بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Ketika perintah dakwah
secara terang-terangan dari Allah kepada Rasulullah telah turun, intimidasi
dari kaum Quraisy semakin dirasakan oleh kaum Muslimin. Sikap kasar hingga
penyiksaan fisik kerap dilakukan oleh pemuka Quraisy.
Di antara mereka salah
satunya adalah Umar bin Al-Khattab yang sangat berambisi ingin membunuh
Rasulullah. Namun, setelah mendengar kabar bahwa adiknya, Fatimah binti Khattab
dan suaminya itu telah memeluk dan meyakini Islam , dia pun berbalik arah kepada
mereka berdua. Akhirnya Umar bin Al-Khattab pun memeluk Islam.
Siapakah dia yang telah
membuat orang yang sangat ingin membunuh Rasulullah itu menerima hidayah dan
memeluk Islam hingga menjadi khalifah kelak nanti itu? Dialah Said bin Zaid. Ia
dilahirkan di Mekkah, tepatnya 22 tahun sebelum hijrahnya Rasulullah ke
Madinah.
Dialah putra dari Zaid bin
Amr bin Nufail yang merupakan seorang “Al-Hanafiyyun” atau pengikut
ajaran Ibrahim. Mengenai ayahnya Said, Zaid bin Amr tidak terkontaminasi dengan
tradisi kaum Quraisy yang telah menyimpang dari ajaran Ibrahim. Dia tidak
pernah menyembah berhala, menyembelih hewan untuk berhala, atau bahkan mengubur
bayi perempuan hidup-hidup.
Zaid
bin Amr tidak mengetahui ibadah yang disukai oleh Allah. Jika ia mengetahuinya,
niscaya ia akan melakukannya. Mengenai hal ini Ibnu Ishaq menuturkan, Asma binti Abu Bakar
bercerita; “Aku melihat Zaid bin Amru bin Nufail menyandarkan punggungnya ke Ka’bah
seraya berseru, ‘ Hai orang-orang Quraish, demi jiwa
Zaid yang di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya tidak ada satu pun di antara
kalian yang mempertahankan agama Ibrahim selain diriku.’ Lalu ia berkata
lagi, ‘Ya Allah, seandainya aku mengetahui cara ibadah
yang paling Kau sukai, niscaya aku akan menyembah-Mu dengan cara itu. Akan
tetapi, aku tidak mengetahuinya.’ Kemudian ia bersujud di atas
kendaraannya dan berdoa dengan menghadap ke Ka’bah seraya berkata, ‘Tuhanku adalah Tuhan Ibrahim dan agamaku adalah agama
Ibrahim.’ Ia juga seorang penentang adat penguburan hidup-hidup
anak-anak perempuannya, ‘Jangan membunuhnya. Penuhilah
tanggung jawabmu kepadanya. Apabila ia telah dewasa, engkau dapat terus
mengurusnya atau menikahkannya’.”
Ia bersama Waraqah bin Nufail
dan teman-teman lainnya yang menganut ajaran Ibrahim, berupaya mencari agama
yang hakiki. Tak puas dengan apa yang didapatnya di kota Mekkah, Zaid pun
akhirnya mengembara demi mencari agama yang diridhai oleh Allah.
Ia meninggalkan dunia ini
sebelum Islam muncul dan beriman kepadanya. Zaid Abu Said . Zaid adalah orang
yang hidup di zaman jahiliyah. Masyarakat Mekkah adalah masyarakat yang bukan
ahli kitab di mana mereka tidak mendapatkan informasi mengenai Al-Kitab.
Tetapi, Zaid bin Amr dan kawan-kawan lainnya yang menganut ajaran Ibrahim hidup
di dalam kelurusan jiwa mereka.
Zaid bin Amr adalah orang
yang menentang dan menghalang-halangi kebiasaan sebagian orang-orang Quraisy
yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan mereka. Dengan ungkapan, “Jangan
membunuhnya. Penuhilah tanggung jawabmu kepadanya. Apabila ia telah dewasa,
engkau dapat terus mengurusnya atau menikahkannya.” Dan jika perkataan
itu diacuhkan oleh orang yang bersangkutan, maka ia meminta kepada orang
tersebut agar diberikan anak perempuan itu kepadanya, “Berikanlah
anak itu kepadaku.”
Kemudian anak perempuan itu akan
dibesarkan, diasuh, dan dididik olehnya. Dan setelah anak perempuan itu telah
besar kemudian ia kembalikan kepada orang tuanya. Dia berkata, “Jika
anda mau, akan aku kembalikan anak ini kepada anda. Tetapi jika tidak, biarlah
saya yang akan mengasuhnya.”
Sifat Zaid ini sungguh unik.
Di kebanyakan tempat, seseorang akan rusak kelakuannya karena lingkungannya
rusak. Tetapi, ayah dari tokoh yang kita bahas ini sungguh sangat istimewa
karena walaupun Mekkah sudah rusak karena kebiasaan mereka yang menyimpang,
Zaid tetap terjaga dari semua sifat itu.
Sehingga dia pun rela mengembara demi mencari kebenaran dan agama yang
hakiki dan diridhai oleh Allah. Mengenai ini, Al-Bukhari menuturkan, “Ibnu Umar menceritakan bahwa Zaib bin Amru bin
Nufail pernah pergi ke syam mencari agama yang benar untuk dianutnya. Ia
menemui seorang pemuka Yahudi dan bertanya padanya tentang agama mereka dengan
harapan akan menemukan agama yang akan dianutnya. Orang Yahudi itu menjawab, ‘Engkau tidak akan menganut agama kami sebelum engkau
mengambil bagianmu dari murka Allah.’
Zaid pun berkata, ‘Aku tidak akan pernah lari kecuali dari kemurkaan Allah, dan aku tidak
kuasa dan sanggup menanggung kemurkaan-Nya sedikit pun. Dapatkah engkau
menunjukkan kepadaku ajaran lainnya?’
Orang Yahudi itu menjawab, ‘Aku tidak mengetahui jalan lain kecuali engkau mau menjadi
seorang hanif.’
Zaid bertanya, ‘Apakah
hanif itu?’
Orang Yahudi tersebut menjawab, ‘Hanif adalah agama Ibrahim. Ia bukanlah seorang Yahudi dan
bukan pula seorang Nasrani. Dan ia juga tidak menyembah kepada selain Allah.’
Kemudian Zaid meninggalkan orang itu dan
menemui seorang pemuka Nasrani. Keduanya terlibat percakapan yang sama dengan
percakapannya dengan orang Yahudi tadi. Setelah mendengar pengakuan mereka
tentang Ibrahim, Zaid meninggalkan Syam. Sesampainya di luar Syam, ia
mengangkat kedua tangannya seraya berseru, ‘Ya Allah,
aku bersaksi kepada-Mu bahwa aku telah masuk agama Ibrahim’.”
Kabarnya
Zaid tidak pernah mau memakan daging sembelihan orang-orang Quraish. Ia selalu
berkata, “Aku tidak akan pernah memakan apa yang kalian sembelih untuk
berhala-berhala kalian. Aku tidak akan pernah memakan binatang kecuali yang
disembelih dengan menyebut nama Allah. ”
Dalam celaannya terhadap penyembelihan
masyarakat Quraish, ia sering mengatakan, “Binatang ternak itu
diciptakan oleh Allah. Dia pula yang telah menurunkan air hujan dari langit
untuk member minum dan makan kepadanya. Maka, mengapa kalian menyembelih
binatang tersebut tanpa menyebut nama Allah?”
Pada saat Rasulullah menerima tugas
kenabian dari Allah, Said bin Zaid dengan mudah menerima dan memeluk Islam. Dan
ia pun termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang Rasulullah menjaminnya
akan masuk surga. Namun, kesedhannya tidak pernah hilang tatkala ia mengingat
ayahnya, Zaid bin Amr, yang tidak sempat memeluk Islam karena ayahnya meninggal
sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi.
Temannya berkata, “Kenapa
engkau menangis, wahai Said bin Zaid?” said pun menjawab, “Aku menangisi
ayahku, Zaid bin Amr. Dia menolak untuk menyembah berhala yang dilakukan oleh
kaum Quraisy dan qurban yang mereka persembahkan, lalu dia mengembara karena
dizalimi. Dia keluar untuk mencari agama yang diridhai oleh Allah. Itulah
sebabnya aku menangis. Jika Allah berkenan untuk memperpanjangkan umurnya
hingga saat ini, niscaya ia akan mengakui kenabianmu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah menghibur Said dengan bersabda,
“Ayahmu adalah salah seorang penghuni surga. Ayahmu adalah orang yang
kelak akan dibangkitkan sebagai satu umat.”
Dia pun mengajak istrinya, Fatimah binti
Al-Khattab untuk memeluk Islam. Dia membacakan ayat Al-Qur’an yang pertama kali
turun dan yang mulia:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 1
QS:Al-'Alaq | Ayat: 1
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 2
QS:Al-'Alaq | Ayat: 2
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 3
QS:Al-'Alaq | Ayat: 3
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 4
QS:Al-'Alaq | Ayat: 4
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 5
QS:Al-'Alaq | Ayat: 5
Istrinya pun mengatakan kepada suaminya
dengan rasa yang kagum, “Betapa bermakna dan indahnya kalimat
ini. Kalimat apakah itu, wahai Said?” said pun menjawab, “itu adalah
kalimat Allah yang diturunkan kepada utusannya, Muhammad bin Abdullah. ” “Apakah
engkau telah beriman kepadanya, wahai Said?” Tanya sang istri. Said pun menjawab, “Ya.
Ikutilah aku, wahai istriku. Ikutilah aku. Ini adalah agama yang sebenarnya.”
Istrinya pun kembali
bertanya, “Apa yang seharusnya aku katakan, wahai Said?” said pun menjawab,
“Katakanlah… saya bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Sang istri pun mengucapkan kalimat syahadat
sebagai syarat agar masuk Islam. Begitulah, Said bin Zaid membimbing sang
istri, Fatimah binti Al-Khattab yang merupakan saudari Umar bin Al-Khattab
untuk memeluk Islam.
Said bin Zaid juga giat
mempelajari Islam yang telah menjadi kepercayaan barunya.
Saat dakwah dilakukan secara
terang-terangan, Said bersama rekan-rekannya selalu berada di garda terdepan
dalam menghadapi tekanan dari kaum Quraisy. Said bin Zaid pun berkata kepada
para pemuka Quraisy, “Ayahku dan Waraqah bin Naufal harus
menunggu lama untuk menunggu masa diutusnya nabi, bahkan mereka rela mengembara
demi mendapatkan informasi. Namun, ayahku terlanjur wafat setelah mendapat
informasi dari pendeta bahwa masa kenabian hampir tiba dan akan muncul di
Mekkah. Kalian semua tentu sudah tahu cerita dari pendeta itu karena sebagian
dari kalian ada yang bersama dengan pendeta itu. Bahkan jin dan orang bijaksana
yang tahu pun beriman kepadanya, sedangkan kamu yang mengetahuinya sama seperti
kami dan kenapa kalian mengingkarinya?”
Salah satu dari pemuka
Quraisy itu pun menjawabnya, “Kami ke sini bukan untuk mendengarkan
ocehanmu!”
Upaya dakwah dari Rasulullah
selalu dihalang-halangi termasuk oleh Umar bin Al-Khattab. Dia sangat membenci
Islam. Di saat salah satu pemuka Quraisy berkata, “Demi Latta
dan Uzza, kami akan menghalangi kalian untuk memeluk agama ini.” Umar bin Al-Khattab
pun menyahutnya, “Benar, itu sebabnya aku datang. Aku
tidak akan membiarkan kalian memurtadkan pemuda Mekkah dari agama nenek moyang
kami, wahai penolong Muhammad!” “Wahai Ibnu Al-Khattab,tinggalkan mereka yang
bangga dengan kemusyrikan dan kekayaan. Sudah cukup bagi kami untuk berurusan
denganmu.” “Umar pun menyahut perkataan tadi, ”Aku akan
membuat kalian menyesal!”
Sikap penolakkan Umar bin
Al-Khattab terhadap Islam menjadi kesedihan tersendiri bagi Said bin Zaid dan
Fatimah bin Al-Khattab. Semakin hari penolakkan Umar kian menjadi. Umar bin
Al-Khattab pun bertekad ingin membunuh Rasulullah. Tetapi upaya Umar bin
Al-Khattab sempat dilecehkan karena adiknya sendiri telah memeluk Islam.
Umar pun sangat marah dan
segera membalikkan arahnya ke rumah sang adik, Fatimah binti Khattab.
Di saat yang sama, Khabbab
bin Al-Arat sedang membacakan ayat-ayat dari Al-Qur’an yang mulia di hadapan
Fatimah dan Said. Umar pun langsung datang dan mengetuk pintu rumah seraya
berkata, “Buka pintunya, wahai orang yang sesat!” Fatimah pun
langsung terkejut dan berkata kepada Khabbab, “Itu saudara
saya, Umar. Dia pasti datang dengan membawa keburukan. Bersembunyilah, wahai
Khabbab. ” dan Said pun mengatakan hal yang sama.
Di suasana yang menegangkan
itu, terjadilah perkelahian yang hebat. Akhirnya Umar melukai adiknya sendiri
hingga mulutnya mengeluarkan darah. Melihat hal itu, Umar langsung menyesali
perbuatannya. Sekilas, ia melihat lembaran Al-Qur’an. Dia pun penasaran ingin
melihatnya, namun Said menyuruhnya agar mandi, “Kalau
begitu, mandilah. Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh yang suci dank au
kotor karena kemusyrikan, maka mandilah!” “Baiklan, aku akan mandi,” jawab Umar bin
Al-Khattab.
Ibnu Al-Khattab pun mandi
dan membaca ayat-ayat dari Al-Qur’an yang mulia. Namun, untaian ayat Al-Qur’an
yang sempat ia dengar justru meluluhkan hatinya. Hingga akhirnya Umar bin
Al-Khattab mengucapkan, “Betapa indah dan mulianya kalimat ini.”
Rencana untuk membunuh
Rasulullah justru berbalik menjadi pengikut setia sang utusan Allah. Dan Umar
pun berkata, “Tunjukilah aku ke jalan untuk bertemu
dengan Rasulullah. Aku akan memeluk Islam.” Suara takbir dan tahlil pun mengguncang seisi
rumah bagaikan bumi yang bergoncang.
Inilah hari terindah dan terkesan
bagi Islam setelah masuknya Umar bin Al-Khattab ke dalam barisan orang-orang
yang beriman kepada Allah. Inilah titik balik kehidupan dari sang singa Quraisy
yang kelak akan menjadi pemimpin legendaris dalam peradaban Islam.
Inilah kehebatan dari
seorang Said bin Zaid berikut istrinya. Rasulullah pernah bersabda, “Barang
siapa yang yang memberikan petunjuk kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala
berikut pahala orang yang mengikutinya dan itu sama sekali tidak mengurangi
pahala orang yang melakukannya.” Itu artinya, semua kebaikan Umar, semua
kesalehan, dan semua kebesarannya, ketika ia melakukan kebaikan itu maka Said
bin Zaid mendapatkan keutamaan, pahala, semua kebesaran Umar maka Said pun
mendapatkan derajat yang mulia di sisi Allah walaupun yang berbuat adalah Umar
bin Al-Khattab.
Peran Said bin Zaid
selanjutnya selalu tercatat di riwayat perjuangan Rasulullah. Dia selalu
terlibat di seluruh momen jihad bersama Rasulullah kecuali di Perang Badar.
Karena pada Saat itu, Rasulullah menugaskannya menjadi mata-mata kafilah dagang
kaum Quraisy yang kembali dari negeri Syam.
Di masa pemerintahan Amirul
Mukminin Umar bin Al-Khattab, terjadilah Perang Yarmuk antara kaum Muslimin dan
tentara Romawi. 24.000 pasukan Islam menghadapi 120.000 pasukan Romawi.
Besarnya jumlah pasukan lawan sempat menggetarkan hati kaum Muslimin. Tetapi,
Abu Ubaidah justru berhasil membangkitkan kembali semangat jihad pasukan. Seketika
itu, hilanglah ketakutan Said bin Zaid bersama pasukan Muslim lainnya hingga
berhasil memukul mundur tentara Romawi.
Setelah peristiwa Yarmuk,
umat Muslim berhasil menaklukan wilayah Syam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga
melakukan perluasan ke wilayah lain hingga mengharuskannya meninggalkan
Damaskus. Abu Ubaidah menunjuk Said bin Zaid sebagai gubernur pertama Muslim
yang memerintah Damaskus.
Ketika Said bin Zaid
memimpin Damaskus beberapa lama, ia mengirimkan surat kepada Abu Ubaidah yang
isinya tentang bahwa sesungguhnya Abu Ubaidah tidak lebih berhak untuk
mendapatkan keridhaan Allah dibandingkan dengan dirinya. Artinya bahwa, dalam
jihad ini Said pun berhak untuk mengikutinya dan dia meminta kepada Abu Ubaidah
untuk mencarikan orang yang lebih mau memimpin Damaskus daripada dirinya dan
dia meminta kepada Abu Ubaidah agar ia mengizinkan dirinya untuk ikut dalam
berjihad.
Kemudian Abu Ubaidah
memahami kalimat itu dan kemudian Abu Ubaidah mengutus seseorang yang lain
untuk menggantikan kepemimpiman Said bin Zaid di Damaskus, dan Said bin Zaid
memilih untuk berjihad bersama Abu Ubaidah.
Tahun 23 H, menjadi tahun
kelabu bagi umat Muslim. Karena pada tahun ini Amirul Mukminin Umar bin
Al-Khattab dibunuh oleh Abu Lu’luah saat sedang mengimami shalat subuh. Maka
sebelum kewafatannya, Umar mewasiatkan kepemimpinan kepada para sahabat
Rasulullah yang mendapatkan jaminan surga. Umar bin Al-Khattab pun berkata, “Aku
mengumpulkan kalian semua untuk bermusyawarah. Berserah dirilah kepada Allah
dalam pemilihan ini. Serahkan semua urusan kepada Allah, bermusyawarahlah
kalian selama 3 hari sehingga di hari keempat kalian mempunyai pemimpin.” Seluruh negeri
Islam pun sedih mendengar berita wafatnya Khalifah yang mulia ini.
Namun Said bin Zaid justru
tidak tercantum dalam daftar sahabat yang disebutkan oleh sang Khalifah. Tidak
ada nama Said bin Zaid di antara orang-orang yang berhak untuk memilih dan
berhak untuk dipilih menjadi khalifah. Jika kita membicarakan masalah keahlian,
siapa yang meragukan orang yang telah dijamin memasuki surga oleh Allah dan
Rasul-Nya? Di sinilah kemudian para ulama sejarah menyampaikan bahwa inilah
komitmen Umar bin Al-Khattab sejak awal ia menjadi khalifah, ia berdoa kepada
Allah, “Ya Allah, cukuplah aku yang mendapatkan
musibah kepemimpinan ini dari seluruh keluargaku.”
Maka Umar bin Al-Khattab pun
tidak pernah mengizinkan siapa pun dari keluarganya untuk menjadi pemimpin.
Maka komitmen itu ia lemparkan hingga ke Said bin Zaid, hingga Said pun tidak
disebutkan oleh sang Khalifah untuk menjadi penggantinya. Hari-hari selanjutnya
pun dijalani oleh Said bin Zaid dalam kesederhanaan. Ia tidak menginginkan
jabatan apapun di dunia.
Said bin Zaid memilih
membaktikan hidupnya untuk berjihad di jalan Allah. Namun saat perpecahan
terjadi antara pengikut Mu’awiyah dan Ali terjadi di Perang Jamal, Said bin
Zaid memilih untuk tidak memihak.
Menjelang akhir hayatnya,
Said bin Zaid kembali ke kota Nabi, Madinah Al-Munawarah. Said wafat di tahun
51 H. semangat jihad serta kesederhanaannya menjadi teladan bagi seluruh umat.
Semoga Allah meridhaimu, wahai Said bin Zaid.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar