Hati
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab merasa gelisah ketika datang kabar secara
beruntun tentang serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata
Persia terhadap kaum Muslimin. Kemudian, hal itu disusul dengan berita tentang
Pertempuran Jisr (jembatan), di mana empat ribu dari kaum Muslimin gugur
sebagai Syuhada dalam waktu 1 hari. Itu semua masih ditambah
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Iraq terhadap
perjanjian-perjanjian yang berlaku pada mereka. Karena itulah, sang Khalifah
mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam
perjuangan bersenjata yang menentukan, melawan Persia.
Bersama beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan, Umar berangkat dengan meninggalkan Ali di Madinah sebagai wakilnya. Tetapi, belum
terlalu jauh dari kota, sebagian anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan
agar ia kembali dan memilih salah seorang di antara para shahabat untuk
melakukan tugas tersebut. Usulan ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin Auf yang
mengatakan bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mukminin dengan cara seperti ini,
sementara Islam menghadapi hari-harinya yang menentukan, adalah perbuatan yang
keliru.
Akhirnya, Umar menyuruh kaum Muslimin untuk berkumpul untuk
bermusyawarah dan diserukanlah “Ash-Shalatu
Jami’ah”. Ali juga dipanggil agar datang, dan ia pun berangkat bersama
beberapa orang penduduk Madinah menuju tempat persinggahan Amirul Mukminin.
Akhirnya tercapailah persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh
Abdurrahman bin Auf , dan peserta musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke
Madinah dan memilih seorang panglima lain yang akan memimpin peperangan
menghadapi Persia.
Amirul Mukminin tunduk pada keputusan ini, lalu menanyakan kepada
shahabat, siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Iraq itu. Kaum Muslimin diam
sejenak, mereka berpikir. Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf berteriak, “Saya telah menemukannya!”
“Siapa dia?” Tanya Umar .
“Singa yang menyembunyikan kukunya, yaitu
Sa’ad bin Malik Az-Zuhri !” jawabnya.
Pendapat ini didukung sepenuhnya oleh kaum
Muslimin, dan Amirul Mukminin meminta Sa’ad bin Malik Az-Zuhri , yang tak lain
adalah Sa’ad bin Abu Waqqash , agar datang menghadapnya. Akhirnya, ia pun
diangkat sebagai Amir atau gubernur militer di Iraq yang bertugas mengatur
pemerintahan dan sebagai panglima tentara.
Siapakah
dia singa yang menyembunyikan kukunya itu, dan siapakah sejatinya orang yang
bila datang kepada Rasulullah ketika berada di antara shahabat-shahabatnya,
akan disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil bergurau, dengan ungkapan,
“Ini dia pamanku. Siapa orang yang punya
paman seperti pamanku ini?” itulah dia Sa’ad bin Abu Waqqash . Kakeknya
ialah Uhaib bin Manaf yang menjadi paman bagi Aminah Ibunda Rasulullah .
Sa’ad masuk Islam pada usia 17 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu di
antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri. Ia menuturkan, “Aku pernah hidup suatu hari yang waktu itu
aku adalah sepertiga Islam.” Maksudnya bahwa ia adalah seorang di antara
tiga orang yang paling dahulu masuk Islam. Pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Maha Esa dan tentang agama baru yang dibawanya,
sebelum beliau mengambil rumah Al-Al-Arqam untuk tempat pertemuan dengan para
shahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abu Waqqash telah mengulurkan
tangannya untuk berbaiat kepada Rasulullah .
Sementara itu riwayat buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada
kita bahwa ia termasuk salah seorang yang masuk Islam karena Abu Bakar dan atas
upaya dakwah darinya. Mungkin saja, ia menyatakan keislamannya secara
terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar , yaitu
Utsman bin Affan , Az-Zubair bin Al-Awwam , Abdurrahman bin Auf , dan Thalhah bin
Ubaidullah . Dan ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia lebih dulu masuk Islam
secara sembunyi-sembunyi.
Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad ini, yang dapat
ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi, di antara semua itu dua hal penting
yang menjadi senandungnya. Pertama,
bahwa dialah yang mula-mula melepaskan anak panah dalam membela agama Allah,
dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Kedua, bahwa dia adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh
Rasulullah dengan jaminan kedua orang tua beliau. Rasulullah bersabda pada
waktu Perang Uhud, “Panahlah, wahai
Sa’ad ! Ibu Ayahku menjadi jaminan bagimu.”
Kedua
nikmat besar ini selalu menjadi kebanggaan Sa’ad sebagai wujud syukurnya kepada
Allah. Ia menuturkan, “Demi Allah, akulah
orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah.” Ali bin Abu
Thalib berkata, “Aku tidak pernah
mendengar Rasulullah menyediakan Ibu Ayahnya sebagai jaminan seseorang, kecuali
bagi Sa’ad . Aku mendengar beliau bersabda pada Perang Uhud, ‘Panahlah, wahai
Sa’ad ! Ibu Ayahku menjadi jaminan bagimu’.’”
Sa’ad termasuk orang ksatria berkuda Arab dan sosok Muslim yang paling berani. Ia
mempunyai dua macam senjata yang sangat ampuh, yaitu panah dan do’anya. Jika ia
memanah musuh dalam peperangan, dapat dipastikan akan mengenai sasarannya, dan
jika ia menyampaikan suatu permohonan kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya.
Menurut Sa’ad sendiri dan juga para shahabatnya, hal itu disebabkan do’a
Rasulullah juga bagi pribadinya. Suatu hari ketika Rasulullah menyaksikan
sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau dari Sa’ad , beliau pun
mengucapkan do’a yang makbul ini, “Ya
Allah, tempatkanlah bidikan panahnya dan kabulkanlah do’anya.”
Demikianlah, ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan para
shahabatnya bahwa do’anya tidak ubahnya sebagai pedang yang tajam. Hal ini juga
disadari sepenuhnya oleh Sa’ad sendiri, hingga dia tidak ingin berdo’a untuk
kecelakaan seseorang, kecuali menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala.
Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh Amir bin Sa’ad berikut”
“Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki
Ali ,Thalhah , dan Az-Zubair . Ketika dilarang, orang itu tidak menghiraukannya.
Meski demikian, Sa’ad hanya berkata, ‘Walau begitu saya do’akan kamu kepada
Allah.’ Orang itu menjawab, ‘Rupanya kamu hendak menakut-nakuti aku,
seolah-olah kamu seorang Nabi.’
Sa’ad pun pergi berwudhu dan shalat dua
rakaat. Setelah itu dia mengangkat kedua tangan dan berdo’a, ‘Ya Allah, bila
menurut ilmu-Mu orang ini telah memaki segolongan orang yang telah mendapatkan
kebaikan dari-Mu, dan tindakan itu mengundang murka-Mu, jadikanlah hal itu
sebagai pertanda dan suatu pelajaran.’
Tidak lama setelah itu, tiba-tiba dari
satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk
ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah mencari seseorang. Sejurus
kemudian unta itu menerjang orang tadi dan membawanya ke bawah kakinya, lalu
menginjak-injak dan menyepaknya beberapa saat, hingga akhirnya tewas menemui
ajalnya.”
Kenyataan
ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman, dan
keikhlasannya yang mendalam. Demikian juga, jiwanya adalah jiwa merdeka,
keyakinannya keras membaja, dan keikhlasannya tidak bernoda. Untuk menopang
ketakwaannya, ia selalu memakan yang halal, dan menolak dengan keras setiap
dirham yang mengandung syubhat.
Pada
masa-masa akhir kehidupan Sa’ad , ia termasuk kalangan Muslim yang kaya dan
berharta. Waktu wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tetapi,
kalau biasanya harta banyak dan harta halal itu jarang sekali dapat terhimpun,
di tangan Sa’ad hal itu bisa terwujud. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang
baik dan yang halal sekaligus. Di samping itu, ia dapat dijadikan seorang
mahaguru dalam soal membersihkan harta. Dan kemampuannya dalam mengumpulkan
harta dari barang bersih lagi halal itu disaingi oleh kemampuan menafkahkannya
di jalan Allah.
Ketika Haji Wada’, Sa’ad ikut bersama Rasulullah . Kebetulan ia jatuh
sakit, dan Rasulullah datang menjenguknya. Sa’ad bertanya, “Wahai Rasulullah , saya ini orang yang banyak
harta dan ahli warisku hanya seorang putri saja. Bolehkah saya menyedekahkan
dua pertiga hartaku?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
Sa’ad berkata, “Bagaimana kalau setengahnya?”
Beliau menjawab, “Jangan.”
Sa’ad kembali berkata, “Bagaimana kalau
sepertiganya?”
Beliau menjawab, “Ya, dan
sepertiga itu pun sudah banyak. Lebih baik engkau meninggalkan ahli waris dalam
keadaan mampu daripada membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan
tangannya ke orang lain. Setiap nafkah yang engkau keluarkan dengan mengharap
keridhaan Allah, pastilah akan diberi ganjaran, bahkan walau sesuap makanan
yang engkau suapkan di mulut istrimu.”
Sekian lama, Sa’ad memang hanya dikaruniai seorang putri saja. Tetapi,
setelah peristiwa tersebut, ia mendapatkan rezeki beberapa orang putra.
Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad sering menangis. Jika ia mendengar
Rasulullah berpidato dan menasehati umat, air matanya bercucuran hingga
hampir-hampir memenuhi pangkuannya. Ia adalah seorang shahabat yang diberi
nikmat taufik dan diterima ibadahnya.
Suatu
hari ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabat, tiba-tiba
beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke arah ufuk bagai seseorang yang
sedang menunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada
para shahabat dan bersabda, “Sekarang
akan muncul di hadapan kalian seorang penghuni Surga.” Para shahabat pun
melongok ke kiri kanan dan ke setiap arah untuk melihat siapakah orang yang
berbahagia dan beruntung mendapatkan taufik dan karunia itu. Tidak lama setelah
itu, Sa’ad bin Abu Waqqash muncul di hadapan mereka.
Setelah
itu, Abdullah bin Amr bin Al-Ash selalu membuntutinya dan memohon dengan sangat
agar menunjukkan kepadanya jenis ibadah dan amalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, yang menyebabkannya berhak menerima ganjaran dan kabar berita
seperti dirinya. Sa’ad menjawab, “Tak
lebih daripada amal ibadah yang biasa kita kerjakan. Hanya saja, aku tidak
pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorang pun di antara kaum
Muslimin.”
Itulah dia “Singa yang
menyembunyikan kukunya” seperti yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin Auf .
Itulah tokoh yang dipilih oleh Umar untuk memimpin perang Qadisiyah yang
dahsyat itu. Mengapa Umar memilihnya untuk melaksanakan tugas yang paling rumit
yang sedang dihadapi oleh Islam dan kaum Muslimin? Jawabannya, karena
keistimewaannya terpampang jelas di hadapan Amirul Mukminin, sebab ia adalah”
·
Orang yang do’anya terkabul. Jika ia
memohon agar diberi kemenangan oleh Allah, pastilah akan dikabulkan-Nya. Ia
seorang yang sangat hati-hati dalam persoalan makan, terpelihara lisan dan suci
hatinya.
·
Salah seorang anggota pasukan
berkuda di Perang Badar, di Perang Uhud, dan di setiap perjuangan bersenjata
yang diikutinya bersama Rasulullah .
·
Satu lagi yang tidak dapat dilupakan
oleh Umar , suatu keistimewaan yang tidak dapat diabaikan oleh harta, nilai, dan
kepentingannya, serta harus dimiliki oleh orang yang hendak melakukan tugas
penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.
Umar tidak pernah lupa kisah Sa’ad dengan ibunya sewaktu ia masuk Islam dan mengikuti
Rasulullah . Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi
putranya dari agama Allah mengalami kegagalan. Ditempuhnya segala jalan yang
tidak dapat tidak, pasti akan melemahkan semangat Sa’ad dan akan membawanya
kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya. Wanita itu
menyatakan akan mogok makan dan minum, sampai Sa’ad kembali ke agama nenek
moyang dan kaumnya.
Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia benar-benar
tidak mau menjamah makanan atau minuman apa pun hingga hampir menemui ajalnya.
Tetapi, Sa’ad tidak terpengaruhi oleh hal tersebut, bahkan ia tetap pada
pendiriannya. Ia tidak mungkin menjual agama dan keimanannya dengan sesuatu
pun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun.
Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya
membawa Sa’ad kepadanya untuk menyaksikannya kali yang terakhir, dengan
harapan hatinya menjadi lunak jika melihat ibunya dalam keadaan sekarat.
Sesampainya di sana, Sa’ad menyaksikan suatu pemandangan yang sangat
menghancurkan hatinya, seolah-olah dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu
karang. Tetapi, keimanannya terhadap Allah dan Rasul lebih unggul daripada
kekerasan baja dan batu karang mana pun juga.
Ia
mendekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan mengeluarkan kata-kata dengan suara
keras agar kedengaran olehnya, “Demi
Allah, ketahuilah wahai ibunda. Seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu
ia keluar satu per satu, tidaklah ananda akan meninggalkan agama ini walau
ditebus dengan apa pun juga! Maka terserah kepada bunda, apakah bunda akan
makan atau tidak.”
Akhirnya ibunya menghentikan tekadnya, dan turunlah wahyu yang mendukung
pendirian Sa’ad . Allah berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
QS:Luqman | Ayat: 15
QS:Luqman | Ayat: 15
Bukankah ini betul-betul singa yang
menyembunyikan kukunya? Jika demikian
halnya, sangat wajar bila Amirul Mukminin dengan hati tenang memancangkan
panji-panji Qadisiyah di tangan kanannya, dan mengirimnya untuk menghalau
pasukan Persia yang jumlahnya tidak kurang dari 100.000 prajurit yang terlatih
dan dilengkapi dengan senjata dan alat pertahanan yang paling ditakuti di dunia
waktu itu. Mereka dipimpin oleh otak-otak perang yang paling jempol, dan
ahli-ahli siasatnya yang cerdik dan licik.
Sa’ad berangkat memimpin 30 Mujahid dengan
panah dan tombak di tangan masing-masing untuk menghadapi tentara musuh
berjumlah besar tersebut. Senjatanya memang hanya panah dan tombak, tetapi di
dalam dada mereka menyala dari kemauan agama baru, yang membuktikan keimanan,
kehangatan, serta kerinduan yang luar biasa terhadap maut dan mati syahid.
Akhirnya kedua pasukan itu bertemu.
Tetapi, mereka belum bertempur. Di sana Sa’ad masih menunggu bimbingan dan
pengarahan dari Amirul Mukminin, Umar . Berikut ini surat Umar yang
memerintahkannya agar segera berangkat ke Qadisiyah, yang merupakan pintu
gerbang memasuki Persia, ditancapkannya dalam hatinya kalimat berharga yang
semuanya merupakan petunjuk dan cahaya:
“Wahai
Sa’ad bin Wuhaib , janganlah engkau terpedaya di hadapan Allah, hanya karena
engkau disebut-sebut sebagai paman dan shahabat Rasulullah ! Sungguh, tidak ada
kelebihan hubungan keluarga antara seseorang dan Allah kecuali dengan
menaati-Nya! Semua manusia, baik yang
terhormat maupun yang rendah posisinya, pada pandangan Allah tidak berbeda.
Allah tuhan mereka, sedangkan mereka hamba-Nya. Mereka memang tidak sama dalam
hal kesehatan, namun akan beroleh sesuatu yang pernah engkau lihat pada
Rasulullah sejak ia diutus sampai meninggalkan kita. Pegang teguhlah itu,
karena itulah yang harus diikuti.”
Kemudian Umar juga mengatakan, “Tulislah kepadaku segala keadilan kalian,
bagaimana kedudukan kalian, dan di mana pula posisi musuh terhadap kalian.
Terangkanlah sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan sendiri
keadaan kalian.” Sa’ad pun menulis surat kepada Amirul Mukminin dan
mencantumkan segala sesuatu, hingga hampir saja diterangkannya tempat dan
posisi setiap prajurit secara terperinci.
Sa’ad telah sampai di Qadisiyah, sementara
seluruh tentara dan rakyat Persia bersatu; sesuatu hal yang belum mereka
lakukan selama ini. Kendali pimpinannya dipegang oleh panglimanya yang ulung
dan paling terkenal, yaitu Rustum.
Sebagai balasan surat dari Sa’ad yang baru
dikirimnya, Amirul Mukminin menulis, “Sekali-kali
janganlah engkau gentar mendengar berita dan persiapan mereka! Mintalah pertolongan
kepada Allah dan bertawakkallah kepada-Nya. Kirimlah sebagai utusan orang-orang
yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah! Tulislah surat
kepadaku setiap hari.”
Sa’ad kembali mengirim surat kepada Amirul
Mukminin, menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan
pasukan gajah dan berkuda, serta mulai bergerak maju ke kaum Muslimin. Balasan
dari Umar datang yang isinya memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad .
Sa’ad bin Abu Waqqash adalah seorang
prajurit berkuda yang ulung dan gagah berani, paman Rasulullah , dan termasuk
orang yang mula pertama masuk Islam, pahlawan dari berbagai perjuangan
bersenjata, lemparan panahnya yang tidak pernah meleset, dan sekarang tampil
memimpin tentaranya dalam menghadapi salah satu peperangan terbesar dalam
sejarah. Namun, ia tampak sebagai prajurit biasa. Baik kekuatan maupun
kedudukannya sebagai pemimpin tidak mampu mempengaruhi dan memperdaya dirinya
untuk mengandalkan pendapatnya semata. Ia selalu menghubungi Amirul Mukminin di
Madinah yang jaraknya demikian jauh, dengan mengiriminya sepucuk surat tiap
hari untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu
hampir berkecamuk.
Sebabnya, tidak lain karena Sa’ad sadar
sepenuhnya bahwa di Madinah Umar tidaklah mengemukakan pendapatnya semata atau
mengambil keputusan seorang diri. Tetapi, ia pasti bermusyawarah dengan
orang-orang di sekelilingnya dan shahabat-shahabat utama Rasulullah . Bagaimana
pun gawatnya suasana perang, Sa’ad tidak ingin kehilangan berkah dan manfa’at
bermusyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tahu benar
bahwa di pusat komando itu pimpinannya dipegang Umar Al-Faruk ,
pembangkit ilham atau inspirasi agung.
Pesan dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad .
Ia mengirim sejumlah orang di antara shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada
Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya agar beriman kepada Allah dan
memeluk Islam.
Soal jawab di antara mereka dengan
Panglima Persia itu berlangsung lama, dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan
lagi berbicara, karena salah seorang di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk
membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada
pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada
keluasannya, dan dari kedzaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam. Siapa
yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami
biarkan mereka. Tetapi, siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka
hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan oleh Allah.”
“Apa
janji Allah kepada kalian?” Tanya Rustum.
“Surga
bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup,” jawab
seorang juru bicara.
Para utusan kembali kepada Sa’ad sang
panglima Islam dan menyampaikan bahwa tidak ada pilihan lain selain perang. Air
mata Sa’ad berlinang. Ia berharap saat pertempuran itu dapat diundurkan atau
dimajukan sedikit waktu. Ketika itu, ia sedang sakit parah hingga ia sulit
untuk bergerak. Tubuhnya dipenuhi dengan bisul hingga ia tidak dapat duduk,
apalagi untuk menaiki punggung kudanya dan terjun ke medan pertempuran yang
sengit bersimbah darah. Seandainya perang itu terjadi sebelum ia jatuh sakit,
atau setelah sakitnya sembuh, ia tentu akan menunjukkan prestasi yang agung.
Adapun sekarang ini, duduk pun sangat sulit baginya. Tetapi, tidak! Rasulullah telah mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena kata-kata itu menunjukkan kelemahan, sedangkan
orang Mukmin yang kuat tidak kehabisan akal dan tidak pernah lemah.
Ketika itu, singa yang menyembunyikan
kukunya itu bangkit, lalu berdiri di hadapan tentara menyampaikan pidato dengan
tidak lupa mengutip ayat mulia berikut ini:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا
فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ
الصَّالِحُونَ
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami
tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang
saleh.
QS:Al-Anbiyaa | Ayat: 105
QS:Al-Anbiyaa | Ayat: 105
Setelah menyampaikan pidatonya, Sa’ad menunaikan shalat Dzuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap ke arah
mereka, ia mengucapkan takbir 4 kali: Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Alam
pun bergemuruh oleh suara takbir, dan sambil menunjuk ke arah musuh dengan
lengannya bagai anak panah yang sedang melesat, Sa’ad berseru kepada anak
buahnya, “Majulah dengan berkah dari
Allah.”
Dengan ketabahan menahan rasa sakit yang
dideritanya, Sa’ad naik ke teras barak yang ditinggalinya dan dijadikan sebagai
markas komandonya. Ia duduk bersandar dengan dialasi bantal sementara pintu
barak terbuka lebar. Sedikit saja serangan orang-orang Persia ke barak itu
sudah menyebabkan panglima kaum Muslimin tersebut jatuh ke tangan mereka, hidup
atau mati. Tetapi, ia tidak gentar dan merasa takut.
Bisul-bisul di tubuhnya pecah,tetapi ia
tidak peduli dan terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah kepada
anak buahnya, “Majulah ke kanan.” Dan
kepada yang lain:
“Tutup
pertahanan sebelah kiri.”
“Awas
di depanmu, wahai Mughirah.”
“Ke
belakang mereka, wahai Jarir.”
“Pukullah,
wahai Nu’man.”
“Serbulah,
wahal Asy’ats.”
“Hantamlah,
wahai Qa’qa’.”
“Majulah
semua, wahai shahabat-shahabat Muhammad.”
Suaranya yang berwibawa, penuh tekad, dan
semangat baja, menyebabkan setiap prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang
utuh. Tentara Persia pun berjatuhan tidak ubahnya bagai lalat-lalat yang
bergeletakan. Pemujaan berhala dan peribadatan kepada api roboh bersama mereka.
Setelah melihat tewasnya panglima besar
dan prajurit-prajurit pilihan, sisa-sisa musuh akhirnya lari tunggang-langgang.
Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke
Madain. Kemudian mereka memasuki kota tersebut untuk membawa singgasana dan
mahkota Kisra, serta mengumpulkan ghanimah dan fa’i.
Pada pertempuran Madain, Sa’ad mencapai
prestasi yang agung. Pertempuran ini terjadi kira-kira dua setengah tahun
setelah pertempuran Qadisiyah, dan selama itu telah terjadi perang dengan skala
kecil antara Persia dan kaum Muslimin. Akhirnya semua sisa tentara Persia ini
berhimpun di kota-kota Madain saja, bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran
terakhir sebagai penentuan.
Sa’ad menyadari bahwa situasi medan dan
musim menguntungkan pihak penentang Islam, karena antara pasukannya dan Madain
terbentang sungai Tigris yang lebar, alirannya sangat deras karena sedang
banjir meluap-luap. Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan
untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga, dengan perhitungan bahwa
mental pasukan musuh sedang menurun.
Itulah salah satu peristiwa yang
membuktikan bahwa Sa’ad betul-betul sebagaimana dilukiskan oleh Abdurrahman bin
Auf , “Singa yang menyembunyikan kukunya”.
Keimanan Sa’ad dan kepekatan hatinya tampak menonjol ketika menghadapi bahaya,
hingga dapat mengatasi sesuatu yang mustahil dengan keberanian yang luar biasa.
Akhirnya, Sa’ad mengeluarkan perintah
kepada pasukannya untuk menyeberangi sungai Tigris. Ia memerintahkan agar
pasukannya mencari bagian sungai yang dangkal sebagai tempat penyebrangan.
Akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak
luput dari bahaya yang mengancam.
Sebelum tentara memulai penyeberangan,
panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai
yang hendak dicapai, yakni daerah yang masih berada dalam kekuasaan dan
pengawasan musuh.
Ketika itu Sa’ad membentuk dua battalion: pertama, Batalion Mengerikan, dan
mengangkan Ashim bin Amr sebagai komandannya dan kedua, Batalion mematikan, yang dikomandoi oleh Al-Qa’qa’ bin Amr .
Tugas kedua battalion ini ialah menyingkap
bahaya dan meretas jalan untuk menyiapkan tempat yang aman di seberang sungai
agar induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang menyeberang dengan
selamat. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang
menajubkan.
Keberhasilan siasat Sa’ad ketika itu
benar-benar membuat para ahli sejarah tercengang, bahkan bagi Sa’ad bin Abu
Waqqash sendiri. Salman Al-Farisi, yang merupakan kawan seperjuangannya dalam
pertempuran itu, juga hampir-hampir tidak percaya akan hasil yang telah
dicapai. Ia menepukkan kedua belah tangannya karena takjub dan bangga.
Salman berkata, “Agama Islam masih baru, tetapi lautan telah dapat mereka taklukan,
sebagaimana daratan telah mereka kuasai. Demi Dzat yang jiwa Salman berada di
tangan-Nya, sungguh, mereka akan keluar dari Islam berbondong-bondong,
sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong-bondong.” Dan apa yang
dikatakan oleh Salman ini benar-benar terjadi.
Sebagaimana mereka telah terjun mengarungi
sungai Tigris secara berbondong-bondong, mereka pun keluar dan selamat dari
sungai itu secara berbondong-bondong tanpa kehilangan seorang prajurit pun,
bahkan tidak ada satu barang pun tercecer meski hanya seutas tali kekang kuda.”
Dikisahkan, mangkuk tempat minum seorang
prajurit jatuh ke dalam air. Dia tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang
kehilangan barang waktu penyeberangan itu. Ia pun menyeru kepada rekan-rekannya
agar menolongnya untuk mendapatkan barang itu kembali. Tiba-tiba, ombak besar
melemparkan mangkuk itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut.
Salah satu riwayat melukiskan bagaimana
dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu, “Sa’ad memerintahkan kaum Muslimin agar
membaca: Hasbunallahu wa ni’mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong dan Dial
ah sebaik-baik pelindung). Lalu ia mengerahkan kudanya menerjuni sungai yang
diikuti oleh pasukannya, hingga tidak seorang pun di antara anggota pasukan
yang tinggal di belakang. Mereka berjalan di air, bagai berjalan di darat,
hingga dari pinggir sungai ke pinggir seberang telah dipenuhi oleh prajurit,
dan permukaan air tidak kelihatan lagi disebabkan sangat banyaknya anggota
pasukan berkuda serta pasukan pejalan kaki.
Orang-orang bercakap-cakap sesamanya
ketika berada di air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat.
Sebabnya, tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan
ketentuan Allah dan pertolongan-Nya, yakin terhadap janji dan bantuan-Nya.”
Tatkala Sa’ad diangkat Umar sebagai Amir
wilayah Iraq, ia memulai membangun dan merekonstruksi sumberdaya manusia. Ia
melukis sejarah Kota Kufah dan hukum Islam diumumkan serta dilaksanakan di
daerah yang luas itu.
Suatu hari, rakyat Kufah mengadukan
Sa’ad —yang menjadi pemimpin mereka—kepada Amirul Mukminin Umar . Tabiat
pemberontak rupanya telah menguasai mereka, sehingga mereka mengajukan klaim
yang menggelikan. Mereka berkata, “Sa’ad tidak baik shalatnya.” Mendengar itu, Sa’ad hanya tertawa terbahak-bahak
dan berkata, “Demi Allah, yang saya
lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka seperti shalat Rasulullah ,
yaitu memanjangkan dua rakaat yang awal dan memendekkan dua rakaat yang akhir.”
Sa’ad dipanggil Umar ke Madinah untuk
menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera memenuhi panggilan itu secepatnya.
Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk mengembalikannya ke Kufah, tetapi
sambil tertawa Sa’ad menjawab. “Apakah
engkau hendak mengembalikan aku kepada kaum yang telah menuduh bahwa shalatku
tidak baik?” Sa’ad memilih tinggal di Madinah.
Ketika Amirul Mukminin ditikam oleh
seseorang, ia memilih enam orang di antara shahabat-shahabat Rasulullah yang
akan mengurus soal pemilihan Khalifah baru, dengan mengemukakan alasan bahwa
keenam orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridhai
Rasulullah sewaktu beliau hendak pulang ke Rahmatullah. Di antara enam orang
shahabat terdapatlah Sa’ad bin Abu Waqqash . Bahkan, dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di
antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa’ad .
Sewaktu member wasiat dan mengucapkan
selamat perpisahan dengan shahabat-shahabatnya, Umar berkata, “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad ,
demikianlah sebaiknya. Namun, bila itu dijabat oleh lainnya, hendaklah ia
menjadikan Sa’ad sebagai penasihatnya.”
Sa’ad dikaruniai umur panjang hingga saat
terjadinya fitnah besar. Tetapi, Sa’ad tidak hendak mencampurinya, bahkan
kepada keluarga dan putra-putranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu
berita pun mengenai hal itu kepadanya. Suatu saat, perhatian orang tertuju
kepadanya, dan keponakannya yang bernama Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash datang menjumpainya, seraya berkata, “Paman,
di sini telah siap 100 ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa pamanlah yang
lebih berhak mengenai urusan Khilafah ini!”
Sa’ad menjawab, “Dari 100 ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja. Jika
aku tebaskan kepada orang Mukmin, itu tidak akan mempan sedikit pun juga,
tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir, niscaya putus batang lehernya.”
Mendegar ucapan itu, keponakannya itu mengerti maksudnya dan membiarkannya
dalam sikap damai dan tidak hendak bercampur tangan.
Ketika kekhalifahan telah sampai pada
giliran Mu’awiyyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, Muawiyah bertanya kepada Sa’ad , “Mengapa anda
tidak ikut berperang di pihak kami?” Sa’ad menjawab, “Aku sedang lewat di suatu tempat yang dilanda angin topan berkabut
gelap. Aku pun berkata, ‘Wahai saudara… wahai saudaraku!’ aku kemudian
menghentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali.”
Muawiyah berkata, “Bukankah di dalam Al-Qur’an tidak ada kata-kata, ‘Wahai saudara… wahai
saudaraku,’ tetapi Allah Ta’ala hanya berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ
إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ
إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
QS:Al-Hujuraat | Ayat: 9
QS:Al-Hujuraat | Ayat: 9
Nah, anda tidak berada di pihak yang
aniaya terhadap pihak yang benar, dan tidak pula berada di pihak yang benar
terhadap golongan yang aniaya.”
Sa’ad menjawab, “Aku tidak hendak memerangi seorang laki-laki—maksudnya Ali —yang
mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda, ‘Engkau di sampingku, tidak
ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa. Hanya saja, (engkau bukan
Nabi) karena tidak ada lagi Nabi setelah diriku’.”
Pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun, ia sedang berada di rumahnya di Aqiq untuk
menghadapi detik-detik akhir untuk kembali kepada Allah Ta’ala. Saat-saat
terakhir itu diceritakan oleh putranya kepada kita sebagai berikut:
“Kepala
ayahku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal. Aku menangis, maka ia
berkata, ‘Mengapa kamu menangis, wahai anakku? Sungguh, Allah tidak akan
menyiksaku selamanya dan aku termasuk salah seorang penduduk surga.’.”
Kekuatan imannya tidak tergoyahkan oleh
apapun juga, bahkan oleh guncangan dan kengerian maut. Bukankah Rasulullah telah menyampaikan kabar gembira kepadanya dan ia percaya penuh akan membenaran
Rasulullah itu? Jadi, apa yang ditakutkannya lagi? “Sungguh, Allah tiada akan menyiksaku dan sungguh aku termasuk penduduk
surga.”
Hanya saja, Sa’ad ingin menemui Allah
dengan kenang-kenangan yang paling manis dan mengharukan, yang telah
menghubungkan dengan agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya. Itulah
sebabnya ia member isyarat ke arah peti simpanannya, yang ketika mereka buka
dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk.
Ia menyuruh keluarganya agar mengafani
mayatnya nanti dengan kain itu. Ketika itu ia berkata, “Aku telah menghadapi orang-orang musyrik waktu Perang Badar dengan
memakai kain itu dan telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan hari ini.”
Memang, kain usang yang telah lapuk itu tidak dapat dianggap sebagai kain
biasa! Ia adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan
tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan tulus dan beriman, serta
gagah berani.
Sosok tubuh yang terakhir meninggal di
antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak orang-orang yang
membawanya ke Madinah, untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok
tokoh-tokoh suci, di antara para shahabat yang telah mendahuluinya menemui
Allah, dan jasad-jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan
tempatnya di tanah Baqi’.
Selamat jalan, wahai Sa’ad . Selamat jalan,
wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain, dan pemadam api sesembahan di Persia
untuk selama-lamanya.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar