Sabtu, 18 Januari 2014

Filled Under:

Abu Musa Al-Asy’ari (Asalkan Ikhlas, Apa yang Terjadi Biarlah Terjadi).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ketika Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi gubernur di sana, ia mengumpulkan penduduk lalu berpidato di hadapan mereka, “Sesungguhnya Amirul Mukminin Umar mengirimku kepada kalian agar aku mengajarkan kepada kalian Kitab Allah dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian.

     Orang-orang merasa heran dan tidak paham. Mereka sudah mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang agama, yang memang menjadi kewajiban pemimpin. Tetapi, bila tugas gubernur itu ditambahi dengan membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang sangat mengherankan dan menimbulkan tanda Tanya.

     Siapakah sejatinya gubernur ini, yang tentang dirinya Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Tidak ada seorang pengendara pun yang datang ke Bashrah lebih berjasa kepada penduduknya selain dia.

     Dia adalah Abdullah bin Qais dengan panggilan Abu Musa Al-Asy’ari. Ia meninggalkan Yaman yang merupakan negeri dan tanah kelahirannya menuju Mekkah segera setelah mendengar munculnya seorang nabi di sana yang membisikkan tauhid dan menyeru kepada agama Allah berdasarkan ilmu serta menyuruh berakhlak mulia.

     Di Mekkah, ia menghabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah menerima petunjuk dan keimanan dari beliau. Setelah itu ia pulang ke negerinya membawa kalimat Allah, lalu kembali lagi kepada Rasulullah tidak lama pasca pembebasan Khaibar. Kedatangannya kali ini bersamaan dengan kepulangan Ja’far bin Abu Thalib dan rombongannya dari Habasyah, sehingga mereka semua mendapatkan bagian dari hasil pertempuran Khaibar.

     Kali ini Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari 50 orang lelaki penduduk Yaman yang telah didakwahinya untuk masuk Islam, serta dua saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhm dan Abu Burdah. Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan oleh Rasulullah dengan sebutan golongan Al-Asy’ari.

     Beliau menyifati mereka sebagai orang-orang yang paling lembut hatinya. Mereka sering menjadi contoh yang baik bagi para shahabatnya, yang dalam hal ini beliau bersabda tentang mereka, “Orang-orang Al-Asy’ari ini, bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang mereka miliki di selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka termasuk golonganku dan aku termasuk golongan mereka.

     Mulai saat ini, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tetap dan tinggi di kalangan kaum Muslimin dan Mukminin yang ditakdirkan menjadi shahabat dan murid Rasulullah, di samping menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia setiap saat.

     Abu Musa merupakan perpaduan unik semua hal yang utama. Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang. Ia seorang pahlawan perdamaian yang ketenangannya mencapai batas maksimal. Ia juga seorang yang ahli hukum yang cerdas dan berpikiran sehat, yang mampu mengerahkan kemampuannya pada kunci dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, hingga ada yang mengatakan, “Hakim umat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit.

     Di samping itu, ia adalah sosok yang berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah pasti akan tertipu sendiri. Abu Musa memiliki loyalitas dan rasa tanggung jawab yang tinggi, banyak wawasan tentang kemanusiaan. Bila kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, semboyan itu akan berbunyi, “Yang penting ialah ikhlas, kemudian apa yang akan terjadi biarlah terjadi.

     Di medan juang, Al-Asy’ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah bersabda mengenai dirinya, “Pemimpin pasukan berkuda ialah Abu Musa.” Sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya dengan ungkapan, “Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah. Kami berjalan hingga kami terluka, tidak ketinggalan kakiku, bahkan kulit jari-jari kakiku terkelupas, hingga kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain.

     Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan. Karena, dalam suasana seperti ini, ia akan menelisik sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tidak kenal menyerah. Ketika kaum Muslimin membebaskan negeri Persia, Abu Musa dengan tentaranya menduduki kota Isfahan. Penduduknya meminta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi, dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul mundur kaum Muslimin secara curang.

     Namun, kecerdasan Abu Musa yang tidak pernah absen saat-saat diperlukan itu mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan. Ketika mereka bermaksud melancarkan serangan terhadap kaum Muslimin, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu telah siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Pertempuran meletus dan tidak sampai setengah hari, Abu Musa telah memperoleh kemenangan yang gemilang.

     Dalam medan tempur melawan Imperium Persia, Abu Musa menunjukkan peran yang agung dan jihad yang mulia. Bahkan, dalam pertempuran di Tustar, di mana Hurmazan menarik pasukannya ke benteng dan sekaligus menjadi pertahanan mereka, Abu Musa merupakan pahlawan dalam pertempuran ini. Pada saat itu Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab mengirimkan tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh Ammar bin Yasir, Al-Bara’ bin Malik, Anas bin Malik, Majza’ah Al-Bakri, dan Salamah bin Raja’.

     Kedua pasukan bertemu. Pasukan Islam di bawah pimpinan Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan tentara Persia di bawah pimpinan Hurmuzan. Dua kubu ini bertemu dalam pertempuran yang dahsyat. Tentara Persia mundur ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh kaum Muslimin berhari-hari, hingga Abu Musa mempergunakan akal dan siasatnya. Ia mengirim 200 pasukan berkuda agar menyamar bersama pedagang Persia dan Abu Musa berpesan agar tidak menyergap sebelum pintu kota itu dibuka di hadapan pasukan yang dipilihnya untuk tugas tersebut.

     Saat pintu gerbang dibuka, semua prajurit itu pun langsung menyerbu benteng, sehingga Abu Musa beserta pasukannya bisa memasuki kota dan terjadilah pertempuran yang dahsyat. Tidak beberapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka kepada Amirul Mukminin.

     Prajurit yang hebat ini ketika telah meninggalkan medan, ia langsung beralih menjadi hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan sangat lembut bagaikan burung kecil. Ia membacakan ayat Al-Qur’an dengan suara yang menggetarkan hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, Abu Musa tela diberi karunia seruling di antara seruling-seruling keluarga Dawud.” Setiap Umar melihat Abu Musa, ia langsung memanggil dan memintanya untuk membacakan Kitab Allah dengan ungkapan, “Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Rabb kami, wahai Abu Musa.

     Dalam urusan perang, ia tidak pernah ikut serta, kecuali jika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang agama dan bermaksud hendak memadamkan cahaya Allah. Adapun peperangan antara sesama Muslim, ia menyingkirkan diri dan tidak mau terlibat. Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.

     Mungkin, poin pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal, yaitu pendiriannya dalam penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan istilah tahkim. Pendiriannya ini sering diungkapkan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi orang yang menipunya. Hanya saja, meskipun sikap ini mungkin saja agak tergesa-gesa atau ada kesalahan, itu tetap menunjukkan keagungan shahabat yang mulia ini, baik keagungan jiwa maupun keimanannya kepada kebenaran dan kepercayaannya terhadap sesama Muslim.

     Pendapat Abu Musa mengenai tahkim ini dapat kita ringkas bahwa ia melihat kaum Muslimin telah berperang satu sama lain. Setiap pihak fanatic terhadap pemimpin dan kepala pemerintahannya. Ia juga melihat bahwa kondisi kedua belah pihak sudah sangat buruk dan mustahil dapat dicairkan, yang akan menyebabkan nasib seluruh umat Islam berada di tepi jurang yang sangat dalam. Menurut Abu Musa, suasana ini harus diubah secara keseluruhan dan mulai membuka suasana baru.

     Perang saudara yang terjadi ketika itu berlangsung antara dua kelompok Muslim yang berselisih dalam persoalan pribadi pemimpin kaum Muslimin. Solusinya, Ali hendaknya meletakkan amanahnya sebagai khalifah untuk sementara waktu, demikian pula dengan Mu’awiyah. Kemudian urusan kepemimpinan diserahkan kembali kepada kaum Muslimin dengan jalan musyawarah akan memilih khalifah yang mereka hendaki.

     Itulah pendapat Abu Musa mengenai kasus tersebut dan itulah solusinya. Benar, bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah secara sah. Tidak salah juga bahwa pembangkangan yang tidak beralasan tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan sesuatu yang sudah sah menurut syariat. Hanya saja, menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Iraq dan penduduk Syria yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru. Karena pengkhianatan Mu’awiyah yang sekarang ini telah menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja.

     Tetapi, semuanya telah berkembang menjadi perang saudara hebat yang telah menelan ribuan korban dari kedua belah pihak dan masih mengancam Islam dan kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah. Melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian.

     Sebenarnya, kita telah menerima rencana tahkim itu, Ali hendak mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi, sebagian besar shahabat dan tentaranya yang berpengaruh memaksanya untuk memilih Abu Musa Al-Asy’ari. Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian Ali dan Mu’awiyah sejak awal. Bahkan, setelah ia putus asa membujuk kedua belah pihak agar berdamai dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Itulah yang menjadikan dirinya orang yang paling tepat untuk mewakili tahkim.

     Mengenai keimanan, kejujuran, dan ketulusan Abu Musa, Ali tidak sedikit pun meragukannya. Hanya saja, ia tahu betul maksud-maksud tertentu di pihak lain dan seberapa jauh ketergantungan mereka pada maneuver dan tipuan. Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai maneuver dan tipuan ini, di samping ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya, bukan dengan kepintarannya. Karena itu, Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu dan tahkim hanya akan beralih menjadi maneuver jahat dari pihak lawan yang justru semakin merusak keadaan.

     Tahkim antara kedua belah pihak itu pun dimulai. Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Ali, sedangkan Amr bin Al-Ash sebagai wakil dari pihak Mu’awiyah. Benar, bahwa Amr bin Al-Ash mengandalkan ketajaman otak dan siasatnya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu’awiyah. Pertemuan antara kedua wakil itu, yakni Abu Musa dan Amr, didahului dengan usulan yang diajukan oleh Abu Musa, agar kedua belah pihak menyetujui Abdullah bin Umar sebagai calon bahkan langsung dinyatakan sebagai khalifah kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara kaum Muslimin yang secara umum tidak mencintai, menghormati, dan memuliakannya.

     Amr bin Al-Ash melihat ada kesempatan emas yang tidak akan dibiarkannya berlalu begitu saja dari celah usulan Abu Musa tersebut. Karena, maksud usulan Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Itu juga berarti bahwa ia bersedia menyerahkan kekhalifahan pada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasulullah, buktinya bahwa ia telah mengusulkan Abdullah bin Umar.

     Begitulah, Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya dengan kecerdasannya, sehingga ia mengusulkan Mu’awiyah sebagai pengganti. Kemudian ia mengusulkan putranya sendiri, Abdullah bin Amr, yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah. Namun, kecerdikan Amr ini terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena ketika ia melihat Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar perundingan dalam tahkim, ia mencoba untuk mengarahkannya ke jalan yang lebih aman.

     Ia menanggapi usulan Amr itu dengan menyatakan bahwa pemilihan khalifah itu adalah hak seluruh kaum Muslimin, dan Allah telah menetapkan bahwa segala urusan mereka hendaklah diperundingkan di antara mereka. Karena itu, hendaklan soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.

     Kita akan melihat bagaimana Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu’awiyah. Tetapi, sebelum itu marilah kita dengarkan perdebatan yang bersejarah itu, yang berlangsung antara Abu Musa dan Amr bin Al-Ash di awal pertemuan mereka. Kita menukilnya dari kitab “Al-Akhbar Ath-Thiwal” karya Abu Hanifah Ad-Dinawari.

Abu     :   “Wahai Amr, apakah engkau menginginkan kemaslahatan umat dan ridha
                      Allah?
Amr     :   “Apakah itu?
Abu     :   “Kita angkat Abdullah bin Umar karena ia tidak ikut campur sedikit pun
                     dalam peperangan ini.
Amr     :   “Engkau sendiri apa pendapatmu terhadap Mu’awiyah?
Abu     :   “Tidak ada tempat bagi Mu’awiyah dalam urusan ini dan ia tidak berhak.
Amr     :   “Apakah engkau tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya?
Abu     :   “Ya, itu benar.
Amr     :   “Mu’awiyah ialah pihak keluarga yang berhak menuntut darahnya, sedangkan kedudukannya di kalangan bangsa Quraisy engkau sendiri telah mengetahuinya. Jika nanti ada yang mengatakan, mengapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tidak ada sangkut pautnya dulu, engkau dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wali darah Utsman, sedang Allah Ta’ala berfirman, ‘Barang siapa yang dibunuh secara aniaya, maka Kami berikan kekuasaan kepada walinya.’ Di samping itu ia adalah saudara Ummu Habibah, istri Nabi, juga salah seorang dari shahabat beliau.
Abu     :   “Bertakwalah kepada Allah, wahai Amr. Mengenai kehormatan posisi Mu’awiyah yang engkau katakan itu, maka seandainya khalifah itu dapat diperoleh dengan kehormatan posisi, orang yang paling berhak terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah karena ia berasal dari keturunan raja-raja Yaman yang turun-temurun yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kehormatan Mu’awiyah disbanding dengan Ali bin Abu Thalib?
                      Adapun katamu bahwa Mu’awiyah wali Utman, putra Utsman sendiri, Amr bin Utsman, tentu lebih berhak daripada dirinya. Tetapi, seandainya engkau bersedia mengikuti saranku, kita hidupkan kembali sunnah dan kenangan Umar bin Al-Khattab dengan mengangkat putranya, Abdullah, yang luas ilmunya itu.
Amr     :   “Kalau begitu, apa salahnya bila engkau mengangkat putraku, Abdullah, yang memiliki keutamaan dan kesalehan, di samping lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?
Abu     :   “Putramu memang seorang yang bisa dipercaya, tetapi engkau telah menyeretnya ke lumpur peperangan ini. Karena itu, sebaiknya kita serahkan saja kepada orang baik putra orang baik, yaitu Abdullah bin Umar.
Amr     :   “Wahai Abu Musa, urusan ini hanya layak bagi lelaki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan.
Abu     :   “Celaka engkau, wahai Amr. Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kepada kita setelah mereka beradu perang dan saling melempar anak panah. Janganlah kita menjerumuskan mereka ke dalam fitnah baru.
Amr     :   “Jadi, bagaimana pendapatmu?
Abu     :   “Aku berpendapat, kita cabut jabatan khalifah itu dari kedua pihak, Ali dan Mu’awiyah, dan kita serahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
Amr     :   “Aku setuju dengan pendapat ini karena keselamatan jiwa manusia ada di dalamnya.
     Percakapan ini mengubah total bentuk gambaran yang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa Al-Asy’ari di setiap kita teringat peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali dari sifat lalai. Bahkan, dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan Amr bin Al-Ash yang terkenal licin dan lihai itu.
     Karena itu, ketika Amr hendak memaksa Abu Musa untuk menerima Mu’awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsawanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wali Utsman, Abu Musa mematahkan argument itu dengan jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang. Bila kekhalifahan itu berdasarkan kebangsawanan, Abrahah bin Shabah yang merupakan keturunan raja-raja tentu lebih utama daripada Mu’awiyah. Jika itu karena Mu’awiyah adalah wali Utsman dan pembela haknya, putra Utsman sendiri tentu lebih utama menjadi wali daripada Mu’awiyah.
     Setelah perundingan ini, tahkim berpindah ke tangan Amr bin Al-Ash seorang diri. Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan itu kepada umat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Amr telah menyetujui dan mengakui usahanya dengan pendapat ini, Amr akan mengambil maneuver bagaimanapun fanatiknya terhadap Mu’awiyah.
     Ibnu Abbas telah memperingatinya ketika ia kembali kepada mereka dan menyampaikan apa yang telah disetujui, bahwa Amr bisa saja mengambil maneuver, dengan ungkapan, “Demi Allah, aku khawatir Amr akan menipumu. Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara kalian berdua, biarkanlah ia berbicara dahulu, kemudian baru engkau menanggapinya.” Namun, Abu Musa melihat itu merupakan urusan yang besar dan agung, sehingga tidak berpikir bahwa Amr akan bermanuver. Sebaliknya, ia merasa yakin bahwa Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama.
     Keesokan harinya, mereka berdua bertemu kembali, Abu Musa mewakili pihak Ali dan Amr bin Al-Ash mewakili pihak Mu’awiyah. Abu Musa mempersilahkan Amr untuk berbicara lebih dahulu namun ia menolak, “Tak mungkin aku akan berbicara lebih dahulu daripada engkau. Engkau lebih utama daripada aku, lebih dulu hijrah, dan lebih tua.
     Abu Musa maju dan menghadap ke arah massa kedua belah pihak yang sedang diam menunggu. Ia berkata, “Wahai manusia, kami telah mencari solusi terbaik yang diharapkan Allah akan menyatukan hati umat ini dan memperbaiki urusan mereka. Kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu’awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan umat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah. Sekarang, aku telah mencopot Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka. Karena itu, hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian.
     Kini tiba giliran Amr untuk memaklumkan penurunan Mu’awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ali, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin. Amr menaiki mimbar, lalu berpidato, “Wahai manusia, Abu Musa telah mengatakan apa yang telah kalian dengar dan ia telah mencopot shahabatnya dari jabatan. Ketahuilah, bahwa saya juga menanggalkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabatku, Mu’awiyah, karena ia adalah wali bagi Amirul Mukminin Utsman dan penuntut darahnya, serta sosok yang lebih berhak dengan jabatannya ini.
     Abu Musa tidak tahan menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia mengecam Amr dengan kata-kata yang keras dan kemarahan. Setelah itu, ia lebih memilih untuk mengasingkan diri. Ia mengayunkan langkah menuju Mekkah dan tinggal di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.
     Abu Musa ialah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah, juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan para shahabatnya. Ketika Rasulullah masih hidup, beliau mengangkatnya bersama Mu’adz bin Jabal sebagai pemegang kendali pemerintahan di Yaman. Setelah Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persia dan Romawi.
     Pada masa Amirul Mukminin Umar, ia mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedangkan Khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah. Abu Musa termasuk ahli Al-Qur’an yang menghafal, mendalami, dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai Al-Qur’an itu ialah, “Ikutilah Al-Qur’an dan janganlah kalian berharap akan diikuti oleh Al-Qur’an.
     Abu Musa termasuk ahli ibadah yang gigih. Pada siang hari musim panas, yang panasnya menyesakkan nafas, anda justru akan mendapatkan Abu Musa menyambut musim itu dengan kerinduan agar bisa berpuasa. Ia berkata, “Semoga panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita pada hari kiamat nanti.

     Pada suatu hari yang lembut, ajalnya datang menjemput. Wajahnya memancarkan cahaya yang cemerlang, wajah seseorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah Yang Maha Pengasih. Kalimat yang selalu diulang-ulang dan menjadi buah bibirnya, sepanjang hayat yang diliputi keimanan itu, dan sekarang lisannya sedang mengulangi kata-kata itu dalam detik-detik perjalanan abadinya. Kata-kata itu ialah, “Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat dan dari-Mulah segala keselamatan.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf