بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
لَيْسَ لَكَ مِنَ
الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ
ظَالِمُونَ
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu
atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim.
QS:Ali Imran | Ayat: 128
QS:Ali Imran | Ayat: 128
Rasulullah memahami bahwa maksud ayat itu
merupakan perintah agar beliau menghentikan doa kebinasaan bagi mereka dan
menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Mereka mungkin akan tetap dalam
kesesatan, sehingga layak mendapatkan azab, atau mungkin juga bertaubat dan
Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat-Nya.
Amr bin Al-Ash adalah salah satu dari
ketiga orang tersebut. Allah memilihkan jalan bagi mereka untuk bertaubat dan
menerima rahmat, serta memberikan petunjuk kepada mereka untuk menganut Islam.
Amr bin Al-Ash beralih menjadi seorang Muslim utama dan salah seorang panglima
yang perkasa. Meskipun beberapa pendiriannya tidak dapat kita terima, perannya
sebagai shahabat mulia, yang telah mengerahkan jiwa raga, memberikan harta,
berjuang dan berusaha, akan selalu membuka mata dan hati kita terhadap dirinya.
Di bumi Mesir sendiri, orang-orang selalu
memandang Islam sebagai agama yang lurus dan mulia. Mereka melihat Rasulullah
sebagai rahmat dan karunia, pendakwah kebenaran utama yang menyeru kepada Allah
berdasarkan ilmu dan menginspirasikan banyak kebenaran serta ketakwaan dalam
kehidupan. Orang-orang yang beriman itu akan selalu merasakan asahan seorang
lelaki yang oleh takdir dijadikan sebagai sebab untuk menghadiahkan Islam ke
negeri Mesir dan menyerahkan Mesir ke pangkuan Islam. Betapa besar nilai hadiah
dan jasa pemberinya. Lelaki yang dimaksud ialah Amr bin Al-Ash.
Para sejarawan menjuluki Amr dengan
sebutan Penakluk Mesir. Tetapi, menurut kita julukan ini tidak tepat dan bukan
pada tempatnya. Mungkin julukan yang lebih tepat untuk Amr ialah Pembuka Mesir.
Itu karena Islam membuka negeri itu tidak bisa dipahami sebagai penakluk dalam
persepsi masa modern ini, tetapi maksudnya tiada lain ialah membebaskannya dari
cengkeraman dua kerajaan besar yang memperbudak dan menindas rakyatnya dengan
kejam, yaitu Imperium Persia dan Romawi.
Mesir sendiri, ketika para perintis Islam
memasuki wilayahnya, merupakan jajahan Romawi. Perjuangan penduduknya untuk
melawan tidak membuahkan hasil apa-apa. Ketika dari tapal batas
kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan orang beriman, mereka
pun berduyun-duyun menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk agama Islam.
Mereka kini bebas dari kekejaman Kisra maupun Kaisar. Dengan demikian, Amr bin
Al-Ash bersama tentaranya bukanlah menaklukkan Mesir. Mereka hanyalah merintis
serta membukakan jalan bagi Mesir agar dapat bersambung dengan kebenaran,
terlindungi oleh keadilan, dan menemukan hakikat diri mereka dalam cahaya
kalimat Allah dan prinsip-prinsip Islam.
Amr bin Al-Ash sangat berharap dapat
menghindarkan penduduk Mesir yang dikenal dengan suku Qibthi itu dari
peperangan, agar pertempuran terbatas hanya antara pasukannya dan tentara
Romawi saja, yang telah menduduki negeri orang secara tidak sah dan mencuri
harta penduduk dengan sewenang-wenang. Karena itulah, kita dapati ia berbicara
kepada para tokoh Nasrani dan para uskup besar mereka:
“Sesungguhnya
Allah telah mengutus Muhammad membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu.
Beliau telah menunaikan tugas kerasulan itu dan kemudian wafat setelah meninggalkan
jalan yang lurus dan terang benderang kepada kami. Di antara perintah yang
disampaikan kepada kami ialah memberikan kemudahan bagi manusia.
Kami menyeru kalian kepada Islam. Barang siapa memenuhi seruan kami, ia
termasuk golongan kami, memperoleh hak seperti hak-hak kami, dan memikul
kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami. Namun, barang siapa yang tidak
memenuhi seruan kami itu, kami tawarkan kepada mereka agar membayar jizyah, dan
kami akan memberikan padanya keamanan serta perlindungan.
Nabi kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggung jawab
kami untuk membebaskannya dari penjajah, dan mewasiatkan kepada kami agar
berlaku baik terhadap penduduknya. Beliau bersabda, ‘Sepeninggalku
nanti Mesir akan dibukakan untuk kalian. Perlakukanlah penduduk Qibthi itu
dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan
dengan kita.’ Jika kalian memenuhi suara kami, hubungan kita semakin
kuat dan bertambah erat.”
Amr menyudahi ucapannya. Sebagian uskup
dan pendeta menyerukan, “Sesungguhnya hubungan silaturahmi yang
diwasiatkan Nabimu itu sebenarnya merupakan hubungan kekerabatan jauh yang
tidak mungkin disambung kecuali oleh para nabi.”
Percakapan ini merupakan permulaan yang
baik menuju saling pengertian yang diharapkan antara Amr dan orang-orang Qibthi
penduduk Mesir, walau panglima-panglima Romawi berusaha untuk menanggalkannya.
Amr bin Al-Ash tidaklah termasuk angkatan
pertama yang masuk Islam. Ia baru masuk Islam bersama Khalid bin Al-Walid, tidak
lama sebelum Mekkah dibebaskan. Agak berbeda memang, karena ia mengawali
keislamannya di tangan Najasyi di Habasyah. Hal itu terjadi karena Najasyi
mengenal dan menaruh rasa hormat terhadap Amr yang sering bolak-balik ke
Habasyah dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja.
Pada waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, muncul berita tentang
seorang Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlak mulia di tanah Arab.
Raja habasyah itu menanyakan kepada Amr
mengapa ia tidak mau beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar
utusan Allah. Amr justru bertanya kepada Najasyi, “Benarkah
begitu?” “Benar,
wahai Amr. Dengarkanlah kata-kataku, ikutilah dia. Karena, demi Allah, ia
berada di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya.” Jawab Najasyi.
Amr pun langsung bergegas mengarungi
lautan untuk kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju
Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah Rabb semesta alam. Dalam perjalanan
ke Madinah itu, ia bertemu dengan Khalid bin Al-Walid dan Utsman bin Thalhah,
yang juga datang dari Mekkah dengan maksud hendak berbaiat kepada Rasulullah.
Ketika Rasulullah melihat ketiga orang itu
datang, wajah beliau berseri-seri, lalu bersabda kepada para shahabatnya, “Mekkah
telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”
Khalid tampil lebih dulu dan berbaiat,
kemudian Amr maju dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan berbaiat
kepadamu dengan syarat Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu.”
Rasulullah menjawab, “Wahai
Amr, berbaiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya.”
Amr berbaiat dan sejak itu ia
mendedikasikan kecerdikan dan keberaniannya kepada agamanya yang baru.
Ketika Rasulullah pulang ke “Ar-Rafiq
Al-A’la”, Amr sedang
berada di Oman menjadi gubernur di sana. Pada masa pemerintahan Umar,
jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan di Syria, kemudian dalam
membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.
Seandainya saja Amr bin Al-Ash dapat
menahan ambisi pribadinya untuk dapat berkuasa, tentulah ia akan dapat
mengatasi dengan mudah sebagian kesulitan yang dialaminya disebabkan ambisinya
ini. Tetapi, seberapa besar ambisinya ingin berkuasa, itu hanyalah merupakan
gambaran lahir dari tabiat batinnya yang bergejolak dan dipenuhi bakat. Bahkan,
postur tubuh, cara berjalan dan berbicaranya memang memberi isyarat bahwa ia
diciptakan untuk menjadi pemimpin.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa suatu
hari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab melihatnya datang. Ia tersenyum
melihat caranya berjalan itu, lalu berkata, “Abu Abdillah
tidak pantas berjalan di muka bumi ini kecuali sebagai amir.” Sungguh, sebenarnya Amr atau Abu Abdillah
tidak mengurangi hak dirinya ini. Bahkan ketika banyak bahaya besar datang
mengancam kaum Muslimin, Amr menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara
seorang pemimpin yang cerdik dan licin yang memiliki kemampuan yang tinggi,
sehingga ia tetap percaya diri dan yakin dengan keunggulannya.
Amr juga memiliki sifat amanah yang
menyebabkan Umar bin Al-Khattab, seorang yang terkenal sangat teliti dalam
memilih para gubernurnya, menetapkan Amr sebagai gubernur di Palestina dan
Yordania, kemudian di Mesir selama hidup Amirul Mukminin Umar. Bahkan, ketika
Amirul Mukminin mengetahui bahwa Amr dalam kesenangan hidup telah melampaui
batas yang semestinya dijalani oleh para pembesarnya dalam pandangan Umar, di
mana taraf hidup mereka seharusnya setingkat atau hampir setingkat dengan taraf
hidup rakyat biasa, khalifah tidak memecatnya.
Umar hanya mengirimkan Muhammad bin
Maslamah dan memerintahkannya agar membagi dua semua harta kekayaan Amr, lalu
meninggalkan separuh untuknya, sedangkan separuh lagi harus dibawa ke Madinah
untuk Baitul Mal. Seandainya Amirul Mukminin Umar mengetahui bahwa ambisi Amr
terhadap kekuasaan sampai menyebabkannya lalai terhadap tanggung jawabnya,
seharusnya Umar yang selalu waspada itu tidak akan membiarkannya memegang
kekuasaan walau hanya sekejap.
Amr bin Al-Ash memiliki kecerdasan yang
tajam, intuisi yang kuat, dan visi yang jauh. Bahkan, Amirul Mukminin Umar,
setiap melihat orang yang lemah akalnya, selalu menepukkan kedua telapak dengan
keras karena herannya seraya berkata, “Subhanallah,
sesungguhnya Pencipta orang ini dan Pencipta Amr bin Al-Ash adalah Ilah Yang
Tunggal.”
Amr juga seorang yang sangat pemberani
dank eras pendirian. Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu
ditunjukkan dalam kelihaiannya bersiasat, hingga ia disangka orang sebagai
pengecut. Padahal, itu tiada lain dari tipu muslihat yang oleh Amr digunakannya
secara tepat dan dengan kecerdikan mengagumkan untuk membebaskan dirinya dari
bahaya yang mengancam.
Amirul Mukminin Umar mengenal bakat dan
kelebihan ini sebaik-baiknya, serta memperlakukannya dengan sepatutnya. Karena
itu, ketika ia diutus ke Syria sebelum pergi ke Mesir. Ada yang mengatakan
kepada Umar bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima
yang lihai dan gagah berani. Jawaban Umar ialah, “Kita
hadapkan Arthabon Romawi kepada Arthabon Arab, dan baiklah kita saksikan nanti
bagaimana kesudahannya.”
Ternyata bahwa pertarungan itu berakhir
dengan kemenangan mutlak Arthabon Arab dan ahli tipu muslihat mereka yang
ulung, Amr bin Al-Ash, sehingga Arthabon Romawi meninggalkan tentaranya
menderita kekalahan dan meluputkan diri ke Mesir, yang tidak lama akan disusul
oleh Amr ke negeri itu untuk membiarkan bendera dan panji-panji Islam di
angkasanya yang aman dan damai.
Tidak sedikit peristiwa yang menunjukkan
bukti kecerdikan dan kelicinan Amr dengan gemilang. Dalam hal ini kita tidak
memasukkan perbuatan sehubungan dengan Abu Musa Al-Asy’ari pada peristiwa
tahkim, yakni ketika mereka berdua menyetujui bahwa masing-masing akan
menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka, agar urusan itu
dikembalikan kepada kaum Muslimin untuk mereka musyawarahkan bersama. Ternyata
Abu Musa melaksanakan hasil persetujuan tersebut, sementara Amr tidak
melaksanakannya.
Bila kita ingin menyaksikan bagaimana
kelicinan dan kesigapannya, pada peristiwa yang dialaminya bersama komandan
perang Babilon di saat peperangannya dengan orang-orang Romawi di mesir, atau
menurut riwayat-riwayat lain bersama Arthabon Romawi di pertempuran Yarmuk di
Syria, yakni ketika ia diundang oleh komandan benteng atau oleh Arthabon untuk
berunding, dan sementara itu komandan Romawi telah menyuruh beberapa orang anak
buahnya untuk menggulingkan batu besar ke atas kepalanya ketika ia hendak
pulang meninggalkan benteng itu, sementara segala sesuatu dipersiapkan, agar
rencana tersebut dapat berjalan lancar dan menghasilkan apa yang dimaksud
mereka.
Amr pun berangkat menemui komandan musuh
itu, tanpa sedikit pun menaruh rasa curiga, dan setelah berunding, mereka pun
berpisah. Tiba-tiba dalam perjalanannya ke luar benteng, ia sekilas menaruh
curiga terhadap gerakan dari atas benteng hingga membangkitkan gerakan
refleksnya dan dengan tangkas berhasil menghindarkan diri dengan cara yang
mengagumkan. Ia berbalik untuk membuat perhitungan dengan komandan benteng
dengan langkah-langkah yang tepat dan kewaspadaan tinggi serta tidak pernah
lalai seolah-olah ia tidak dapat dikejutkan oleh sesuatu pun dan tidak dapat
dipengaruhi oleh rasa curiga.
Kemudian ia masuk ke dalam, lalu berkata
kepada komandan, “Hatiku terbesit suatu pikiran yang
ingin kusampaikan kepadamu sekarang ini. Di pos komandoku sekarang ini sedang
menunggu segolongan shahabat Rasulullah angkatan pertama masuk Islam, di mana
pendapat mereka sering didengar oleh Amirul Mukminin untuk mengambil suatu
keputusan penting. Bahkan, setiap mengirim tentara, mereka selalu
diikutsertakan untuk mengawasi tindakan tentara dan langkah-langkah yang mereka
ambil. Aku bermaksud membawa mereka ke sini agar dapat mendengar dari mulutmu
apa yang telah kudengar, hingga mereka memperoleh penjelasan yang
sebaik-baiknya mengenai urusan kita ini.”
Komandan Romawi itu mengerti bahwa Amr
bernasib mujur dan lolos dari maut. Dengan sikap gembira ia menyetujui usul Amr
hingga bila Amr nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam
pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya Amr seorang diri.
Tanpa sepengetahuan Amr, komandan itu
menahan diri untuk tidak mangganggu Amr sambil menyiapkan kembali perangkap
yang disediakan untuk panglima Islam tadi agar mereka binasa. Ia melepaskan Amr
dengan besar hati dan menjabat tangannya dengan hangat. Ahli siasat dan tipu
muslihat Arab itu menyambutnya dengan tertawa dalam hati. Waktu subuh keesokan
harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras sebagai nada bangga dan
mengejek, Amr kembali memimpin tentaranya menuju benteng. Kudanya memang
merupakan makhluk lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya.
Pada tahun 43 H, Amr bin Al-Ash wafat di
Mesir ketika masih menjabat sebagai gubernur di sana. Saat kepergiannya itu, ia
mengemukakan riwayat hidupnya, “Pada mulanya aku ini seorang kafir dan
orang yang sangat keras terhadap rasulullah hingga seandainya aku meninggal
pada saat itu, aku pasti masuk neraka. Kemudian aku berbaiat kepada Rasulullah,
dan sejak itu tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai dan
lebih mulia dalam pandangan mataku selain beliau.
Seandainya aku diminta untuk melukiskannya, aku tidak akan sanggup
karena rasa hormatku kepada beliau. Aku tidak akan mampu menatap beliau sepenuh
mataku. Seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan aku akan menjadi
penduduk surga. Setelah itu, aku diuji dengan kekuasaan dan urusan lai yang
tidak kuketahui apakah itu membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”
Amr lalu mengangkat kepala ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil
bermunajat kepada Rabbnya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, “Ya
Allah, aku tidak lepas dari kesalahan, maka ampunilah aku. Aku tidak luput dari
kelemahan, maka tolonglah diriku. Bila aku tidak memperoleh karunia-Mu, aku
pasti celaka.”
Demikianlah, ia asyik dalam permohonan dan
merendahkan diri hingga akhirnya rohnya naik ke atas langit tinggi, di sisi
Allah, Rabb Yang Maha Suci, sedangkan akhir ucapan penutup hayatnya ialah “La
Ilaha illa Allah.”
Di pangkuan bumi Mesir, negeri tempat ia
memperkenalkan ajaran Islam itu, tubuh kasarnya bersemayam. Di atas tanahnya
yang keras, majelis yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili, dan
mengendalikan pemerintahan masih tegak berdiri mengiringi waktu, dinaungi oleh
atap masjidnya yang telah berusia lanjut, yaitu Masjig Agung Al-Amr yang
merupakan masjid pertama di Mesir. Di dalamnya nama-nama Allah Yang Tunggal
lagi Esa selalu disebut. Kalimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Islam
dikumandangkan ke setiap pojoknya dari atas mimbar.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar