Senin, 25 November 2013

Filled Under:

Sa'ad bin Abu Waqqash (Singa yang Menyembunyikan Kukunya).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

   Hati Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab  merasa gelisah ketika datang kabar secara beruntun tentang serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata Persia terhadap kaum Muslimin. Kemudian, hal itu disusul dengan berita tentang Pertempuran Jisr (jembatan), di mana empat ribu dari kaum Muslimin gugur sebagai Syuhada dalam waktu 1 hari. Itu semua masih ditambah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Iraq terhadap perjanjian-perjanjian yang berlaku pada mereka. Karena itulah, sang Khalifah mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam perjuangan bersenjata yang menentukan, melawan Persia.

     Bersama beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan, Umar  berangkat dengan meninggalkan Ali  di Madinah sebagai wakilnya. Tetapi, belum terlalu jauh dari kota, sebagian anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan agar ia kembali dan memilih salah seorang di antara para shahabat untuk melakukan tugas tersebut. Usulan ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin Auf  yang mengatakan bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mukminin dengan cara seperti ini, sementara Islam menghadapi hari-harinya yang menentukan, adalah perbuatan yang keliru.

     Akhirnya, Umar  menyuruh kaum Muslimin untuk berkumpul untuk bermusyawarah dan diserukanlah “Ash-Shalatu Jami’ah”. Ali  juga dipanggil agar datang, dan ia pun berangkat bersama beberapa orang penduduk Madinah menuju tempat persinggahan Amirul Mukminin. Akhirnya tercapailah persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin Auf , dan peserta musyawarah memutuskan agar Umar  kembali ke Madinah dan memilih seorang panglima lain yang akan memimpin peperangan menghadapi Persia.

     Amirul Mukminin tunduk pada keputusan ini, lalu menanyakan kepada shahabat, siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Iraq itu. Kaum Muslimin diam sejenak, mereka berpikir. Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf  berteriak, “Saya telah menemukannya!

     “Siapa dia?” Tanya Umar .

     “Singa yang menyembunyikan kukunya, yaitu Sa’ad bin Malik Az-Zuhri !” jawabnya.

     Pendapat ini didukung sepenuhnya oleh kaum Muslimin, dan Amirul Mukminin meminta Sa’ad bin Malik Az-Zuhri , yang tak lain adalah Sa’ad bin Abu Waqqash , agar datang menghadapnya. Akhirnya, ia pun diangkat sebagai Amir atau gubernur militer di Iraq yang bertugas mengatur pemerintahan dan sebagai panglima tentara.

     Siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu, dan siapakah sejatinya orang yang bila datang kepada Rasulullah  ketika berada di antara shahabat-shahabatnya, akan disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil bergurau, dengan ungkapan, “Ini dia pamanku. Siapa orang yang punya paman seperti pamanku ini?” itulah dia Sa’ad bin Abu Waqqash . Kakeknya ialah Uhaib bin Manaf yang menjadi paman bagi Aminah Ibunda Rasulullah .

     Sa’ad  masuk Islam pada usia 17 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu di antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri. Ia menuturkan, “Aku pernah hidup suatu hari yang waktu itu aku adalah sepertiga Islam.” Maksudnya bahwa ia adalah seorang di antara tiga orang yang paling dahulu masuk Islam. Pada hari-hari pertama Rasulullah  menjelaskan tentang Allah Yang Maha Esa dan tentang agama baru yang dibawanya, sebelum beliau mengambil rumah Al-Al-Arqam untuk tempat pertemuan dengan para shahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abu Waqqash  telah mengulurkan tangannya untuk berbaiat kepada Rasulullah .

     Sementara itu riwayat buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa ia termasuk salah seorang yang masuk Islam karena Abu Bakar  dan atas upaya dakwah darinya. Mungkin saja, ia menyatakan keislamannya secara terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar  , yaitu Utsman bin Affan , Az-Zubair bin Al-Awwam , Abdurrahman bin Auf , dan Thalhah bin Ubaidullah . Dan ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.

     Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad  ini, yang dapat ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi, di antara semua itu dua hal penting yang menjadi senandungnya. Pertama, bahwa dialah yang mula-mula melepaskan anak panah dalam membela agama Allah, dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Kedua, bahwa dia adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah  dengan jaminan kedua orang tua beliau. Rasulullah  bersabda pada waktu Perang Uhud, “Panahlah, wahai Sa’ad ! Ibu Ayahku menjadi jaminan bagimu.

     Kedua nikmat besar ini selalu menjadi kebanggaan Sa’ad  sebagai wujud syukurnya kepada Allah. Ia menuturkan, “Demi Allah, akulah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah.” Ali bin Abu Thalib  berkata, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah  menyediakan Ibu Ayahnya sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad . Aku mendengar beliau bersabda pada Perang Uhud, ‘Panahlah, wahai Sa’ad ! Ibu Ayahku menjadi jaminan bagimu’.’

     Sa’ad  termasuk orang ksatria berkuda Arab dan sosok Muslim yang paling berani. Ia mempunyai dua macam senjata yang sangat ampuh, yaitu panah dan do’anya. Jika ia memanah musuh dalam peperangan, dapat dipastikan akan mengenai sasarannya, dan jika ia menyampaikan suatu permohonan kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya. Menurut Sa’ad  sendiri dan juga para shahabatnya, hal itu disebabkan do’a Rasulullah  juga bagi pribadinya. Suatu hari ketika Rasulullah  menyaksikan sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau dari Sa’ad , beliau pun mengucapkan do’a yang makbul ini, “Ya Allah, tempatkanlah bidikan panahnya dan kabulkanlah do’anya.

     Demikianlah, ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan para shahabatnya bahwa do’anya tidak ubahnya sebagai pedang yang tajam. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh Sa’ad  sendiri, hingga dia tidak ingin berdo’a untuk kecelakaan seseorang, kecuali menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh Amir bin Sa’ad  berikut”

     “Sa’ad  mendengar seorang laki-laki memaki Ali ,Thalhah , dan Az-Zubair . Ketika dilarang, orang itu tidak menghiraukannya. Meski demikian, Sa’ad  hanya berkata, ‘Walau begitu saya do’akan kamu kepada Allah.’ Orang itu menjawab, ‘Rupanya kamu hendak menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi.’

     Sa’ad  pun pergi berwudhu dan shalat dua rakaat. Setelah itu dia mengangkat kedua tangan dan berdo’a, ‘Ya Allah, bila menurut ilmu-Mu orang ini telah memaki segolongan orang yang telah mendapatkan kebaikan dari-Mu, dan tindakan itu mengundang murka-Mu, jadikanlah hal itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran.’

     Tidak lama setelah itu, tiba-tiba dari satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah mencari seseorang. Sejurus kemudian unta itu menerjang orang tadi dan membawanya ke bawah kakinya, lalu menginjak-injak dan menyepaknya beberapa saat, hingga akhirnya tewas menemui ajalnya.”

     Kenyataan ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman, dan keikhlasannya yang mendalam. Demikian juga, jiwanya adalah jiwa merdeka, keyakinannya keras membaja, dan keikhlasannya tidak bernoda. Untuk menopang ketakwaannya, ia selalu memakan yang halal, dan menolak dengan keras setiap dirham yang mengandung syubhat.

     Pada masa-masa akhir kehidupan Sa’ad , ia termasuk kalangan Muslim yang kaya dan berharta. Waktu wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tetapi, kalau biasanya harta banyak dan harta halal itu jarang sekali dapat terhimpun, di tangan Sa’ad  hal itu bisa terwujud. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal sekaligus. Di samping itu, ia dapat dijadikan seorang mahaguru dalam soal membersihkan harta. Dan kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal itu disaingi oleh kemampuan menafkahkannya di jalan Allah.

     Ketika Haji Wada’, Sa’ad  ikut bersama Rasulullah . Kebetulan ia jatuh sakit, dan Rasulullah  datang menjenguknya. Sa’ad  bertanya, “Wahai Rasulullah , saya ini orang yang banyak harta dan ahli warisku hanya seorang putri saja. Bolehkah saya menyedekahkan dua pertiga hartaku?

     Beliau menjawab, “Tidak.

     Sa’ad  berkata, “Bagaimana kalau setengahnya?

     Beliau menjawab, “Jangan.

     Sa’ad  kembali berkata, “Bagaimana kalau sepertiganya?

     Beliau menjawab, “Ya, dan sepertiga itu pun sudah banyak. Lebih baik engkau meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya ke orang lain. Setiap nafkah yang engkau keluarkan dengan mengharap keridhaan Allah, pastilah akan diberi ganjaran, bahkan walau sesuap makanan yang engkau suapkan di mulut istrimu.

     Sekian lama, Sa’ad  memang hanya dikaruniai seorang putri saja. Tetapi, setelah peristiwa tersebut, ia mendapatkan rezeki beberapa orang putra.

     Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad  sering menangis. Jika ia mendengar Rasulullah  berpidato dan menasehati umat, air matanya bercucuran hingga hampir-hampir memenuhi pangkuannya. Ia adalah seorang shahabat yang diberi nikmat taufik dan diterima ibadahnya.

     Suatu hari ketika Rasulullah  sedang duduk-duduk bersama para shahabat, tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke arah ufuk bagai seseorang yang sedang menunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada para shahabat dan bersabda, “Sekarang akan muncul di hadapan kalian seorang penghuni Surga.” Para shahabat pun melongok ke kiri kanan dan ke setiap arah untuk melihat siapakah orang yang berbahagia dan beruntung mendapatkan taufik dan karunia itu. Tidak lama setelah itu, Sa’ad bin Abu Waqqash  muncul di hadapan mereka.

     Setelah itu, Abdullah bin Amr bin Al-Ash  selalu membuntutinya dan memohon dengan sangat agar menunjukkan kepadanya jenis ibadah dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang menyebabkannya berhak menerima ganjaran dan kabar berita seperti dirinya. Sa’ad  menjawab, “Tak lebih daripada amal ibadah yang biasa kita kerjakan. Hanya saja, aku tidak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorang pun di antara kaum Muslimin.

     Itulah dia “Singa yang menyembunyikan kukunya” seperti yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin Auf . Itulah tokoh yang dipilih oleh Umar  untuk memimpin perang Qadisiyah yang dahsyat itu. Mengapa Umar  memilihnya untuk melaksanakan tugas yang paling rumit yang sedang dihadapi oleh Islam dan kaum Muslimin? Jawabannya, karena keistimewaannya terpampang jelas di hadapan Amirul Mukminin, sebab ia adalah”
·         Orang yang do’anya terkabul. Jika ia memohon agar diberi kemenangan oleh Allah, pastilah akan dikabulkan-Nya. Ia seorang yang sangat hati-hati dalam persoalan makan, terpelihara lisan dan suci hatinya.
·         Salah seorang anggota pasukan berkuda di Perang Badar, di Perang Uhud, dan di setiap perjuangan bersenjata yang diikutinya bersama Rasulullah .
·         Satu lagi yang tidak dapat dilupakan oleh Umar , suatu keistimewaan yang tidak dapat diabaikan oleh harta, nilai, dan kepentingannya, serta harus dimiliki oleh orang yang hendak melakukan tugas penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.

     Umar  tidak pernah lupa kisah Sa’ad  dengan ibunya sewaktu ia masuk Islam dan mengikuti Rasulullah . Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi putranya dari agama Allah mengalami kegagalan. Ditempuhnya segala jalan yang tidak dapat tidak, pasti akan melemahkan semangat Sa’ad  dan akan membawanya kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya. Wanita itu menyatakan akan mogok makan dan minum, sampai Sa’ad  kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya.

     Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia benar-benar tidak mau menjamah makanan atau minuman apa pun hingga hampir menemui ajalnya. Tetapi, Sa’ad  tidak terpengaruhi oleh hal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya. Ia tidak mungkin menjual agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun.

     Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad  kepadanya untuk menyaksikannya kali yang terakhir, dengan harapan hatinya menjadi lunak jika melihat ibunya dalam keadaan sekarat. Sesampainya di sana, Sa’ad  menyaksikan suatu pemandangan yang sangat menghancurkan hatinya, seolah-olah dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang. Tetapi, keimanannya terhadap Allah dan Rasul lebih unggul daripada kekerasan baja dan batu karang mana pun juga.

     Ia mendekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan mengeluarkan kata-kata dengan suara keras agar kedengaran olehnya, “Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda. Seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu, tidaklah ananda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga! Maka terserah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak.

     Akhirnya ibunya menghentikan tekadnya, dan turunlah wahyu yang mendukung pendirian Sa’ad . Allah berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
QS:Luqman | Ayat: 15

     Bukankah ini betul-betul singa yang menyembunyikan kukunya?  Jika demikian halnya, sangat wajar bila Amirul Mukminin dengan hati tenang memancangkan panji-panji Qadisiyah di tangan kanannya, dan mengirimnya untuk menghalau pasukan Persia yang jumlahnya tidak kurang dari 100.000 prajurit yang terlatih dan dilengkapi dengan senjata dan alat pertahanan yang paling ditakuti di dunia waktu itu. Mereka dipimpin oleh otak-otak perang yang paling jempol, dan ahli-ahli siasatnya yang cerdik dan licik.

     Sa’ad  berangkat memimpin 30 Mujahid dengan panah dan tombak di tangan masing-masing untuk menghadapi tentara musuh berjumlah besar tersebut. Senjatanya memang hanya panah dan tombak, tetapi di dalam dada mereka menyala dari kemauan agama baru, yang membuktikan keimanan, kehangatan, serta kerinduan yang luar biasa terhadap maut dan mati syahid.

     Akhirnya kedua pasukan itu bertemu. Tetapi, mereka belum bertempur. Di sana Sa’ad  masih menunggu bimbingan dan pengarahan dari Amirul Mukminin, Umar . Berikut ini surat Umar  yang memerintahkannya agar segera berangkat ke Qadisiyah, yang merupakan pintu gerbang memasuki Persia, ditancapkannya dalam hatinya kalimat berharga yang semuanya merupakan petunjuk dan cahaya:

     “Wahai Sa’ad bin Wuhaib , janganlah engkau terpedaya di hadapan Allah, hanya karena engkau disebut-sebut sebagai paman dan shahabat Rasulullah ! Sungguh, tidak ada kelebihan hubungan keluarga antara seseorang dan Allah kecuali dengan menaati-Nya!  Semua manusia, baik yang terhormat maupun yang rendah posisinya, pada pandangan Allah tidak berbeda. Allah tuhan mereka, sedangkan mereka hamba-Nya. Mereka memang tidak sama dalam hal kesehatan, namun akan beroleh sesuatu yang pernah engkau lihat pada Rasulullah  sejak ia diutus sampai meninggalkan kita. Pegang teguhlah itu, karena itulah yang harus diikuti.

     Kemudian Umar  juga mengatakan, “Tulislah kepadaku segala keadilan kalian, bagaimana kedudukan kalian, dan di mana pula posisi musuh terhadap kalian. Terangkanlah sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan sendiri keadaan kalian.” Sa’ad  pun menulis surat kepada Amirul Mukminin dan mencantumkan segala sesuatu, hingga hampir saja diterangkannya tempat dan posisi setiap prajurit secara terperinci.

     Sa’ad  telah sampai di Qadisiyah, sementara seluruh tentara dan rakyat Persia bersatu; sesuatu hal yang belum mereka lakukan selama ini. Kendali pimpinannya dipegang oleh panglimanya yang ulung dan paling terkenal, yaitu Rustum.

     Sebagai balasan surat dari Sa’ad  yang baru dikirimnya, Amirul Mukminin menulis, “Sekali-kali janganlah engkau gentar mendengar berita dan persiapan mereka! Mintalah pertolongan kepada Allah dan bertawakkallah kepada-Nya. Kirimlah sebagai utusan orang-orang yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah! Tulislah surat kepadaku setiap hari.

     Sa’ad  kembali mengirim surat kepada Amirul Mukminin, menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan pasukan gajah dan berkuda, serta mulai bergerak maju ke kaum Muslimin. Balasan dari Umar  datang yang isinya memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad .

     Sa’ad bin Abu Waqqash  adalah seorang prajurit berkuda yang ulung dan gagah berani, paman Rasulullah , dan termasuk orang yang mula pertama masuk Islam, pahlawan dari berbagai perjuangan bersenjata, lemparan panahnya yang tidak pernah meleset, dan sekarang tampil memimpin tentaranya dalam menghadapi salah satu peperangan terbesar dalam sejarah. Namun, ia tampak sebagai prajurit biasa. Baik kekuatan maupun kedudukannya sebagai pemimpin tidak mampu mempengaruhi dan memperdaya dirinya untuk mengandalkan pendapatnya semata. Ia selalu menghubungi Amirul Mukminin di Madinah yang jaraknya demikian jauh, dengan mengiriminya sepucuk surat tiap hari untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu hampir berkecamuk.

     Sebabnya, tidak lain karena Sa’ad  sadar sepenuhnya bahwa di Madinah Umar  tidaklah mengemukakan pendapatnya semata atau mengambil keputusan seorang diri. Tetapi, ia pasti bermusyawarah dengan orang-orang di sekelilingnya dan shahabat-shahabat utama Rasulullah . Bagaimana pun gawatnya suasana perang, Sa’ad  tidak ingin kehilangan berkah dan manfa’at bermusyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tahu benar bahwa di pusat komando itu pimpinannya dipegang Umar Al-Faruk , pembangkit ilham atau inspirasi agung.

     Pesan dari Umar  dilaksanakan oleh Sa’ad . Ia mengirim sejumlah orang di antara shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya agar beriman kepada Allah dan memeluk Islam.

     Soal jawab di antara mereka dengan Panglima Persia itu berlangsung lama, dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dan dari kedzaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam. Siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi, siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan oleh Allah.

     “Apa janji Allah kepada kalian?” Tanya Rustum.

     “Surga bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup,” jawab seorang juru bicara.

     Para utusan kembali kepada Sa’ad  sang panglima Islam dan menyampaikan bahwa tidak ada pilihan lain selain perang. Air mata Sa’ad  berlinang. Ia berharap saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu, ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak. Tubuhnya dipenuhi dengan bisul hingga ia tidak dapat duduk, apalagi untuk menaiki punggung kudanya dan terjun ke medan pertempuran yang sengit bersimbah darah. Seandainya perang itu terjadi sebelum ia jatuh sakit, atau setelah sakitnya sembuh, ia tentu akan menunjukkan prestasi yang agung. Adapun sekarang ini, duduk pun sangat sulit baginya. Tetapi, tidak! Rasulullah  telah mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena kata-kata itu menunjukkan kelemahan, sedangkan orang Mukmin yang kuat tidak kehabisan akal dan tidak pernah lemah.

     Ketika itu, singa yang menyembunyikan kukunya itu bangkit, lalu berdiri di hadapan tentara menyampaikan pidato dengan tidak lupa mengutip ayat mulia berikut ini:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.
QS:Al-Anbiyaa | Ayat: 105

     Setelah menyampaikan pidatonya, Sa’ad  menunaikan shalat Dzuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap ke arah mereka, ia mengucapkan takbir 4 kali: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

     Alam pun bergemuruh oleh suara takbir, dan sambil menunjuk ke arah musuh dengan lengannya bagai anak panah yang sedang melesat, Sa’ad  berseru kepada anak buahnya, “Majulah dengan berkah dari Allah.

     Dengan ketabahan menahan rasa sakit yang dideritanya, Sa’ad  naik ke teras barak yang ditinggalinya dan dijadikan sebagai markas komandonya. Ia duduk bersandar dengan dialasi bantal sementara pintu barak terbuka lebar. Sedikit saja serangan orang-orang Persia ke barak itu sudah menyebabkan panglima kaum Muslimin tersebut jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati. Tetapi, ia tidak gentar dan merasa takut.

     Bisul-bisul di tubuhnya pecah,tetapi ia tidak peduli dan terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya, “Majulah ke kanan.” Dan kepada yang lain:

     “Tutup pertahanan sebelah kiri.

     “Awas di depanmu, wahai Mughirah.

     “Ke belakang mereka, wahai Jarir.

     “Pukullah, wahai Nu’man.

     “Serbulah, wahal Asy’ats.

     “Hantamlah, wahai Qa’qa’.

     “Majulah semua, wahai shahabat-shahabat Muhammad.

     Suaranya yang berwibawa, penuh tekad, dan semangat baja, menyebabkan setiap prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh. Tentara Persia pun berjatuhan tidak ubahnya bagai lalat-lalat yang bergeletakan. Pemujaan berhala dan peribadatan kepada api roboh bersama mereka.

     Setelah melihat tewasnya panglima besar dan prajurit-prajurit pilihan, sisa-sisa musuh akhirnya lari tunggang-langgang. Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Madain. Kemudian mereka memasuki kota tersebut untuk membawa singgasana dan mahkota Kisra, serta mengumpulkan ghanimah dan fa’i.

     Pada pertempuran Madain, Sa’ad  mencapai prestasi yang agung. Pertempuran ini terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, dan selama itu telah terjadi perang dengan skala kecil antara Persia dan kaum Muslimin. Akhirnya semua sisa tentara Persia ini berhimpun di kota-kota Madain saja, bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir sebagai penentuan.

     Sa’ad  menyadari bahwa situasi medan dan musim menguntungkan pihak penentang Islam, karena antara pasukannya dan Madain terbentang sungai Tigris yang lebar, alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap. Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga, dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.

     Itulah salah satu peristiwa yang membuktikan bahwa Sa’ad  betul-betul sebagaimana dilukiskan oleh Abdurrahman bin Auf , “Singa yang menyembunyikan kukunya”. Keimanan Sa’ad  dan kepekatan hatinya tampak menonjol ketika menghadapi bahaya, hingga dapat mengatasi sesuatu yang mustahil dengan keberanian yang luar biasa.

     Akhirnya, Sa’ad  mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk menyeberangi sungai Tigris. Ia memerintahkan agar pasukannya mencari bagian sungai yang dangkal sebagai tempat penyebrangan. Akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang mengancam.

     Sebelum tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa’ad  menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang masih berada dalam kekuasaan dan pengawasan musuh.

     Ketika itu Sa’ad  membentuk dua battalion: pertama, Batalion Mengerikan, dan mengangkan Ashim bin Amr  sebagai komandannya dan kedua, Batalion mematikan, yang dikomandoi oleh Al-Qa’qa’ bin Amr .

     Tugas kedua battalion ini ialah menyingkap bahaya dan meretas jalan untuk menyiapkan tempat yang aman di seberang sungai agar induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang menyeberang dengan selamat. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang menajubkan.

     Keberhasilan siasat Sa’ad  ketika itu benar-benar membuat para ahli sejarah tercengang, bahkan bagi Sa’ad bin Abu Waqqash  sendiri. Salman Al-Farisi, yang merupakan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga hampir-hampir tidak percaya akan hasil yang telah dicapai. Ia menepukkan kedua belah tangannya karena takjub dan bangga.

     Salman berkata, “Agama Islam masih baru, tetapi lautan telah dapat mereka taklukan, sebagaimana daratan telah mereka kuasai. Demi Dzat yang jiwa Salman berada di tangan-Nya, sungguh, mereka akan keluar dari Islam berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong-bondong.” Dan apa yang dikatakan oleh Salman ini benar-benar terjadi.

     Sebagaimana mereka telah terjun mengarungi sungai Tigris secara berbondong-bondong, mereka pun keluar dan selamat dari sungai itu secara berbondong-bondong tanpa kehilangan seorang prajurit pun, bahkan tidak ada satu barang pun tercecer meski hanya seutas tali kekang kuda.”

     Dikisahkan, mangkuk tempat minum seorang prajurit jatuh ke dalam air. Dia tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang kehilangan barang waktu penyeberangan itu. Ia pun menyeru kepada rekan-rekannya agar menolongnya untuk mendapatkan barang itu kembali. Tiba-tiba, ombak besar melemparkan mangkuk itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut.

     Salah satu riwayat melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu, “Sa’ad  memerintahkan kaum Muslimin agar membaca: Hasbunallahu wa ni’mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong dan Dial ah sebaik-baik pelindung). Lalu ia mengerahkan kudanya menerjuni sungai yang diikuti oleh pasukannya, hingga tidak seorang pun di antara anggota pasukan yang tinggal di belakang. Mereka berjalan di air, bagai berjalan di darat, hingga dari pinggir sungai ke pinggir seberang telah dipenuhi oleh prajurit, dan permukaan air tidak kelihatan lagi disebabkan sangat banyaknya anggota pasukan berkuda serta pasukan pejalan kaki.

     Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika berada di air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya, tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan Allah dan pertolongan-Nya, yakin terhadap janji dan bantuan-Nya.

     Tatkala Sa’ad  diangkat Umar  sebagai Amir wilayah Iraq, ia memulai membangun dan merekonstruksi sumberdaya manusia. Ia melukis sejarah Kota Kufah dan hukum Islam diumumkan serta dilaksanakan di daerah yang luas itu.

     Suatu hari, rakyat Kufah mengadukan Sa’ad —yang menjadi pemimpin mereka—kepada Amirul Mukminin Umar . Tabiat pemberontak rupanya telah menguasai mereka, sehingga mereka mengajukan klaim yang menggelikan. Mereka berkata, “Sa’ad  tidak baik shalatnya.” Mendengar itu, Sa’ad  hanya tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka seperti shalat Rasulullah , yaitu memanjangkan dua rakaat yang awal dan memendekkan dua rakaat yang akhir.

     Sa’ad  dipanggil Umar  ke Madinah untuk menghadap. Sa’ad  tidak marah, bahkan segera memenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar  bermaksud untuk mengembalikannya ke Kufah, tetapi sambil tertawa Sa’ad  menjawab. “Apakah engkau hendak mengembalikan aku kepada kaum yang telah menuduh bahwa shalatku tidak baik?” Sa’ad  memilih tinggal di Madinah.

     Ketika Amirul Mukminin ditikam oleh seseorang, ia memilih enam orang di antara shahabat-shahabat Rasulullah  yang akan mengurus soal pemilihan Khalifah baru, dengan mengemukakan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridhai Rasulullah  sewaktu beliau hendak pulang ke Rahmatullah. Di antara enam orang shahabat terdapatlah Sa’ad bin Abu Waqqash . Bahkan, dari kalimat-kalimat Umar  yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa’ad .

     Sewaktu member wasiat dan mengucapkan selamat perpisahan dengan shahabat-shahabatnya, Umar  berkata, “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad , demikianlah sebaiknya. Namun, bila itu dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad  sebagai penasihatnya.

     Sa’ad  dikaruniai umur panjang hingga saat terjadinya fitnah besar. Tetapi, Sa’ad  tidak hendak mencampurinya, bahkan kepada keluarga dan putra-putranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya. Suatu saat, perhatian orang tertuju kepadanya, dan keponakannya yang bernama Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash  datang menjumpainya, seraya berkata, “Paman, di sini telah siap 100 ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan Khilafah ini!

     Sa’ad  menjawab, “Dari 100 ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja. Jika aku tebaskan kepada orang Mukmin, itu tidak akan mempan sedikit pun juga, tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir, niscaya putus batang lehernya.” Mendegar ucapan itu, keponakannya itu mengerti maksudnya dan membiarkannya dalam sikap damai dan tidak hendak bercampur tangan.

     Ketika kekhalifahan telah sampai pada giliran Mu’awiyyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, Muawiyah  bertanya kepada Sa’ad , “Mengapa anda tidak ikut berperang di pihak kami?” Sa’ad  menjawab, “Aku sedang lewat di suatu tempat yang dilanda angin topan berkabut gelap. Aku pun berkata, ‘Wahai saudara… wahai saudaraku!’ aku kemudian menghentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali.

     Muawiyah  berkata, “Bukankah di dalam Al-Qur’an tidak ada kata-kata, ‘Wahai saudara… wahai saudaraku,’ tetapi Allah Ta’ala hanya berfirman:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
QS:Al-Hujuraat | Ayat: 9

     Nah, anda tidak berada di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan tidak pula berada di pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya.”

     Sa’ad  menjawab, “Aku tidak hendak memerangi seorang laki-laki—maksudnya Ali —yang mengenai dirinya Rasulullah  pernah bersabda, ‘Engkau di sampingku, tidak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa. Hanya saja, (engkau bukan Nabi) karena tidak ada lagi Nabi setelah diriku’.

     Pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad  telah lebih dari 80 tahun, ia sedang berada di rumahnya di Aqiq untuk menghadapi detik-detik akhir untuk kembali kepada Allah Ta’ala. Saat-saat terakhir itu diceritakan oleh putranya kepada kita sebagai berikut:

     “Kepala ayahku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal. Aku menangis, maka ia berkata, ‘Mengapa kamu menangis, wahai anakku? Sungguh, Allah tidak akan menyiksaku selamanya dan aku termasuk salah seorang penduduk surga.’.

     Kekuatan imannya tidak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan oleh guncangan dan kengerian maut. Bukankah Rasulullah  telah menyampaikan kabar gembira kepadanya dan ia percaya penuh akan membenaran Rasulullah  itu? Jadi, apa yang ditakutkannya lagi? “Sungguh, Allah tiada akan menyiksaku dan sungguh aku termasuk penduduk surga.

     Hanya saja, Sa’ad  ingin menemui Allah dengan kenang-kenangan yang paling manis dan mengharukan, yang telah menghubungkan dengan agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya. Itulah sebabnya ia member isyarat ke arah peti simpanannya, yang ketika mereka buka dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk.

     Ia menyuruh keluarganya agar mengafani mayatnya nanti dengan kain itu. Ketika itu ia berkata, “Aku telah menghadapi orang-orang musyrik waktu Perang Badar dengan memakai kain itu dan telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan hari ini.” Memang, kain usang yang telah lapuk itu tidak dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan tulus dan beriman, serta gagah berani.

     Sosok tubuh yang terakhir meninggal di antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak orang-orang yang membawanya ke Madinah, untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci, di antara para shahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasad-jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempatnya di tanah Baqi’.


     Selamat jalan, wahai Sa’ad . Selamat jalan, wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain, dan pemadam api sesembahan di Persia untuk selama-lamanya.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf