بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Pada tahun berikutnya, Rasulullah membaiat
lagi 73 orang Anshar dari penduduk Madinah pada Baiat Aqabah II. Ibnu Rawahah
juga termasuk salah seorang utusan tang dibaiat itu.
Setelah Rasulullah bersama para shahabat
hijrah ke Madinah dan menetap di sana, Abdullah bin Rawahah merupakan orang
yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela dan mengukuhkan
sendi-sendi Islam. Dialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu
muslihat Abdullah bin Ubay, yang oleh penduduk Madinah memang telah
dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana. Abdullah
bin Ubay tidak kenal lelah untuk berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak
menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin
Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan
cermat, usaha dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat digagalkan.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang
tinggal di suatu lingkungan yang masih jarang ditemukan kepandaian baca tulis.
Ia juga seorang penyair ulung, yang untaian syair-syairnya meluncur dari
lidahnya dengan kuat dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, ia membaktikan
kemampuannya bersyair itu untuk kejayaan Islam. Rasulullah menyukai dan
menikmati syair-syairnya. Beliau sering meminta kepadanya agar lebih tekun lagi
membuat syair.
Suatu hari, beliau duduk bersama para
shahabat. Tiba-tiba, Abdullah bin Rawahah datang, lalu Nabi bertanya kepadanya,
“Apa yang engkau lakukan bila hendak
mengucapkan syair?”
Abdullah menjawab, “Kurenungkan
dahulu, kemudian baru kuucapkan.”
Sejurus kemudian, ia pun mengucapkan
syairnya:
Wahai Putra Hasyim yang baik, Allah
telah melebihkanmu dari seluruh manusia
Memberimu karunia yang tidak diberikan kepada orang lain
Sungguh, aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu
Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka
Seandainya engkau bertanya dan memint pertolongan mereka
Dalam memecahkan persoalan, mereka tidak akan menjawab atau membela
Karena itu, Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang engkau bawa
Sebagaimana Dia telah mengukuhkan dan member pertolongan kepada Musa.
Mendengat itu Rasulullah menjadi gembira
dan ridha kepadanya, lalu bersabda, “Dan semoga engkau dikaruniai keteguhan
oleh Allah.”
Ketika Rasulullah sedang tawaf di
Baitullah pada umrah qadha, Ibnu Rawahah berada di depan beliau sambil membaca
syair:
Ya Rabb, kalau bukan karena Engkau,
niscaya kami tidak akan mendapat petunjuk
Kami tidak akan bersedekah dan shalat
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami
Dan teguhkanlah pendirian kami jika musuh datang menghadang
Sesungguhnya, orang-orang yang telah berbuat aniaya terhadap kami,
bila mereka membuat fitnah, kami akan meladeninya.
Kaum Muslimin sering mengulang-ulang
syair-syairnya yang indah. Penyair yang produktif ini sangat berduka ketika
turun ayat Al-Qur’an yang mulia:
وَالشُّعَرَاءُ
يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 224
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 224
Tetapi, kedukaannya menjadi sirna
ketika turun pula ayat lainnya:
إِلَّا الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ
بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ
يَنْقَلِبُونَ
kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan
beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah
menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke
tempat mana mereka akan kembali.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 227
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 227
Ketika Islam harus terjun ke medan perang karena membela diri, Abdullah
bin Rawahah tampil membawa pedangya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq,
Hudaibiyah, dan Khaibar. Dalam semua peperangan itu ia selalu menjadikan
bait-bait syair dan kasidahnya sebagai slogan perjuangan:
Wahai jiwa, seandainya engkau tidak mati
terbunuh, engkau pasti akan mati juga.
Dalam setiap peperangan, ia selalu meneriakkan kepada orang-orang
musyrik, “Menyingkirlah, wahai anak-anak kafir dari
jalan-Nya. Menyingkirlah kalian, karena setiap kebaikan itu ada di tangan
Rasul-Nya”.
Pada Perang Mu’tah, Abdullah bin Rawahah menjadi panglima yang ketiga
dalam pasukan Islam, sebagaimana telah kita ceritakan dalam riwayat Zaid dan
Ja’far. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukan Islam yang akan
beranhkat meninggalkan Madinah. Ia tegak sejenak lalu mengucapkan syairnya:
Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha
Pengasih
Pukulan yang menakutkan dan mencerai beraikan
Atau tusukan dengan tombak di tanganku yang membuat musuh limbung
Menembus dada dan jantung
Hingga dikatakan, bila mereka melewati mayatku,
“Wahai prajurit Islam yang dibimbing oleh Allah, Dia memang telah
memimpinmu.”
Benar, itulah cita-citanya dan tiada yang lain; pukulan pedang, tusukan
tombak yang akan mengantarkan ke alam kesyahidan dan orang-orang yang
beruntung.
Tentara Islam bergerak maju ke medan Perang Mu’tah. Ketika orang-orang
Islam telah dapat melihat pasukan musuh dari kejauhan, mereka memperkirakan jumlah
tentara Romawi itu sekitar 200 ribu orang. Barisan tentara mereka seolah-olah
tidak ada ujung akhir dan tidak terhitung banyaknya. Kaum Muslimin terdiam
ketika melihat jumlah mereka sendiri yang sedikit.
Sebagian di antara mereka berkata, “Sebaiknya,
kita kirim kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar itu, agar
kita mendapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju akan
kita patuhi.”
Tetapi, Ibnu Rawahah bangkit di antara barisan pasukannya bagaikan
fajar yang menyingsing dan berkata, “Wahai orang-orang, demi Allah, kita
tidak berperang melawan musuh-musuh kita selain karena mempertahankan agama
kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah. Karena itu
majulah kalian! Karena itu adalah salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau
kesyahidan.”
Kaum Muslimin yang sedikit jumlahnya, tapi besar kualitas imannya itu
menyambut seruannya. Mereka berteriak, “Sungguh,
demi Allah, apa yang dikatakan Ibnu Rawahah itu benar.”
Akhirnya, pasukan Islam terus bergerak ke tempat tujuannya, dengan
jumlah yang jauh lebih sedikit dan akan meghadapi musuh yang berjumlah 200 ribu
orang yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan
dahsyat yang belum ada bandingannya. Kedua pasukan itu pun bertemu, lalu
berkecamuklah pertempuran di antara keduanya, sebagaimana telah kita sebutkan
sebelumnya. Komandan perang pertama, Zaid bin Haritsah, gugur sebagai syahid
yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja’far bin Abu Thalib, hingga ia memperoleh
syahidnya pula dengan penuh kebesaran, dan menyusul pula sesudah itu pemimpin
yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Kala itu ia memungut panji perang dari
tangan kanan Ja’far, saat peperangan sudah mencapai puncaknya.
Pasukan Islam yang kecil itu hampir saja tersapu musnah di antara
pasukan-pasukan Romawi yang datang bergelombang laksana air bah, yang berhasil
dihimpun oleh Heraklius. Ketika bertempur sebagai seorang prajurit, Ibnu
Rawahah menerjang ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa
ragu-ragu. Sekarang, setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan
dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, seolah-olah terlintas
rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya ketika ia membangkitkan seluruh semangat
dan kekuatannya dan melenyapjan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil
berseru:
Aku telah bersumpah wahai diri, engkau harus
turun ke medan laga
Tapi, mengapa kulihat, engkau menolak surga
Wahai diri, bila engkau tidak tewas terbunuh, engkau pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama engkau nanti
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini
Jika engkau ikuti jejak keduanya, engkau berada dalam petunjuk.
Dua orang yang
telah mendahuluinya mencapai kesyahidan adalah Zaid dan Ja’far.
Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi. Kalau tidaklah takdir Allah
yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke surga, niscaya ia
akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah
besar dari mereka. Tetapi, lonceng tanda berangkat sudah berdenting, yang
memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia
sebagai seorang syahid.
Jasadnya jatuh terbujur di bumi, tetapi ruhnya yang suci tersenyum naik
menghadap Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak
idamannya seperti dalam senandungnya:
Hingga dikatakan, bila mereka melewati
mayatku,
“Wahai prajurit perang yang dibimbing oleh Allah, Dia memang telah
memimpinmu.”
Benar, wahai Ibnu Rawahah. Anda adalah seorang prajurit yang telah
dipimpin oleh Allah.
Saat pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ di Syam,
Rasulullah sedang duduk beserta para shahabat di Madinah, sambil
memperbincangkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang
tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau
mengangkat wajahnya dengan mengedipkan kedua mata, untuk melepas air mata yang
jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasih.
Dengan pandangan haru yang tertuju ke wajah para shahabat, beliau
bersabda, “Panji perang yang dipegang oleh Zaid bin
Haritsah, ia bertempur sambil membawa panji itu hingga ia gugur sebagai syahid.
Kemudian panji perang diambil oleh Ja’far, dan ia bertempur pula mempertahankan
panji tersebut hingga gugur syahid pula.” Beliau berdiam
sebentar, lalu meneruskan sabdanya, “Kemudian panji perang dipegang oleh
Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur membawa panji itu, sampai akhirnya ia pun
gugur syahid.”
Kemudian Rasulullah diam sejenak, sementara mata beliau memancarkan
cahaya kegembiraan, ketenteraman dan merinduan, lalu bersabda, “Mereka
bertiga diangkat ke tempatku, ke surga.”
Perjalanan mana lagi yang lebih mulia daripada itu? Kesepakatan mana
lagi yang lebih bahagia daripada itu? Mereka maju ke medan laga bersama-sama,
dan naik ke surga bersama-sama pula. Penghormatan terbaik yang diberikan untuk
mengenang jasa mereka yang abadi, ialah sabda Rasulullah yang berbunyi, “Mereka
bertiga diangkat ke tempatku, ke surga.”
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
1 komentar:
Allohuakbar
Posting Komentar