بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
A. Sejarah
Perkembangan Mekkah
Syahdan, Ibrahim a.s. meniggalkan Iraq menuju Syam kemudian ke Mesir. Dalam perjalanannya, ia selalu membawa serta ajaran tauhid dan mengajarkannya. Istrinya, Sarah, dengan setia menyertainya mengembara. Ia adalah seorang perempuan yang jelita. Padahal, raja-raja Mesir kala terbiasa ingin menguasai setiap perempuan cantik. Maka Allah berkehendak menjauhkan Ibrahim dari Sarah (agar Sarah tidak terlihat oleh raja Mesir). Sarah pun berpisah dengan Ibrahim dan menuju ke suatu tempat yang aman dengan ditemani seorang pelayan perempuan bernama Hajar (Ibunda Isma’il a.s).
Waktu terus berjalan. Sarah merasa dirinya
mandul, sementara Ibrahim telah lanjut usia, rambutnya pun telah memutih.
Mengingat hal itu, Sarah meminta Ibrahim agar menikahi pelayannya, Hajar,
dengan harapan agar Allah mengaruniakan darinya seorang putra yang saleh. Allah
mengabulkan harapan itu. Seorang anak lahir dari rahim Hajar. Ibrahim memberi nama putra pertamanya itu Isma’il.
Satelah Hajar melahirkan Isma’il,
kecemburuan Sarah terhadap Hajar tak tertahankan. Bahkan ia bersumpah akan
memotong-motong tubuh Hajar menjadi tiga bagian. Maka, Hajar mengambil sehelai
selendang panjang. Diikatnya selendang itu di pinggang, lalu ia lari bersama
Ibrahim. Ujung selendangnya dibiarkan menyapu tanah sehingga tersamarlah
jejaknya dari Sarah.
Ibrahim membawa Hajar dan putranya,
Isma’il, yang masih menyusu itu hingga ke tempat berdirinya Ka’bah. Ia berhenti
di dekat sebatang pohon besar yang berada di atas sumur zamzam. Mekkah saat
itu tak berpenghuni seorang pun, juga
tidak ada air. Ibrahim menaruh sekantong kurma dan sebuah kantong berisi air di
sisi Hajar, kemudian berbalik ke arah mereka datang. Hajar terperanjat
menyaksikan hal itu. Ia mengejar Ibrahim seraya berkata, “Ibrahim,
hendak ke manakah engkau pergi? Mengapa engkau meniggalkan kami berdua di
lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apa-apanya ini?”
Hajar mengucapkan pertanyaan itu
berkali-kali, tetapi Ibrahim sama sekali tak menengok. Akhirnya Hajar bertanya,
“Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk
melakukan hal ini?”
Kini Ibrahim menjawab, “Benar!”
Mendengar jawaban tersebut, berkatalah
Hajar, “Kalau begitu,Allah pasti tidak akan
menelantarkan kami.”
Ia pun kembali ke tempatnya semula.
Sementara itu, Ibrahim terus melangkah hingga sampai di sebuah tempat yang tak
terlihat oleh Hajar. Di situ ia berhenti lalu menghadapkan wajahnya ke arah
Ka’bah seraya berdo’a,
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar
mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung
kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur.
QS:Ibrahim | Ayat: 37
QS:Ibrahim | Ayat: 37
Alkisah,
tak lama setelah air yang ditinggalkan Ibrahim habis, Hajar dan Isma’il pun
kehausan. Serasa hancur hati Hajar melihat bayinya menangis meronta-ronta
karena kehausan. Bergegas ia bangkit untuk mencari air sampai ke puncak bukit
yang paling dekat, bukit Shafa. Di situ ia berbalik menghadap ke arah lembah di
bawahnya untuk melihat apakah ada orang di bawah. Namun, tak seorang pun tampak
olehnya. Maka tanpa membuang-buang waktu, Hajar pun turun dari bukit Shafa.
Sesampainya di bawah, ia mengangkat salah satu ujung pakaiannya, kemudian
berlari-lari kecil hingga sampai di ujung lembah. Ia terus naik ke bukit Marwa,
lalu menengok ke arah bawah untuk melihat apakah ada orang di sana. Namun,
lagi-lagi tak dilihatnya satu orang pun. Dikerjakannya hal itu bolak-balik
sampai tujuh kali putaran. Belakangan, orang yang menjalankan ibadah haji
menirukan apa yang dilakukan oleh Hajar (sa’i),
sebagaimana disabdakan Rasulullah.
Pada
akhir putaran ke tujuh, Hajar didatangi oleh malaikat Jibril yang lalu menggali
mata air zam-zam dengan tumitnya (ada yang mengatakan dengan kedua sayapnya).
Beberapa saat kemudian, air memancar dari lubang galian tersebut. Hajar segera
membendung pancaran air dan mewadahinya dengan dengan kantung airnya.
Diriwayatkan, setiap kali Hajar menciduk, mata air itu semakin deras memancar.
Demikian berlangsung terus-menerus. Terkait dengan keajaiban ini, Rasulullah
bersabda, “Allah telah memberi Rahmat kepada Ibunda
Isma’il.seandainya ia membiarkan zamzam….” Pada riwayat lain disebutkan, Rasulullah
bersabda, “Andaikata ia tidak menciduk air dari zamzam,
niscaya zamzam akan menjadi mata air yang sangat besar.”
Hajar
menggunakan air itu untuk memuaskan dahaganya sendiri dan untuk menyusui
putranya. Kemudian malaikat Jibril berkata kepadanya, “Janganlah
kalian takut terlantar. Sesungguhnya tempat ini rumah Allah yang kelak akan
dibangun oleh anak ini bersama ayahnya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan pernah
menelantarkan penghuninya.”
Beberapa
waktu setelah kejadian itu, sekelompok orang dari kabilah Jurhum Al-Yamaniyah
Al-Qahthaniyah melintas dan melihat mata air tersebut. Mereka pun meminta izin
kepada Hajar agar diperbolehkan tinggal bersama keduanya di daerah itu. Hajar
mengabulkan permintaan mereka dengan syarat mereka tidak berhak atas
kepemilikan mata air zamzam. Mereka menyetujui persyaratan Hajar sehingga tak
lama kemudian, mereka memboyong sanak keluarga mereka yang masih berada di kampung
halaman mereka untuk tinggal di Mekkah.
Singkat
cerita, Isma’il pun tumbuh menjadi seorang remaja di tengah-tengah mereka. Ia
juga belajar bahasa Arab dari mereka. Bahkan pada masa remajanya, orang-orang
dari kabilah Jurhum banyak yang menaruh simpati kepadanya, sehingga setelah ia
dewasa, mereka menikahkannya dengan salah satu perempuan mereka.
Beberapa
waktu setelah Hajar wafat, Ibrahim berkunjung ke Mekkah. Namun, ia tidak
mendapati putranya, Isma’il, di rumahnya. Istri Isma’il memberitahukan bahwa
Isma’il sedang pergi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketika Ibrahim
menanyakan perihal kehidupan mereka, istri Isma’il mengadukan kesengsaraan
hidup yang mereka alami. Mendengar jawaban seperti itu, Ibrahim berpesan agar
sang menantu menyampaikan salamnya kepada Isma’il dan mengatakan kepadanya agar
mengubah ambang pintun rumahnya. Ketika Isma’il pulang, istrinya menceritakan
apa yang terjadi saat ia pergi. Dari kisah istrinya, tahulah Isma’il bahwa yang
datang adalah ayahnya. Ia juga paham maksud ayahnya yang disampaikan oleh
istrinya. Maka, ia pun menceraikan istrinya lalu menikah lagi dengan perempuan
lain.
Beberapa
waktu kemudian, Ibrahim kembali datang untuk menjenguk Isma’il. Namun,
lagi-lagi ia tidak mendapati putranya di rumah. Sebelum pergi, ia bertanya
kepada istri Isma’il yang baru tentang kehidupan mereka. Ditanya kemudian, istri
Isma’il memuji Allah atas kelapangan rezeki yang dikaruniakan-Nya kepada
keluarga mereka. Setelah itu, Ibrahim pun pamit dan berpesan agar sang menantu
menyampaikan salamnya kepada Isma’il. Ia juga meminta menantunya untuk
mengatakan kepada Isma’il agar terus merawat ambang pintu rumahnya. Ketika
Isma’il pulang dan diberitahu tentang apa yang terjadi, ia tahu bahwa yang
datang adalah ayahnya. Ia juga mengerti maksud dari pesan ayahnya, yaitu agar
ia menjadi istrinya dengan baik.
Sejak
peristiwa itu, Ibrahim hilang entah ke mana. Baru beberapa waktu kemudian tiba-tiba
ia muncul lagi di Mekkah. Ia mendapati putranya tengah sibuk memperbaiki anak
panahnya di bawah sebatang pohon besar yang berada di dekat zamzam. Begitu
melihat Ibrahim, Isma’il langsung menghambur menyambut sang ayah
sebagaimana layaknya seorang anak dengan
ayahnya. Selanjutnya Ibrahim meminta Isma’il untuk membantunya melakukan apa
yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, yaitu membangun Ka’bah di atas sebuah
tempat yang tinggi di dekat mata air Zam-zam. Singkat cerita, keduanya kemudian
bahu-membahu membangun Ka’bah. Isma’il mengusung batu-batu yang dibutuhkan,
sementara Ibrahim menatanya. Ketika bangunan mulai meninggi, Isma’il mencarikan
sebuah batu untuk pijakan. Ditaruhnya batu itu di tempat yang diperlukan,
kemudian Ibrahim berdiri di atasnya. Saat proses pembangunan Ka’bah, keduanya
senantiasa berdo’a seperti ini,
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan
kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui".
QS:Al-Baqarah | Ayat: 127
QS:Al-Baqarah | Ayat: 127
Ini bukan kali pertama Isma’il membantu
ayahnya dalam menaati Allah dan menjalankan perintah-Nya. Disebutkan bahwa
Ibrahim pernah ke Mekkah pada saat Isma’il masih remaja. Saat itu, Allah baru
saja memerintahkannya dalam mimpi agar menyembelih putranya sebagai korban
(persembahan)
Untuk Allah.
Ia meminta pendapat Isma’il tentang mimpi tersebut. Ia berkata kepadanya,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar".
QS:Ash-Shaaffat | Ayat: 102
QS:Ash-Shaaffat | Ayat: 102
Maka Ibrahim membawa remaja itu ke Mina
untuk melaksanakan perintah tuhannya. Namun, tatkala sang putra telah
dibaringkan dan pisau sudah siap digenggam, Tuhannya memanggilnya, “Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu…”
Saat itu
juga, Allah menebus Isma’il dengan seekor sembelihan yang besar. Akhirnya,
Ibrahim tak jadi menyembelih putranya, melainkan menyembelih kambing gibas yang
ada di depannya. Ayah dan anak ini pun mendapat kemenangan yang besar, yaitu
ridha Allah.
Setelah
Ibrahim dan Isma’il menyelesaikan pembangunan Ka’bah, Allah menyerukan Ibrahim
agar menyeru kepada umat manusia untuk berhaji. Allah berfirman:
وَأَذِّنْ فِي
النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ
كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai
unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
QS:Al-Hajj | Ayat: 27
QS:Al-Hajj | Ayat: 27
Disebutkan bahwa saat menyerukan perintah itu, Ibrahim a.s. naik ke
puncak gunung Abi Qubais (ada yang bilang, ia naik ke atas Hijr Isma’il. Ada
pula yang menyebutkan, ia naik ke bukit Shafa). Ibrahim melaksanakan perintah
itu dan berserk, “Wahai manusia, sesungguhnya tuhan
kalian telah membangunkan kalian sebuah rumah, maka berhajilah kepadanya!”
Allah
memperdengarkan seruannya itu—sampai hari kiamat kelak—kepada semua makhluk.
Setiap orang yang ditakdirkan-Nya naik haji, dan setiap yang mendengarkan
seruan itu akan menjawab, “Labbaika, Allahumma labbaika!”
Ibrahim
dan Isma’il, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an, pada saat itu juga berdo’a
sebagai berikut:
رَبَّنَا وَابْعَثْ
فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul
dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta
meyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 129
QS:Al-Baqarah | Ayat: 129
Di
tafsir-nya, Ath-Thabari menjelaskan bahwa ini adalah do’a khusus Ibrahim a.s. dan Isma’il a.s untuk nabi kita, Muhammad, yaitu do’a yang dimaksudkan oleh
Rasulullah dalam sabdanya, “Aku adalah do’a ayahku, Ibrahim, dan
kabar gembira Isa a.s…”
Isma’il
menetap di Ka’bah bersama handai taulannya dari kabilah Jurhum sampai dirinya
diangkat menjadi utusan Allah untuk mereka dan semua manusia yang berada di
Hijaz. Termasuk kabilah Amaliq dan Yaman. Allah berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah
Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.
QS:Maryam | Ayat: 54
QS:Maryam | Ayat: 54
Disebutkan juga Isma’il mempunyai 12 orang
anak lelaki. Nama kedua belas anak itu disebutkan satu per satu oleh Muhammad
bin Ishaq, kemudian dikutip oleh Ibnu Katsir. Yang paling
mahsyur di antara mereka adalah Nabit dan Qaidzar. Nabit adalah yang terpilih
menjadi moyang dari keturunan Ibrahim dan Isma’il yang bernama Muhammad, Nabi
kita. Namun, rangkaian silsilah Nabit dan Adnan terputus dikarenakan berbagai
kondisi yang tidak diketahui. Hanya, disebutkan bahwa jumlah moyang antara
Nabit dan Adnan diperkirakan ada enam orang, yang seluruhnya hidup di Mekkah.
Meskipun demikian, nama keenam moyang ini tidak terlacak sehingga Rasulullah
hanya menisbahkan garis nasabnya kepada Adnan. Adapun kakek moyangnya antara
Adnan sampai Isma’il terdapat banyak pendapat yang berbeda-beda.
Isma’il dimakamkan bersama ibundanya di
Hijr. Umurnya saat meninggal adalah 137 tahun. Semua bangsa Arab Hijaz adalah
garis keturunan (silsilah) dari salah satu dari dua putranya: Nabit dan Qaidzar
Demikianlah. Perlu disampaikan pula bahwa
zaman hidup Ibrahim a.s adalah pada abad ke-16 sebelum Masehi
B. Perihal
Berulangnya Pembangunan Ka’bah
Tahap Pertama: Pembangunan yang dilakukan oleh malaikat
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Azarqi.
Tahap Kedua: Pembangunan yang dikerjakan oleh Adam a.s. Ini
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan perawi lainnya.
Tahap Ketiga: Pembangunan yang
dilakukan oleh putra-putra Adam a.s. Seperti yang diriwayatkan oleh Al-Azraqi
dab perawi lain dari Wahab bin Munahibbih. As-Suhaili menyebutkan, yang
membangun Ka’bah adalah Syits bin Adam a.s.
Tahap
Keempat: Pembangunan yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il a.s sebagaimana
disebutkan tadi. Ibnu Katsir menegaskan bahwa ini adalah kali pertama yang
membangun Ka’bah. Ia menyatakan bahwa tidak ada satu kabar shahih pun dari Rasulullah yang menyatakan bahwa Ka’bah telah
dibangun sebelum kedatangan Ibrahim a.s. Mereka yang berkeyakinan seperti ini
umumnya merujuk pada kata “…Tempat berdirinya Ka’bah…” Padahal perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud
oleh kata ini bukan makna dhahirnya.
Sebab, yang dimaksud adalah lokasi Ka’bah yang telah ditentukan dalam
pengetahuan Allah dan ditetapkan dalam takdir-Nya, yang tempatnya dimuliakan
oleh para Nabi sejak Adam a.s hingga Ibrahim a.s.
Mengomentari penjelasan Ibnu Katsir ini, Asy-Syami berkata bahwa
pernyataan ini memiliki pembenaran dari atsar-atsar
yang telah dan akan disebutkan.
Tahap
Kelima: Pembangunan yang dilakukan oleh kabilah Amaliq dan Jurhum. Riwayat
ini dikutip Asy-Syami dari riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
Ishaq bin Rahawaih di kitab Musnad-nya,
juga bersumber dari Ali bin Abi Thalib. As-Suhaili berkata, “Telah dikatakan
bahwa Ka’bah pernah dibangun pada masa kabilah Jurhum sebanyak satu atau dua
kali karena aliran air menyebabkan dindingnya retak. Pembangunan ini bukan
seperti yang kami jelaskan, melainkan sekedar memperbaiki apa yang perlu
diperbaiki. Sebuah dinding pemisah pernah dibangun antara Ka’bah dengan aliran
air. Dinding ini dibangun oleh Amir Al-Jarud. Kisahnya telah diceritakan
sebelumnya.”
Tahap
Keenam: Pembangunan yang dilakukan oleh Qushai bin Kilab, kakek Rasulullah.
Tentang hal ini, Asy-Syami bahwa Zubair bin Bakar menyebutkan riwayat ini di An-Nasab. Riwayat ini dikuatkan lagi
oleh Ibnu Ishaq Al-Marudi di Al-Hakam
As-Sulthaniyyah.
Tahap Ketujuh: Pembangunan yang dilakukan oleh kaum Quraish
ketika Muhammad masih berumur 35 tahun.
Tahap
Kedelapan: Pembangunan yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubair sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hal ini akan diuraikan pada
babnya nanti.
Tahap Kesembilan: Pembangunan yang dilakukan oleh Al-Hajjaj bin
Yusuf atas perintah oleh Abdul Malik bin Marwan Al-Umawi. Hal ini diriwayatkan
oleh Muslim. Disebutkan, ketika itu Abdul Malik meragukan pendengaran Ibnu
Zubair dari Aisyah r.a. terkait hadits Rasulullah yang berbunyi, ”Seandainya kaummu
tidak sezaman dengan kaum Jahiliyyah, niscaya aku telah meruntuhkannya,
menutupnya, melumuri pintunya dengan tanah, dan memasukkan bebatuan ke
dalamnya.” Harits
bin abdillah bin bin Abi Rabi’ah meyakinkannya dengan mengatakan bahwa ia juga
telah mendengar sendiri hadits itu dari Aisyah. Maka, Abdul Malik pun menyesali
pemugaran Ka’bah yang telah dilakukannya.
Diriwayatkan, Rasyid Al-Abbasi pernah berniat untuk meruntuhkan Ka’bah
dan mengembalikan bentuknya seperti bangunan Ibnu Zubair. Namun, Malik bin Anas
buru-buru mencegahnya. Ia berkata kepada Rasyid, “Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah lebih senang
bila anda tidak menjadikan Ka’bah sebagai bahan permainan raja-raja setelah
anda. Yakni karena tak seorang pun dari mereka rela Ka’bah itu dipugar oleh
selain dirinya. Bila sampai demikian, wibawa Ka’bah akan lenyap dari hati
manusia.” Akhirnya Rasyid pun
mengurungkan niatnya.
Ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih riwayat Al-Bukhari yang berbicara tentang
masalah pembangunan Ka’bah dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang pertama
kali membangun Ka’bah adalah Ibrahim dan putranya, Isma’il a.s. Tempat
berdirinya Ka’bah (Baitullah) adalah sebuah bukit kecil yang lebih
tinggi daripada tempat-tempat disekitarnya. Tempat ini diketahui oleh para
malaikat dan semua Nabi. Bahkan tempat ini telah dimuliakan dari dahulu kala
sampai datangnya Ibrahim a.s. yang kemudian meletakkan pondasi Ka’bah dan
membangunnya.
Sementara
itu, yang mengatakan adanya pembangunan Ka’bah sebelum itu adalah
riwayat-riwayat yang terputus sanadnya
pada generasi shahabat dan tabi’in. kebanyakan hanya diriwayatkan oleh para
ahli sejarah dan biografi Rasulullah, seperti Al-Azraqi, Al-Fakihi, dan
beberapa ulama tafsir serta ulama hadits yang tidak mengikuti metode penggunaan
riwayat yang shahih atau hasan. Sebagaimana telah disebutkan di awal bahasan
ini, Ibnu Katsir menegaskan bahwa tidak ada satu pun khabar shahih dari Rasulullah yang menyatakan bahwa Ka’bah telah
dibangun sebelum kedatangan Ibrahim a.s.
sementara
itu, Abu Syubah, setelah mengkaji dan menindaklanjuti pernyataan Ibnu Katsir
tersebut, mengatakan, “Riwayat yang kita pegang dan kita terima tidak bertentangan dengan beberapa
riwayat berikut ini:
1.
Riwayat yang menyebutkan, ‘Tidak ada seorang Nabi pun, melainkan ia telah melakukan haji ke
Baitullah.’
2.
Riwayat yang disampaikan
oleh Abu Ya’la di musnadnya dengan
menggunakan jalur sanad Ibnu Abbas.
Ia menuturkan bahwa ketika Rasulullah pergi berhaji, sesampainya di lembah
Usfan, beliau bertanya, ‘Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ini adalah lembah
Usfan.’ Lalu beliau bersabda, ‘Nuh, Hud, dan
Ibrahim pernah melewati lembah ini dengan menunggan unta-unta mereka yang kuat.
Tali kekang mereka terbuat dari serat yang kokoh, celana mereka terbuat dari
kain yang panjang dan lebar, dan sorban serta baju mereka terjahit rapi. Mereka
saat itu sedang dalam perjalanan haji menuju Ka’bah.’
3.
Riwayat yang disampaikan
oleh Ahmad di musadnya dengan jalur
periwayatan dari Ibnu Abbas. Ia menuturkan, ketika Rasulullah melewati lembah
Usfan dalam sebuah perjalanan haji, beliau bersabda, ‘Nabi Hud dan Shalih
pernah melewati lembah ini dengan menunggang unta-unta mereka yang kuat, dan tali
kekang mereka terbuat dari serat yang kokoh, celana mereka terbuat dari kain
yang panjang dan lebar, dan sorban serta baju mereka terjahit rapi. Mereka
melintasi lembah ini seraya mengucapkan kalimat talbiyah untuk berhaji ke
Ka’bah.’
mengapa tidak
bertentangan? Karena, yang dimaksudkan berhaji di sini adalah berhaji ke lokasi
Ka’bah, meskipun di situ belum ada bangunannya.”
C. Peran
Ibnu Zubair dan Tokoh-Tokoh Lain dalam Pembangunan Ka’bah.
Setelah Ibnu Zubair
memutuskan akan merenovasi Ka’bah, kaum Muslimin mengawalinya dengan membongkar
bangunan yang ada sampai rata dengan tanah. Sebelumnya mereka mendirikan
beberapa tiang di sekitar Ka’bah untuk mengukur ketinggian masing-masing sisi.
Lalu’ mereka mendirikan Ka’bah setelah memulihkan beberapa dzira’ yang pernah dikurangi oleh kaum Quraish. Mereka menambah
ketinggiannya menjadi 10 dzira’ lebih
tinggi daripada sebelumnya. Mereka juga menambah pintu Ka’bah menjadi dua: di
sebelah timur dan di sebelah barat, satu pintu masuk dan satunya lagi pintu
keluar. Ini mereka lakukan dengan dasar salah satu sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Al-Buhari dan Muslim, “Wahai Aisyah, seandainya kaummu tidak sezaman dengan
kaum jahiliyyah, niscaya aku akan memerintahkan Ka’bah, ‘Robohlah!’ lalu aku
akan memasukkan ke dalamnya segala sesuatu yang dikeluarkan dari dalamnya,
melumurinya dengan tanah, dan membuatkan untuknya pintu di sebelah barat dan di
sebelah timur, kemudian aku akan meratakannya hingga mencapai pondasi yang
dibangun Ibrahim.”
Al-Arzaqi menuturkan bahwa Ibrahim a.s. membuat bangunan Ka’bah setinggi 9 dzira’, kedalamannya ke dasar bumi 32 dzira’, lebarnya 22 dzira’, dan bangunan ini tanpa atap. Sementara itu, As-Suhaili menceritakan bahwa panjang bangunan Ka’bah ke langit (ketinggiannya) adalah 9 dzira’ sejak zaman Isma’il a.s. Ketika kaum Quraish membangunnya kembali sebelum kedatangan Islam, mereka menambahnya setinggi 9 dzira’. Jadi, total ketinggiannya menjadi 18 dzira’. Mereka juga meninggikan pintu Ka’bah dari permukaan tanah sehingga orang tak bisa memasukinya tanpa menggunakan tangga. Adapun orang yang pertama kali membuatkan kunci pinti Ka’bah adalah Tubba’. Kemudian, ketika Ibnu Zubair memugarnya kembali, ia menambahkan ketinggian Ka’bah setinggi 9 dzira’. Dengan begitu, ketinggian Ka’bah yang terakhir adalah 27 dzira’, dan tetap seperti itu sampai saat ini.
Pada awalnya, Masjidil Haram tak berpagar.
Di sekelilingnya banyak berdiri rumah penduduk. Dalam perkembangannya, ketika
melihat Masjidil Haram tak mampu lagi menampung seluruh jamaah haji dan
peziarah yang makin bertambah tiap tahunnya, Ibnu Khatthab membeli rumah-rumah
penduduk untuk memperluas masjid. Selain menambahkan pagar setinggi orang
berdiri di sekeliling masjid, ia juga melengkapinya dengan lampu penerangan.
Belakangan, ketika Utsman bin Affan
melihat Masjidil Haram kembali tak sanggup menampung seluruh jamaah haji dan
umrah, dibelinya lagi beberapa rumah penduduk di sekitarnya untuk memperluas
area masjid. Belakangan, perluasan ini dilakukan kembali oleh Ibnu Zunair pada
zamannya.
Sesungguhnya, hampir semua khalifah dan
gubernur yang memerintah kota Mekkah sampai saat ini telah melakukan perluasan
Masjidil Haram. Seperti kita lihat sekarang, pemerintah Saudi Arabia juga telah
berulang kali melakukan perluasan.
D. Maqam Ibrahim a.s.
Maqam
adalah batu yang digunakan Ibrahim a.s untuk berpijak saat membangun
Ka’bah, yaitu ketika bangunan tersebut telah melebihi tinggi tubuhnya. Pada
awalnya, kedua telapak kaki Ibrahim meninggalkan bekas pada batu tersebut, dan
masih terlihat sampai zaman awal kedatangan Islam. Namun, lambat laun bekas
tersebut hilang dikarenakan banyaknya sentuhan tangan manusia. Bukti masih
terlihatnya bekas telapak kaki Ibrahim pada zaman itu adalah perkataan Abu
Thalib berikut ini:
“Bekas telapak kaki Ibrahim terlihat jelas di atas
batu, ia berdiri di atas kedua kakinya tanpa terompah.”
Diriwayatkan bahwa maqam tersebut pada awalnya menempel dengan bangunan Ka’bah.
Kondisi itu bertahan sampai masa pemerintahan Umar bin Al-Khatthab. Umar
menggeser sedikit posisi maqam
tersebut untuk memberi keleluasaan kepada orang-orang yang melakukan thawaf dan
shalat di sekitar maqam. Para
shahabat yang lain menyetujui tindakan Umar ini.
Allah juga merestui perkataan Rasulullah
ketika bersabda, “Kalau saja kita boleh memakai maqam Ibrahim untuk tempat shalat.” Dia berfirman:
وَإِذْ
جَعَلْنَا
الْبَيْتَ
مَثَابَةً
لِلنَّاسِ
وَأَمْنًا
وَاتَّخِذُوا
مِنْ
مَقَامِ
إِبْرَاهِيمَ
مُصَلًّى
ۖ
وَعَهِدْنَا
إِلَىٰ
إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ
أَنْ
طَهِّرَا
بَيْتِيَ
لِلطَّائِفِينَ
وَالْعَاكِفِينَ
وَالرُّكَّعِ
السُّجُودِ
Dan (ingatlah), ketika Kami
menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang
aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang thawaf, yang i´tikaf, yang ruku´ dan yang sujud".
QS:Al-Baqarah | Ayat: 125
QS:Al-Baqarah | Ayat: 125
Perlu
disampaikan di sini bahwa Ibrahim a.s. pulalah yang membangun Masjidil Aqsha,
kendati yang meletakkan pondasinya adalah Ya’qub a.s. Menurut sabda Rasulullah,
rentang waktu antara peletakkan pondasi dan pembangunannya adalah 40 tahun.
Adapun
di hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i disebutkan bahwa yang membangun Masjidil
Aqsha adalah Sulaiman bin Daud a.s. Namun, perlu dicatat bahwa yang dimaksud
dengan kata “membangun” dalam
hadits ini adalah memperbaharui atau memugar. Penjelasan seperti ini
dikemukakan oleh As-Suyuti, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Hajar. Menurut Dr. Abu
Syuhbah, penggunaan kata ”membangun”
dengan arti “memugar”
ini sering terjadi dalam bahasa Arab.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
1 komentar:
Nyimak
Posting Komentar