancang, dan sungai-sungai yang senantiasa mengalir. Sesungguhnya pada langit itu terdapat berbagai pelajaran. Dan mengapa aku melihat orang-orang yang pergi tak mau kembali? Bila mereka ingin menetap, menetaplah mereka. Atau, bila ingin meninggalkannya, mereka pun menumpang tidur saja. Sesungguhnya Quss bersumpah atas nama Allah tanpa keraguan sedikit pun, bahwa sesungguhnya Allah memiliki agama yang lebih diridhai-Nya dibandingkan agama kalian ini” setelah itu, ia mendendangkan sebuah syair.

     Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ketika para utusan Abdul Qais datang, Rasulullah menanyakan kepada mereka kabar Quss. Mereka mengabarkan bahwa Quss telah meninggal. Kemudian beliau berkata seperti yang telah disebutkan dalam riwayat Ibnu Shamit tadi.

     Ibnu Ktsir dan Al-Baihaqi meriwayatkan pula beberapa hadits lain yang berhubungan dengan kisah Quss ini. Substansi ceritanya sama dengan riwayat di atas, yakni tentang keteguhan Quss dalam mempertahankan agama Ibrahim, berbagai perkataannya yang mengarah kepada hal itu, dan syair-syairnya yang berhubungan dengan religiusitas dirinya. Ini berarti, kisah tentang Quss memang memiliki sumber sejarah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Katsir dan Al-Baihaqi.


    d.   Umayyah bin Abi Shalt
     Nama ini pernah disebut-sebut Rasulullah dalam salah satu sabdanya. Beliau bersabda, “Umayyah bin Abi Shalt seperti sudah memeluk Islam.” Riwayat lain menyebutkan beliau pernah bersabda, “Ia (Umayyah bin Abi Shalt) seperti beragama Islam dalam syair-syairnya.

     Diriwayatkan, Umayyah bin Abi Shalt termasuk salah satu pengikut ajaran Ibrahim yang akhirnya menjadi pemeluk Nasrani dan syair-syairnya banyak mengandung makna ketauhidan, hari kebangkitan, dan Hari Kiamat. Umayyah bin Abi Shalt juga termasuk salah satu penyair ulung pada zamannya. Ia hidup sampai masa kerasulan Muhammad untuk menyebarkan ajaran Islam. Sayangnya, ia tidak beriman karena merasa gengsi bila harus menjadi pengikut Muhammad. Sikap inilah yang melatarbelakangi turunnya firman Allah yang berbunyi:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
QS:Al-A'raf | Ayat: 175

     Konon ia meninggal pada tahun ke-9 H. akan tetapi, riwayat lain menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun ke-2 H. yang jelas, Umayyah pernah mengarang sebuah syair tentang dkacitanya karena banyak kaum Quraish yang tewas pada Perang Badar Kubra.


    e.   Labid bin Rabi’ah Al-Amiri Al-Kilabi Al-Ja’fari
     Labid termasuk salah satu penyair ulung pada zaman Jahiliyyah. Ia juga terkenal sebagai seorang penyair yang kritis. Tentang tokoh ini, Rasulullah pernah bersabda, “Ungkapan yang paling tepat yang pernah terlontar dari mulut seorang penyair adalah ungkapan Labid. Ia mengatakan, ‘Ingatlah, segala sesuatu selain Allah itu bathil’.” Ia memiliki kisah tersendiri bersama Utsman bin Mazh’un. Kisah ini akan kita saksikan pada saat pembahasan cara kaum musyrikin menghalangi dakwah.

     Labid wafat setelah masuk Islam, tepatnya pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Disebutkan bahwa saat wafat ia berumur 150 tahun. Namun, ada riwayat lain yang mengatakan umurnya lebih dari 150 tahun.

     Selain nama-nama di atas, masih banyak tokoh lain yang juga dikenal sebagai penganut agama hanif (ajaran Ibrahim). Mereka adalah Arbab bin Ri’ab, penyair ternama Suwaid bin Amir Al-Musthaliqi, As’ad bin Abu Karab Al-Himyari, Waqi’ bin Salamah bin Zuhair Al-Iyadi, Umair bin Haidzab Al-Juhani, Adi bin Zaid Al-Ubaddi, akhirnya menjadi penganut Kristen. Yang lain adalah Abu Qais Surrah bin Abi Anas Al-Bukhari, Saif bin Dzi Yazan Al-Humairi, Amir bin Dharab Al-Adwani, penyair Abdul Thanijah bin Tsa’lab bin Wabrah bin Qudha’ah, Alaf bin Syihab At-Tamimi, Multamis bin Umayyah Al-Kanani, para penyair. Berikutnya Suhair bin Abi Salma, Khalid bin Sinan bin Ghaits Al-Abasi, Abdullah Al-Qudai, Ubaid bin Abrash Al-Asadi, Ka’ab bil Lu’ay bin Ghalib Al-Quraishi (salah satu kakek Rasulullah), dan Utsman bin Huwairits, salah satu orang yang juga pernah melakukan perjalanan untuk mencari ilmu agama. Namun, kemudian ia mendapat kedudukan yang cukup terhormat dari Kaisar Romawi sehingga akhirnya beragama Nasrani. Nama-nama lain yang sempat terekam oleh sejarah adalah Amru bin Abasah As-Silmi (akhirnya masuk Islam), Aktam bin Shaifi bin Rabah, dan Abdul Muthalib, kakek Rasulullah.


     3.   Kondisi Sosial Bangsa Arab Jahiliyyah
     Situasi dan kondisi social suatu masyarakat di mana pun berada tidak bisa dipisahkan dari kondisi politik, ekonomi, dan keagaan masyarakat tersebut. Pada masyarakat Arab Jahiliyyah, penyembahan terhadap berhala merupakan fenomena umum keagaan di tengah-tengah mereka. Padahal penyembahan terhadap berhala sangat bertentangan dengan fitrah dan logika manusia. Akibatnya, fenomena social kehidupan masyarakat Arab kala itu juga sangat banyak yang bertentangan dengan fitrah dan logika.

     Salah satu fenomena tersebut adalah degradasi moral yang cukup parah di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah. Hal itu tercermin dari merajalelanya praktek-praktek perbuatan tercela di antara mereka, seperti meminum minuman keras, perjudian, nikah tanpa batasan, pembunuhan terhadap anak-anak karena miskin atau takut miskin, pembunuhan terhadap anak-anak perempuan karena takut terkena aib, juga berbagai konflik social (perang antar kelompok) dan aksi balas dendam.

     Semua perbuatan itu hampir semuanya diceritakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam sabda-sabdanya. Bahkan Allah berulangkali melontarkan kecaman keras atas perilaku mereka. Sementara itu, Rasulullah sendiri sepanjang hidupnya senantiasa memerangi berbagai perilaku tercela mereka.

     Ibnu Abbas menuturkan, “Rasulullah bersabda, ‘Apabila engkau ingin mengetahui kebodohan masyarakat Arab, bacalah ayat 130 ke atas dari surat Al-An’am’.

     Adapun ayat-ayat Al-Qur’an lain yang membicarakan masalah perbuatan kaum Jahiliyyah di antaranya sebagai berikut:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
QS:At-Takwiir | Ayat: 8
بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
karena dosa apakah dia dibunuh,
QS:At-Takwiir | Ayat: 9

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَٰنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.
QS:Az-Zukhruf | Ayat: 17

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.
QS:An-Nahl | Ayat: 58
يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
QS:An-Nahl | Ayat: 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
QS:Al-Maidah | Ayat: 90

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
QS:Al-An'am | Ayat: 151

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
QS:Al-Israa' | Ayat: 31

     Di kalangan masyarakat Arab kelas menengah ke bawah saat itu juga marak berbagai praktek perkawinan yang tidak jauh berbeda dengan prostitusi.

     Al-Bukhari dan Abu Daud menuturkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Ada empat bentuk praktek perkawinan pada zaman Jahiliyyah:


  1.          Perkawinan seperti yang lazim kita kenal sekarang ini.
  2.          Perkawinan istibdha’: yakni kawinnya seorang lelaki dengan istri orang lain setelah ia menggaulinya pada saat sedang suci dan belum digauli oleh suaminya yang sah.
  3.          Perkawinan rahth: yakni perkawinan yang telah terjadi setelah sekelompok lelaki berjumlah kurang dari 10 orang sepakat untuk melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan yang bukan istri mereka secara bergiliran. Apabila hamil dan telah melahirkan, perempuan tersebut dihadirkan di depan para lelaki tadi untuk memilih siapa yang harus menjadi ayah dari anak yang baru saja dilahirkannya.
  4.          Perkawinan rabi’: yaitu ketika sekelompok lelaki berjumlah lebih dari 20 orang secara bergiliran menggauli seorang perempuan di rumahnya yang bertanda khusus. Setelah perempuan tersebut hamil dan melahirkan, para lelaki tadi dikumpulkan di depannya. Selanjutnya, si perempuan akan menentukan siapa ayah si anak dari orang yang paling banyak memiliki kemiripan dengan anak tersebut.

     Agama Islam melarang semua bentuk pernikahan Jahiliyyah,yakni bentuk pernikahan di luar yang lazim dilakukan oleh orang-orang pada zaman sekarang ini.

     Ironisnya, dalam melakukan praktek-praktek perkawinan amoral itu, mereka tidak merasa malu atau menganggapnya sebagai aib. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, “Seseorang pernah berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, si Fulan (dengan menyebutkan nama seseorang) adalah putraku. Aku telah berzina dengan ibunya pada zaman Jahiliyyah’ .

     Rasulullah pun bersabda, “Tidak ada lagi tuduhan pada masa Islam ini. Semua perkara zaman Jahiliyyah telah berlalu. Seorang anak adalah milik tempat tidur dan bagi seorang pezina adalah rajam.

     Penulis bisa menyebutkan kisah perseteruan Sa’ad  bin Abu Waqqash dengan Abdu bin Zam’ah terkait dengan masalah anak budak perempuan Zam’ah, yaitu Abdurrahman bin Zam’ah.

     Lebih dari itu, di masyarakat Arab Jahiliyyah juga berlaku kebiasaan mengawini dua perempuan bersaudara dalam satu waktu, menikahi istri-istri ayah sendiri yang sudah diceraikan atau ditinggal mati oleh sang ayah. Terkait masalah ini, Allah berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS:An-Nisaa | Ayat: 23

     Pada ayat lain, Allah menegaskan:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
QS:An-Nisaa | Ayat: 22

     Pada masa Jahiliyyah, perjatuhan talak juga tidak memiliki batas tertentu. Seorang lelaki bisa sesuka hati menjatuhkan talak kepada istrinya, kemudian rujuk kembali sampai berkali-kali. Islam kemudian membatasinya sampai dua saja. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 229

     Sekalipun banyak penyakit moral yang merebak di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah kala itu, masih ada beberapa hal positif dalam kehidupan politik dan social mereka. Agaknya, realitas inilah yang mendasari terpilihnya mereka sebagai pemikul atau pengemban ajaran-Nya ke seluruh alam semesta.

     Di antara hal-hal positif itu adalah bahwa kebodohan masyarakat Arab Jahiliyyah bukanlah sesuatu yang mengakar, alias tidak didasari oleh suatu doktrin filosofis yang kuat dan sulit untuk dikikis sebagaimana yang terjadi di wilayah-wilayah sekitarnya.

     Hal-hal positif lain yang dimiliki masyarakat Arab adalah: pertama, mereka keras dalam kemauan dan teguh dalam memegang keimanan. Tentang kedua karakter ini Allah berfirman:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya),
QS:Al-Ahzab | Ayat: 23

     Kedua, mayoritas bangsa Arab sangat menghormati nilai-nilai keutamaan dan orang-orang yang berakhlak mulia. Ini dapat gilihat dari sikap mereka terhadap Rasulullah sebagai orang yang memenuhi criteria di atas. Jelasnya adalah seperti tercermin dalam pernyataan Abu Sufyan kepada Heraklius, yang akan kita bahas pada bab berikutnya.

     Ketiga, mayoritas bangsa Arab memiliki daya ingat yang sangat kuat. Ada banyak fakta dan cerita sehubungan dengan realitas ini. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri menceritakan, “Suatu ketika aku akan melewati Baqi’. Maka aku pun bersiap-siap menutupi kedua lubang telingaku agar tidak mendengar perkataan-perkataan buruk. Akan tetapi, demi Allah, tidak tidak satu kata pun yang kulupakan.

     Ibnu Abdill Barr juga mengatakan, “Salah satu dari mereka mampu menghapal syair-syair orang lain dengan sekali dengar saja. Diceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. mampu menghapal salah satu syair milik Umar bin Abi Rabi’ah kendati baru mendengarnya sekali saja. Kita tidak dapat menemukan orang seperti itu pada zaman sekarang ini. Seandainya pada saat ini tidak ada para penulis, niscaya berbagai ilmu pengetahuan akan hilang dari kita.

     Fakta di atas memperkuat pendapat bahwa tidaklah aneh bila Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, dan Aisyah r.a. memiliki hapalan hadits yang sangat banyak jumlahnya. Tercatat, Abu Hurairah meriwayatkan sebanyak 5.374 hadits, Abdullah bin Amru meriwayatkan sebanyak 2.630 hadits, dan seterusnya.

     Bangsa Arab Jahiliyyah waktu itu sangat menyukai kebebasan. Mereka tidak mengenal kata tunduk, kecuali kepada orang-orang yang memiliki pengaruh, pemberani, disegani, memiliki sifat jantan, sabar, penyayang, toleran, dan sifat-sifat baik lainnya.

     Bahkan, sekalipun menyembah berhala, mereka tidak mengingkari keberadaan Allah. Tentang hal ini, Allah befirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 61

     Allah mempertegas lagi dalam firman-Nya:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).
QS:Al-'Ankabuut | Ayat: 63

     Satu lagi, masyarakat Arab memiliki satu bahasa, bahasa yang sangat istimewa dan jelas, serta dapat menggambarkan Islam dengan terang.





▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf