Senin, 20 Januari 2014

Filled Under:

said bin Zaid (Rasa Takutnya Hanya untuk Allah).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ketika perintah dakwah secara terang-terangan dari Allah kepada Rasulullah telah turun, intimidasi dari kaum Quraisy semakin dirasakan oleh kaum Muslimin. Sikap kasar hingga penyiksaan fisik kerap dilakukan oleh pemuka Quraisy.

     Di antara mereka salah satunya adalah Umar bin Al-Khattab yang sangat berambisi ingin membunuh Rasulullah. Namun, setelah mendengar kabar bahwa adiknya, Fatimah binti Khattab dan suaminya itu telah memeluk dan meyakini Islam , dia pun berbalik arah kepada mereka berdua. Akhirnya Umar bin Al-Khattab pun memeluk Islam.

     Siapakah dia yang telah membuat orang yang sangat ingin membunuh Rasulullah itu menerima hidayah dan memeluk Islam hingga menjadi khalifah kelak nanti itu? Dialah Said bin Zaid. Ia dilahirkan di Mekkah, tepatnya 22 tahun sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah.

     Dialah putra dari Zaid bin Amr bin Nufail yang merupakan seorang “Al-Hanafiyyun” atau pengikut ajaran Ibrahim. Mengenai ayahnya Said, Zaid bin Amr tidak terkontaminasi dengan tradisi kaum Quraisy yang telah menyimpang dari ajaran Ibrahim. Dia tidak pernah menyembah berhala, menyembelih hewan untuk berhala, atau bahkan mengubur bayi perempuan hidup-hidup.

     Zaid bin Amr tidak mengetahui ibadah yang disukai oleh Allah. Jika ia mengetahuinya, niscaya ia akan melakukannya. Mengenai hal ini Ibnu Ishaq menuturkan, Asma binti Abu Bakar bercerita; “Aku melihat Zaid bin Amru bin Nufail menyandarkan punggungnya ke Ka’bah seraya berseru, ‘ Hai orang-orang Quraish, demi jiwa Zaid yang di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya tidak ada satu pun di antara kalian yang mempertahankan agama Ibrahim selain diriku.’ Lalu ia berkata lagi, ‘Ya Allah, seandainya aku mengetahui cara ibadah yang paling Kau sukai, niscaya aku akan menyembah-Mu dengan cara itu. Akan tetapi, aku tidak mengetahuinya.’ Kemudian ia bersujud di atas kendaraannya dan berdoa dengan menghadap ke Ka’bah seraya berkata, ‘Tuhanku adalah Tuhan Ibrahim dan agamaku adalah agama Ibrahim.’ Ia juga seorang penentang adat penguburan hidup-hidup anak-anak perempuannya, ‘Jangan membunuhnya. Penuhilah tanggung jawabmu kepadanya. Apabila ia telah dewasa, engkau dapat terus mengurusnya atau menikahkannya’.

     Ia bersama Waraqah bin Nufail dan teman-teman lainnya yang menganut ajaran Ibrahim, berupaya mencari agama yang hakiki. Tak puas dengan apa yang didapatnya di kota Mekkah, Zaid pun akhirnya mengembara demi mencari agama yang diridhai oleh Allah.

     Ia meninggalkan dunia ini sebelum Islam muncul dan beriman kepadanya. Zaid Abu Said . Zaid adalah orang yang hidup di zaman jahiliyah. Masyarakat Mekkah adalah masyarakat yang bukan ahli kitab di mana mereka tidak mendapatkan informasi mengenai Al-Kitab. Tetapi, Zaid bin Amr dan kawan-kawan lainnya yang menganut ajaran Ibrahim hidup di dalam kelurusan jiwa mereka.

     Zaid bin Amr adalah orang yang menentang dan menghalang-halangi kebiasaan sebagian orang-orang Quraisy yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan mereka. Dengan ungkapan, “Jangan membunuhnya. Penuhilah tanggung jawabmu kepadanya. Apabila ia telah dewasa, engkau dapat terus mengurusnya atau menikahkannya.” Dan jika perkataan itu diacuhkan oleh orang yang bersangkutan, maka ia meminta kepada orang tersebut agar diberikan anak perempuan itu kepadanya, “Berikanlah anak itu kepadaku.

     Kemudian anak perempuan itu akan dibesarkan, diasuh, dan dididik olehnya. Dan setelah anak perempuan itu telah besar kemudian ia kembalikan kepada orang tuanya. Dia berkata, “Jika anda mau, akan aku kembalikan anak ini kepada anda. Tetapi jika tidak, biarlah saya yang akan mengasuhnya.

     Sifat Zaid ini sungguh unik. Di kebanyakan tempat, seseorang akan rusak kelakuannya karena lingkungannya rusak. Tetapi, ayah dari tokoh yang kita bahas ini sungguh sangat istimewa karena walaupun Mekkah sudah rusak karena kebiasaan mereka yang menyimpang, Zaid tetap terjaga dari semua sifat itu.

     Sehingga dia pun rela mengembara demi mencari kebenaran dan agama yang hakiki dan diridhai oleh Allah. Mengenai ini, Al-Bukhari menuturkan, “Ibnu Umar menceritakan bahwa Zaib bin Amru bin Nufail pernah pergi ke syam mencari agama yang benar untuk dianutnya. Ia menemui seorang pemuka Yahudi dan bertanya padanya tentang agama mereka dengan harapan akan menemukan agama yang akan dianutnya. Orang Yahudi itu menjawab, ‘Engkau tidak akan menganut agama kami sebelum engkau mengambil bagianmu dari murka Allah.

     Zaid pun berkata, ‘Aku tidak akan pernah lari kecuali dari kemurkaan Allah, dan aku tidak kuasa dan sanggup menanggung kemurkaan-Nya sedikit pun. Dapatkah engkau menunjukkan kepadaku ajaran lainnya?’

     Orang Yahudi itu menjawab, ‘Aku tidak mengetahui jalan lain kecuali engkau mau menjadi seorang hanif.

     Zaid bertanya, ‘Apakah hanif itu?

     Orang Yahudi tersebut menjawab, ‘Hanif adalah agama Ibrahim. Ia bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani. Dan ia juga tidak menyembah kepada selain Allah.

     Kemudian Zaid meninggalkan orang itu dan menemui seorang pemuka Nasrani. Keduanya terlibat percakapan yang sama dengan percakapannya dengan orang Yahudi tadi. Setelah mendengar pengakuan mereka tentang Ibrahim, Zaid meninggalkan Syam. Sesampainya di luar Syam, ia mengangkat kedua tangannya seraya berseru, ‘Ya Allah, aku bersaksi kepada-Mu bahwa aku telah masuk agama Ibrahim’.

     Kabarnya Zaid tidak pernah mau memakan daging sembelihan orang-orang Quraish. Ia selalu berkata, “Aku tidak akan pernah memakan apa yang kalian sembelih untuk berhala-berhala kalian. Aku tidak akan pernah memakan binatang kecuali yang disembelih dengan menyebut nama Allah.

     Dalam celaannya terhadap penyembelihan masyarakat Quraish, ia sering mengatakan, “Binatang ternak itu diciptakan oleh Allah. Dia pula yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk member minum dan makan kepadanya. Maka, mengapa kalian menyembelih binatang tersebut tanpa menyebut nama Allah?

     Pada saat Rasulullah menerima tugas kenabian dari Allah, Said bin Zaid dengan mudah menerima dan memeluk Islam. Dan ia pun termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang Rasulullah menjaminnya akan masuk surga. Namun, kesedhannya tidak pernah hilang tatkala ia mengingat ayahnya, Zaid bin Amr, yang tidak sempat memeluk Islam karena ayahnya meninggal sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi.

     Temannya berkata, “Kenapa engkau menangis, wahai Said bin Zaid?” said pun menjawab, “Aku menangisi ayahku, Zaid bin Amr. Dia menolak untuk menyembah berhala yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan qurban yang mereka persembahkan, lalu dia mengembara karena dizalimi. Dia keluar untuk mencari agama yang diridhai oleh Allah. Itulah sebabnya aku menangis. Jika Allah berkenan untuk memperpanjangkan umurnya hingga saat ini, niscaya ia akan mengakui kenabianmu, wahai Rasulullah.

     Rasulullah menghibur Said dengan bersabda, “Ayahmu adalah salah seorang penghuni surga. Ayahmu adalah orang yang kelak akan dibangkitkan sebagai satu umat.

     Dia pun mengajak istrinya, Fatimah binti Al-Khattab untuk memeluk Islam. Dia membacakan ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun dan yang mulia:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 1

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 2

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 3

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 4

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 5

          Istrinya pun mengatakan kepada suaminya dengan rasa yang kagum, “Betapa bermakna dan indahnya kalimat ini. Kalimat apakah itu, wahai Said?” said pun menjawab, “itu adalah kalimat Allah yang diturunkan kepada utusannya, Muhammad bin Abdullah. ” “Apakah engkau telah beriman kepadanya, wahai Said?” Tanya sang istri. Said pun menjawab, “Ya. Ikutilah aku, wahai istriku. Ikutilah aku. Ini adalah agama yang sebenarnya.

     Istrinya pun kembali bertanya, “Apa yang seharusnya aku katakan, wahai Said?” said pun menjawab, “Katakanlah… saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Sang istri pun mengucapkan kalimat syahadat sebagai syarat agar masuk Islam. Begitulah, Said bin Zaid membimbing sang istri, Fatimah binti Al-Khattab yang merupakan saudari Umar bin Al-Khattab untuk memeluk Islam.

     Said bin Zaid juga giat mempelajari Islam yang telah menjadi kepercayaan barunya.

     Saat dakwah dilakukan secara terang-terangan, Said bersama rekan-rekannya selalu berada di garda terdepan dalam menghadapi tekanan dari kaum Quraisy. Said bin Zaid pun berkata kepada para pemuka Quraisy, “Ayahku dan Waraqah bin Naufal harus menunggu lama untuk menunggu masa diutusnya nabi, bahkan mereka rela mengembara demi mendapatkan informasi. Namun, ayahku terlanjur wafat setelah mendapat informasi dari pendeta bahwa masa kenabian hampir tiba dan akan muncul di Mekkah. Kalian semua tentu sudah tahu cerita dari pendeta itu karena sebagian dari kalian ada yang bersama dengan pendeta itu. Bahkan jin dan orang bijaksana yang tahu pun beriman kepadanya, sedangkan kamu yang mengetahuinya sama seperti kami dan kenapa kalian mengingkarinya?

     Salah satu dari pemuka Quraisy itu pun menjawabnya, “Kami ke sini bukan untuk mendengarkan ocehanmu!

     Upaya dakwah dari Rasulullah selalu dihalang-halangi termasuk oleh Umar bin Al-Khattab. Dia sangat membenci Islam. Di saat salah satu pemuka Quraisy berkata, “Demi Latta dan Uzza, kami akan menghalangi kalian untuk memeluk agama ini.” Umar bin Al-Khattab pun menyahutnya, “Benar, itu sebabnya aku datang. Aku tidak akan membiarkan kalian memurtadkan pemuda Mekkah dari agama nenek moyang kami, wahai penolong Muhammad!” “Wahai Ibnu Al-Khattab,tinggalkan mereka yang bangga dengan kemusyrikan dan kekayaan. Sudah cukup bagi kami untuk berurusan denganmu.” “Umar pun menyahut perkataan tadi, ”Aku akan membuat kalian menyesal!

     Sikap penolakkan Umar bin Al-Khattab terhadap Islam menjadi kesedihan tersendiri bagi Said bin Zaid dan Fatimah bin Al-Khattab. Semakin hari penolakkan Umar kian menjadi. Umar bin Al-Khattab pun bertekad ingin membunuh Rasulullah. Tetapi upaya Umar bin Al-Khattab sempat dilecehkan karena adiknya sendiri telah memeluk Islam.

     Umar pun sangat marah dan segera membalikkan arahnya ke rumah sang adik, Fatimah binti Khattab.

     Di saat yang sama, Khabbab bin Al-Arat sedang membacakan ayat-ayat dari Al-Qur’an yang mulia di hadapan Fatimah dan Said. Umar pun langsung datang dan mengetuk pintu rumah seraya berkata, “Buka pintunya, wahai orang yang sesat!” Fatimah pun langsung terkejut dan berkata kepada Khabbab, “Itu saudara saya, Umar. Dia pasti datang dengan membawa keburukan. Bersembunyilah, wahai Khabbab. ” dan Said pun mengatakan hal yang sama.

     Di suasana yang menegangkan itu, terjadilah perkelahian yang hebat. Akhirnya Umar melukai adiknya sendiri hingga mulutnya mengeluarkan darah. Melihat hal itu, Umar langsung menyesali perbuatannya. Sekilas, ia melihat lembaran Al-Qur’an. Dia pun penasaran ingin melihatnya, namun Said menyuruhnya agar mandi, “Kalau begitu, mandilah. Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh yang suci dank au kotor karena kemusyrikan, maka mandilah!” “Baiklan, aku akan mandi,” jawab Umar bin Al-Khattab.

     Ibnu Al-Khattab pun mandi dan membaca ayat-ayat dari Al-Qur’an yang mulia. Namun, untaian ayat Al-Qur’an yang sempat ia dengar justru meluluhkan hatinya. Hingga akhirnya Umar bin Al-Khattab mengucapkan, “Betapa indah dan mulianya kalimat ini.

     Rencana untuk membunuh Rasulullah justru berbalik menjadi pengikut setia sang utusan Allah. Dan Umar pun berkata, “Tunjukilah aku ke jalan untuk bertemu dengan Rasulullah. Aku akan memeluk Islam.” Suara takbir dan tahlil pun mengguncang seisi rumah bagaikan bumi yang bergoncang.

     Inilah hari terindah dan terkesan bagi Islam setelah masuknya Umar bin Al-Khattab ke dalam barisan orang-orang yang beriman kepada Allah. Inilah titik balik kehidupan dari sang singa Quraisy yang kelak akan menjadi pemimpin legendaris dalam peradaban Islam.

     Inilah kehebatan dari seorang Said bin Zaid berikut istrinya. Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa yang yang memberikan petunjuk kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala berikut pahala orang yang mengikutinya dan itu sama sekali tidak mengurangi pahala orang yang melakukannya.” Itu artinya, semua kebaikan Umar, semua kesalehan, dan semua kebesarannya, ketika ia melakukan kebaikan itu maka Said bin Zaid mendapatkan keutamaan, pahala, semua kebesaran Umar maka Said pun mendapatkan derajat yang mulia di sisi Allah walaupun yang berbuat adalah Umar bin Al-Khattab.

     Peran Said bin Zaid selanjutnya selalu tercatat di riwayat perjuangan Rasulullah. Dia selalu terlibat di seluruh momen jihad bersama Rasulullah kecuali di Perang Badar. Karena pada Saat itu, Rasulullah menugaskannya menjadi mata-mata kafilah dagang kaum Quraisy yang kembali dari negeri Syam.

     Di masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab, terjadilah Perang Yarmuk antara kaum Muslimin dan tentara Romawi. 24.000 pasukan Islam menghadapi 120.000 pasukan Romawi. Besarnya jumlah pasukan lawan sempat menggetarkan hati kaum Muslimin. Tetapi, Abu Ubaidah justru berhasil membangkitkan kembali semangat jihad pasukan. Seketika itu, hilanglah ketakutan Said bin Zaid bersama pasukan Muslim lainnya hingga berhasil memukul mundur tentara Romawi.

     Setelah peristiwa Yarmuk, umat Muslim berhasil menaklukan wilayah Syam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga melakukan perluasan ke wilayah lain hingga mengharuskannya meninggalkan Damaskus. Abu Ubaidah menunjuk Said bin Zaid sebagai gubernur pertama Muslim yang memerintah Damaskus.

     Ketika Said bin Zaid memimpin Damaskus beberapa lama, ia mengirimkan surat kepada Abu Ubaidah yang isinya tentang bahwa sesungguhnya Abu Ubaidah tidak lebih berhak untuk mendapatkan keridhaan Allah dibandingkan dengan dirinya. Artinya bahwa, dalam jihad ini Said pun berhak untuk mengikutinya dan dia meminta kepada Abu Ubaidah untuk mencarikan orang yang lebih mau memimpin Damaskus daripada dirinya dan dia meminta kepada Abu Ubaidah agar ia mengizinkan dirinya untuk ikut dalam berjihad.

     Kemudian Abu Ubaidah memahami kalimat itu dan kemudian Abu Ubaidah mengutus seseorang yang lain untuk menggantikan kepemimpiman Said bin Zaid di Damaskus, dan Said bin Zaid memilih untuk berjihad bersama Abu Ubaidah.

     Tahun 23 H, menjadi tahun kelabu bagi umat Muslim. Karena pada tahun ini Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab dibunuh oleh Abu Lu’luah saat sedang mengimami shalat subuh. Maka sebelum kewafatannya, Umar mewasiatkan kepemimpinan kepada para sahabat Rasulullah yang mendapatkan jaminan surga. Umar bin Al-Khattab pun berkata, “Aku mengumpulkan kalian semua untuk bermusyawarah. Berserah dirilah kepada Allah dalam pemilihan ini. Serahkan semua urusan kepada Allah, bermusyawarahlah kalian selama 3 hari sehingga di hari keempat kalian mempunyai pemimpin.” Seluruh negeri Islam pun sedih mendengar berita wafatnya Khalifah yang mulia ini.

     Namun Said bin Zaid justru tidak tercantum dalam daftar sahabat yang disebutkan oleh sang Khalifah. Tidak ada nama Said bin Zaid di antara orang-orang yang berhak untuk memilih dan berhak untuk dipilih menjadi khalifah. Jika kita membicarakan masalah keahlian, siapa yang meragukan orang yang telah dijamin memasuki surga oleh Allah dan Rasul-Nya? Di sinilah kemudian para ulama sejarah menyampaikan bahwa inilah komitmen Umar bin Al-Khattab sejak awal ia menjadi khalifah, ia berdoa kepada Allah, “Ya Allah, cukuplah aku yang mendapatkan musibah kepemimpinan ini dari seluruh keluargaku.

     Maka Umar bin Al-Khattab pun tidak pernah mengizinkan siapa pun dari keluarganya untuk menjadi pemimpin. Maka komitmen itu ia lemparkan hingga ke Said bin Zaid, hingga Said pun tidak disebutkan oleh sang Khalifah untuk menjadi penggantinya. Hari-hari selanjutnya pun dijalani oleh Said bin Zaid dalam kesederhanaan. Ia tidak menginginkan jabatan apapun di dunia.

     Said bin Zaid memilih membaktikan hidupnya untuk berjihad di jalan Allah. Namun saat perpecahan terjadi antara pengikut Mu’awiyah dan Ali terjadi di Perang Jamal, Said bin Zaid memilih untuk tidak memihak.


     Menjelang akhir hayatnya, Said bin Zaid kembali ke kota Nabi, Madinah Al-Munawarah. Said wafat di tahun 51 H. semangat jihad serta kesederhanaannya menjadi teladan bagi seluruh umat. Semoga Allah meridhaimu, wahai Said bin Zaid.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf