Kamis, 28 November 2013

Filled Under:

Hamzah bin Abdul Muthalib (Singa Allah dan Panglima Syuhada).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

  Kota Mekkah masih mendengkur nyenyak dalam tidur malamnya, setelah siangnya lelah oleh segala macam usaha, kerja keras, kesibukan ibadah, dan aneka permainan. Orang Quraish tertidur lelap dan membalik-balikkan tubuh mereka di atas ranjang. Tetapi, di sana ada seorang insan yang resah gelisah. Matanya tidak terpejam. Ia pergi ke kamar tidur lebih awal dan beristirahat dalam waktu singkat, lalu bangkit dengan penuh kerinduan karena rupanya ada janji dengan Allah. Ia menuju ke tempat shalat yang terletak di biliknya, lalu bermunajat kepada Allah dan berdo’a penuh ketekunan.

     Setiap kali istrinya terbangun dan mendengar gemuruh dadanya yang tunduk meminta dan untaian do’anya yang hangat dan merengek-rengek, ia merasa kasihan dan memohon agar suaminya tersebut memperhatikan dirinya dan mengambil waktu istirahat yang cukup. Dengan air mata yang mengalir, yang mendahului kata-katanya, ia menjawab, “Wahai Khadijah, waktu untuk tidur telah berlalu.

     Urusannya pada waktu itu memang belum memusingkan orang-orang Quraish atau mengganggu tidur nyenyak mereka, walaupun sudah menjadi titik perhatian. Ia baru saja memulai dakwahnya dan menyampaikan ajarannya secara rahasia dan berbisik-berbisik. Orang-orang yang beriman kepadanya waktu itu masih sangat sedikit. Tetapi, di antara orang-orang yang belum beriman itu ada pula yang menaruh kasih sayang dan penghormatan kepadanya serta memendam niat dan keinginan hati untuk beriman dan menyertai kafilahnya yang penuh berkah. Mereka terhalang untuk menyatakan keinginan itu karena keadaan dan lingkungan, tekanan kebiasaan dan adat-istiadat, serta kebimbangan hati untuk mengabulkan panggilan atau menolak seruan. Di antara orang yang masuk golongan ini adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi dan saudara sesusuannya.

     Hamzah telah mengetahui kebesaran dan kesempurnaan keponakannya. Ia memahami sebaik-baiknya kepribadian, watak, serta akhlaknya. Ia bukan hanya mengenalnya sebagai seorang paman terhadap keponakannya semata, melainkan juga sebagai saudara terhadap saudaranya, dan shahabat terhadap teman karibnya. Pasalnya, Rasulullah dan Hamzah hidup dalam satu generasi dan usia mereka berdua yang berdekatan. Mereka dibesarkan bersama, bermain bersama dan menjadi shahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan selangkah dan selangkah selalu bersama sejak awal.

     Hanya saja, ketika usia muda menjelang, mereka berdua menempun jalan masing-masing. Hamzah mulai bersaing dengan teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan bagi dirinya untuk beroleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar Mekkah dan pemimpin-pemimpin Quraish, serta Muhammad tetap bertahan di lingkungan cahaya rohani yang mulai menerangi jalan baginya menuju ilahi, serta mengikuti bisikan hati yang mengajaknya menjauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang dalam, serta mempersiapkan diri dalam meyambut dan menerima kebenaran.

     Kita tegaskan, bahwa walaupun kedua anak muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak satu detik pun hilang dari ingatan Hamzah. Keutamaan shahabat sekaligus keponakan itu telah banyak diketahui Hamzah, yakni keutamaan dan kemuliaan yang mengantarkan pemiliknya kepada kedudukan tinggi di mata seluruh manusia, dan melukiskan secara gamblang masa depannya yang gemilang.

     Pagi itu seperti biasanya Hamzah keluar dari rumahnya. Di sisi Ka’bah ia melihat rombongan pembesar dan bansawan Quraish, lalu ia pun duduk bersama mereka untuk mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Untuk pertama kali Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah disebabkan oleh dakwah yang dilakukan oleh keponakannya. Kemarahan, kebencian, dan kedengkian tampak jelas dari kata-kata mereka.

     Sebelum itu mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli. Tetapi, sekarang wajah-wajah mereka mengerikan, menyeringai karena berang, kecewa, serta hendak menerkam. Hamzah tertawa mendengar obrolan mereka. Ia menuduh mereka terlalu berlebihan dan salah menilai orang.

     Saat itu pula, Abu Jahal segera menegaskan kepada mereka yang hadir bahwa sebenarnya Hamzah paling tahu tentang bahaya ajaran yang diserukan oleh Muhammad, hanya saja ia menganggap enteng hingga Quraish menjadi lengah dan tidak menyadari. Kemudian suatu saat nanti orang-orang Quraish ditimpa keburukan dan urusan keponakannya itu menguasai mereka.

     Mereka melanjutkan pembicaraan dalam suasana hiruk-pikuk dan tidak luput dari ancaman, sedangkan Hamzah kadang-kadang turut tertawa dan sesekali menampakkan wajah murka. Ketika pertemuan itu usai dan mereka kembali ke acaranya masing-masing, kepala Hamzah pun dipenuhi oleh pikiran dan perasaan baru, yang menyebabkan perhatiannya tertuju kepada urusan keponakannya dan mempertimbangkan kembali apa dampak baik dan buruknya.

     Hari-hari pun berlalu silih berganti, dan makin lama desas-desus yang disebarkan Quraish terkait dakwah Rasulullah makin memuncak. Akhirnya, desas-desus itu berubah menjadi hasutan dan persekongkolan, sementara Hamzah memperhatikan suasana dari jauh. Ketabahan hati keponakanya itu sangat mengherankannya, sedangkan usahanya yang mati-matian membela keimanan dan kelancaran dakwahnya merupakan hal yang baru bagi kaum Quraish secara umum, walaupun sebenarnya mereka terkenal gigih dank eras kepala.

     Ketika itu keragu-raguan mungkin saja dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang tentang kebenaran Rasulullah dan kebesaran jiwanya, tetapi ia tidak akan menemukan jalan untuk mempengaruhi dan memperdayai Hamzah. Hamzah adalah orang yang paling tahu siapa Muhammad, sejak masa kanak-kanak hingga waktu mudanya yang tidak ternoda, dan terpercaya sampai usia muda.

     Ia mengenal Muhammad sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri, bahkan lebih dari itu. Sejak mereka lahir ke alam wujud, menjadi remaja dan sama-sama berangkat dewasa, di masa lambaran kehidupan Muhammad terbuka di hadapan matanya suci bersih laksana sinar matahari, ia tidak pernah sekali pun melihat cacat pada lembaran itu. Tidak sekali pun, ia melihatnya marah atau naik darah, kecewa atau putus asa, apalagi menampakkan ketamakan atau keserakahan, berolok-olok, atau berbuat hal yang sia-sia.

     Hamzah bukan saja seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah belaka, melainkan juga dikaruniai kekuatan kemauan dan ketajaman akal pikiran. Karena itu, tidak wajar bila ia ketinggalan dan tidak ingin mengikuti orang yang diketahui betul-betul jujur dan dapat dipercaya. Hanya saja, ia memendam keinginan itu di dalam hati, menunggu waktu yang tepat untuk membukakannya, dan waktu itu telah dekat. Ia tidak akan menunggu lama.

     Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Hamzah keluar dari rumahnya menjinjing busur dan menunjukan langkahnya ke arah padang belantara untuk melatih kegemaran dan melakukan olah raga yang sangat disukainya yaitu berburu. Ia sangat mahir dalam hal ini. Ia menuruti hobi itu selama kira-kira setengah hari di sana, dan ketika kembali dari perburuannya ia langsung pergi ke ka’bah untuk tawaf seperti biasa sebelum pulang ke rumahnya.

     Setibanya dekat Ka’bah ia ditemui oleh seorang pelayan wanita Abdullah bin Judan. Saat wanita itu melihat Hamzah telah dekat dengan Ka’bah, ia berkata kepadanya, “Wahai Abu Umarah, andai saja engkau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad baru-baru ini. Abu Al-Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) menyakiti dan memaki-makinya ketika mendapatkan dirinya sedang duduk di sana, hingga mengalami perkara yang tidak diinginkan.

     Wanita itu lalu melanjutkan ceritanya mengenai perlakuan Abu Jahal terhadap Rasulullah. Hamzah mendengarkan perkataannya dengan baik, kemudian ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu membawa busur panahnya dan menyandangkan ke bahu. Setelah itu, dengan langkah tegap ia bergegas menuju Ka’bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana. Bila tidak bertemu di sana, ia akan mencarinya di mana pun juga sampai berhasil.

Hamzah memukul Abu Jahal
     Tetapi, sebelum sampai ke Ka’bah, ia telah melihat Abu Jahal di pekarangannya sedang dikelilingi oleh beberapa orang pembesar Quraish. Dalam suasana yang mencekam, Hamzah maju dan mendekati Abu Jahal lalu mengambil busurnya dan memukulkannya ke kepala Abu Jahal hingga terluka dan berdarah-darah. Sebelum orang-orang yang hadir menyadari apa yang terjadi, Hanzah sudah membentak Abu Jahal dengan ungkapan, “Mengapa kamu cela dan kamu maki Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan mengatakan apa yang telah dikatakannya? Ulangilah makianmu itu kepadaku jika kamu berani!

     Seketika itu juga, orang-orang yang berada di tempat kejadian tersebut lupa akan penghinaan yang baru menimpa pemimpin mereka dan darah yang mengalir dari kepalanya, terhenyak kaget oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang tidak ubah bagai bunyi halilintar di siang bolong. Kata-kata yang ducapkannya menyatakan bahwa ia telah menganut agama Muhammad, mengakui apa yang diakuinya, dan mengatakan apa yang dikatakannya.

     “Apa? Apakah Hamzah telah masuk Islam?

     Hamzah adalah sosok anak muda Quraish yang paling gigih membela haknya serta yang paling mulia. Sungguh, suatu bencana besar yang tidak dapat diatasi oleh bangsa Quraish karena keislaman Hamzah akan menarik perhatian tokoh-tokoh pilihan untuk ikut memasuki agama itu, hingga Muhammad akan mendapatkan tenaga dan kekuatan yang akan membela dakwah dan memperkokoh barisannya, dan suatu saat nanti orang-orang Quraish akan bangun dan tersadarkan diri, karena mendengar bunyi linggis dan tembilang yang menghancurleburkan berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka.

     Memang benar, Hamzah telah masuk Islam dan di hadapan umum ia telah mengungkapkan isi hatinya selama ini. Ia meninggalkan orang-orang itu merenungi kekecewaan dan kegagalan harapan mereka, dan membiarkan Abu Jahal menjilat darah yang mengucur dari kepala yang terluka. Hamzah kembali memungut busur dengan tangan kanannya, dan menggantungkannya di bahu, lalu dengan langkah yang tegap dan hati yang pekat pergi pulang ke rumahnya.

     Hamzah adalah seorang yang berpikiran cerdas dan berhati lurus. Ketika ia telah pulang ke rumahnya dan hilang rasa lelahnya, ia duduk sambil berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Bagaimana ia menyatakan keislamannya dan kapan?

     Ia telah menyatakannya saat emosi dan tersinggung, saat marah dan naik darah. Ia tidak sudi bila keponakannya diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembela. Kerena itu, ia naik darah dan berdiri tegak membela Muhammad dan kehormatan Bani Hasyim; memukul Abu Jahal hingga terluka dan berteriak di depannya bahwa ia telah memeluk Islam.

     Tetapi, menurut anda, apakah seseorang yang meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut sejak beribu-ribu tahun dan bahkan berabad-abad, lalu langsung menerima agama baru yang belum lagi diselidiki ajarannya dan belum dikenal hakikatnya kecuali sedikit saja, disebut sebagai cara yang terbaik? Memang benar, ia tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran Muhammad dan ketulusan maksudnya. Hanya saja, mungkinkah seseorang menerima satu agama baru beserta segala kewajiban dan tanggung jawabnya saat marah dan naik darah sebagaimana yang dilakukan oleh Hamzah sekarang ini?

     Pikiran Hamzah terus dihantui oleh banyak pertanyaan. Siang hari, hatinya tidak bisa tenteram, sedangkan malam hari matanya tidak mau terpejam. Ketika akal telah diliputi oleh rasa penasaran terhadap hakikat sesuatu, keraguan pun datang sebagai jalan menuju keyakinan. Demikianlah, akal Hamzah yang baru saja tersentuh oleh keinginan untuk membahas masalah agama Islam dan membandingkan antara yang lama dan yang baru. Keraguan pun langsung meyelimuti dirinya yang dibangkitkan oleh kerinduan yang telah mendarah daging terhadap agama nenek moyangnya, dan kecemasan yang telah jadi pusaka turun-temurun terhadap segala hal yang baru. Semua pengalamannya tentang Ka’bah beserta tuhan-tuhan dan berhala-berhalanya bangkit kembali, begitu pula tentang pengaruh keagamaan yang telah ditanamkan oleh patung-patung pahatan itu terhadap semua penduduk Mekkah dan bangsa Quraish secara keseluruhan.

     Di dalam dadanya memang terpendam niat untuk menghormati dakwah baru yang panji-panjinya dipikul oleh keponakannya. Namun, seandainya ia ditakdirkan akan menjadi salah seorang pengikut dari dakwah ini, yang beriman dan menyediakan diri untuk menjadi pembantu dan pembelanya, kapankah sebenarnya waktu yabg tepat untuk menganutnya? Apakah saat murka dan tersinggung ataukah setelah berpikir dan merenung?

     Demikianlah, keteguhan pendirian dan kemurnian berpikir mengharuskannya untuk mengkaji dan mempertimbangkan semua masalah ini sedalam-dalamnya. Terlintas dalam pikiran bahwa memisahkan diri dari sejarah tersebut dan meninggalkan agama lama yang telah mendarah daging ini tidak ubahnya bagai hendak melompati jurang yang lebar. Ia merasa heran, mengapa orang begitu mudah dan tergesa-gesa meninggalkan agama nenek moyangnya, serta menyesali semua yang telah dilakukan sebelumnya? Namun, akal terus berputar dan bertarung dengan keraguan.

     Tatkala ia merasa bahwa logika semata tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaannya, dengan ikhlas dan tulus hati, ia pergi untuk mendapatkan jawaban dari yang ghaib. Di sisi Ka’bah, ia mendongakkan wajahnya ke langit, memohon dengan segala ketundukan dan harapan kepada segala kekuatan dan cahaya yang terdapat di alam wujud ini agar mendapat petunjuk kepada yang benar dan jalan yang lurus.

     Sekarang, mari kita dengar ceritanya ketika mengisahkan berita selanjutnya:

     “Kemudian timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku. Aku pun diliputi kebingungan hingga mata tidak bisa terpejam. Akhirnya, aku pergi ke Ka’bah dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan. Aku pun segera menemui Rasulullah dan menceritakan keadaanku kepadanya, maka beliau berdo’a kepada Allah agar menetapkan hatiku dalam agamanya.

     Demikianlah, Hamzah menganut Islam secara yakin. Allah menguatkan Islam dengan Hamzah. Bagai batu karang yang kukuh menjulang, ia membela Rasulullah dan para shahabatnya yang lemah. Abu Jahal melihat Hamzah berdiri dalam barisan kaum Muslimin, maka menurut keyakinannya perang sudah tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, ia menghasut orang-orang Quraish untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para shahabat. Ia terus mempersiapkan diri untuk melancarkan perang saudara yang akan melenyapkan semua dendam dan sakit hatinya.

     Hamzah tidak dapat membendung sagala gangguan mereka, tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan perisai, di samping menjadi daya tarik bagi kebanyakan kabilah Arab untuk mengikuti langkahnya. Kemudian, daya tarik itu dikuatkan lagi dengan keislaman Umar bin Al-Khatthab, sehingga mereka pun berbondong-bondong menganut Islam.

     Sejak menganut Islam, Hamzah telah bertekad akan membaktikan hidupnya untuk Allah dan agama-Nya, hingga Nabi berkenan memasangkan pada dirinya julukan istimewa ini, “Singa Allah dan singa Rasul-Nya.” Pengiriman pasukan perang yang tidak disertai Nabi, yang pertama dikirim untuk menghadapi musuh, dipimpin oleh Hamzah. Panji Islam pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah kepada salah seorang Muslimin diserahkan kepada Hamzah. Kemudian, ketika kedua pasukan telah berhadap-hadapan di Perang Badar, keberanian luar biasa yang telah ditunjukkan oleh Singa Allah dan Singa Rasul-Nya yang tiada lain adalah Hamzah.

     Sisa-sisa tentara Quraish kembali dari Badar ke Mekkah dan berjalan terhuyung-huyung mambawa kegagalan dan kekalahan. Abu Sufyan tidak ubah bagai pohon kayu besar yang tumbang dan tercabut hingga akarnya. Ia berjalan dengan kepala tertunduk meninggalkan meninggalkan medan laga yang dipenuhi tubuh para pemuka Quraish yang telah tiada bernyawa, seperti Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Mu’aith, Al-Aswad bin Abdul Aswad Al-Makhzumi, Walid bin Utbah, Nadhar bin Harits, Ash bin Sa’id, Tha’mah bin Adi, serta beberapa puluh pemimpin dan tokoh Quraish lain seperti mereka.

     Namun, kaum Quraish tidak sudi menerima kekalahan pahit ini begitu saja. Mereka mulai mempersiapkan diri, menghimpun segala dana dan daya untuk menuntut balas dan menebus kekalahan mereka. Mereka telah bertekad bulat untuk berperang.

     Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba. Orang-orang Quraish keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraish kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembor-gemborkan sebelum perang, dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan target peperangan ini.

     Sebelum berangkat, mereka telah memilih seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah. Orang itu adalah seorang budak Habasyah yang memiliki keahlian luar biasa dalam melemparkan tombak. Dalam peperangan nanti, mereka memerintahkan budak itu untuk memusatkan perhatian pada satu tugas saja, yaitu menjadikan Hamzah sebagai buruan dan melepaskan lemparan tombak dengan lemparan yang mematikan kepadanya.

     Mereka mengingatkannya agar tidak melalaikan tugas tersebut bagaimanapun juga jalan peperangan dan akhir kesudahannya. Sebagai imbalan, mereka berjanji akan membayar jasanya dengan harga yang mahal, yakni kebebasan dirinya. Budak yang bernama Wahsyi itu adalah milik Jubair bin Muth’am. Kala perang meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan ia ingin menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas.

     Kemudian mereka bawa budak itu kepada Hindun binti Utbah, yakni istri Abu Sufyan, agar dihasut dan didesak untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayahnya, pamannya, saudaranya, dan putranya. Ia mendengar berita bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang Quraish, baik laki-laki maupun perempuan, dialah yang paling getol menghasut orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.

     Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menghasut Wahsyi, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya Hamzah dan merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikannya kekayaan dan perhiasan yang paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang melilit lehernya dengan jari-jari yang penuh dengan kebencian, dan dengan pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.

     Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraish.

     Itulah persekongkolan jahat mereka. Segera unsur perang kali ini menginginkan Hamzah terbunuh tanpa ditawar-tawar.

     Pertempuran itu pun tiba. Kedua pasukan telah mulai bertempur. Hamzah berada di tengah-tengah medan yang menjadi sarang maut dan pembunuhan. Ia memakai pakaian perang, sedangkan di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa diambilnya sebagai penghias dadanya dalam peperangan. Hamzah mulai menyerbu dan menyerang kiri kanan. Setiap kepala yang menjadi sasarannya, putus oleh pedangnya. Pukulannya terhadap orang-orang musyrik tiada henti-hentinya, dan seolah-olah maut menyerahkan diri ke dalam tangannya, dilontarkannya kepada siapa yang dikehendakinya, lalu tertancap di hulu hatinya.

     Seluruh kaum Muslimin maju dan menyerbu ke barisan depan, hingga kemenangan menentukan telah hampir berada di tangan. Sisa-sisa Quraish terpukul mundur dan lari porak-poranda. Seandainya pasukan pemanah tidak meninggalkan posisi mereka di puncak bukit, dan turun ke bawah untuk memungut harta rampasan dari musuh yang kalah; sekiranya mereka tidak melanggar perintah da tidak membiarkan garis pertahanan panjang menjadi terbuka bagi masuknya pasukan berkuda Quraish, Perang Uhud pasti akan menamatkan riwayat mereka dan menjadi kuburan bagi kaum Quraish, baik lelaki maupun wanita, bahkan kuda dan unta mereka.

     Saat mereka lengah dan tidak waspada itulah, pasukan berkuda Quraish menyerang kaum Muslimin dari belakang hingga mereka menjadi sasaran dan bulan-bulanan pedang yang menari-nari berkelabatan. Kaum Muslimin berupaya keras mengatur barisannya kembali dan memungut senjata yang telah ditinggalkan oleh sebagian mereka yang lari karena serbuan Quraish yang mendadak itu. Namun, sergapan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu akibatnya memang sangat kejam dan pahit.

     Ketika Hamzah telah menyadari apa yang telah terjadi, semangat, tenaga maupun perjuangannya semakin berlipat ganda. Ia menerjang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang, sementara Wahsyi sedang mengintainya di sana dan menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tombak ke tubuhnya.

     Sekarang, mari kita persilahkan Wahsyi sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:

     “Saya seorang Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas Habasyah, hinnga jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga tampak di antara manusia tidak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga tidak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.

     Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat. Tiba-tiba saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil di hadapannya. Tatkala Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, ‘Mendekatlah ke sini, wahai anak tukang potong kelintit <tukang sunat>!’ sejurus kemudianHamzah menebasnya dan tepat mengenai kepalanya.

     Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenai pinggang bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. ia mencoba bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan meninggal.

     Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan yang menguasai.

     Tidak ada salahnya bila kita persilahkan Wahsyi melanjutkan kisahnya:

     “Sesampainya di Mekkah, saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu dimasuki oleh Rasulullah pada hari pembebasan. Akhirnya, saya lari ke Tha’if. Ketika utusan Tha’if menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul berbagai rencana dalam pikiran saya. Saya berbisik di dalam hati, lebih baik aku pergi ke Syria, atau ke Yaman, atau ke tempat lain.

     Demi Allah, ketika saya dalam kebingungan itu datanglah seseorang mengatakan kepadaku, ‘Celakalah kamu! Rasulullah tidak akan membunuh seseorang yang masuk agamanya.’ Akhirnya saya pergi untuk menemui Rasulullah di Madinah. Beliau tidak melihatku kecuali ketika saya telah berdiri di depan beliau mengucapkan dua kalimat syahadat.

     Ketika melihat saya itulah, beliau bertanya, ‘Apakah kamu ini Wahsyi?’

     ‘Benar, wahai Rasulullah,’ jawabku.

     ‘Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!’

     Saya pun menceritakan kisah tersebut. Setelah saya selesai bercerita, beliau bersabda, ‘Celakalah kamu, jauhkanlah wajahmu dari pandanganku!’

     Setelah itu, saya menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah agar tidak kelihatan beliau sampai saat beliau wafat. Tatkala kaum Muslimin bergerak untuk menumpas pemberontakan nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab yang menguasai Yamamah, saya pun ikut bersama mereka dan membawa tombak yang dahulu saya gunakan untuk membunuh Hamzah.

     Ketika orang-orang mulai bertempur, saya melihat Musailamah Al-Kadzab sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saya pun bersiap-siap dan mengambil tombak sambil mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lemparkan tombak dan menemui sasarannya. Dengan demikian, dengan tombak itu dahulu saya telah membunuh manusia terbaik, yaitu Hamzah; dan sekarang saya berharap Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah membunuh manusia terburuk, yaitu Musailamah.

     Demikanlah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya itu gugur sebagai syahid yang mulia. Sebagaimana hidupnya telah menggemparkan, demikian pula wafatnya telah menggemparkan. Musuh tidak puas dengan hanya kematiannya saja. Mereka telah mengerahkan orang-orang Quraish dan mengorbankan harta benda mereka dalam suatu peperangan besar yang tujuannya tiada lain ialah mendapatkan Rasulullah dan pamannya, Hamzah.

     Hindun binti Utbah yang merupakan istri Abu Sufyan telah menyuruh Wahsyi agar mengambil hati Hamzah untuk dirinya. Keinginannya yang harus dia bayar dengan imbalan yang setipal itu dikabulkan oleh orang Habasyah itu. Tatkala ia kembali kepada Hindun dan memberikan hati Hamzah dengan tangan kanannya, ia menerima kalung dan anting-anting dari wanita itu dengan tangan kirinya sebagai balas jasa atas tugas yang terlaksana dengan baik.

     Sebagai istri Abu Sufyan yang merupakan panglima kaum Musyrik penyembah berhala, yang ayahnya tewas oleh kaum Muslimin pada Perang Badar itu, Hindun menggigit dan mengunyah hati Hamzah dengan harapan akan dapat mengobati hatinya yang pedih karena dendam dan murka. Namun, hati Hamzah menjadi a lot, sehingga tidak dapat dikunyah dan tidak mempan oleh gigi taringnya, dan akhirnya ia mengeluarkannya dari mulut, lalu berteriak keras:

     “Kami telah membalas kalian pada atas kekalahan di Badar.

     Pertempuran hari itu kini terbalas dengan pertempuran hari ini.

     Betapa pedihnya hatiku mengenang Utbah.

     Demikian pula saudaraku, paman, serta putra sulungku.

     Sekarang hatiku puas, nazar itu telah dipenuhi.

     Sakit di dada telah terobati oleh Wahsyi.

     Peperangan pun berakhir. Kaum musyrikin menaiki unta dan menghalau kuda mereka pulang ke Mekkah. Rasulullah beserta shahabat turun ke bekas medan pertempuran untuk memeriksa para syuhada.

     Di perut lembah, ketika beliau memeriksa wajah para shahabatnya yabg telah menjual diri mereka kepada Allah dan menyajikan pengorbanan yang ikhlas dmi Allah Yang Maha Besar, beliau berhenti sejenak, menyaksikan dan tak sepatah kata pun terucap, menggertakan gigi dan air mata pun menetes. Tidak terlintas dalam benak beliau sedikit pun bahwa moral kebiadaban dan sampai hati merusak mayat seperti yang terjadi pada paman beliau sendiri yang gugur syahid, Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah dan tokoh utama shahabat.

     Rasulullah membuka kedua mata yang dengan airnya yang berkilau laksana kaca, pandangan beliau tertuju kepada tubuh pamannya itu dan bersabda, “Aku tidak akan menderita karena musibah sepertimu selamanya. Dan tidak satu suasana pun yang lebih menyakitkan hatiku seperti suasana sekarang ini.

     Kemudian beliau menoleh ke arah para shahabat, dan bersabda, “Sekiranya Shafiyah, saudari Hamzah, takkan berduka dan tidak akan menjadi sunnah sepeninggalku nanti, niscaya kubiarkan jasadnya mengisi perut binatang buas dan tembolok burung. Sekiranya aku diberikan kemenangan oleh Allah di salah satu medan pertempuran dengan orang Quraish, niscaya kucabik-cabik tubuh tiga puluh orang laki-laki di antara mereka.

     Para shahabat pun berseru, “Demi Allah, sekiranya pada suatu waktu nanti kita diberi kemenangan oleh Allah atas mereka, niscaya kami akan mencincang-cincang mayat mereka dengan cincangan yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab pun!

Makam Hamzah
     Namun, Allah yang telah memberikan kemuliaan kepada Hamzah sebagai seorang syahid, memuliakannya sekali lagi dengan menjadikan gugurnya itu sebagai suatu kesempatan untuk memperoleh pelajaran penting yang akan melindungi keadilan sepanjang masa dan mengharuskan diperhatikannya kasih sayang walau dalam qishas dan menjatuhkan hukuman.

     Demikianlah, belum lagi selesai Rasulullah mengucapkan ancamannya itu, dan belum beranjak dari tempat tersebut, ayat-ayat yang mulia ini pun turun:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
QS:An-Nahl | Ayat: 125

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
QS:An-Nahl | Ayat: 126

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
QS:An-Nahl | Ayat: 127

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
QS:An-Nahl | Ayat: 128

     Ayat-ayat tersebut diturunkan di tempat itu dan sekaligus sebagai penghormatan terbaik untuk Hamzah, yang pahalanya pasti diberikan oleh Allah. Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan seperti telah penulis sebutkan sebelumnya, ia bukanlah sekedar paman yang tercinta belaka, melainkan juga saudara sesusuan, teman sepermainan, dan shahabat sepanjang masa.

     Pada momen perpisahan ini, tidak ada penghormatan yang lebih utama yang ditemui Rasulullah untuk melepas kepergiannya selain menshalatkan bersama-sama dengan seluruh syuhada, seorang demi seorang. Demikianlah, jasadnya dibawa ke tempat shalat di medan laga yang telah menyaksikan kepahlawanan dan menampung darahnya, lalu dishalatkan oleh Rasulullah bersama para shahabat.

     Setelah itu, seorang yang gugur syahid lain dibawa ke sana dan dishalatkan oleh Rasulullah. Mayat itu diangkat, tetapi Hamzah dibiarkan di tempatnya, lalu jasad korban syahid ketiga dibawa dan dibaringkan di dekat Hamzah, lalu dishalatkan pula oleh Rasulullah.

     Begitulah para syuhada itu didatangkan satu demi satu, untuk dishalatkan oleh Rasulullah, hingga dihitung ada tujuh puluh kali lipatnya Rasulullah menshalatkan Hamzah waktu itu.

     Rasulullah pulang ke rumah meninggalkan medan peperangan. Di tengah perjalanan, beliau mendengar wanita-wanita Bani Abdul Asyal menagisi syuhada mereka. Dengan sangat santun dan sayang, beliau bersabda, “Tetapi, Hamzah, tidak ada wanita yang menangisinya!

     Sabda beliau itu didengar oleh Sa’ad bin Mu’adz. Ia menyangka bahwa Rasulullah akan senang hati bila ada wanita yang menangisi pamannya, lalu segeralah ia mendatangi wanita-wanita Bani Abdul Asyal dan menyuruh mereka agar menangisi Hamzah pula. Suruhan itu pun dituruti, namun ketika Rasulullah mendengar tangis mereka, beliau pergi dan menemui mereka dan bersabda, “Bukan ini yang saya maksudkan. Pulanglah kalian, semoga Allah memberi kalian rahmat, dan tidak boleh menangisi setelah ini.

     Para penyair dari kalangan shahabat Rasulullah berlomba-lomba menggubah syair untuk mengantarkan kepergian Hamzah dan mengenang jasa-jasanya yang besar. Di antaranya, Al-Hasan bin Tsabit mengatakan:

Tinggalkan masa lalu yang penuh berhala.

Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang pahala.

Penunggang kuda di medan laga.

Bagaikan singa terluka di hutan belantara.

Seorang keturunan Hasyim mencapai puncak yang cemerlang.

Tampil ke medan laga membela kebenaran.

Gugur sebagai syahid di medan pertempuran.

Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran.

Abdullah bin Rawahah mengatakan:

Air mata mengalir tidak ada hentinya.

Walau ratap dan tangis tidak ada artinya.

Terhadapmu, wahai Singa Allah, mereka bertanya-tanya.

Benarkah Hamzah yang gugur?

Ujian telah menimpa kami hamba Allah.

Begitu pula Muhammad Rasulullah.

Dengan kepergianmu benteng musuh berantakan.

Dengan kepergianmu tercapailah tujuan.

     Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah dan saudari Hamzah, mengatakan:

Ia telah dipanggil oleh Ilah yang berhak disembah, pemilik Arsy.

Ke dalam surga tempat hidup bersenang-senang.

Memang itulah yang kita tunggu dan selalu harapkan.

Hingga pada hari mahsyar Hamzah beroleh tempat yang lapang.

Demi Allah, selama angin barat berhembus, daku takkan lupa.

Baik di waktu bermukim maupun bepergian ke mana saja.

Selalu berkabung dan menangisi.

Singa Allah Sang Pemuka, Pembela Islam terhadap setiap kafir orang angkara.

Sementara daku mengucapkan syair, keluargaku sama berdo’a.

Semoga Allah memberimu balasan, wahai saudara, wahai pembela.

     Tetapi, ratapan terbaik untuk mengenang Hamzah ialah kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah ketika berdiri di depan jasad Hamzah sewaktu dilihatnya berada di antara syuhada pertempuran itu. Beliau bersabda:

Rahmat Sang Maha Penyayang terlimpah atas dirimu.

Akulah saksi bagimu di hadapan Al-Hakim.

Engkaulah ksatria penyambung silaturahim.

Berbuat kebaikan, pembela yang didzalimi.

     Tidak bisa dipungkiri bahwa musibah yang menimpa Nabi berupa kematian paman beliau yang utama, Hamzah, adalah musibah yang sangat besar, hingga sebagai penghibur baginya sangat sukar ditemukan. Tetapi, takdir telah menyediakan hiburan terbaik bagi Rasulullah.

     Dalam perjalanan pulang dari Uhud ke rumahnya, Rasulullah melewati seorang wanita warga Bani Dinar, yang dalam peperangan itu telah kehilangan ayah, suami, dan saudaranya. Ketika wanita itu melihat kaum Muslimin pulang dari medan perang, ia segera mendapatkan mereka dan menanyakan berita pertempuran. Mereka sampaikan bela sungkawa atas gugurnya suami, ayah, dan saudaranya itu. Sambil mengeluh, wanita itu bertanya, “Bagaimana kabar Rasulullah?” mereka menjawab, “Baik-naik saja, Alhamdulillah. Beliau dalam keadaan yang kamu inginkan.

     “Ajaklah beliau ke sini agar saya dapat melihatnya,” pintanya.

     Mereka pun tetap berdiri di samping wanita tersebut, hingga Rasulullah mendekat kepada mereka. Ketika wanita tersebut melihat kedatangan beliau, ia langsung menghampiri dan berkata, “Apa pun musibah yang menimpa, asal tidak menimpa diri anda, itu terasa ringan.

     Kata-kata tersebut merupakan hiburan terbaik dan paling kekal. Rasulullah bisa jadi tersenyum menyaksikan peristiwa istimewa dan satu-satunya ini, karena dalam dunia pengorbanan, kesetiaan dan kecintaan,peristiwa itu tidak ada bandingannya.


     Seorang wanita yang lemah dan miskin itu telah kehilangan ayah, suami, dan saudaranya. Tetapi, sambutannya terhadap perang yang menyampaikan berita yang dapat mengguncangkan gunung, cukup dengan kata-kata, “Tetapi, bagaimana kabar Rasulullah?” sungguh, suatu peristiwa yang telah diatur corak dan waktunya oleh tangan takdir secara baik dan tepat, guna disajikan sebagai penghibur bagi Rasulullah dalam menghadapi musibah atas kesyahidan Singa Allah dan panglima para syuhada.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf