بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Orang-orang merasa heran dan tidak paham.
Mereka sudah mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka
tentang agama, yang memang menjadi kewajiban pemimpin. Tetapi, bila tugas
gubernur itu ditambahi dengan membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang
sangat mengherankan dan menimbulkan tanda Tanya.
Siapakah sejatinya gubernur ini, yang
tentang dirinya Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Tidak ada
seorang pengendara pun yang datang ke Bashrah lebih berjasa kepada penduduknya
selain dia.”
Dia adalah Abdullah bin Qais dengan
panggilan Abu Musa Al-Asy’ari. Ia meninggalkan Yaman yang merupakan negeri dan
tanah kelahirannya menuju Mekkah segera setelah mendengar munculnya seorang
nabi di sana yang membisikkan tauhid dan menyeru kepada agama Allah berdasarkan
ilmu serta menyuruh berakhlak mulia.
Di Mekkah, ia menghabiskan waktunya untuk
duduk di hadapan Rasulullah menerima petunjuk dan keimanan dari beliau. Setelah
itu ia pulang ke negerinya membawa kalimat Allah, lalu kembali lagi kepada
Rasulullah tidak lama pasca pembebasan Khaibar. Kedatangannya kali ini
bersamaan dengan kepulangan Ja’far bin Abu Thalib dan rombongannya dari
Habasyah, sehingga mereka semua mendapatkan bagian dari hasil pertempuran
Khaibar.
Kali ini Abu Musa tidaklah datang seorang
diri, tetapi membawa lebih dari 50 orang lelaki penduduk Yaman yang telah didakwahinya
untuk masuk Islam, serta dua saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhm dan Abu
Burdah. Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan oleh Rasulullah
dengan sebutan golongan Al-Asy’ari.
Beliau menyifati mereka sebagai
orang-orang yang paling lembut hatinya. Mereka sering menjadi contoh yang baik
bagi para shahabatnya, yang dalam hal ini beliau bersabda tentang mereka, “Orang-orang
Al-Asy’ari ini, bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa
paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang mereka miliki di selembar
kain, lalu mereka membagi rata. Mereka termasuk golonganku dan aku termasuk
golongan mereka.”
Mulai saat ini, Abu Musa pun menempati
kedudukannya yang tetap dan tinggi di kalangan kaum Muslimin dan Mukminin yang
ditakdirkan menjadi shahabat dan murid Rasulullah, di samping menjadi penyebar
Islam ke seluruh dunia setiap saat.
Abu Musa merupakan perpaduan unik semua
hal yang utama. Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh
bila berada di medan perang. Ia seorang pahlawan perdamaian yang ketenangannya
mencapai batas maksimal. Ia juga seorang yang ahli hukum yang cerdas dan
berpikiran sehat, yang mampu mengerahkan kemampuannya pada kunci dan pokok
persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil
keputusan, hingga ada yang mengatakan, “Hakim umat
ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit.”
Di samping itu, ia adalah sosok yang
berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah pasti akan
tertipu sendiri. Abu Musa memiliki loyalitas dan rasa tanggung jawab yang
tinggi, banyak wawasan tentang kemanusiaan. Bila kita ingin memilih suatu
semboyan dari kenyataan hidupnya, semboyan itu akan berbunyi, “Yang
penting ialah ikhlas, kemudian apa yang akan terjadi biarlah terjadi.”
Di medan juang, Al-Asy’ari memikul
tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah bersabda
mengenai dirinya, “Pemimpin pasukan berkuda ialah Abu
Musa.” Sebagai pejuang,
Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya dengan ungkapan, “Kami
pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah. Kami berjalan
hingga kami terluka, tidak ketinggalan kakiku, bahkan kulit jari-jari kakiku
terkelupas, hingga kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan
kain.”
Keramahan, kedamaian dan ketenangannya,
jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan. Karena, dalam
suasana seperti ini, ia akan menelisik sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan
akan menyelesaikannya dengan tekad yang tidak kenal menyerah. Ketika kaum
Muslimin membebaskan negeri Persia, Abu Musa dengan tentaranya menduduki kota
Isfahan. Penduduknya meminta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan
membayar upeti. Tetapi, dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka
hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul mundur
kaum Muslimin secara curang.
Namun, kecerdasan Abu Musa yang tidak
pernah absen saat-saat diperlukan itu mencium kebusukan niat yang mereka
sembunyikan. Ketika mereka bermaksud melancarkan serangan terhadap kaum
Muslimin, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu telah siap untuk
melayani dan menghadapi mereka. Pertempuran meletus dan tidak sampai setengah
hari, Abu Musa telah memperoleh kemenangan yang gemilang.
Dalam medan tempur melawan Imperium
Persia, Abu Musa menunjukkan peran yang agung dan jihad yang mulia. Bahkan,
dalam pertempuran di Tustar, di mana Hurmazan menarik pasukannya ke benteng dan
sekaligus menjadi pertahanan mereka, Abu Musa merupakan pahlawan dalam
pertempuran ini. Pada saat itu Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab mengirimkan
tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh Ammar bin Yasir, Al-Bara’ bin
Malik, Anas bin Malik, Majza’ah Al-Bakri, dan Salamah bin Raja’.
Kedua pasukan bertemu. Pasukan Islam di
bawah pimpinan Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan tentara Persia di bawah pimpinan
Hurmuzan. Dua kubu ini bertemu dalam pertempuran yang dahsyat. Tentara Persia
mundur ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu
dikepung oleh kaum Muslimin berhari-hari, hingga Abu Musa mempergunakan akal
dan siasatnya. Ia mengirim 200 pasukan berkuda agar menyamar bersama pedagang
Persia dan Abu Musa berpesan agar tidak menyergap sebelum pintu kota itu dibuka
di hadapan pasukan yang dipilihnya untuk tugas tersebut.
Saat pintu gerbang dibuka, semua prajurit
itu pun langsung menyerbu benteng, sehingga Abu Musa beserta pasukannya bisa
memasuki kota dan terjadilah pertempuran yang dahsyat. Tidak beberapa lama
seluruh kota diduduki dan panglima beserta pasukan oleh Abu Musa dikirim ke
Madinah, menyerahkan nasib mereka kepada Amirul Mukminin.
Prajurit yang hebat ini ketika telah
meninggalkan medan, ia langsung beralih menjadi hamba yang rajin bertaubat,
sering menangis dan sangat lembut bagaikan burung kecil. Ia membacakan ayat
Al-Qur’an dengan suara yang menggetarkan hati para pendengarnya, hingga
mengenai ini Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, Abu
Musa tela diberi karunia seruling di antara seruling-seruling keluarga Dawud.” Setiap Umar melihat Abu Musa, ia langsung
memanggil dan memintanya untuk membacakan Kitab Allah dengan ungkapan, “Bangkitkanlah
kerinduan kami kepada Rabb kami, wahai Abu Musa.”
Dalam urusan perang, ia tidak pernah ikut
serta, kecuali jika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang agama
dan bermaksud hendak memadamkan cahaya Allah. Adapun peperangan antara sesama
Muslim, ia menyingkirkan diri dan tidak mau terlibat. Pendiriannya ini jelas
terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang
apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.
Mungkin, poin pembicaraan kita sekarang
ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal, yaitu
pendiriannya dalam penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal
dengan istilah tahkim. Pendiriannya ini sering diungkapkan sebagai saksi dan
bukti atas kebaikan hatinya yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi
orang yang menipunya. Hanya saja, meskipun sikap ini mungkin saja agak tergesa-gesa
atau ada kesalahan, itu tetap menunjukkan keagungan shahabat yang mulia ini,
baik keagungan jiwa maupun keimanannya kepada kebenaran dan kepercayaannya
terhadap sesama Muslim.
Pendapat Abu Musa mengenai tahkim ini
dapat kita ringkas bahwa ia melihat kaum Muslimin telah berperang satu sama
lain. Setiap pihak fanatic terhadap pemimpin dan kepala pemerintahannya. Ia
juga melihat bahwa kondisi kedua belah pihak sudah sangat buruk dan mustahil
dapat dicairkan, yang akan menyebabkan nasib seluruh umat Islam berada di tepi
jurang yang sangat dalam. Menurut Abu Musa, suasana ini harus diubah secara
keseluruhan dan mulai membuka suasana baru.
Perang saudara yang terjadi ketika itu
berlangsung antara dua kelompok Muslim yang berselisih dalam persoalan pribadi
pemimpin kaum Muslimin. Solusinya, Ali hendaknya meletakkan amanahnya sebagai
khalifah untuk sementara waktu, demikian pula dengan Mu’awiyah. Kemudian urusan
kepemimpinan diserahkan kembali kepada kaum Muslimin dengan jalan musyawarah
akan memilih khalifah yang mereka hendaki.
Itulah pendapat Abu Musa mengenai kasus
tersebut dan itulah solusinya. Benar, bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah
secara sah. Tidak salah juga bahwa pembangkangan yang tidak beralasan tidak
dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan sesuatu yang sudah sah
menurut syariat. Hanya saja, menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah
menjadi pertikaian antara penduduk Iraq dan penduduk Syria yang memerlukan
pemikiran dan pemecahan dengan cara baru. Karena pengkhianatan Mu’awiyah yang
sekarang ini telah menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua
pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja.
Tetapi, semuanya telah berkembang menjadi
perang saudara hebat yang telah menelan ribuan korban dari kedua belah pihak
dan masih mengancam Islam dan kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah.
Melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan
benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk
mencapai penyelesaian.
Sebenarnya, kita telah menerima rencana
tahkim itu, Ali hendak mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya
sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi, sebagian besar shahabat dan tentaranya
yang berpengaruh memaksanya untuk memilih Abu Musa Al-Asy’ari. Alasan mereka
karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian Ali dan
Mu’awiyah sejak awal. Bahkan, setelah ia putus asa membujuk kedua belah pihak
agar berdamai dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak
yang bersengketa itu. Itulah yang menjadikan dirinya orang yang paling tepat
untuk mewakili tahkim.
Mengenai keimanan, kejujuran, dan
ketulusan Abu Musa, Ali tidak sedikit pun meragukannya. Hanya saja, ia tahu
betul maksud-maksud tertentu di pihak lain dan seberapa jauh ketergantungan
mereka pada maneuver dan tipuan. Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan
berilmu, tidak menyukai maneuver dan tipuan ini, di samping ingin memperlakukan
orang dengan kejujurannya, bukan dengan kepintarannya. Karena itu, Ali khawatir
Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu dan tahkim hanya akan beralih
menjadi maneuver jahat dari pihak lawan yang justru semakin merusak keadaan.
Tahkim antara kedua belah pihak itu pun
dimulai. Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Ali, sedangkan Amr bin
Al-Ash sebagai wakil dari pihak Mu’awiyah. Benar, bahwa Amr bin Al-Ash
mengandalkan ketajaman otak dan siasatnya yang luar biasa untuk memenangkan
pihak Mu’awiyah. Pertemuan antara kedua wakil itu, yakni Abu Musa dan Amr,
didahului dengan usulan yang diajukan oleh Abu Musa, agar kedua belah pihak
menyetujui Abdullah bin Umar sebagai calon bahkan langsung dinyatakan sebagai
khalifah kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara kaum Muslimin yang
secara umum tidak mencintai, menghormati, dan memuliakannya.
Amr bin Al-Ash melihat ada kesempatan emas
yang tidak akan dibiarkannya berlalu begitu saja dari celah usulan Abu Musa
tersebut. Karena, maksud usulan Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat
lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Itu juga berarti bahwa ia
bersedia menyerahkan kekhalifahan pada pihak lain dari kalangan
shahabat-shahabat Rasulullah, buktinya bahwa ia telah mengusulkan Abdullah bin
Umar.
Begitulah, Amr menemukan pintu yang lebar
untuk mencapai tujuannya dengan kecerdasannya, sehingga ia mengusulkan
Mu’awiyah sebagai pengganti. Kemudian ia mengusulkan putranya sendiri, Abdullah
bin Amr, yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat
Rasulullah. Namun, kecerdikan Amr ini terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena
ketika ia melihat Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar
perundingan dalam tahkim, ia mencoba untuk mengarahkannya ke jalan yang lebih
aman.
Ia menanggapi usulan Amr itu dengan
menyatakan bahwa pemilihan khalifah itu adalah hak seluruh kaum Muslimin, dan
Allah telah menetapkan bahwa segala urusan mereka hendaklah diperundingkan di
antara mereka. Karena itu, hendaklan soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada
mereka bersama.
Kita akan melihat bagaimana Amr
menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu’awiyah. Tetapi,
sebelum itu marilah kita dengarkan perdebatan yang bersejarah itu, yang
berlangsung antara Abu Musa dan Amr bin Al-Ash di awal pertemuan mereka. Kita
menukilnya dari kitab “Al-Akhbar Ath-Thiwal” karya Abu Hanifah Ad-Dinawari.
Abu
: “Wahai Amr,
apakah engkau menginginkan kemaslahatan umat dan ridha
Allah?”
Amr :
“Apakah itu?”
Abu
: “Kita angkat
Abdullah bin Umar karena ia tidak ikut campur sedikit pun
dalam peperangan ini.”
Amr :
“Engkau sendiri apa pendapatmu terhadap
Mu’awiyah?”
Abu :
“Tidak ada tempat bagi Mu’awiyah dalam urusan
ini dan ia tidak berhak.”
Amr :
“Apakah engkau tidak mengakui bahwa Utsman
dibunuh secara aniaya?”
Abu :
“Ya, itu benar.”
Amr :
“Mu’awiyah ialah pihak keluarga yang berhak
menuntut darahnya, sedangkan kedudukannya di kalangan bangsa Quraisy engkau
sendiri telah mengetahuinya. Jika nanti ada yang mengatakan, mengapa ia
diangkat untuk jabatan itu, padahal tidak ada sangkut pautnya dulu, engkau
dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wali darah Utsman, sedang Allah Ta’ala
berfirman, ‘Barang siapa yang dibunuh secara aniaya,
maka Kami berikan kekuasaan kepada walinya.’ Di samping itu ia adalah
saudara Ummu Habibah, istri Nabi, juga salah seorang dari shahabat beliau.”
Abu :
“Bertakwalah kepada Allah, wahai Amr. Mengenai
kehormatan posisi Mu’awiyah yang engkau katakan itu, maka seandainya khalifah
itu dapat diperoleh dengan kehormatan posisi, orang yang paling berhak
terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah karena ia berasal dari keturunan raja-raja
Yaman yang turun-temurun yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian,
apa artinya kehormatan Mu’awiyah disbanding dengan Ali bin Abu Thalib?
Adapun katamu bahwa
Mu’awiyah wali Utman, putra Utsman sendiri, Amr bin Utsman, tentu lebih berhak
daripada dirinya. Tetapi, seandainya engkau bersedia mengikuti saranku, kita hidupkan
kembali sunnah dan kenangan Umar bin Al-Khattab dengan mengangkat putranya,
Abdullah, yang luas ilmunya itu.”
Amr : “Kalau begitu, apa salahnya bila engkau
mengangkat putraku, Abdullah, yang memiliki keutamaan dan kesalehan, di samping
lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?”
Abu : “Putramu memang seorang yang bisa
dipercaya, tetapi engkau telah menyeretnya ke lumpur peperangan ini. Karena
itu, sebaiknya kita serahkan saja kepada orang baik putra orang baik, yaitu
Abdullah bin Umar.”
Amr : “Wahai Abu Musa, urusan ini hanya layak
bagi lelaki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang
lainnya untuk memberi makan.”
Abu : “Celaka engkau, wahai Amr. Kaum
Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kepada kita setelah
mereka beradu perang dan saling melempar anak panah. Janganlah kita
menjerumuskan mereka ke dalam fitnah baru.”
Amr : “Jadi, bagaimana pendapatmu?”
Abu : “Aku berpendapat, kita cabut jabatan
khalifah itu dari kedua pihak, Ali dan Mu’awiyah, dan kita serahkan kepada
permusyawaratan kaum Muslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.”
Amr : “Aku setuju dengan pendapat ini karena
keselamatan jiwa manusia ada di dalamnya.”
Percakapan ini mengubah
total bentuk gambaran yang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa Al-Asy’ari di
setiap kita teringat peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali
dari sifat lalai. Bahkan, dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol
dari kecerdikan Amr bin Al-Ash yang terkenal licin dan lihai itu.
Karena itu, ketika Amr
hendak memaksa Abu Musa untuk menerima Mu’awiyah sebagai khalifah dengan alasan
kebangsawanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wali Utsman, Abu
Musa mematahkan argument itu dengan jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang.
Bila kekhalifahan itu berdasarkan kebangsawanan, Abrahah bin Shabah yang
merupakan keturunan raja-raja tentu lebih utama daripada Mu’awiyah. Jika itu
karena Mu’awiyah adalah wali Utsman dan pembela haknya, putra Utsman sendiri
tentu lebih utama menjadi wali daripada Mu’awiyah.
Setelah perundingan
ini, tahkim berpindah ke tangan Amr bin Al-Ash seorang diri. Abu Musa telah
melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan itu kepada umat, yang akan
memutuskan dan memilih khalifah mereka. Amr telah menyetujui dan mengakui
usahanya dengan pendapat ini, Amr akan mengambil maneuver bagaimanapun
fanatiknya terhadap Mu’awiyah.
Ibnu Abbas telah
memperingatinya ketika ia kembali kepada mereka dan menyampaikan apa yang telah
disetujui, bahwa Amr bisa saja mengambil maneuver, dengan ungkapan, “Demi
Allah, aku khawatir Amr akan menipumu. Jika telah tercapai persetujuan mengenai
sesuatu antara kalian berdua, biarkanlah ia berbicara dahulu, kemudian baru
engkau menanggapinya.” Namun, Abu Musa melihat itu merupakan
urusan yang besar dan agung, sehingga tidak berpikir bahwa Amr akan bermanuver.
Sebaliknya, ia merasa yakin bahwa Amr akan memenuhi apa yang telah mereka
setujui bersama.
Keesokan harinya,
mereka berdua bertemu kembali, Abu Musa mewakili pihak Ali dan Amr bin Al-Ash
mewakili pihak Mu’awiyah. Abu Musa mempersilahkan Amr untuk berbicara lebih
dahulu namun ia menolak, “Tak mungkin aku akan berbicara lebih
dahulu daripada engkau. Engkau lebih utama daripada aku, lebih dulu hijrah, dan
lebih tua.”
Abu Musa maju dan
menghadap ke arah massa kedua belah pihak yang sedang diam menunggu. Ia
berkata, “Wahai manusia, kami telah mencari solusi
terbaik yang diharapkan Allah akan menyatukan hati umat ini dan memperbaiki
urusan mereka. Kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan
jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu’awiyah, dan menyerahkannya kepada
permusyawaratan umat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi
khalifah. Sekarang, aku telah mencopot Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka.
Karena itu, hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai
untuk menjadi khalifah kalian.”
Kini tiba giliran Amr
untuk memaklumkan penurunan Mu’awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa
terhadap Ali, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin.
Amr menaiki mimbar, lalu berpidato, “Wahai manusia, Abu Musa telah
mengatakan apa yang telah kalian dengar dan ia telah mencopot shahabatnya dari
jabatan. Ketahuilah, bahwa saya juga menanggalkan shahabatnya itu dari
jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabatku,
Mu’awiyah, karena ia adalah wali bagi Amirul Mukminin Utsman dan penuntut
darahnya, serta sosok yang lebih berhak dengan jabatannya ini.”
Abu Musa tidak tahan
menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia mengecam Amr dengan
kata-kata yang keras dan kemarahan. Setelah itu, ia lebih memilih untuk
mengasingkan diri. Ia mengayunkan langkah menuju Mekkah dan tinggal di dekat
Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.
Abu Musa ialah orang
kepercayaan dan kesayangan Rasulullah, juga menjadi kepercayaan dan kesayangan
para khalifah dan para shahabatnya. Ketika Rasulullah masih hidup, beliau
mengangkatnya bersama Mu’adz bin Jabal sebagai pemegang kendali pemerintahan di
Yaman. Setelah Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung
jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap
Persia dan Romawi.
Pada masa Amirul
Mukminin Umar, ia mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedangkan Khalifah
Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah. Abu Musa termasuk ahli
Al-Qur’an yang menghafal, mendalami, dan mengamalkannya. Di antara
ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai Al-Qur’an itu ialah, “Ikutilah
Al-Qur’an dan janganlah kalian berharap akan diikuti oleh Al-Qur’an.”
Abu Musa termasuk ahli
ibadah yang gigih. Pada siang hari musim panas, yang panasnya menyesakkan
nafas, anda justru akan mendapatkan Abu Musa menyambut musim itu dengan
kerinduan agar bisa berpuasa. Ia berkata, “Semoga panas
terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita pada hari kiamat nanti.”
Pada suatu hari yang
lembut, ajalnya datang menjemput. Wajahnya memancarkan cahaya yang cemerlang,
wajah seseorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah Yang Maha Pengasih.
Kalimat yang selalu diulang-ulang dan menjadi buah bibirnya, sepanjang hayat
yang diliputi keimanan itu, dan sekarang lisannya sedang mengulangi kata-kata
itu dalam detik-detik perjalanan abadinya. Kata-kata itu ialah, “Ya
Allah, Engkaulah Maha Penyelamat dan dari-Mulah segala keselamatan.”
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar