Sabtu, 18 Januari 2014

Filled Under:

Thufail bin Amr Ad-Dausi (Pemilik Fitrah yang Cerdas).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Di bumi Daus ia dibesarkan dalam keluarga yang mulia dan terhormat. Ia dikaruniai bakat sebagai penyair, hingga nama dan kemahirannya termahsyur di kalangan banyak suku. Saat tiba di pasar Ukaz, tempat berkumpul dan berhimpunnya manusia, untuk mendengar dan menyaksikan para penyair Arab yang datang berkunjung dari seluruh pelosok serta untuk menonjolkan dan membanggakan penyair masing-masing, Thufail mengambil kedudukannya di barisan terkemuka. Walaupun bukan pada musim Ukaz, ia juga sering pergi ke Mekkah.

     Suatu ketika, ia berkunjung ke kota suci itu saat Rasulullah telah memulai dakwah beliau secara terang-terangan. Orang-orang Quraisy khawatir bila Thufail menemuinya dan masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair itu untuk membela Islam, sehingga akan ada bencana besar bagi Quraisy dan berhala-berhala mereka.

     Untuk mencegah hal itu, mereka menyambut kedatangannya dengan segala bentuk kesenangan dan kemewahan untuk melayaninya sebagai tamu, lalu selalu mengingatkan agar tidak bertemu dengan Rasulullah dengan ungkapan, “Muhammad memiliki ucapan laksana sihir, hingga dapat mencerai-beraikan anak dari ayah, seseorang dari saudaranya, serta seorang suami dari istrinya. Kami ini cemas terhadap dirimu dan kaummu dari kejahatannya. Karena itu, janganlah engkau berbicara dengannya atau mendengarkan ucapannya.

     Marilah kita dengarkan Thufail menceritakan sendiri kisahnya, “Demi Allah, mereka selalu mengikutiku hingga aku hampir saja membatalkan maksud untuk menemui dan mendengarkan ucapannya. Ketika aku pergi ke Ka’bah, aku menutup telingaku dengan kapas agar bila ia berkata, maka aku tidak mendengar perkataannya. Kebetulan waktu itu aku mendapatinya sedang shalat di dekat Ka’bah. Aku berdiri di dekatnya dan takdir Allah menghendaki aku agar aku mendengarkan sebagian apa yang dibacanya dan terdengarlah olehku perkataan yang baik.

     Aku berbisik kepada diriku sendiri, ‘Celakalah ibuku kehilangan diriku. Demi Allah, aku ini seorang yang pandai dan seorang penyair. Aku mampu memilah mana yang baik dari yang buruk. Apa salahnya bila aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh lelaki itu? Jika ucapannya itu baik, aku akan menerimanya. Sebaliknya, bila buruk, aku akan meninggalkannya. Aku menunggunya hingga berpaling hendak pulang ke rumahnya, lalu mengikutinya hingga ia masuk rumah. Aku mengejar dan kukatakan kepadanya, ‘Wahai Muhammad, kaummu telah mengatakan ini dan itu tentang dirimu kepadaku. Demi Allah, mereka selalu menakut-nakuti diriku terhadap urusanmu, hingga aku menutupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengarkan perkataanmu. Tetapi, Allah menghendaki agar aku mendengarnya, dan terdengarlah olehku ucapan yang baik. Karena itu, jelaskanlah kepadaku apa yang menjadi urusanmu itu.

     Rasulullah pun menawarkan Islam kepadaku dan membacakan Al-Qur’an. Demi Allah, aku tidak pernah mendengarkan satu ucapan pun yang lebih baik atau suatu urusan yang lebih benar daripada itu. Akhirnya aku masuk Islam dengan mengucapkan syahadat yang benar.

     Aku lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam. Untuk itu, berdoalah kepada Allah agar aku diberi-Nya suatu tanda yang akan menjadi bukti bagiku tentang urusan yang kudakwahkan kepada mereka.’ Rasulullah pun berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah suatu tanda baginya’.

     Allah Ta’ala memujinya di dalam kitab-Nya:

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
QS:Az-Zumar | Ayat: 18

     sekarang, kita bertemu dengan salah seorang yang dipuji itu dan ia merupakan suatu gambaran yang tepat mengenai fitrah yang cerdas. Saat mendengarkan beberapa ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan oleh Allah ke dalam hati Rasul-Nya, seluruh pendengaran dan hatinya terbuka dan akhirnya mengulurkan tangannya untuk berbaiat untuk masuk Islam. Tidak sebatas ini saja, ia langsung bersedia membebani diri dengan tanggung jawab menyeru kaum kepada kaum dan keluarganya kepada agama yang benar dan jalan yang lurus ini.

     Karena itulah, kita menyaksikan saat tiba di rumah dan kampung halamannya, ia langsung menjumpai ayahnya dan menjelaskan kepadanya tentang akidah dan hajat dalam hatinya. Ia langsung mengajak ayahnya masuk Islam setelah menceritakan perihal Rasul yang menyeru kepada agama Allah, dan tentang kebesaran, kesucian, amanah, ketulusan, serta ketaatan beliau kepada Allah Rabb semesta alam.

     Ayahnya masuk Islam seketika itu juga. Selanjutnya, Thufail beralih kepada ibunya, maka ibunya pun menerima Islam. Setelah itu, ia berdakwah kepada istrinya yang juga menerima Islam. Ketika hatinya menjadi tenteram karena Islam telah meliputi rumahnya, ia pun berpindah kepada kerabat dekat, bahkan kepada seluruh penduduk Daus. Namun, tidak ada seorang pun di antara mereka yang memenuhi seruannya dan memeluk Islam selain Abu Hurairah.

     Kaumnya justru menghina dan mengucilkannya, hingga akhirnya ia tidak bisa lagi menahan kesabaran untuk tetap bersama mereka dan atas perlakuan mereka. Ia menaiki kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali kepada Rasulullah mengadukan kondisinya dan menambahkan bekal dengan ajaran-ajaran beliau.

     Ketika telah tiba di Mekkah, ia bergegas ke rumah Rasulullah dengan membawa kerinduan di hati. Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku tidak kuasa lagi menghadapi perzinaan dan riba yang merajalela di Daus. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar menghancurkan Daus.

     Tetapi, betapa terharunya Thufail ketika melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa, “Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan datangkanlah mereka ke sini sebagai Muslim.” Setelah itu beliau memalingkan pandangannya ke Thufail sambil bersabda, “Kembalilah kepada kaummu dan berdakwahlah kepada mereka dengan lemah lembut.

     Peristiwa yang disaksikan ini memenuhi jiwa Thufail dengan keharuan dan mengisi hatinya dengan kepuasan. Ia lalu memuji Allah dengan pujian setibggi-tingginya, yang telah menjadikan Rasulullah sebagai insane pengasih ini sebagai guru dan pembimbingnya, dan menjadikan Islam sebagai agama dan tempat berlindungnya. Ia segera bangkit dan kembali ke kampung halaman dan kaumnya. Di sana, ia senantiasa mengajak mereka kepada Islam secara lembut seperti yang diwasiatkan oleh Rasulullah.

     Selama ia berada di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah telah berhijrah ke Madinah dan telah terjadi Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, setelah kota itu dibukakan oleh Allah untuk kaum Muslimin, tiba-tiba satu rombongan besar yang terdiri dari 80 keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka lalu duduk di hadapan beliau dan berbaiat secara bergantian.

     Ketika pemandangan meriah dan proses baiat yang diberkahi itu telah selesai, Thufail duduk seorang diri, merenungkan kembali kenangan-kenangan lamanya dan membayangkan langkah yang akan diambilnya untuk masa mendatang. Ia teringat saat kedatangannya kepada Rasulullah memohon agar beliau mengangkat tangan ke  arah langit dan mengucapkan doa, “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Daus.” Namun, ternyata Rasulullah menyampaikan permohonan lain yang menggugah keharuannya dengan ungkapan, “Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus dan bawalah mereka ke sini sebagai Muslim.

     Kini Allah telah memberikan petunjuk kepada orang-oarng Daus dan mendatangkan mereka sebagai Muslim. Mereka terdiri dari 80 keluarga beserta penghuni rumahnya dan merupakan bagian terbesar dari penduduk Daus. Mereka kini telah mengambil kedudukan mereka di barisan suci di belakang Rasulullah Al-Amin.

     Thufail melanjutkan aktivitas bersama para jamaah yang telah beriman. Ketika saat pembebasan Mekkah tiba, ia pun memasukinya bersama 10.000 orang, yang tidak pernah membusungkan dada, tetapi justru menundukkan kepala sebagai wujud kekhusyukan dan kehinaan diri di hadapan Allah. Mereka telah mensyukuri nikmat Allah dengan membalas usaha mereka dengan kemenangan yang dekat dan pertolongan yang nyata.

     Thufail melihat Rasulullah menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah dan membersihkan kotoran dan najis yang telah lama berkarat dengan tangan beliau. Putra Daus itu teringat akan sebuah berhala milik Amr bin Humamah. Amr waktu itu sering memuji berhala itu bila sedang menginap di rumahnya sebagai tamu. Ia berlutut di hadapannya, merendahkan diri, dan memohon kepadanya.

     Kini telah tiba waktunya bagi Thufail untuk menghapus dan melebur dosa-dosanya waktu itu. Saat itu juga ia menghampiri Rasulullah dan meminta izin untuk pergi membakar berhala milik Amr bin Humamah yang biasa disebut Dzul Kaffain (berhala bertelapak tangan dua).

     Ia bergegas pergi setelah Rasulullah memberikan lampu hijau ke tempat berhala itu lalu membakarnya dengan api yang membara. Setiap api itu surut, ia menyalakan kembali, sedangkan lisannya melantunkan syair:

     Wahai Dzul Kaffain, aku ini bukan hambamu

     Kami lebih dulu lahir daripada dirimu

     Aku membawa api untuk pengisi perutmu

     Begitulah, Thufail melanjutkan hidupnya bersama Rasulullah, bermakmum kepada beliau, serta belajar dan berperang dalam rombongan beliau. Ketika Rasulullah naik ke Ar-Rafiqul Al-A’la, Thufail berpendapat bahwa dengan wafatnya Rasulullah tersebut, tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim belum selesai, bahkan bisa dikatakan baru dimulai. Ketika pertempuran melawan orang-orang murtad berkobar, Thufail menyingsingkan lengan bajunya dan terjun menghadapi pahit getirnya pertempurang dengan semangat dan kegairahan seseorang yang rindu menemui kesyahidan. Ia selalu ikut dalam setiap perang melawan orang-orang murtad tersebut.

     Pada Perang Yamamah, ia berangkat dengan kaum Muslimin dengan membawa putranya, Amr bin Thufail. Saat perang baru dimulai, ia berwasiat kepada putranya agar berperang mati-matian menghadapi tentara Musailamah Al-Kadzab hingga mendapatkan kesyahidan. Ia juga  berpesan kepada putranya bahwa menurut firasatnya, dalam pertempuran kali ini ia akan menemui kesyahidan.

     Setelah itu ia menyiapkan pedangnya dan terjun ke medan pertempuran dengan semangat berkorban yang tinggi dan rela mati. Bukan hanya mempertahankan nyawa dengan pedangnya, tetapi pedangnya dipertahankan untuk nyawanya. Ketika ia gugur dan tubuhnya jatuh tersungkur, pedangnya masih teracung dan siap untuk ditebaskan oleh tangannya yang sebelah yang tidak mengalami cedera apa-apa.

     Dalam pertempuran itu, Thufail Ad-Dausi gugur syahid dan jasadnya tersungkur oleh tusukan senjata, sedangkan sinar matanya seperti hendak memberikan isyarat kepada putranya yang tidak dilihatnya di tengah-tengah kerumunan. Isyarat itu ialah agar ia berwaspada dan bertahan jangan sampai gugur. Tetapi, ternyata putranya itu tidak ingin ketinggalan, lalu menyusul ayahnya beberapa saat setelahnya. Di pertempuran Yarmuk di Syria, ketika Amr bin Thufail turut mengambil bagian sebagai pejuang, di sanalah ia memenuhi janjinya, gugur syahid.


     Saat Amr bin Thufail hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia mengulurkan dan membentangkan telapak tangan kanannya seperti hendak menjawab dan menjabat tangan seseorang. Siapakah yang tahu bila waktu itu ia bersalaman sengan roh ayahnya?




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf