بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Suatu ketika, ia berkunjung ke kota suci
itu saat Rasulullah telah memulai dakwah beliau secara terang-terangan.
Orang-orang Quraisy khawatir bila Thufail menemuinya dan masuk Islam, lalu menggunakan
bakatnya sebagai penyair itu untuk membela Islam, sehingga akan ada bencana
besar bagi Quraisy dan berhala-berhala mereka.
Untuk mencegah hal itu, mereka menyambut
kedatangannya dengan segala bentuk kesenangan dan kemewahan untuk melayaninya
sebagai tamu, lalu selalu mengingatkan agar tidak bertemu dengan Rasulullah
dengan ungkapan, “Muhammad memiliki ucapan laksana
sihir, hingga dapat mencerai-beraikan anak dari ayah, seseorang dari
saudaranya, serta seorang suami dari istrinya. Kami ini cemas terhadap dirimu
dan kaummu dari kejahatannya. Karena itu, janganlah engkau berbicara dengannya
atau mendengarkan ucapannya.”
Marilah kita dengarkan Thufail
menceritakan sendiri kisahnya, “Demi Allah, mereka selalu mengikutiku
hingga aku hampir saja membatalkan maksud untuk menemui dan mendengarkan
ucapannya. Ketika aku pergi ke Ka’bah, aku menutup telingaku dengan kapas agar
bila ia berkata, maka aku tidak mendengar perkataannya. Kebetulan waktu itu aku
mendapatinya sedang shalat di dekat Ka’bah. Aku berdiri di dekatnya dan takdir
Allah menghendaki aku agar aku mendengarkan sebagian apa yang dibacanya dan
terdengarlah olehku perkataan yang baik.
Aku berbisik kepada diriku sendiri, ‘Celakalah
ibuku kehilangan diriku. Demi Allah, aku ini seorang yang pandai dan seorang
penyair. Aku mampu memilah mana yang baik dari yang buruk. Apa salahnya bila
aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh lelaki itu? Jika ucapannya itu baik,
aku akan menerimanya. Sebaliknya, bila buruk, aku akan meninggalkannya. ’ Aku menunggunya hingga berpaling hendak pulang ke
rumahnya, lalu mengikutinya hingga ia masuk rumah. Aku mengejar dan kukatakan
kepadanya, ‘Wahai Muhammad, kaummu telah mengatakan ini
dan itu tentang dirimu kepadaku. Demi Allah, mereka selalu menakut-nakuti diriku
terhadap urusanmu, hingga aku menutupi telingaku dengan kapas agar tidak
mendengarkan perkataanmu. Tetapi, Allah menghendaki agar aku mendengarnya, dan
terdengarlah olehku ucapan yang baik. Karena itu, jelaskanlah kepadaku apa yang
menjadi urusanmu itu.’
Rasulullah pun menawarkan Islam kepadaku dan membacakan Al-Qur’an. Demi
Allah, aku tidak pernah mendengarkan satu ucapan pun yang lebih baik atau suatu
urusan yang lebih benar daripada itu. Akhirnya aku masuk Islam dengan
mengucapkan syahadat yang benar.
Aku lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ini
seorang yang ditaati oleh kaumku dan sekarang aku akan kembali kepada mereka,
serta akan menyeru mereka kepada Islam. Untuk itu, berdoalah kepada Allah agar
aku diberi-Nya suatu tanda yang akan menjadi bukti bagiku tentang urusan yang
kudakwahkan kepada mereka.’ Rasulullah pun berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah suatu tanda baginya’.”
Allah Ta’ala memujinya di dalam kitab-Nya:
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
QS:Az-Zumar | Ayat: 18
QS:Az-Zumar | Ayat: 18
sekarang, kita bertemu dengan salah seorang yang dipuji itu dan ia
merupakan suatu gambaran yang tepat mengenai fitrah yang cerdas. Saat
mendengarkan beberapa ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan oleh
Allah ke dalam hati Rasul-Nya, seluruh pendengaran dan hatinya terbuka dan
akhirnya mengulurkan tangannya untuk berbaiat untuk masuk Islam. Tidak sebatas
ini saja, ia langsung bersedia membebani diri dengan tanggung jawab menyeru
kaum kepada kaum dan keluarganya kepada agama yang benar dan jalan yang lurus
ini.
Karena itulah, kita menyaksikan saat tiba di rumah dan kampung
halamannya, ia langsung menjumpai ayahnya dan menjelaskan kepadanya tentang
akidah dan hajat dalam hatinya. Ia langsung mengajak ayahnya masuk Islam
setelah menceritakan perihal Rasul yang menyeru kepada agama Allah, dan tentang
kebesaran, kesucian, amanah, ketulusan, serta ketaatan beliau kepada Allah Rabb
semesta alam.
Ayahnya masuk Islam seketika itu juga. Selanjutnya, Thufail beralih
kepada ibunya, maka ibunya pun menerima Islam. Setelah itu, ia berdakwah kepada
istrinya yang juga menerima Islam. Ketika hatinya menjadi tenteram karena Islam
telah meliputi rumahnya, ia pun berpindah kepada kerabat dekat, bahkan kepada
seluruh penduduk Daus. Namun, tidak ada seorang pun di antara mereka yang
memenuhi seruannya dan memeluk Islam selain Abu Hurairah.
Kaumnya justru menghina dan mengucilkannya, hingga akhirnya ia tidak
bisa lagi menahan kesabaran untuk tetap bersama mereka dan atas perlakuan
mereka. Ia menaiki kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali kepada
Rasulullah mengadukan kondisinya dan menambahkan bekal dengan ajaran-ajaran
beliau.
Ketika telah tiba di Mekkah, ia bergegas ke rumah Rasulullah dengan
membawa kerinduan di hati. Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, aku tidak kuasa lagi menghadapi perzinaan dan riba yang merajalela
di Daus. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar menghancurkan Daus.”
Tetapi, betapa terharunya Thufail ketika melihat Rasulullah mengangkat
kedua tangannya ke langit sambil berdoa, “Ya Allah,
tunjukilah orang-orang Daus, dan datangkanlah mereka ke sini sebagai Muslim.” Setelah itu beliau memalingkan pandangannya ke Thufail sambil
bersabda, “Kembalilah kepada kaummu dan berdakwahlah
kepada mereka dengan lemah lembut.”
Peristiwa yang disaksikan ini memenuhi jiwa Thufail dengan keharuan dan
mengisi hatinya dengan kepuasan. Ia lalu memuji Allah dengan pujian setibggi-tingginya,
yang telah menjadikan Rasulullah sebagai insane pengasih ini sebagai guru dan
pembimbingnya, dan menjadikan Islam sebagai agama dan tempat berlindungnya. Ia
segera bangkit dan kembali ke kampung halaman dan kaumnya. Di sana, ia
senantiasa mengajak mereka kepada Islam secara lembut seperti yang diwasiatkan
oleh Rasulullah.
Selama ia berada di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah telah berhijrah ke
Madinah dan telah terjadi Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Ketika
Rasulullah sedang berada di Khaibar, setelah kota itu dibukakan oleh Allah
untuk kaum Muslimin, tiba-tiba satu rombongan besar yang terdiri dari 80
keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir.
Mereka lalu duduk di hadapan beliau dan berbaiat secara bergantian.
Ketika pemandangan meriah dan proses baiat yang diberkahi itu telah
selesai, Thufail duduk seorang diri, merenungkan kembali kenangan-kenangan
lamanya dan membayangkan langkah yang akan diambilnya untuk masa mendatang. Ia
teringat saat kedatangannya kepada Rasulullah memohon agar beliau mengangkat
tangan ke arah langit dan mengucapkan
doa, “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Daus.” Namun, ternyata Rasulullah menyampaikan permohonan lain yang
menggugah keharuannya dengan ungkapan, “Ya Allah,
tunjukilah orang-orang Daus dan bawalah mereka ke sini sebagai Muslim.”
Kini Allah telah memberikan petunjuk kepada orang-oarng Daus dan
mendatangkan mereka sebagai Muslim. Mereka terdiri dari 80 keluarga beserta
penghuni rumahnya dan merupakan bagian terbesar dari penduduk Daus. Mereka kini
telah mengambil kedudukan mereka di barisan suci di belakang Rasulullah
Al-Amin.
Thufail melanjutkan aktivitas bersama para jamaah yang telah beriman.
Ketika saat pembebasan Mekkah tiba, ia pun memasukinya bersama 10.000 orang,
yang tidak pernah membusungkan dada, tetapi justru menundukkan kepala sebagai
wujud kekhusyukan dan kehinaan diri di hadapan Allah. Mereka telah mensyukuri
nikmat Allah dengan membalas usaha mereka dengan kemenangan yang dekat dan pertolongan
yang nyata.
Thufail melihat Rasulullah menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah dan
membersihkan kotoran dan najis yang telah lama berkarat dengan tangan beliau.
Putra Daus itu teringat akan sebuah berhala milik Amr bin Humamah. Amr waktu itu
sering memuji berhala itu bila sedang menginap di rumahnya sebagai tamu. Ia
berlutut di hadapannya, merendahkan diri, dan memohon kepadanya.
Kini telah tiba waktunya bagi Thufail untuk menghapus dan melebur
dosa-dosanya waktu itu. Saat itu juga ia menghampiri Rasulullah dan meminta
izin untuk pergi membakar berhala milik Amr bin Humamah yang biasa disebut Dzul
Kaffain (berhala bertelapak tangan dua).
Ia bergegas pergi setelah Rasulullah memberikan lampu hijau ke tempat
berhala itu lalu membakarnya dengan api yang membara. Setiap api itu surut, ia
menyalakan kembali, sedangkan lisannya melantunkan syair:
Wahai Dzul Kaffain, aku ini bukan hambamu
Kami lebih dulu lahir daripada dirimu
Aku membawa api untuk pengisi perutmu
Begitulah, Thufail melanjutkan hidupnya bersama Rasulullah, bermakmum
kepada beliau, serta belajar dan berperang dalam rombongan beliau. Ketika
Rasulullah naik ke Ar-Rafiqul Al-A’la, Thufail berpendapat bahwa dengan wafatnya Rasulullah tersebut,
tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim belum selesai, bahkan bisa dikatakan
baru dimulai. Ketika pertempuran melawan orang-orang murtad berkobar, Thufail
menyingsingkan lengan bajunya dan terjun menghadapi pahit getirnya pertempurang
dengan semangat dan kegairahan seseorang yang rindu menemui kesyahidan. Ia
selalu ikut dalam setiap perang melawan orang-orang murtad tersebut.
Pada Perang Yamamah, ia berangkat dengan kaum Muslimin dengan membawa
putranya, Amr bin Thufail. Saat perang baru dimulai, ia berwasiat kepada
putranya agar berperang mati-matian menghadapi tentara Musailamah Al-Kadzab
hingga mendapatkan kesyahidan. Ia juga
berpesan kepada putranya bahwa menurut firasatnya, dalam pertempuran
kali ini ia akan menemui kesyahidan.
Setelah itu ia menyiapkan pedangnya dan terjun ke medan pertempuran
dengan semangat berkorban yang tinggi dan rela mati. Bukan hanya mempertahankan
nyawa dengan pedangnya, tetapi pedangnya dipertahankan untuk nyawanya. Ketika
ia gugur dan tubuhnya jatuh tersungkur, pedangnya masih teracung dan siap untuk
ditebaskan oleh tangannya yang sebelah yang tidak mengalami cedera apa-apa.
Dalam pertempuran itu, Thufail Ad-Dausi gugur syahid dan jasadnya
tersungkur oleh tusukan senjata, sedangkan sinar matanya seperti hendak
memberikan isyarat kepada putranya yang tidak dilihatnya di tengah-tengah
kerumunan. Isyarat itu ialah agar ia berwaspada dan bertahan jangan sampai
gugur. Tetapi, ternyata putranya itu tidak ingin ketinggalan, lalu menyusul
ayahnya beberapa saat setelahnya. Di pertempuran Yarmuk di Syria, ketika Amr
bin Thufail turut mengambil bagian sebagai pejuang, di sanalah ia memenuhi
janjinya, gugur syahid.
Saat Amr bin Thufail hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia
mengulurkan dan membentangkan telapak tangan kanannya seperti hendak menjawab
dan menjabat tangan seseorang. Siapakah yang tahu bila waktu itu ia bersalaman
sengan roh ayahnya?
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar