Selasa, 26 November 2013

Rasulullah: Jazirah Arab Pra-Islam.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
       
        A.  Sejarah Perkembangan Mekkah
  

  Syahdan, Ibrahim a.s. meniggalkan Iraq menuju Syam kemudian ke Mesir. Dalam perjalanannya, ia selalu membawa serta ajaran tauhid dan mengajarkannya. Istrinya, Sarah, dengan setia menyertainya mengembara. Ia adalah seorang perempuan yang jelita. Padahal, raja-raja Mesir kala terbiasa ingin menguasai setiap perempuan cantik. Maka Allah berkehendak menjauhkan Ibrahim dari Sarah (agar Sarah tidak terlihat oleh raja Mesir). Sarah pun berpisah dengan Ibrahim dan menuju ke suatu tempat yang aman dengan ditemani seorang pelayan perempuan bernama Hajar (Ibunda Isma’il a.s).

     Waktu terus berjalan. Sarah merasa dirinya mandul, sementara Ibrahim telah lanjut usia, rambutnya pun telah memutih. Mengingat hal itu, Sarah meminta Ibrahim agar menikahi pelayannya, Hajar, dengan harapan agar Allah mengaruniakan darinya seorang putra yang saleh. Allah mengabulkan harapan itu. Seorang anak lahir dari rahim Hajar. Ibrahim memberi nama putra pertamanya itu Isma’il.

     Satelah Hajar melahirkan Isma’il, kecemburuan Sarah terhadap Hajar tak tertahankan. Bahkan ia bersumpah akan memotong-motong tubuh Hajar menjadi tiga bagian. Maka, Hajar mengambil sehelai selendang panjang. Diikatnya selendang itu di pinggang, lalu ia lari bersama Ibrahim. Ujung selendangnya dibiarkan menyapu tanah sehingga tersamarlah jejaknya dari Sarah.

     Ibrahim membawa Hajar dan putranya, Isma’il, yang masih menyusu itu hingga ke tempat berdirinya Ka’bah. Ia berhenti di dekat sebatang pohon besar yang berada di atas sumur zamzam. Mekkah saat itu tak berpenghuni seorang pun, juga tidak ada air. Ibrahim menaruh sekantong kurma dan sebuah kantong berisi air di sisi Hajar, kemudian berbalik ke arah mereka datang. Hajar terperanjat menyaksikan hal itu. Ia mengejar Ibrahim seraya berkata, “Ibrahim, hendak ke manakah engkau pergi? Mengapa engkau meniggalkan kami berdua di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apa-apanya ini?

     Hajar mengucapkan pertanyaan itu berkali-kali, tetapi Ibrahim sama sekali tak menengok. Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan hal ini?

     Kini Ibrahim menjawab, “Benar!

     Mendengar jawaban tersebut, berkatalah Hajar, “Kalau begitu,Allah pasti tidak akan menelantarkan kami.

     Ia pun kembali ke tempatnya semula. Sementara itu, Ibrahim terus melangkah hingga sampai di sebuah tempat yang tak terlihat oleh Hajar. Di situ ia berhenti lalu menghadapkan wajahnya ke arah Ka’bah seraya berdo’a,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
QS:Ibrahim | Ayat: 37

     Alkisah, tak lama setelah air yang ditinggalkan Ibrahim habis, Hajar dan Isma’il pun kehausan. Serasa hancur hati Hajar melihat bayinya menangis meronta-ronta karena kehausan. Bergegas ia bangkit untuk mencari air sampai ke puncak bukit yang paling dekat, bukit Shafa. Di situ ia berbalik menghadap ke arah lembah di bawahnya untuk melihat apakah ada orang di bawah. Namun, tak seorang pun tampak olehnya. Maka tanpa membuang-buang waktu, Hajar pun turun dari bukit Shafa. Sesampainya di bawah, ia mengangkat salah satu ujung pakaiannya, kemudian berlari-lari kecil hingga sampai di ujung lembah. Ia terus naik ke bukit Marwa, lalu menengok ke arah bawah untuk melihat apakah ada orang di sana. Namun, lagi-lagi tak dilihatnya satu orang pun. Dikerjakannya hal itu bolak-balik sampai tujuh kali putaran. Belakangan, orang yang menjalankan ibadah haji menirukan apa yang dilakukan oleh Hajar (sa’i), sebagaimana disabdakan Rasulullah.

     Pada akhir putaran ke tujuh, Hajar didatangi oleh malaikat Jibril yang lalu menggali mata air zam-zam dengan tumitnya (ada yang mengatakan dengan kedua sayapnya). Beberapa saat kemudian, air memancar dari lubang galian tersebut. Hajar segera membendung pancaran air dan mewadahinya dengan dengan kantung airnya. Diriwayatkan, setiap kali Hajar menciduk, mata air itu semakin deras memancar. Demikian berlangsung terus-menerus. Terkait dengan keajaiban ini, Rasulullah bersabda, “Allah telah memberi Rahmat kepada Ibunda Isma’il.seandainya ia membiarkan zamzam….” Pada riwayat lain disebutkan, Rasulullah bersabda, “Andaikata ia tidak menciduk air dari zamzam, niscaya zamzam akan menjadi mata air yang sangat besar.

     Hajar menggunakan air itu untuk memuaskan dahaganya sendiri dan untuk menyusui putranya. Kemudian malaikat Jibril berkata kepadanya, “Janganlah kalian takut terlantar. Sesungguhnya tempat ini rumah Allah yang kelak akan dibangun oleh anak ini bersama ayahnya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan pernah menelantarkan penghuninya.

     Beberapa waktu setelah kejadian itu, sekelompok orang dari kabilah Jurhum Al-Yamaniyah Al-Qahthaniyah melintas dan melihat mata air tersebut. Mereka pun meminta izin kepada Hajar agar diperbolehkan tinggal bersama keduanya di daerah itu. Hajar mengabulkan permintaan mereka dengan syarat mereka tidak berhak atas kepemilikan mata air zamzam. Mereka menyetujui persyaratan Hajar sehingga tak lama kemudian, mereka memboyong sanak keluarga mereka yang masih berada di kampung halaman mereka untuk tinggal di Mekkah.

     Singkat cerita, Isma’il pun tumbuh menjadi seorang remaja di tengah-tengah mereka. Ia juga belajar bahasa Arab dari mereka. Bahkan pada masa remajanya, orang-orang dari kabilah Jurhum banyak yang menaruh simpati kepadanya, sehingga setelah ia dewasa, mereka menikahkannya dengan salah satu perempuan mereka.

     Beberapa waktu setelah Hajar wafat, Ibrahim berkunjung ke Mekkah. Namun, ia tidak mendapati putranya, Isma’il, di rumahnya. Istri Isma’il memberitahukan bahwa Isma’il sedang pergi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketika Ibrahim menanyakan perihal kehidupan mereka, istri Isma’il mengadukan kesengsaraan hidup yang mereka alami. Mendengar jawaban seperti itu, Ibrahim berpesan agar sang menantu menyampaikan salamnya kepada Isma’il dan mengatakan kepadanya agar mengubah ambang pintun rumahnya. Ketika Isma’il pulang, istrinya menceritakan apa yang terjadi saat ia pergi. Dari kisah istrinya, tahulah Isma’il bahwa yang datang adalah ayahnya. Ia juga paham maksud ayahnya yang disampaikan oleh istrinya. Maka, ia pun menceraikan istrinya lalu menikah lagi dengan perempuan lain.

     Beberapa waktu kemudian, Ibrahim kembali datang untuk menjenguk Isma’il. Namun, lagi-lagi ia tidak mendapati putranya di rumah. Sebelum pergi, ia bertanya kepada istri Isma’il yang baru tentang kehidupan mereka. Ditanya kemudian, istri Isma’il memuji Allah atas kelapangan rezeki yang dikaruniakan-Nya kepada keluarga mereka. Setelah itu, Ibrahim pun pamit dan berpesan agar sang menantu menyampaikan salamnya kepada Isma’il. Ia juga meminta menantunya untuk mengatakan kepada Isma’il agar terus merawat ambang pintu rumahnya. Ketika Isma’il pulang dan diberitahu tentang apa yang terjadi, ia tahu bahwa yang datang adalah ayahnya. Ia juga mengerti maksud dari pesan ayahnya, yaitu agar ia menjadi istrinya dengan baik.

     Sejak peristiwa itu, Ibrahim hilang entah ke mana. Baru beberapa waktu kemudian tiba-tiba ia muncul lagi di Mekkah. Ia mendapati putranya tengah sibuk memperbaiki anak panahnya di bawah sebatang pohon besar yang berada di dekat zamzam. Begitu melihat Ibrahim, Isma’il langsung menghambur menyambut sang ayah sebagaimana  layaknya seorang anak dengan ayahnya. Selanjutnya Ibrahim meminta Isma’il untuk membantunya melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, yaitu membangun Ka’bah di atas sebuah tempat yang tinggi di dekat mata air Zam-zam. Singkat cerita, keduanya kemudian bahu-membahu membangun Ka’bah. Isma’il mengusung batu-batu yang dibutuhkan, sementara Ibrahim menatanya. Ketika bangunan mulai meninggi, Isma’il mencarikan sebuah batu untuk pijakan. Ditaruhnya batu itu di tempat yang diperlukan, kemudian Ibrahim berdiri di atasnya. Saat proses pembangunan Ka’bah, keduanya senantiasa berdo’a seperti ini,

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
QS:Al-Baqarah | Ayat: 127

     Ini bukan kali pertama Isma’il membantu ayahnya dalam menaati Allah dan menjalankan perintah-Nya. Disebutkan bahwa Ibrahim pernah ke Mekkah pada saat Isma’il masih remaja. Saat itu, Allah baru saja memerintahkannya dalam mimpi agar menyembelih putranya sebagai korban (persembahan)
 Untuk Allah. Ia meminta pendapat Isma’il tentang mimpi tersebut. Ia berkata kepadanya,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
QS:Ash-Shaaffat | Ayat: 102

     Maka Ibrahim membawa remaja itu ke Mina untuk melaksanakan perintah tuhannya. Namun, tatkala sang putra telah dibaringkan dan pisau sudah siap digenggam, Tuhannya memanggilnya, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu…

     Saat itu juga, Allah menebus Isma’il dengan seekor sembelihan yang besar. Akhirnya, Ibrahim tak jadi menyembelih putranya, melainkan menyembelih kambing gibas yang ada di depannya. Ayah dan anak ini pun mendapat kemenangan yang besar, yaitu ridha Allah.

     Setelah Ibrahim dan Isma’il menyelesaikan pembangunan Ka’bah, Allah menyerukan Ibrahim agar menyeru kepada umat manusia untuk berhaji. Allah berfirman:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
QS:Al-Hajj | Ayat: 27

     Disebutkan bahwa saat menyerukan perintah itu, Ibrahim a.s. naik ke puncak gunung Abi Qubais (ada yang bilang, ia naik ke atas Hijr Isma’il. Ada pula yang menyebutkan, ia naik ke bukit Shafa). Ibrahim melaksanakan perintah itu dan berserk, “Wahai manusia, sesungguhnya tuhan kalian telah membangunkan kalian sebuah rumah, maka berhajilah kepadanya!

     Allah memperdengarkan seruannya itu—sampai hari kiamat kelak—kepada semua makhluk. Setiap orang yang ditakdirkan-Nya naik haji, dan setiap yang mendengarkan seruan itu akan menjawab, “Labbaika, Allahumma labbaika!

     Ibrahim dan Isma’il, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an, pada saat itu juga berdo’a sebagai berikut:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta meyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 129

     Di tafsir-nya, Ath-Thabari menjelaskan bahwa ini adalah do’a khusus Ibrahim a.s. dan Isma’il a.s untuk nabi kita, Muhammad, yaitu do’a yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Aku adalah do’a ayahku, Ibrahim, dan kabar gembira Isa a.s…

     Isma’il menetap di Ka’bah bersama handai taulannya dari kabilah Jurhum sampai dirinya diangkat menjadi utusan Allah untuk mereka dan semua manusia yang berada di Hijaz. Termasuk kabilah Amaliq dan Yaman. Allah berfirman:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.
QS:Maryam | Ayat: 54

     Disebutkan juga Isma’il mempunyai 12 orang anak lelaki. Nama kedua belas anak itu disebutkan satu per satu oleh Muhammad bin Ishaq, kemudian dikutip oleh Ibnu Katsir. Yang paling mahsyur di antara mereka adalah Nabit dan Qaidzar. Nabit adalah yang terpilih menjadi moyang dari keturunan Ibrahim dan Isma’il yang bernama Muhammad, Nabi kita. Namun, rangkaian silsilah Nabit dan Adnan terputus dikarenakan berbagai kondisi yang tidak diketahui. Hanya, disebutkan bahwa jumlah moyang antara Nabit dan Adnan diperkirakan ada enam orang, yang seluruhnya hidup di Mekkah. Meskipun demikian, nama keenam moyang ini tidak terlacak sehingga Rasulullah hanya menisbahkan garis nasabnya kepada Adnan. Adapun kakek moyangnya antara Adnan sampai Isma’il terdapat banyak pendapat yang berbeda-beda.

     Isma’il dimakamkan bersama ibundanya di Hijr. Umurnya saat meninggal adalah 137 tahun. Semua bangsa Arab Hijaz adalah garis keturunan (silsilah) dari salah satu dari dua putranya: Nabit dan Qaidzar
     Demikianlah. Perlu disampaikan pula bahwa zaman hidup Ibrahim a.s adalah pada abad ke-16 sebelum Masehi

                       B.  Perihal Berulangnya Pembangunan Ka’bah

     Tahap Pertama: Pembangunan yang dilakukan oleh malaikat sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Azarqi.

     Tahap Kedua: Pembangunan yang dikerjakan oleh Adam a.s. Ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan perawi lainnya.

     Tahap Ketiga: Pembangunan yang dilakukan oleh putra-putra Adam a.s. Seperti yang diriwayatkan oleh Al-Azraqi dab perawi lain dari Wahab bin Munahibbih. As-Suhaili menyebutkan, yang membangun Ka’bah adalah Syits bin Adam a.s.

     Tahap Keempat: Pembangunan yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il a.s sebagaimana disebutkan tadi. Ibnu Katsir menegaskan bahwa ini adalah kali pertama yang membangun Ka’bah. Ia menyatakan bahwa tidak ada satu kabar shahih pun dari Rasulullah yang menyatakan bahwa Ka’bah telah dibangun sebelum kedatangan Ibrahim a.s. Mereka yang berkeyakinan seperti ini umumnya merujuk pada kata Tempat berdirinya Ka’bah… Padahal perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud oleh kata ini bukan makna dhahirnya. Sebab, yang dimaksud adalah lokasi Ka’bah yang telah ditentukan dalam pengetahuan Allah dan ditetapkan dalam takdir-Nya, yang tempatnya dimuliakan oleh para Nabi sejak Adam a.s hingga Ibrahim a.s.

     Mengomentari penjelasan Ibnu Katsir ini, Asy-Syami berkata bahwa pernyataan ini memiliki pembenaran dari atsar-atsar yang telah dan akan disebutkan.

     Tahap Kelima: Pembangunan yang dilakukan oleh kabilah Amaliq dan Jurhum. Riwayat ini dikutip Asy-Syami dari riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ishaq bin Rahawaih di kitab Musnad-nya, juga bersumber dari Ali bin Abi Thalib. As-Suhaili berkata, “Telah dikatakan bahwa Ka’bah pernah dibangun pada masa kabilah Jurhum sebanyak satu atau dua kali karena aliran air menyebabkan dindingnya retak. Pembangunan ini bukan seperti yang kami jelaskan, melainkan sekedar memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Sebuah dinding pemisah pernah dibangun antara Ka’bah dengan aliran air. Dinding ini dibangun oleh Amir Al-Jarud. Kisahnya telah diceritakan sebelumnya.

     Tahap Keenam: Pembangunan yang dilakukan oleh Qushai bin Kilab, kakek Rasulullah. Tentang hal ini, Asy-Syami bahwa Zubair bin Bakar menyebutkan riwayat ini di An-Nasab. Riwayat ini dikuatkan lagi oleh Ibnu Ishaq Al-Marudi di Al-Hakam As-Sulthaniyyah.

     Tahap Ketujuh: Pembangunan yang dilakukan oleh kaum Quraish ketika Muhammad masih berumur 35 tahun.

     Tahap Kedelapan: Pembangunan yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubair sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hal ini akan diuraikan pada babnya nanti.

     Tahap Kesembilan: Pembangunan yang dilakukan oleh Al-Hajjaj bin Yusuf atas perintah oleh Abdul Malik bin Marwan Al-Umawi. Hal ini diriwayatkan oleh Muslim. Disebutkan, ketika itu Abdul Malik meragukan pendengaran Ibnu Zubair dari Aisyah r.a. terkait hadits Rasulullah yang berbunyi, ”Seandainya kaummu tidak sezaman dengan kaum Jahiliyyah, niscaya aku telah meruntuhkannya, menutupnya, melumuri pintunya dengan tanah, dan memasukkan bebatuan ke dalamnya. Harits bin abdillah bin bin Abi Rabi’ah meyakinkannya dengan mengatakan bahwa ia juga telah mendengar sendiri hadits itu dari Aisyah. Maka, Abdul Malik pun menyesali pemugaran Ka’bah yang telah dilakukannya.

     Diriwayatkan, Rasyid Al-Abbasi pernah berniat untuk meruntuhkan Ka’bah dan mengembalikan bentuknya seperti bangunan Ibnu Zubair. Namun, Malik bin Anas buru-buru mencegahnya. Ia berkata kepada Rasyid, “Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah lebih senang bila anda tidak menjadikan Ka’bah sebagai bahan permainan raja-raja setelah anda. Yakni karena tak seorang pun dari mereka rela Ka’bah itu dipugar oleh selain dirinya. Bila sampai demikian, wibawa Ka’bah akan lenyap dari hati manusia.” Akhirnya Rasyid pun mengurungkan niatnya.

     Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih riwayat Al-Bukhari yang berbicara tentang masalah pembangunan Ka’bah dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang pertama kali membangun Ka’bah adalah Ibrahim dan putranya, Isma’il a.s. Tempat berdirinya Ka’bah (Baitullah) adalah sebuah bukit kecil yang lebih tinggi daripada tempat-tempat disekitarnya. Tempat ini diketahui oleh para malaikat dan semua Nabi. Bahkan tempat ini telah dimuliakan dari dahulu kala sampai datangnya Ibrahim a.s. yang kemudian meletakkan pondasi Ka’bah dan membangunnya.

     Sementara itu, yang mengatakan adanya pembangunan Ka’bah sebelum itu adalah riwayat-riwayat yang terputus sanadnya pada generasi shahabat dan tabi’in. kebanyakan hanya diriwayatkan oleh para ahli sejarah dan biografi Rasulullah, seperti Al-Azraqi, Al-Fakihi, dan beberapa ulama tafsir serta ulama hadits yang tidak mengikuti metode penggunaan riwayat yang shahih atau hasan. Sebagaimana telah disebutkan di awal bahasan ini, Ibnu Katsir menegaskan bahwa tidak ada satu pun khabar shahih dari Rasulullah yang menyatakan bahwa Ka’bah telah dibangun sebelum kedatangan Ibrahim a.s.

     sementara itu, Abu Syubah, setelah mengkaji dan menindaklanjuti pernyataan Ibnu Katsir tersebut, mengatakan, “Riwayat yang kita pegang dan kita terima tidak bertentangan dengan beberapa riwayat berikut ini:

1.      Riwayat yang menyebutkan, ‘Tidak ada seorang Nabi pun, melainkan ia telah melakukan haji ke Baitullah.

2.      Riwayat yang disampaikan oleh Abu Ya’la di musnadnya dengan menggunakan jalur sanad Ibnu Abbas. Ia menuturkan bahwa ketika Rasulullah pergi berhaji, sesampainya di lembah Usfan, beliau bertanya, ‘Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ini adalah lembah Usfan.’ Lalu beliau bersabda, ‘Nuh, Hud, dan Ibrahim pernah melewati lembah ini dengan menunggan unta-unta mereka yang kuat. Tali kekang mereka terbuat dari serat yang kokoh, celana mereka terbuat dari kain yang panjang dan lebar, dan sorban serta baju mereka terjahit rapi. Mereka saat itu sedang dalam perjalanan haji menuju Ka’bah.

3.      Riwayat yang disampaikan oleh Ahmad di musadnya dengan jalur periwayatan dari Ibnu Abbas. Ia menuturkan, ketika Rasulullah melewati lembah Usfan dalam sebuah perjalanan haji, beliau bersabda, ‘Nabi Hud dan Shalih pernah melewati lembah ini dengan menunggang unta-unta mereka yang kuat, dan tali kekang mereka terbuat dari serat yang kokoh, celana mereka terbuat dari kain yang panjang dan lebar, dan sorban serta baju mereka terjahit rapi. Mereka melintasi lembah ini seraya mengucapkan kalimat talbiyah untuk berhaji ke Ka’bah.

     mengapa tidak bertentangan? Karena, yang dimaksudkan berhaji di sini adalah berhaji ke lokasi Ka’bah, meskipun di situ belum ada bangunannya.

           C.  Peran Ibnu Zubair dan Tokoh-Tokoh Lain dalam Pembangunan                Ka’bah.

     Setelah Ibnu Zubair memutuskan akan merenovasi Ka’bah, kaum Muslimin mengawalinya dengan membongkar bangunan yang ada sampai rata dengan tanah. Sebelumnya mereka mendirikan beberapa tiang di sekitar Ka’bah untuk mengukur ketinggian masing-masing sisi. Lalu’ mereka mendirikan Ka’bah setelah memulihkan beberapa dzira’ yang pernah dikurangi oleh kaum Quraish. Mereka menambah ketinggiannya menjadi 10 dzira’ lebih tinggi daripada sebelumnya. Mereka juga menambah pintu Ka’bah menjadi dua: di sebelah timur dan di sebelah barat, satu pintu masuk dan satunya lagi pintu keluar. Ini mereka lakukan dengan dasar salah satu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Buhari dan Muslim, “Wahai Aisyah, seandainya kaummu tidak sezaman dengan kaum jahiliyyah, niscaya aku akan memerintahkan Ka’bah, ‘Robohlah!’ lalu aku akan memasukkan ke dalamnya segala sesuatu yang dikeluarkan dari dalamnya, melumurinya dengan tanah, dan membuatkan untuknya pintu di sebelah barat dan di sebelah timur, kemudian aku akan meratakannya hingga mencapai pondasi yang dibangun Ibrahim.

  
   Al-Arzaqi menuturkan bahwa Ibrahim a.s. membuat bangunan Ka’bah setinggi 9 dzira’, kedalamannya ke dasar bumi 32 dzira’, lebarnya 22 dzira’, dan bangunan ini tanpa atap. Sementara itu, As-Suhaili menceritakan bahwa panjang bangunan Ka’bah ke langit (ketinggiannya) adalah 9 dzira’ sejak zaman Isma’il a.s. Ketika kaum Quraish membangunnya kembali sebelum kedatangan Islam, mereka menambahnya setinggi 9 dzira’. Jadi, total ketinggiannya menjadi 18 dzira’. Mereka juga meninggikan pintu Ka’bah dari permukaan tanah sehingga orang tak bisa memasukinya tanpa menggunakan tangga. Adapun orang yang pertama kali membuatkan kunci pinti Ka’bah adalah Tubba’. Kemudian, ketika Ibnu Zubair memugarnya kembali, ia menambahkan ketinggian Ka’bah setinggi 9 dzira’. Dengan begitu, ketinggian Ka’bah yang terakhir adalah 27 dzira’, dan tetap seperti itu sampai saat ini.

     Pada awalnya, Masjidil Haram tak berpagar. Di sekelilingnya banyak berdiri rumah penduduk. Dalam perkembangannya, ketika melihat Masjidil Haram tak mampu lagi menampung seluruh jamaah haji dan peziarah yang makin bertambah tiap tahunnya, Ibnu Khatthab membeli rumah-rumah penduduk untuk memperluas masjid. Selain menambahkan pagar setinggi orang berdiri di sekeliling masjid, ia juga melengkapinya dengan lampu penerangan.

     Belakangan, ketika Utsman bin Affan melihat Masjidil Haram kembali tak sanggup menampung seluruh jamaah haji dan umrah, dibelinya lagi beberapa rumah penduduk di sekitarnya untuk memperluas area masjid. Belakangan, perluasan ini dilakukan kembali oleh Ibnu Zunair pada zamannya.

     Sesungguhnya, hampir semua khalifah dan gubernur yang memerintah kota Mekkah sampai saat ini telah melakukan perluasan Masjidil Haram. Seperti kita lihat sekarang, pemerintah Saudi Arabia juga telah berulang kali melakukan perluasan.

               D.   Maqam Ibrahim a.s.

     Maqam adalah batu yang digunakan Ibrahim a.s untuk berpijak saat membangun Ka’bah, yaitu ketika bangunan tersebut telah melebihi tinggi tubuhnya. Pada awalnya, kedua telapak kaki Ibrahim meninggalkan bekas pada batu tersebut, dan masih terlihat sampai zaman awal kedatangan Islam. Namun, lambat laun bekas tersebut hilang dikarenakan banyaknya sentuhan tangan manusia. Bukti masih terlihatnya bekas telapak kaki Ibrahim pada zaman itu adalah perkataan Abu Thalib berikut ini:

     “Bekas telapak kaki Ibrahim terlihat jelas di atas batu, ia berdiri di atas kedua kakinya tanpa terompah.

     Diriwayatkan bahwa maqam tersebut pada awalnya menempel dengan bangunan Ka’bah. Kondisi itu bertahan sampai masa pemerintahan Umar bin Al-Khatthab. Umar menggeser sedikit posisi maqam tersebut untuk memberi keleluasaan kepada orang-orang yang melakukan thawaf dan shalat di sekitar maqam. Para shahabat yang lain menyetujui tindakan Umar ini.

     Allah juga merestui perkataan Rasulullah ketika bersabda, “Kalau saja kita boleh memakai maqam Ibrahim untuk tempat shalat.” Dia berfirman:

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى ۖ وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i´tikaf, yang ruku´ dan yang sujud".
QS:Al-Baqarah | Ayat: 125

     Perlu disampaikan di sini bahwa Ibrahim a.s. pulalah yang membangun Masjidil Aqsha, kendati yang meletakkan pondasinya adalah Ya’qub a.s. Menurut sabda Rasulullah, rentang waktu antara peletakkan pondasi dan pembangunannya adalah 40 tahun.

     Adapun di hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i disebutkan bahwa yang membangun Masjidil Aqsha adalah Sulaiman bin Daud a.s. Namun, perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan kata “membangundalam hadits ini adalah memperbaharui atau memugar. Penjelasan seperti ini dikemukakan oleh As-Suyuti, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Hajar. Menurut Dr. Abu Syuhbah, penggunaan kata ”membangun” dengan arti “memugar” ini sering terjadi dalam bahasa Arab.





▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Nyimak

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf