Siapakah
di antara kita yang mengenal nama Sa’id bin Amir atau pernah mendengarnya
sebelum ini? Kemungkinan besar banyak di antara kita—kalau tidak boleh
dikatakan semua—yang belum pernah mendengarnya sama sekali. Saya yakin bahwa
sekarang kalian semua pasti menunggu dan bertanya-tanya, siapakah kiranya Sa’id
bin Amir ini?
Nah, sekarang anda akan mengetahui siapa
sejatinya tokoh tersebut. Ia adalah salah seorang shahabat Rasulullah
yang
utama, walau pun namanya tidak seharum nama mereka yang telah terkenal. Ia
adalah salah seorang yang bertakwa dan tidak menonjolkan diri. Mungkin ada
baiknya kita kemukakan di sini bahwa ia tidak pernah absen dalam semua
perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah
. Tetapi, itu telah menjadi pola
dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman
akan tinggal berpangku tangan dan tidak turut mengambil bagian dalam apa saja
yang dilakukan Nabi
, baik saat damai maupun dalam suasana perang.



Sa’id menganut Islam tidak lama sebelum
pembebasan Khaibar. Sejak ia masuk Islam dan berbaiat kepada Rasulullah
,
seluruh kehidupannya, eksistensi, dan nasibnya dibaktikan untuk kepentingan
Islam dan Rasulullah
. Ketaatan, kezuhudan, kesalehan, keluhuran, ketinggian,
serta segala sifat dan tabiat utama, sangat lekat pada diri manusia suci dan
baik ini.


Ketika kita berusaha menemui dan menjajaki
kebesarannya, hendaklah kita bersikap hati-hati dan waspada, agar tidak terlena
oleh godaan pikiran yang selalu tertuju pada kemegahan, sehingga banyak hal
penting yang justru terabaikan dan justru lepas dari pantauan. Pasalnya, ketika
pandangan kita tertuju pada Sa’id dalam kumpulan orang banyak, tidak tampak
suatu keistimewaan yang akan memikat dan mengundang perhatian kita. Mata kita
akan melihat dia sebagai salah seorang anggota regu tentara dengan tubuh berdebu
dan berambut yang kusut masai, baik pakaian maupun bentuk lahirnya tidak
sedikit pun berbeda dengan golongan miskin lainnya dari kaum Muslimin.
Seandainya yang kita jadikan ukuran itu pakaian dan tampilan luar, kita tidak
akan menemukan petunjuk yang akan menyatakan siapa dia sebenarnya.
Kebesaran tokoh ini lebih banyak yang
tersembunyi dan berada di dalam daripada yang tersembul di permukaan luar yang
kemilau. Kebesaran itu jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan
kesahajaannya. Apakah anda sekalian tahu tentang mutiara yang terpelihara di
dalam perut kerang? Nah, keadaannya boleh diibaratkan seperti itu.
Ketika Amirul Mukminin Umar bin
Al-Khatthab memberhentikan Mu’awiyyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di
Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi
penggantinya. Cara yang digunakan Umar untuk memilih pegawai dan pembantunya
merupakan suatu cara yang mengandung segala kehati-hatian, ketelitian, dan
pemikiran yang matang. Sebab, ia yakin bahwa kesalahan apa pun yang akan
dilakukan oleh setiap penguasa di tempat yang jauh sekali pun maka yang akan
ditanya oleh Allah ialah dua orang: pertama Umar, dan kedua penguasa baru yang
melakukan kesalahan itu. Karena itu, syarat-syarat yang diberlakukan olehnya
untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan sangat berat dan
ketat, serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, lebih dalam
daripada ketajaman mata telanjang dan penampilan luar.
Syria ketika itu merupakan wilayah yang
modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam mengikuti
peradaban yang silih berganti, disamping merupakan pusat perdagangan yang
penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang. Beberapa poin inilah yang
menjadikan Syria sebagai negeri yang penuh dengan godaan dan rangsangan.
Menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok di negeri itu kecuali seorang suci
yang tidak dapat diperdayakan oleh setan mana pun, seorang yang ahli zuhud dan
gemar beribadah, yang tunduk dan patuh kepada Allah.
Tiba-tiba Umar berseru, “Aku telah menemukannya. Bawalah ke sini
Sa’id bin Amir.” Tak lama kemudian, Sa’id pun datang menjumpai Amirul
Mukminin yang menawarkan jabatan sebagai walikota Homs, Suriah. Tetapi, Sa’id
menyatakan keberatan dan berkata, “Janganlah
engkau menjerumuskan diriku ke dalam fitnah, wahai Amirul Mukminin.” Dengan
nada keras Umar menjawab, “Tidak, Demi
Allah, aku tidak akan membiarkanmu menolak. Apakah kalian hendak membebankan
amanah dah khilafah di pundakku lalu kalian meninggalkan diriku begitu saja?”
Dalam sekejap Sa’id dapat diyakinkan.
Memang kata-kata yang diucapkan Umar pantas untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan itu. Sungguh, suatu hal yang tidak adil bila mereka mengalungkan
amanat dan jabatan khalifah di lehernya, lalu mereka meninggalkannya memikul
tugas itu sendirian. Seandainya seorang seperti Sa’id bin Amir menolak untuk
memikul tanggung jawab hukum, siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul
tanggung jawab yang sangat berat itu?
Akhirnya Sa’id berangkat ke Homs disertai
oleh istrinya yang waktu itu masih pengantin baru. Istrinya sejak belia memang
terlihat sebagai seorang wanita cantik berseri-seri. Umar membekali mereka
dengan bekal yang cukup. Ketika kedudukan mereka di Homs telah mapan, sang
istri bermaksud menggunakan haknya sebagai istri untuk memanfaatkan harta yang
telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. Ia mengusulkan kepada suaminya untuk
membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan
sisanya.
Namun, Sa’id menjawab, “Maukah kamu aku tunjukkan yang lebih baik
daripada rencanamu ini? Kita berada di suatu negeri yang sangat pesat
perdagangannya dan laris barang jualannya. Lebih baik kita serahkan harta ini
kepada seseorang yang akan mengambilnya sebagai modal dan akan mengembangkannya”
“Bagaimana
jika perdagangannya rugi?” Tanya istrinya.
“Aku
akan menetapkan jaminan atas dirinya.”
“Baiklah
kalau begitu.”
Kemudian Sa’id pergi keluar, lalu membeli
beberapa keperluan hidup dari jenis yang sangat bersahaja, dan sisanya yang
tentu saja masih banyak dibagi-bagikannya kepada fakir miskin dan orang-orang
yang membutuhkan.
Hari-hari pun berlalu, dari waktu ke waktu
istri Sa’id selalu menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan kapan
keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Sa’id bahwa perdagangan
mereka berjalan lancar, sedangkan keuntungan bertambah banyak dan kian
meningkat.
Suatu hari istrinya mengajukan pertanyaan
serupa di hadapan seorang kerabat yang mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya. Sa’id pun tersenyum lalu tertawa yang menyebabkan timbul keraguan
dan kecurigaan sang istri. Ia mendesak suaminya agar menceritakannya secara
terus terang. Akhirnya, sang suami menuturkan kepadanya bahwa harta itu telah
disedekahkannya sejak awal.
Wanita itu pun menangis. Ia menyesal
karena harta itu lenyap tanpa arti dan tidak jadi dibelikan keperluan hidup
dirinya, dan sekarang tidak sedikit pun yang tersisa.
Sa’id memandangi istrinya, sementara air
mata penyesalan dan kesedihan telah menambah kecantikan dan kemolekannya.
Sebelum pandangan yang penuh godaan itu dapat mempengaruhi dirinya yang lemah,
Sa’id mengalihkan penglihatan batinnya ke surga, maka tampaklah rekan-rekannya
yang telah pergi mendahuluinya, lalu berkata, “Aku mempunyai rekan-rekan yang telah lebih dulu menemui Allah, dan saya
tidak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan segala
isinya.”
Karena ia takut akan tergoda oleh
kecantikan istrinya itu, ia pun menyampaikan kata-kata yang seolah-olah
dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama istrinya, “Bukankah kamu tahu bahwa di dalam surga itu banyak terdapat gadis-gadis
cantik yang bermata jeli, hingga andai seorang saja di antara mereka
menampakkan wajahnya di muka bumi, seluruhnya akan terang benderang, dan
tentulah cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan? Maka mengorbankan
dirimu demi untuk mendapatkan mereka tentu lebih wajar dan lebih utama daripada
mengorbankan mereka karena dirimu.”
Ia mengakhiri ucapan itu dalam keadaan
tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah sebagaimana ia berbicara sejak
awal. Istrinya diam dan sadar bahwa tidak ada yang lebih utama baginya daripada
meniti jalan kebahagiaan untuk akhirat. Akhirnya ia berupaya untuk mencontoh
sifat zuhud dan ketakwaan suaminya.
Pada saat itu Homs digambarkan sebagai
kufah kedua. Hal itu disebabkan sering terjadinya pembangkangan dan kedurhakaan
penduduk terhadap para pembesar yang memegang kekuasaan. Dan karena kota Kufah
dianggap pelopor Islam soal pembangkangan ini, Homs diberi julukan bagai kufah
kedua. Tetapi, bagaimana pun gemarnya orang-orang Homs ini menentang
pemimpin-pemimpin mereka sebagaimana yang kita sebutkan, terhadap hamba yang
saleh ini, yakni Sa’id, hati mereka dibukakan Allah, hingga mereka cinta dan
taat kepadanya.
Suatu hari Umar menyampaikan berita kepada
Sa’id, “Orang-orang Syria mencintaimu.”
Sa’id mengomentari, “Itu mungkin karena
aku suka menolong dan menghibur mereka.” Namun, sebesar apa pun cinta warga
Homs terhadap Sa’id, keluhan dan pengaduan tetap saja tidak apat dielakkan,
sekurang-kurangnya untuk membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan
berat bagi Kufah di Iraq.
Suatu ketka Amirul Mukminin Umar
berkunjung ke Homs dan bertanya kepada penduduk yang sedang berkumpul tentang
Sa’id, “Bagaimana pendapat kalian tentang
Sa’id?” sebagian hadirin tampil ke depan mengadukannya. Tetapi, rupanya
pengaduan itu mengandung berkah, sehingga dengan demikian terungkaplah dari
satu segi kebesaran pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang sangat menakjubkan.
Dari kelompok yang mengadukan ini, Umar
meminta agar mereka mengemukakan titik-titik kelemahannya satu demi satu. Juru
bicara kelompok tersebut maju dan mengatakan, “Kami mengeluhkan empat perkara dari dirinya:
1. Ia tidak keluar untuk menemui kami hingga
menjelang siang.
2. Ia tidak mau melayani orang pada waktu malam
hari.
3. Setiap bulan ada dua hari di mana ia tidak mau
keluar untuk kami, sehingga kami tidak dapat menemuinya.
4. Ada satu lagi yang sebenarnya bukan merupakan
kesalahannya, tapi mengganggu kami, yaitu bahwa sewaktu-waktu ia jatuh pingsan.
Umar tertegun sebentar dan memohon kepada
Allah, dengan ungkapan, “Ya Allah, hamba
tahu bahwa ia adalah hamba-Mu yang terbaik. Karena itu, hamba berharap firasat
hamba terhadap dirinya tidak meleset.”
Sa’id pun dipersilahkan untuk membela
dirinya. Ia pun berkata, “Mengenai
tuduhan mereka bahwa saya tidak keluar hingga menjelang siang, demi Allah,
sebetulnya saya tidak hendak menyebutkannya. Keluarga kami tidak punya pelayan,
sehingga sayalah yang membuat adonan tepung dan membiarkannya sampai
mengembang, lalu saya membuat roti dan kemudian wudhu untuk shalat Dhuha.
Setelah itu, saya keluar menemui mereka.”
Wajah Umar berseri-seri, dan berkata, “Alhamdulillah, dan mengenai yang kedua?”
Sa’id pun melanjutkan pembicaraannya, “Adapun tuduhan mereka bahwa saya tidak mau
melayani mereka pada waktu malam, demi Allah saya sebenarnya tidak suka
menyebutkan sebabnya. Saya telah menyediakan siang hari bagi mereka, sedangkan
malam hari bagi Allah Ta’ala. Keluhan mereka bahwa dua hari setiap bulan saya
tidak menemui mereka, itu karena saya tidak punya pelayan yang akan mencuci
pakaian, sedangkan saya tidak punya baju yang lain. Jadi, saya memanfaatkan
hari itu untuk mencucinya dan menunggu sampai kering, dan di akhir siang saya
bisa menemui mereka.”
“Kemudian
tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, itu karena
ketika di Mekkah dulu saya telah menyaksikan Khubaib Al-Anshari jatuh
tersungkur. Tubuhnya disayat-sayat oleh orang-orang Quraish dan mereka menyeret
tubuhnya sambil menanyakan kepadanya, ‘Maukah kamu tempat ini diisi oleh
Muhammad sebagai gantimu, sedangkan kamu dalam keadaan sehat wal afiat?’
Khubaib menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin tinggal dalam keselamatan
dan kesenangan dunia bersama anak dan istriku, sementara Rasulullah ditimpa
bencana, walau hanya oleh tusukan duri sekali pun.’ Setiap terkenang peristiwa
yang aku saksikan itu, dan ketika itu aku masih dalam keadaan musyrik, lalu
teringat bahwa aku berpangku tangan dan tidak mengulurkan tangan untuk menolong
Khubaib, tubuhku gemetar karena takut siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang
mereka katakan itu.”
Sampai di situ berakhirlah kata-kata
Sa’id, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir
dari jiwanya yang saleh. Mendengar itu Umar tidak mampu menahan rasa harunya,
sehingga ia pun berseru karena sangat gembira, “Alhamdulillah, dengan taufik-Nya firasatku tidak meleset.” Ia lalu
merangkul dan memeluk Sa’id, serta mencium keningnya yang mulia dan bersinar
cahaya.
Petunjuk macam apakah yang diperoleh
makhluk seperti ini? Guru seperti apakah sebenarnya Rasulullah itu? Seperti apa
sejatinya cahaya Kitabullah? Corak madrasah yang telah memberikan bimbingan dan
meniupkan inspirasi manakah Agama Islam ini? Dan, mungkinkah bumi dapat memikul
di atas punggungnya jumlah yang cukup banyak dari tokoh-tokoh berkualitas
demikian?
Sekiranya mungkin, tentulah ia tidak
disebut bumi atau dunia lagi, lebih tepat bila dikatakan Surga Firdaus.
Sungguh, ia telah menjadi Firdaus yang telah dijanjikan Allah! Dan karena
Firdaus itu belum tiba waktunya, orang-orang yang lewat di muka bumi dan tampil
di arena kehidupan dari tingkat tinggi dan mulia seperti ini sangat sedikit dan
jarang adanya. Sa’id bin Amir adalah salah seorang di antara mereka.
Uang tunjangan dan gaji yang diterima
olehnya sangat besar, sesuai dengan kerja dan jabatannya, tetapi ia hanya
mengambil untuk keperluan diri dan istrinya, sedangkan selebihnya
dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya. Suatu saat,
seseorang menasehatinya, “Manfaatkanlah
kelebihan harta ini untuk melapangkan keluargamu sendiri dan family mertuamu.”
Ia pun menjawab, “Mengapa keluargaku dan
family mertuaku saja yang harus lebih kuperhatikan? Demi Allah, tidak! Aku
tidak akan menjual keridhaan Allah dengan kaum kerabatku.”
Ia memang sudah sekian kali disarankan
oleh orang lain, “Longgarkanlah nafkah
untuk diri pribadi dan keluargamu, ambillah kesempatan untuk menikmati hidup!”
tetapi, jawaban yang keluar hanyalah kata-kata yang senantiasa
diulang-ulangnya, “Aku tidak ingin
ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah saya mendengar Rasulullah
bersabda:

“Allah ‘Azza wa Jalla akan menghimpun manusia untuk dihadapkan ke
pengadilan. Kemudian, datanglah orang-orang miskin yang beriman,
berdesak-desakkan maju ke depan tidak ubahnya bagai kawanan burung merpati.
Lalu ada yang berseru kepada mereka, ‘Berhentilah kalian untuk menghadapi
perhitungan!’ mereka menjawab, ‘Kami tidak punya apa-apa untuk diperiksa.’
Allah pun berfirman, ‘Hamba-hamba-Ku itu benar.’ Lalu mereka masuk ke dalam
surga sebelum orang-orang lain masuk.”
Pada tahun 20 H Sa’id bin Amir pulang ke
Rahmatullah dengan lembaran yang paling bersih, hati yang paling suci dan
kehidupan yang paling cemerlang. Telah lama sekali rindunya terpendam untuk
menyusul rombongan perintis. Hidupnya memang didedikasikan untuk memelihara
janji dan mengikuti langkah mereka. Sungguh, rindunya tiada terkira untuk dapat
menjumpai Rasulullah yang menjadi gurunya, serta teman-temannya yang saleh dan
suci.
Sekarang, ia akan menemui mereka dengan
hati yang tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang ringan. Ia tidak membawa
atau meninggalkan beban dunia atau harta benda yang akan memberati punggung
atau menekan bahunya. Tidak ada yang dibawanya kecuali kezuhudan, kesalehan,
dan ketakwaan, serta kebenaran jiwa dan budi baiknya. Semua itu adalah
keutamaan yang akan memberatkan punggung. Keistimewaan tersebut dipergunakan
oleh pemiliknya untuk menempatkan dunia di posisi yang rendah, sehingga tidak
tergoyahkan oleh tipu daya dunia.
Selamat bagi Sa’id bin Amir.
Selamat baginya, baik selagi hidup maupun
setelah wafatnya.
Selamat, sekali lagi selamat, atas riwayat
dan segala kenangannya.
Selamat bagi para shahabat Rasulullah,
yang mulia, gemar beramal, dan rajin beribadah.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar