Kota
Mekkah masih mendengkur nyenyak dalam tidur malamnya, setelah siangnya lelah
oleh segala macam usaha, kerja keras, kesibukan ibadah, dan aneka permainan.
Orang Quraish tertidur lelap dan membalik-balikkan tubuh mereka di atas
ranjang. Tetapi, di sana ada seorang insan yang resah gelisah. Matanya tidak
terpejam. Ia pergi ke kamar tidur lebih awal dan beristirahat dalam waktu
singkat, lalu bangkit dengan penuh kerinduan karena rupanya ada janji dengan
Allah. Ia menuju ke tempat shalat yang terletak di biliknya, lalu bermunajat
kepada Allah dan berdo’a penuh ketekunan.
Setiap kali istrinya terbangun dan
mendengar gemuruh dadanya yang tunduk meminta dan untaian do’anya yang hangat
dan merengek-rengek, ia merasa kasihan dan memohon agar suaminya tersebut
memperhatikan dirinya dan mengambil waktu istirahat yang cukup. Dengan air mata
yang mengalir, yang mendahului kata-katanya, ia menjawab, “Wahai
Khadijah, waktu untuk tidur telah berlalu.”
Urusannya pada waktu itu memang belum
memusingkan orang-orang Quraish atau mengganggu tidur nyenyak mereka, walaupun
sudah menjadi titik perhatian. Ia baru saja memulai dakwahnya dan menyampaikan
ajarannya secara rahasia dan berbisik-berbisik. Orang-orang yang beriman
kepadanya waktu itu masih sangat sedikit. Tetapi, di antara orang-orang yang
belum beriman itu ada pula yang menaruh kasih sayang dan penghormatan kepadanya
serta memendam niat dan keinginan hati untuk beriman dan menyertai kafilahnya
yang penuh berkah. Mereka terhalang untuk menyatakan keinginan itu karena
keadaan dan lingkungan, tekanan kebiasaan dan adat-istiadat, serta kebimbangan
hati untuk mengabulkan panggilan atau menolak seruan. Di antara orang yang
masuk golongan ini adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi dan saudara
sesusuannya.
Hamzah telah mengetahui kebesaran dan
kesempurnaan keponakannya. Ia memahami sebaik-baiknya kepribadian, watak, serta
akhlaknya. Ia bukan hanya mengenalnya sebagai seorang paman terhadap
keponakannya semata, melainkan juga sebagai saudara terhadap saudaranya, dan
shahabat terhadap teman karibnya. Pasalnya, Rasulullah dan Hamzah hidup dalam
satu generasi dan usia mereka berdua yang berdekatan. Mereka dibesarkan
bersama, bermain bersama dan menjadi shahabat karib, serta menempuh jalan
kehidupan selangkah dan selangkah selalu bersama sejak awal.
Hanya saja, ketika usia muda menjelang,
mereka berdua menempun jalan masing-masing. Hamzah mulai bersaing dengan
teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan bagi
dirinya untuk beroleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar Mekkah dan
pemimpin-pemimpin Quraish, serta Muhammad tetap bertahan di lingkungan cahaya
rohani yang mulai menerangi jalan baginya menuju ilahi, serta mengikuti bisikan
hati yang mengajaknya menjauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang
dalam, serta mempersiapkan diri dalam meyambut dan menerima kebenaran.
Kita tegaskan, bahwa walaupun kedua anak
muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak satu detik pun hilang
dari ingatan Hamzah. Keutamaan shahabat sekaligus keponakan itu telah banyak
diketahui Hamzah, yakni keutamaan dan kemuliaan yang mengantarkan pemiliknya
kepada kedudukan tinggi di mata seluruh manusia, dan melukiskan secara gamblang
masa depannya yang gemilang.
Pagi itu seperti biasanya Hamzah keluar
dari rumahnya. Di sisi Ka’bah ia melihat rombongan pembesar dan bansawan
Quraish, lalu ia pun duduk bersama mereka untuk mendengarkan apa yang mereka
perbincangkan. Untuk pertama kali Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah
disebabkan oleh dakwah yang dilakukan oleh keponakannya. Kemarahan, kebencian,
dan kedengkian tampak jelas dari kata-kata mereka.
Sebelum itu mereka tidak peduli, atau
pura-pura tidak peduli. Tetapi, sekarang wajah-wajah mereka mengerikan,
menyeringai karena berang, kecewa, serta hendak menerkam. Hamzah tertawa
mendengar obrolan mereka. Ia menuduh mereka terlalu berlebihan dan salah
menilai orang.
Saat itu pula, Abu Jahal segera menegaskan
kepada mereka yang hadir bahwa sebenarnya Hamzah paling tahu tentang bahaya
ajaran yang diserukan oleh Muhammad, hanya saja ia menganggap enteng hingga
Quraish menjadi lengah dan tidak menyadari. Kemudian suatu saat nanti
orang-orang Quraish ditimpa keburukan dan urusan keponakannya itu menguasai
mereka.
Mereka melanjutkan pembicaraan dalam
suasana hiruk-pikuk dan tidak luput dari ancaman, sedangkan Hamzah
kadang-kadang turut tertawa dan sesekali menampakkan wajah murka. Ketika
pertemuan itu usai dan mereka kembali ke acaranya masing-masing, kepala Hamzah
pun dipenuhi oleh pikiran dan perasaan baru, yang menyebabkan perhatiannya
tertuju kepada urusan keponakannya dan mempertimbangkan kembali apa dampak baik
dan buruknya.
Hari-hari pun berlalu silih berganti, dan
makin lama desas-desus yang disebarkan Quraish terkait dakwah Rasulullah makin
memuncak. Akhirnya, desas-desus itu berubah menjadi hasutan dan persekongkolan,
sementara Hamzah memperhatikan suasana dari jauh. Ketabahan hati keponakanya
itu sangat mengherankannya, sedangkan usahanya yang mati-matian membela
keimanan dan kelancaran dakwahnya merupakan hal yang baru bagi kaum Quraish
secara umum, walaupun sebenarnya mereka terkenal gigih dank eras kepala.
Ketika itu keragu-raguan mungkin saja
dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang tentang kebenaran Rasulullah dan
kebesaran jiwanya, tetapi ia tidak akan menemukan jalan untuk mempengaruhi dan
memperdayai Hamzah. Hamzah adalah orang yang paling tahu siapa Muhammad, sejak
masa kanak-kanak hingga waktu mudanya yang tidak ternoda, dan terpercaya sampai
usia muda.
Ia mengenal Muhammad sebagaimana ia
mengenal dirinya sendiri, bahkan lebih dari itu. Sejak mereka lahir ke alam
wujud, menjadi remaja dan sama-sama berangkat dewasa, di masa lambaran
kehidupan Muhammad terbuka di hadapan matanya suci bersih laksana sinar
matahari, ia tidak pernah sekali pun melihat cacat pada lembaran itu. Tidak
sekali pun, ia melihatnya marah atau naik darah, kecewa atau putus asa, apalagi
menampakkan ketamakan atau keserakahan, berolok-olok, atau berbuat hal yang
sia-sia.
Hamzah bukan saja seorang yang memiliki
kekuatan jasmaniah belaka, melainkan juga dikaruniai kekuatan kemauan dan
ketajaman akal pikiran. Karena itu, tidak wajar bila ia ketinggalan dan tidak
ingin mengikuti orang yang diketahui betul-betul jujur dan dapat dipercaya.
Hanya saja, ia memendam keinginan itu di dalam hati, menunggu waktu yang tepat
untuk membukakannya, dan waktu itu telah dekat. Ia tidak akan menunggu lama.
Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba.
Hamzah keluar dari rumahnya menjinjing busur dan menunjukan langkahnya ke arah
padang belantara untuk melatih kegemaran dan melakukan olah raga yang sangat
disukainya yaitu berburu. Ia sangat mahir dalam hal ini. Ia menuruti hobi itu
selama kira-kira setengah hari di sana, dan ketika kembali dari perburuannya ia
langsung pergi ke ka’bah untuk tawaf seperti biasa sebelum pulang ke rumahnya.
Setibanya dekat Ka’bah ia ditemui oleh
seorang pelayan wanita Abdullah bin Judan. Saat wanita itu melihat Hamzah telah
dekat dengan Ka’bah, ia berkata kepadanya, “Wahai Abu
Umarah, andai saja engkau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad
baru-baru ini. Abu Al-Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) menyakiti dan memaki-makinya
ketika mendapatkan dirinya sedang duduk di sana, hingga mengalami perkara yang
tidak diinginkan.”
Wanita itu lalu melanjutkan ceritanya
mengenai perlakuan Abu Jahal terhadap Rasulullah. Hamzah mendengarkan
perkataannya dengan baik, kemudian ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu
membawa busur panahnya dan menyandangkan ke bahu. Setelah itu, dengan langkah
tegap ia bergegas menuju Ka’bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di
sana. Bila tidak bertemu di sana, ia akan mencarinya di mana pun juga sampai
berhasil.
![]() |
Hamzah memukul Abu Jahal |
Seketika itu juga, orang-orang yang berada
di tempat kejadian tersebut lupa akan penghinaan yang baru menimpa pemimpin
mereka dan darah yang mengalir dari kepalanya, terhenyak kaget oleh kata-kata
yang keluar dari mulut Hamzah yang tidak ubah bagai bunyi halilintar di siang
bolong. Kata-kata yang ducapkannya menyatakan bahwa ia telah menganut agama
Muhammad, mengakui apa yang diakuinya, dan mengatakan apa yang dikatakannya.
“Apa? Apakah
Hamzah telah masuk Islam?”
Hamzah adalah sosok anak muda Quraish yang
paling gigih membela haknya serta yang paling mulia. Sungguh, suatu bencana
besar yang tidak dapat diatasi oleh bangsa Quraish karena keislaman Hamzah akan
menarik perhatian tokoh-tokoh pilihan untuk ikut memasuki agama itu, hingga
Muhammad akan mendapatkan tenaga dan kekuatan yang akan membela dakwah dan
memperkokoh barisannya, dan suatu saat nanti orang-orang Quraish akan bangun
dan tersadarkan diri, karena mendengar bunyi linggis dan tembilang yang menghancurleburkan
berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka.
Memang benar, Hamzah telah masuk Islam dan
di hadapan umum ia telah mengungkapkan isi hatinya selama ini. Ia meninggalkan
orang-orang itu merenungi kekecewaan dan kegagalan harapan mereka, dan
membiarkan Abu Jahal menjilat darah yang mengucur dari kepala yang terluka.
Hamzah kembali memungut busur dengan tangan kanannya, dan menggantungkannya di
bahu, lalu dengan langkah yang tegap dan hati yang pekat pergi pulang ke
rumahnya.
Hamzah adalah seorang yang berpikiran
cerdas dan berhati lurus. Ketika ia telah pulang ke rumahnya dan hilang rasa
lelahnya, ia duduk sambil berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja
dialaminya. Bagaimana ia menyatakan keislamannya dan kapan?
Ia telah menyatakannya saat emosi dan
tersinggung, saat marah dan naik darah. Ia tidak sudi bila keponakannya
diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembela. Kerena
itu, ia naik darah dan berdiri tegak membela Muhammad dan kehormatan Bani Hasyim;
memukul Abu Jahal hingga terluka dan berteriak di depannya bahwa ia telah
memeluk Islam.
Tetapi, menurut anda, apakah seseorang
yang meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut
sejak beribu-ribu tahun dan bahkan berabad-abad, lalu langsung menerima agama
baru yang belum lagi diselidiki ajarannya dan belum dikenal hakikatnya kecuali
sedikit saja, disebut sebagai cara yang terbaik? Memang benar, ia tidak sedikit
pun ragu tentang kebenaran Muhammad dan ketulusan maksudnya. Hanya saja,
mungkinkah seseorang menerima satu agama baru beserta segala kewajiban dan
tanggung jawabnya saat marah dan naik darah sebagaimana yang dilakukan oleh
Hamzah sekarang ini?
Pikiran Hamzah terus dihantui oleh banyak
pertanyaan. Siang hari, hatinya tidak bisa tenteram, sedangkan malam hari
matanya tidak mau terpejam. Ketika akal telah diliputi oleh rasa penasaran
terhadap hakikat sesuatu, keraguan pun datang sebagai jalan menuju keyakinan.
Demikianlah, akal Hamzah yang baru saja tersentuh oleh keinginan untuk membahas
masalah agama Islam dan membandingkan antara yang lama dan yang baru. Keraguan
pun langsung meyelimuti dirinya yang dibangkitkan oleh kerinduan yang telah
mendarah daging terhadap agama nenek moyangnya, dan kecemasan yang telah jadi
pusaka turun-temurun terhadap segala hal yang baru. Semua pengalamannya tentang
Ka’bah beserta tuhan-tuhan dan berhala-berhalanya bangkit kembali, begitu pula
tentang pengaruh keagamaan yang telah ditanamkan oleh patung-patung pahatan itu
terhadap semua penduduk Mekkah dan bangsa Quraish secara keseluruhan.
Di dalam dadanya memang terpendam niat
untuk menghormati dakwah baru yang panji-panjinya dipikul oleh keponakannya.
Namun, seandainya ia ditakdirkan akan menjadi salah seorang pengikut dari dakwah
ini, yang beriman dan menyediakan diri untuk menjadi pembantu dan pembelanya,
kapankah sebenarnya waktu yabg tepat untuk menganutnya? Apakah saat murka dan
tersinggung ataukah setelah berpikir dan merenung?
Demikianlah, keteguhan pendirian dan kemurnian
berpikir mengharuskannya untuk mengkaji dan mempertimbangkan semua masalah ini
sedalam-dalamnya. Terlintas dalam pikiran bahwa memisahkan diri dari sejarah
tersebut dan meninggalkan agama lama yang telah mendarah daging ini tidak
ubahnya bagai hendak melompati jurang yang lebar. Ia merasa heran, mengapa
orang begitu mudah dan tergesa-gesa meninggalkan agama nenek moyangnya, serta
menyesali semua yang telah dilakukan sebelumnya? Namun, akal terus berputar dan
bertarung dengan keraguan.
Tatkala ia merasa bahwa logika semata
tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaannya, dengan ikhlas dan tulus hati,
ia pergi untuk mendapatkan jawaban dari yang ghaib. Di sisi Ka’bah, ia
mendongakkan wajahnya ke langit, memohon dengan segala ketundukan dan harapan
kepada segala kekuatan dan cahaya yang terdapat di alam wujud ini agar mendapat
petunjuk kepada yang benar dan jalan yang lurus.
Sekarang, mari kita dengar ceritanya
ketika mengisahkan berita selanjutnya:
“Kemudian
timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku.
Aku pun diliputi kebingungan hingga mata tidak bisa terpejam. Akhirnya, aku
pergi ke Ka’bah dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima
kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. Allah pun mengabulkan permohonanku
itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan. Aku pun segera menemui Rasulullah dan
menceritakan keadaanku kepadanya, maka beliau berdo’a kepada Allah agar
menetapkan hatiku dalam agamanya.”
Demikianlah, Hamzah menganut Islam secara
yakin. Allah menguatkan Islam dengan Hamzah. Bagai batu karang yang kukuh
menjulang, ia membela Rasulullah dan para shahabatnya yang lemah. Abu Jahal
melihat Hamzah berdiri dalam barisan kaum Muslimin, maka menurut keyakinannya
perang sudah tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, ia menghasut orang-orang
Quraish untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para shahabat. Ia
terus mempersiapkan diri untuk melancarkan perang saudara yang akan melenyapkan
semua dendam dan sakit hatinya.
Hamzah tidak dapat membendung sagala
gangguan mereka, tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan perisai,
di samping menjadi daya tarik bagi kebanyakan kabilah Arab untuk mengikuti
langkahnya. Kemudian, daya tarik itu dikuatkan lagi dengan keislaman Umar bin
Al-Khatthab, sehingga mereka pun berbondong-bondong menganut Islam.
Sejak menganut Islam, Hamzah telah
bertekad akan membaktikan hidupnya untuk Allah dan agama-Nya, hingga Nabi
berkenan memasangkan pada dirinya julukan istimewa ini, “Singa
Allah dan singa Rasul-Nya.” Pengiriman
pasukan perang yang tidak disertai Nabi, yang pertama dikirim untuk menghadapi
musuh, dipimpin oleh Hamzah. Panji Islam pertama yang dipercayakan oleh
Rasulullah kepada salah seorang Muslimin diserahkan kepada Hamzah. Kemudian,
ketika kedua pasukan telah berhadap-hadapan di Perang Badar, keberanian luar
biasa yang telah ditunjukkan oleh Singa Allah dan Singa Rasul-Nya yang tiada
lain adalah Hamzah.
Sisa-sisa tentara Quraish kembali dari
Badar ke Mekkah dan berjalan terhuyung-huyung mambawa kegagalan dan kekalahan.
Abu Sufyan tidak ubah bagai pohon kayu besar yang tumbang dan tercabut hingga
akarnya. Ia berjalan dengan kepala tertunduk meninggalkan meninggalkan medan
laga yang dipenuhi tubuh para pemuka Quraish yang telah tiada bernyawa, seperti
Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah
bin Abu Mu’aith, Al-Aswad bin Abdul Aswad Al-Makhzumi, Walid bin Utbah, Nadhar
bin Harits, Ash bin Sa’id, Tha’mah bin Adi, serta beberapa puluh pemimpin dan
tokoh Quraish lain seperti mereka.
Namun, kaum Quraish tidak sudi menerima
kekalahan pahit ini begitu saja. Mereka mulai mempersiapkan diri, menghimpun
segala dana dan daya untuk menuntut balas dan menebus kekalahan mereka. Mereka
telah bertekad bulat untuk berperang.
Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba.
Orang-orang Quraish keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah
Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraish
kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari
buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembor-gemborkan sebelum perang,
dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah
sebagai sasaran dan target peperangan ini.
Sebelum berangkat, mereka telah memilih
seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah.
Orang itu adalah seorang budak Habasyah yang memiliki keahlian luar biasa dalam
melemparkan tombak. Dalam peperangan nanti, mereka memerintahkan budak itu
untuk memusatkan perhatian pada satu tugas saja, yaitu menjadikan Hamzah
sebagai buruan dan melepaskan lemparan tombak dengan lemparan yang mematikan
kepadanya.
Mereka mengingatkannya agar tidak
melalaikan tugas tersebut bagaimanapun juga jalan peperangan dan akhir
kesudahannya. Sebagai imbalan, mereka berjanji akan membayar jasanya dengan
harga yang mahal, yakni kebebasan dirinya. Budak yang bernama Wahsyi itu adalah
milik Jubair bin Muth’am. Kala perang meletus, paman Jubair ini tewas di tengah
medan perang dan ia ingin menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah
bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas.”
Kemudian mereka bawa budak itu kepada
Hindun binti Utbah, yakni istri Abu Sufyan, agar dihasut dan didesak untuk
melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah
kehilangan ayahnya, pamannya, saudaranya, dan putranya. Ia mendengar berita
bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan
terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang
Quraish, baik laki-laki maupun perempuan, dialah yang paling getol menghasut
orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala
Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.
Berhari-hari lamanya sebelum peperangan
dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menghasut
Wahsyi, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya Hamzah dan
merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan
kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikannya
kekayaan dan perhiasan yang paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut.
Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang
melilit lehernya dengan jari-jari yang penuh dengan kebencian, dan dengan
pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu
dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.”
Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar
itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat
bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan
mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera
memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin
dan putri tokoh suku Quraish.
Itulah persekongkolan jahat mereka. Segera
unsur perang kali ini menginginkan Hamzah terbunuh tanpa ditawar-tawar.
Pertempuran itu pun tiba. Kedua pasukan
telah mulai bertempur. Hamzah berada di tengah-tengah medan yang menjadi sarang
maut dan pembunuhan. Ia memakai pakaian perang, sedangkan di dadanya terdapat
bulu burung unta yang biasa diambilnya sebagai penghias dadanya dalam
peperangan. Hamzah mulai menyerbu dan menyerang kiri kanan. Setiap kepala yang
menjadi sasarannya, putus oleh pedangnya. Pukulannya terhadap orang-orang
musyrik tiada henti-hentinya, dan seolah-olah maut menyerahkan diri ke dalam
tangannya, dilontarkannya kepada siapa yang dikehendakinya, lalu tertancap di
hulu hatinya.
Seluruh kaum Muslimin maju dan menyerbu ke
barisan depan, hingga kemenangan menentukan telah hampir berada di tangan.
Sisa-sisa Quraish terpukul mundur dan lari porak-poranda. Seandainya pasukan
pemanah tidak meninggalkan posisi mereka di puncak bukit, dan turun ke bawah
untuk memungut harta rampasan dari musuh yang kalah; sekiranya mereka tidak
melanggar perintah da tidak membiarkan garis pertahanan panjang menjadi terbuka
bagi masuknya pasukan berkuda Quraish, Perang Uhud pasti akan menamatkan
riwayat mereka dan menjadi kuburan bagi kaum Quraish, baik lelaki maupun
wanita, bahkan kuda dan unta mereka.
Saat mereka lengah dan tidak waspada
itulah, pasukan berkuda Quraish menyerang kaum Muslimin dari belakang hingga
mereka menjadi sasaran dan bulan-bulanan pedang yang menari-nari berkelabatan.
Kaum Muslimin berupaya keras mengatur barisannya kembali dan memungut senjata
yang telah ditinggalkan oleh sebagian mereka yang lari karena serbuan Quraish
yang mendadak itu. Namun, sergapan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu
akibatnya memang sangat kejam dan pahit.
Ketika Hamzah telah menyadari apa yang
telah terjadi, semangat, tenaga maupun perjuangannya semakin berlipat ganda. Ia
menerjang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang, sementara Wahsyi
sedang mengintainya di sana dan menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan
tombak ke tubuhnya.
Sekarang, mari kita persilahkan Wahsyi
sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:
“Saya seorang
Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas Habasyah, hinnga
jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang telah mulai berperang,
saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga tampak di antara manusia tidak
ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga
tidak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.
Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi
di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat. Tiba-tiba
saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil di hadapannya. Tatkala
Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, ‘Mendekatlah ke sini, wahai anak tukang
potong kelintit <tukang sunat>!’ sejurus kemudianHamzah menebasnya dan
tepat mengenai kepalanya.
Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang-ancang,
hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenai pinggang
bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. ia mencoba
bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan meninggal.
Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke
perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan
keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan yang
menguasai.”
Tidak ada salahnya bila kita persilahkan
Wahsyi melanjutkan kisahnya:
“Sesampainya
di Mekkah, saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu
dimasuki oleh Rasulullah pada hari pembebasan. Akhirnya, saya lari ke Tha’if.
Ketika utusan Tha’if menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul
berbagai rencana dalam pikiran saya. Saya berbisik di dalam hati, lebih baik
aku pergi ke Syria, atau ke Yaman, atau ke tempat lain.
Demi Allah, ketika saya dalam kebingungan itu datanglah seseorang
mengatakan kepadaku, ‘Celakalah kamu! Rasulullah tidak akan membunuh seseorang
yang masuk agamanya.’ Akhirnya saya pergi untuk menemui Rasulullah di Madinah.
Beliau tidak melihatku kecuali ketika saya telah berdiri di depan beliau
mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ketika melihat saya itulah, beliau bertanya, ‘Apakah kamu ini Wahsyi?’
‘Benar, wahai Rasulullah,’ jawabku.
‘Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!’
Saya pun menceritakan kisah tersebut. Setelah saya selesai bercerita,
beliau bersabda, ‘Celakalah kamu, jauhkanlah wajahmu dari pandanganku!’
Setelah itu, saya menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan
ditempuh oleh Rasulullah agar tidak kelihatan beliau sampai saat beliau wafat.
Tatkala kaum Muslimin bergerak untuk menumpas pemberontakan nabi palsu,
Musailamah Al-Kadzab yang menguasai Yamamah, saya pun ikut bersama mereka dan
membawa tombak yang dahulu saya gunakan untuk membunuh Hamzah.
Ketika orang-orang mulai bertempur, saya melihat Musailamah Al-Kadzab
sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saya pun bersiap-siap dan mengambil
tombak sambil mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya
lemparkan tombak dan menemui sasarannya. Dengan demikian, dengan tombak itu
dahulu saya telah membunuh manusia terbaik, yaitu Hamzah; dan sekarang saya
berharap Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah
membunuh manusia terburuk, yaitu Musailamah.”
Demikanlah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya
itu gugur sebagai syahid yang mulia. Sebagaimana hidupnya telah menggemparkan,
demikian pula wafatnya telah menggemparkan. Musuh tidak puas dengan hanya
kematiannya saja. Mereka telah mengerahkan orang-orang Quraish dan mengorbankan
harta benda mereka dalam suatu peperangan besar yang tujuannya tiada lain ialah
mendapatkan Rasulullah dan pamannya, Hamzah.
Hindun binti Utbah yang merupakan istri
Abu Sufyan telah menyuruh Wahsyi agar mengambil hati Hamzah untuk dirinya.
Keinginannya yang harus dia bayar dengan imbalan yang setipal itu dikabulkan
oleh orang Habasyah itu. Tatkala ia kembali kepada Hindun dan memberikan hati
Hamzah dengan tangan kanannya, ia menerima kalung dan anting-anting dari wanita
itu dengan tangan kirinya sebagai balas jasa atas tugas yang terlaksana dengan
baik.
Sebagai istri Abu Sufyan yang merupakan
panglima kaum Musyrik penyembah berhala, yang ayahnya tewas oleh kaum Muslimin
pada Perang Badar itu, Hindun menggigit dan mengunyah hati Hamzah dengan
harapan akan dapat mengobati hatinya yang pedih karena dendam dan murka. Namun,
hati Hamzah menjadi a lot, sehingga tidak dapat dikunyah dan tidak mempan oleh
gigi taringnya, dan akhirnya ia mengeluarkannya dari mulut, lalu berteriak
keras:
“Kami telah
membalas kalian pada atas kekalahan di Badar.
Pertempuran hari itu kini terbalas dengan pertempuran hari ini.
Betapa pedihnya hatiku mengenang Utbah.
Demikian pula saudaraku, paman, serta putra sulungku.
Sekarang hatiku puas, nazar itu telah dipenuhi.
Sakit di dada telah terobati oleh Wahsyi.”
Peperangan pun berakhir. Kaum musyrikin
menaiki unta dan menghalau kuda mereka pulang ke Mekkah. Rasulullah beserta
shahabat turun ke bekas medan pertempuran untuk memeriksa para syuhada.
Di perut lembah, ketika beliau memeriksa
wajah para shahabatnya yabg telah menjual diri mereka kepada Allah dan
menyajikan pengorbanan yang ikhlas dmi Allah Yang Maha Besar, beliau berhenti
sejenak, menyaksikan dan tak sepatah kata pun terucap, menggertakan gigi dan
air mata pun menetes. Tidak terlintas dalam benak beliau sedikit pun bahwa
moral kebiadaban dan sampai hati merusak mayat seperti yang terjadi pada paman
beliau sendiri yang gugur syahid, Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah dan
tokoh utama shahabat.
Rasulullah membuka kedua mata yang dengan
airnya yang berkilau laksana kaca, pandangan beliau tertuju kepada tubuh
pamannya itu dan bersabda, “Aku tidak akan menderita karena
musibah sepertimu selamanya. Dan tidak satu suasana pun yang lebih menyakitkan
hatiku seperti suasana sekarang ini.”
Kemudian beliau menoleh ke arah para
shahabat, dan bersabda, “Sekiranya Shafiyah, saudari Hamzah,
takkan berduka dan tidak akan menjadi sunnah sepeninggalku nanti, niscaya
kubiarkan jasadnya mengisi perut binatang buas dan tembolok burung. Sekiranya
aku diberikan kemenangan oleh Allah di salah satu medan pertempuran dengan
orang Quraish, niscaya kucabik-cabik tubuh tiga puluh orang laki-laki di antara
mereka.”
Para shahabat pun berseru, “Demi
Allah, sekiranya pada suatu waktu nanti kita diberi kemenangan oleh Allah atas
mereka, niscaya kami akan mencincang-cincang mayat mereka dengan cincangan yang
belum pernah dilakukan oleh orang Arab pun!”
Makam Hamzah |
Demikianlah, belum lagi selesai Rasulullah
mengucapkan ancamannya itu, dan belum beranjak dari tempat tersebut, ayat-ayat
yang mulia ini pun turun:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
QS:An-Nahl | Ayat: 125
QS:An-Nahl | Ayat: 125
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا
بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ
لِلصَّابِرِينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
QS:An-Nahl | Ayat: 126
QS:An-Nahl | Ayat: 126
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا
بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka
tipu dayakan.
QS:An-Nahl | Ayat: 127
QS:An-Nahl | Ayat: 127
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ
اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan.
QS:An-Nahl | Ayat: 128
QS:An-Nahl | Ayat: 128
Ayat-ayat tersebut diturunkan di tempat itu dan sekaligus sebagai
penghormatan terbaik untuk Hamzah, yang pahalanya pasti diberikan oleh Allah.
Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan seperti telah penulis sebutkan
sebelumnya, ia bukanlah sekedar paman yang tercinta belaka, melainkan juga
saudara sesusuan, teman sepermainan, dan shahabat sepanjang masa.
Pada momen perpisahan ini, tidak ada penghormatan yang lebih utama yang
ditemui Rasulullah untuk melepas kepergiannya selain menshalatkan bersama-sama
dengan seluruh syuhada, seorang demi seorang. Demikianlah, jasadnya dibawa ke
tempat shalat di medan laga yang telah menyaksikan kepahlawanan dan menampung
darahnya, lalu dishalatkan oleh Rasulullah bersama para shahabat.
Setelah itu, seorang yang gugur syahid lain dibawa ke sana dan
dishalatkan oleh Rasulullah. Mayat itu diangkat, tetapi Hamzah dibiarkan di
tempatnya, lalu jasad korban syahid ketiga dibawa dan dibaringkan di dekat
Hamzah, lalu dishalatkan pula oleh Rasulullah.
Begitulah para syuhada itu didatangkan satu demi satu, untuk dishalatkan
oleh Rasulullah, hingga dihitung ada tujuh puluh kali lipatnya Rasulullah
menshalatkan Hamzah waktu itu.
Rasulullah pulang ke rumah meninggalkan medan peperangan. Di tengah
perjalanan, beliau mendengar wanita-wanita Bani Abdul Asyal menagisi syuhada
mereka. Dengan sangat santun dan sayang, beliau bersabda, “Tetapi,
Hamzah, tidak ada wanita yang menangisinya!”
Sabda beliau itu didengar oleh Sa’ad bin Mu’adz. Ia menyangka bahwa
Rasulullah akan senang hati bila ada wanita yang menangisi pamannya, lalu
segeralah ia mendatangi wanita-wanita Bani Abdul Asyal dan menyuruh mereka agar
menangisi Hamzah pula. Suruhan itu pun dituruti, namun ketika Rasulullah
mendengar tangis mereka, beliau pergi dan menemui mereka dan bersabda, “Bukan
ini yang saya maksudkan. Pulanglah kalian, semoga Allah memberi kalian rahmat,
dan tidak boleh menangisi setelah ini.”
Para penyair dari kalangan shahabat Rasulullah berlomba-lomba menggubah
syair untuk mengantarkan kepergian Hamzah dan mengenang jasa-jasanya yang
besar. Di antaranya, Al-Hasan bin Tsabit mengatakan:
Tinggalkan masa lalu yang penuh
berhala.
Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang
pahala.
Penunggang kuda di medan laga.
Bagaikan singa terluka di hutan
belantara.
Seorang keturunan Hasyim mencapai
puncak yang cemerlang.
Tampil ke medan laga membela
kebenaran.
Gugur sebagai syahid di medan
pertempuran.
Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran.
Abdullah bin Rawahah mengatakan:
Air mata mengalir tidak ada hentinya.
Walau ratap dan tangis tidak ada
artinya.
Terhadapmu, wahai Singa Allah, mereka
bertanya-tanya.
Benarkah Hamzah yang gugur?
Ujian telah menimpa kami hamba Allah.
Begitu pula Muhammad Rasulullah.
Dengan kepergianmu benteng musuh
berantakan.
Dengan kepergianmu tercapailah tujuan.
Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah dan saudari Hamzah,
mengatakan:
“Ia
telah dipanggil oleh Ilah yang berhak disembah, pemilik Arsy.
Ke dalam surga tempat hidup
bersenang-senang.
Memang itulah yang kita tunggu dan
selalu harapkan.
Hingga pada hari mahsyar Hamzah
beroleh tempat yang lapang.
Demi Allah, selama angin barat
berhembus, daku takkan lupa.
Baik di waktu bermukim maupun
bepergian ke mana saja.
Selalu berkabung dan menangisi.
Singa Allah Sang Pemuka, Pembela Islam
terhadap setiap kafir orang angkara.
Sementara daku mengucapkan syair,
keluargaku sama berdo’a.
Semoga Allah memberimu balasan, wahai
saudara, wahai pembela.”
Tetapi, ratapan terbaik untuk mengenang Hamzah ialah kata-kata yang
diucapkan oleh Rasulullah ketika berdiri di depan jasad Hamzah sewaktu
dilihatnya berada di antara syuhada pertempuran itu. Beliau bersabda:
“Rahmat
Sang Maha Penyayang terlimpah atas dirimu.
Akulah saksi bagimu di hadapan
Al-Hakim.
Engkaulah ksatria penyambung
silaturahim.
Berbuat kebaikan, pembela yang didzalimi.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa musibah yang menimpa Nabi berupa kematian
paman beliau yang utama, Hamzah, adalah musibah yang sangat besar, hingga
sebagai penghibur baginya sangat sukar ditemukan. Tetapi, takdir telah
menyediakan hiburan terbaik bagi Rasulullah.
Dalam perjalanan pulang dari Uhud ke rumahnya, Rasulullah melewati
seorang wanita warga Bani Dinar, yang dalam peperangan itu telah kehilangan
ayah, suami, dan saudaranya. Ketika wanita itu melihat kaum Muslimin pulang
dari medan perang, ia segera mendapatkan mereka dan menanyakan berita
pertempuran. Mereka sampaikan bela sungkawa atas gugurnya suami, ayah, dan
saudaranya itu. Sambil mengeluh, wanita itu bertanya, “Bagaimana
kabar Rasulullah?” mereka menjawab, “Baik-naik
saja, Alhamdulillah. Beliau dalam keadaan yang kamu inginkan.”
“Ajaklah beliau ke sini agar saya dapat
melihatnya,” pintanya.
Mereka pun tetap berdiri di samping wanita tersebut, hingga Rasulullah
mendekat kepada mereka. Ketika wanita tersebut melihat kedatangan beliau, ia
langsung menghampiri dan berkata, “Apa pun musibah yang menimpa, asal
tidak menimpa diri anda, itu terasa ringan.”
Kata-kata tersebut merupakan hiburan terbaik dan paling kekal.
Rasulullah bisa jadi tersenyum menyaksikan peristiwa istimewa dan satu-satunya
ini, karena dalam dunia pengorbanan, kesetiaan dan kecintaan,peristiwa itu
tidak ada bandingannya.
Seorang wanita yang lemah dan miskin itu telah kehilangan ayah, suami,
dan saudaranya. Tetapi, sambutannya terhadap perang yang menyampaikan berita
yang dapat mengguncangkan gunung, cukup dengan kata-kata, “Tetapi,
bagaimana kabar Rasulullah?” sungguh, suatu peristiwa yang telah
diatur corak dan waktunya oleh tangan takdir secara baik dan tepat, guna
disajikan sebagai penghibur bagi Rasulullah dalam menghadapi musibah atas
kesyahidan Singa Allah dan panglima para syuhada.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar