Rabu, 11 Desember 2013

Filled Under:

Ja’far bin Abu Thalib (Perawakan dan Perilakunya Mirip Rasulullah).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Perhatikanlah penampilan pada masa mudanya yang gagah, tampan, dan berwibawa. Perhatikanlah warna kulitnya yang cerah bercahaya. Lihatlah kelemahlembutan, kesopanan, kasih sayang, kebaikan, kerendahan hati, serta ketakwaannya. Perhatikanlah keberaniannya yang tidak kenal takut dan kemurahannya yang tidak kenal batas. Lihatlah kebersihan hidup dan kesucian jiwanya, serta kejujuran dan keamanahannya. Lihatlah, pada dirinya berkumpul segala pokok kebaikan, keutamaan, dan kebesaran.

     Jangan heran, jarena anda sekarang berhadapan di hadapan seorang manusia yang perawakan dan perilakunya mirip dengan Rasulullah. Anda berada di depan seseorang yang telah diberi gelar oleh Rasulullah sendiri sebagai Bapak Kaum Miskin. Anda berhadapan dengan seseorang yang diberi gelar Si Bersayap Dua di Surga. Anda sedang bertatapan muka dengan Si Burung Surga yang Selalu Berkicau. Siapakah dia? Itulah Ja’far bin Abu Thalib, salah seorang pelopor Islam generasi awal yang memiliki saham besar dalam menempa nurani kehidupan.

     Ia datang kepada Rasulullah untuk menganut Islam, dengan mengambil kedudukan tinggi di antara mereka yang lebih dulu beriman. Istrinya, Asma’ binti Umais, juga menganut Islam pada hari yang sama. Mereka berdua juga harus menerima penyiksaan dan penganiayaan yang mereka hadapi dengan segala keberanian dan ketabahan.

     Ketika itu Rasulullah pada waktu itu memilih beberapa shahabat yang akan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), dan tanpa berpikir panjang Ja’far bersama istrinya tampil mengajukan diri. Mereka berdua pun hijrah dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Selama hijrah itu, mereka berdua dikaruniai Allah tiga anak, yaitu Muhammad, Abdullah, dan Auf.

     Selama di Habasyah, Ja’far bin Abu Thalib tampil sebagai juru bicara yang lancar dan sopan, serta cocok menyandang nama dan duta Islam. Hal itu karena Allah mengaruniakan nikmat yang paling agung dalam wujud ketajaman mata hati, kecermelangan akal, kecerdasan jiwa, dan kefasihan lidah. Bila pertempuran Mu’tah, yang akhirnya menghantarkan dirinya menuju kesyahidan, dianggap sebagai pengalaman hidup yang terdahsyat, teragung, dan tak terlupakan. Hari-hari ketika ia berdialog dengan Raja Najasyi tidak kurang dahsyat dan mengesankan daripada itu, bahkan tidak kurang hebat nilai dan kemuliaannya. Hari itu adalah hari istimewa dan penampilan yang memesona.

     Peristiwa tersebut terjadi karena hijrahnya kaum Muslimin di Habasyah, yang membuat kaum Quraish tidak pernah senang dan tinggal diam, bahkan tindakan tersebut menambah kemarahan dan rasa dengki mereka. Mereka sangat takut dan cemas bila kaum Muslimin di tempat yang baru ini menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak. Bahkan, seandainya kesemoatan berkembang dan bertambah kuat ini tidak sampai terjadi, mereka tetap saja tidak merasa puas karena orang-orang Islam itu lepas dari kendali dan terhindar dari penindasan mereka.

     Kaum Muslimin tentu akan menetap di sana dengan harapan dan masa depan yang gemilang, yang akan melegakan jiwa Muhammad, dan lapangnya Islam. Karena itulah, para pemimpin kaum Quraish mengirimkan dua orang utusan pilihan kepada Raja Najasyi, lengkap dengan membawa hadiah-hadiah yang sangat berharga dari kaum Quraish. Kedua utusan ini menyampaikan harapan Quraish agar Sang Raja mengusir kaum Muslimin yang hijrah meninggalkan negerinya untuk mencari perlindungan tersebut dan menyerahkan nasib mereka kepada kaum Quraish. Dua utusan yang datang itu ialah Abdullah bin Abu Rabi’ah dan Amr bin Al-Ash, yang keduanya waktu itu belum masuk Islam.

     Najasyi yang waktu itu bertakhta di singgasana Habasyah, adalah seorang tokoh yang mempunyai iman yang kuat. Dalam lubuk hatinya, ia menganut agama Nasrani secara murni, jauh dari penyelewengan dan terhindar dari fanatic buta serta menutup diri. Nama baiknya telah tersebar ke mana-mana, dan perjalanan hidupnya yang adil telah melampaui batas negerinya. Oleh karena itu, Rasulullah memilih negerinya menjadi tempat hijrah bagi shahabat-shahabatnya, dan karena ini pula kaum kafir Quraish merasa khawatir seandainya maksud dan tipu muslihat mereka gagal dan tidak berhasil. Karena itu, kedua utusannya dibekali sejumlah hadiah besar yang berharga untuk uskup dan tokoh gereja di sana.

     Para pemuka Quraish menasehati kedua utusannya agar mereka jangan menghadap Raja Najasyi sebelum memberikan hadiah-hadiah yang dibawa kepada Patrick dengan tujuan agar para pendeta itu merasa puas dan berpihak kepada mereka, selain agar orang-orang itu mendukung tuntutan mereka di hadapan raja nantinya. Kedua utusan itu pun sampailah ke tempat tujuan mereka, Habasyah. Mereka menghadap para tokoh agama dengan membawa hadiah-hadiah besar yang dibagi-bagikannya kepada mereka. Kemudian mereka juga mengirim hadiah kepada raja.

     Dua utusan tersebut terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Keduanya berharap dengan dukungan moral para pendeta itu, Raja Najasyi akan mengusir kaum Muslimin keluar dari negerinya. Demikianlah, hari bagi kedua utusan itu untuk menghadap raja sudah ditetapkan. Kaum Muskimin pun diundang untuk menghadapi dendam kesumat Quraish yang masih saja bernafsu besar untuk melakukan muslihat keji dan menimpakan siksaan kepada mereka.

     Dengan wajah yang jernih berwibawa, dan kerendahan hati yang penuh pesona, raja pun duduk di atas kursi kebesarannya yang tinggi, dikelilingi oleh para tokoh gereja serta tokoh terdekat di lingkungan istana. Di hadapannya, di ruangan yang luas, kaum Muslimin duduk dengan tenang oleh ketenteraman dari Allah dan dilindungi oleh rahmat-Nya.

     Kedua utusan kaum Quraish berdiri mengulangi tuduhan mereka yang pernah mereka lontarkan terhadap kaum Muslimin di hadapan Kaisar pada suatu pertemuan khusus yang disediakan oleh Kaisar sebelum pertemuan besar yang menegangkan ini, “Baginda raja yang mulia. Orang-orang bodoh ini telah menyasar ke negeri paduka. Mereka meninggalkan agama nenek moyang, tetapi tidak pula hendak memasuki agama paduka. Bahkan, mereka datang membawa agama baru yang mereka ciptakan dan tidak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka. Sungguh, kami telah diutus oleh orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang-orang ini kepada kaumnya.

     Najasyi memalingkan mukanya ke arah kaum Muslimin sambil melontarkan pertanyaan, “Agama apakah itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tetapi tidak memandang perlu pula kepada agama kami?

     Ja’far pun bangkit berdiri, untuk menunaikan tugas yang telah dibebankan oleh rekan-rekannya sesama Muhajirin; tugas yang telah mereka tetapkan dalam suatu rapat yang diadakan sebelum pertemuan ini. Ia melepaskan pandangan ramah penuh kecintaan kepada Baginda Raja yang telah berbuat baik menerima mereka.

     Ja’far berkata, “Wahai paduka yang mulia, kami dulu memang orang-orang yang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan-perbuatan keji, memutuskan silaturahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berkelana. Orang kuat waktu itu memakan yang lemah, hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami dari kalangan kami.
     Kami mengenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan, dan kemuliaan jiwanya. Ia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya, dan agar membuang jauh-jauh batu-batu dan berhala yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu. Beliau menyuruh kami berbicara benar, menunaikan amanah, manyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, dan menahan diri dari pertumpahan darah serta semua yang dilarang Allah. Beliau melarang kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik.

     Kemudian kami membenarkan dia dan kami beriman kepadanya, kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Rabbnya. Lalu kami beribadah kepada Allah Yang Maha Esa dan kami tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Kami mengharamkan apa yang diharamkan-Nya kepada kami, dan kami menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami.

     Karena itu semua, kaum kami memusuhi kami, dan mengganggu kami dari agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan perbuatan-perbuatan jahat yang yang pernah kami lakukan dulu. Ketika mereka memaksa, menganiaya, mempersempit kehidupan, dan menghalangi kami dari agama kami, kami keluar berhijrah ke negeri paduka dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka.

     Ja’far mengucapkan kata-kata yang memesona ini laksana cahaya fajar. Kata-kata itu membangkitkan perasaan dan keharuan pada jiwa raja.

     Sambil menoleh pada Ja’far, Raja bertanya, “Apakah engkau membawa sesuatu yang diturunkan atas Rasulmu itu?

     “Ya.” Jawab Ja’far.

     “Bacakanlah kepadaku!

     Ja’far langsung membacakan bagian dari surat Maryam dengan irama indah dan kekhusyukan yang memikat. Mendengat itu, Najasyi menangis dan para pendeta serta tokoh agama yang hadir pun ikut menangis. Ketika air baginda yang mengalir deras itu telah berhenti, ia berpaling kepada kedua utusan Quraish itu, seraya berkata, “Sesungguhnya apa yang dibaca tadi yang dibawa oleh Isa berasal dari satu cahaya. Pergilah kalian berdua! Demi Allah kami tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian!

     Pertemuan itu pun berakhir. Allah telah menolong hamba-hamba-Nya dan menguatkan mereka, sedangkan kedua utusan Quraish mendapat kekalahan yang hina. Tetapi, Amr bin Al-Ash adalah seorang yang lihai dan cerdik membuat tipu muslihat licik. Ia tidak mau menyerah kalah begitu saja, apalagi berputus asa. Ketika ia kembali bersama temannya ke tempat menginapnya, ia terus menerus memutar otaknya untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya berkata kepada temannya, “Demi Allah, besok aku akan kembali menemui Najasyi. Aku akan menyampaikan kepada raja keterangan-keterangan yang akan memukul kaum Muslimin dan membasmi kekokohan mereka.

     Temannya berkata, “Jangan lakukan itu! Bukankah kita masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita?

     Amr menjawab, “Demi Allah, akan ku beritakan kepada Najasyi, bahwa mereka mendakwa Isa putra Maryam itu sebagai manusia biasa seperti manusia yang lain.

     Itulah rupanya suatu tipu muslihat baru yang telah diatur oleh utusan Quraish terhadap kaum Muslimin, untuk memojokkan mereka ke sudut yang sempit, agar mereka jatuh ke lembah yang curam. Seandainya orang Islam dengan terus-terang mengatakan bahwa Isa itu salah seorang hamba Allah seperti manusia lainnya, hal ini pasti membangkitkan kemarahan dan permusuhan dari raja dan tokoh agama setempat. Sebaliknya, jika mereka tidak menganggap Isa sebagai manusia biasa, tentu ini menyebabkan mereka keluar dari akidah agama mereka yang benar.

     Paginya kedua utusan itu segera menghadap raja, dan berkata kepadanya, “Wahai paduka, orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa.” Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan gempar. Bayangan kalimat yang singkat itu cukup mengguncangkan Najasyi dan para pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi, untuk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Isa Al-Masih.

     Kaum Muslimin menyadari bahwa aka nada perdebatan baru. Mereka pun duduk berunding, dan akhirnya memperoleh kata sepakat, untuk menyatakan yang benar saja, sebagaimana yang mereka dengar dari Nabi mereka. Mereka tidak hendak menyimpang sedikit pun darinya, dan apa yang akan terjadi biarlah terjadi.

     Pertemuan baru pun diadakan. Najasyi memulai percakapan dengan bertanya kepada Ja’far, “Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” ja’far bangkit sekali lagi laksana mercusuar yang memancarkan sinar terang. Ia menjawab, “Kami akan mengatakan tentang Isa sesuai dengan keterangan yang dibawa oleh Nabi kami, Muhammad, bahwa ia adalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta Kalimat-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya.

     Najasyi bertepuk tangan tanda setuju, seraya mengumumkan, memang begitulah yang dikatakan Al-Masih tentang dirinya. Namun, di jajaran tokoh agama yang hadir di situ terjadi hiruk-pikuk, seolah-olah memperlihatkan ketidaksetujuan mereka. Najasyi yang terpelajar lagi beriman it uterus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang Islam, “Silakan anda sekalian tinggal bebas di negeriku. Siapa yang berani mencela dan menyakiti kalian, orang itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

     Kemudian Najasyi berpaling kepada tokoh-tokoh terdekatnya, lalu sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke arah kedua utusan kaum Quraish, ia berkata, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini. Aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tidak pernah mengambil uang sogokan dariku kala Dia mengaruniakan takhta ini kepadaku, sehingga aku pun tidak akan menerimanya dalam hal ini.

     Kedua utusan Quraish itu pun pergi keluar meninggalkan tempat pertemuan dengan perasaan hina dan terpukul. Mereka segera memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekkah. Kaum Muslimin di bawah pimpinan Ja’far keluar dari tempat pertemuan itu, untuk memulai penghidupan baru di tanah Habasyah; penghidupan yang aman tenteram, sebagaimana mereka katakan, “Di negeri yang baik, dengan tetangga yang baik”, hingga akhirnya datang saatnya Allah mengizinkan mereka kembali kepada Rasul mereka, kepada shahabat dan kampung halaman mereka.

     Ketika Rasulullah bersama kaum Muslimin bergembira oleh kemenangan pada Perang Khaibar, tiba-tiba Ja’far bin Abu Thalib bersama kaum Muslimin yang berhijrah pulang dari Habasyah. Beliau memeluk Ja’far dengan mesra sambil berkata, “Aku tidak tahu, manakah yang lebih menggembirakan, apakah penaklukkan Khaibar atau kepulangan Ja’far.

     Rasulullah pergi bersama shahabat-shahabatnya ke Mekkah, hendak melaksanakan umrah qadha. Setelah Rasulullah kembali ke Madinah, hti Ja’far bergelora dan dipenuhi keharuan. Ketika mendengar berita tentang shahabat-shahabatnya seiman, baik yang gugur syahid maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa pada Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan peperangan lainnya, kedua matanya basah oleh linangan air mata. Ia mengenang orang-orang beriman yang telah mendapatkan kesyahidan di jalan Allah.

     “Wahai, kapankah aku akan berbuat demikian pula?” pikirnya. Hatinya seolah-olah merindukan surga. Ia pun menunggu-nunggu kesempatan dan peluang yang berharga itu, berjuang untuk mendapatkan kesyahidan di jalan Allah.

     Pasukan Islam maju ke Perang Mu’tah yang telah kita bicarakan sebelumnya, sedang bersiap-siap hendak diberangkatkan. Bendera dan panji-panji perang berkibar dengan megahnya, disertai dengan gemerincing bunyi senjata. Ja’far memandang peperangan ini sebagai peluang yang sangat baik dan satu-satunya kesempatan seumur hidup untuk merebut salah satu di antara dua kemungkinan; membuktikan kejayaan besar bagi agama Allah dalam hidupnya atau ia akan beruntung sebagai orang yang gugur syahid di jalan Allah. Dia pun datang memohon kepada Rasulullah untuk turut mengambil bagian dalam peperangan ini.

     Ja’far sadar sepenuhnya bahwa peperangan ini bukan main-main. Peperangan tersebut bukan peperangan yang kecil, melainkan peperangan yang luar biasa, baik dari sisi jauh dan sulitnya medan yang akan ditempuh maupun besarnya musuh yang akan dihadapi, yang belum pernah dialami umat Islam selama ini. Itu merupakan peperangan melawan tentara Kerajaan Romawi yang besar dan kuat, yang memiliki kemampuan perlengkapan dan pengalaman, serta didukung oleh persenjataan yang tidak tertandingi oleh orang-orang Arab maupun kaum Muslimin. Walau demikian, perasaan hati dan semangatnya rindu hendak terbang ke sana. Ja’far termasuk di antara tiga serangkai yang diangkat Rasulullah menjadi panglima pasukan dan pemimpinnya di Perang Mu’tah ini. Tentara Islam pun keluar bergerak maju ke Syam dan di dalamnya terdapat Ja’far bin Abu Thalib.

     Suatu hari yang dahsyat kedua pasukan itu pun berhadapan muka, dan tidak lama kemudian pertempuran hebat pun dimulai. Ja’far tidak merasa kecut dan gentar melihat tentara Romawi yang jumlahnya 200 ribu orang prajurit itu. Sebaliknya, saat itu bangkitlah semangat juang yang tinggi pada dirinya, karena sadar akan kemulian seorang mukmin yang sejati, dan sebagai seorang pahlawan yang ulung, haruslah kemampuan juangnya berlipat ganda daripada musuh.

     Sewaktu panji-panji pasukan hampir jatuh terlepas dari tangan kanan Zaid binHarithas, Ja’far menyambar bendera itu secepat kilat dengan tangan kanannya pula. Dengan panji di tangan, ia terus menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh, serbuan dari seseorang yang berjuang di jalan Allah, dengan tujuan menyaksikan umat manusia bebas dari kekufuran atau mati syahid, memenuhi panggilan Sang Pencipta.

     Prajurit Romawi semakin banyak mengelilinginya. Ketika Ja’far merasa kudanya menghalangi gerakannya, ia pun melompat dari kudanya, lalu mengayunkan pedangnya ke segala jurusan laksana malaikat maut pencabut nyawa dan mengenai leher musuhnya. Sekilas terlihat olehnya seorang serdadu musuh melompat hendak menunggangi kudanya. Karena ia tidak sudi hewannya itu dikendarai manusia najis, Ja’far pun menebas kudanya dengan pedangnya hingga tewas.

     Setapak demi setapak ia terus berjalan di antara barisan serdadu Romawi yang berlapis-lapis laksana badai bergelombang hendak membinasakannya. Dengan suara lantang, Ja’far berteriak:

     Wahai surga yang kudambakan sebagai penghuninya

     Harum semerbak aromanya, sejuk segar air minumnya.

     Tentara Romawi telah menghampiri siksaannya

     Yang kafir dan jauh dari sanak saudaranya

     Kewajibanku adalah menghantamnya kala menjumpainya.

     Tentara Romawi menyaksikan bagaimana kemampuan Ja’far bertempur yang seolah-olah sepasukan tentara. Mereka terus mengepung Ja’far; hendak membunuhnya laksana orang-orang gila yang sedang kerasukan setan. Kepungan mereka semakin ketat hingga tidak ada harapan untuk lepas lagi. Mereka menebas tangan kanannya dengan pedang hingga putus, tetapi sebelum panji itu jatuh ke tanah, ia segera menyambarnya dengan tangan kiri. Mereka lalu menebas tangan kirinya, tetapi Ja’far masih mengepit panji itu dengan kedua pangkal lengannya ke dada.

     Pada saat yang gawat ini, ia bertekad akan memikul tanggung jawab untuk tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh tanah, selama hayat masih dikandung badan. Panji itu jangan sampai jatuh ke tanah kecuali ia ditakdirkan harus syahid. Kala jasadnya yang suci terbaring di medan laga, panji pasukan masih berdekap di antara kedua pangkal lengan dan dadanya. Bunyi kibaran bendera itu, seolah-olah memanggil Abdullah bin Rawahah. Pahlawan ini membelah barisan musuh bagaikan anak panah lepas dari busurnya ke arah panji itu, lalu merenggutnya dengan kuat. Kemudian berlalu untuk mengukir sejarah yang besar pula.

     Demikianlah, Ja’far mempertaruhkan nyawa dalam menempuh suatu kematian agung yang tidak tertandingi. Begitulah cara menghadap Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, meyampaikan pengorbanan besar yang tak terkira, berselimutkan darah kepahlawanannya. Allah Yang Maha Mengetahui, menyampaikan berita tentang akhir paparangan kepada Rasul-Nya, begitu pula akhir hidup Ja’far. Rasulullah menyerahkan nyawa Ja’far kembali kepada Allah dan beliau pun menangis.

     Rasulullah pun pergi ke rumah saudara sepupunya ini. Beliau berdoa untuk anak cucunya. Mereka dipeluk dan diciuminya, sementara air mata beliau yang mulia bercucuran tak tertahankan. Kemudian Rasulullah kembali ke majelisnya dikelilingi para shahabat. Seorang penyair Islam terkemuka yang bernama Al-Hassan bin Tsabit tampil dengan syairnya yang menceritakan tentang syahidnya Ja’far bersama rekan-rekannya:

     Seorang prajurit maju memimpin pasukan orang beriman

     Menjemput maut, mengharapkan ridha Rabb semesta alam

     Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama

     Menyibak kegelapan tiran nan aniaya

     Menyabet dan menebas setiap penyerang

     Akhirnya gugur sebagai pahlawan kesyahidan

     Maka ganjarannya bersama para syuhada pendahulunya

     Di surga yang dipenuhi dengan kebun-kebun yang hijau

     Kami tahu apa yang terpuji pada diri Ja’far

     Kesetiaan dan perintah yang tegas ketika sedang memerintah

     Selama ada pejuang seperti putra Hasyim ini

     Penduduk kemuliaan akan senantiasa menjadi kebanggaan.

     Setelah Al-Hassan, Ka’ab bin Malik bangkit melantunkan syairnya yang agung:

     Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang susul-menyusul

     Di Perang Mu’tah tidak tergoyahkan bersusun bahu membahu

     Restu Allah atas mereka, para pemuda gagah perkasa

     Curahan rahmat kiranya membasuh tilang-belulang mereka

     Tabah dan sabar, demi Allah rela mempertaruhkan nyawa

     Setapak pun tidak akan mundur, menentang setiap bahaya

     Panji perang di tangan Ja’far sebagai pendahulu

     Menambah semangat tempur bagi setiap penyerbu

     Kedua pasukan berbenturan dalam baku hantam

     Ja’far dikepung musuh sabet kiri terkam kanan

     Tiba-tiba bulan purnama redup kehilangan jiwanya

     Sang surya pun gerhana, dan hampir-hampir tenggelam saat siang.

     Seluruh kaum dhuafa menangisi kepergian ayah mereka, karena Ja’far adalah ayah bagi mereka. Abu Hurairah menuturkan, “Sebaik-baik manusia terhadap orang-orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib.” Ya, memang benar. Ja’far memang sosok yang sangat pemurah dengan hartanya semasa hidupnya.

     Saat gugur syahid pun ia menunjukkan kemurahan hatinya dengan mengorbankan nyawa dan hidupnya. Abdullah bin Umar menuturkan, “Aku ikut terjun di Perang Mu’tah dengan Ja’far. Waktu kami mencarinya, kami dapati di tubuhnya terdapat luka-luka bekas tusukan dan lemparan lebih dari 90 tempat.” Bayangkan, Sembilan puluh bekas luka tusukan pedang dan lemparan tombak!

     Walau demikian, prajurit perang yang menewaskannya tidak kuasa menghalangi ruhnya ke tempat kembalinya di sisi Allah. Sekali-kali tidak!


     Pedang dan tombak mereka tidak lain hanyalah sebagai jembatan yang menyeberangkan ruhnya yang mulia ke sisi Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Penyayang.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf