بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang
yang masuk Islam lebih awal, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya
secara terus terang, sehingga harus menanggung penderitaan oleh kemurkaan dan
kekejaman orang-orang Quraish.
Miqdad hidup dengan keberanian para
ksatria dan keberuntungan para pengikut setia. Orang yang melihat sepak
terjangnya di medan Perang Badar pasti akan berdecak kagum. Perjuangan yang
mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang diangan-angankan oleh
seseorang untuk menjadi miliknya. Abdullah bin Mas’ud, seorang shahabat
Rasulullah lainnya, mengatakan, “Aku
telah menyaksikan perjuangan Miqdad , sehingga aku lebih suka menjadi
shahabatnya daripada segala isi bumi ini.”
Pada hari yang diawali dengan ketegangan
itu, yakni ketika Quraish datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan
semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka.
Pada hari itu, jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan sebelumnya tidak pernah
mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama
yang mereka hadapi. Rasulullah meguji keimanan para pengikutnya dan meneliti
persiapan mereka untuk meghadapi tentara musuh yang menyerang, baik pasukan
pejalan kaki maupun angkatan berkuda.
Para shahabat diajak bermusyawarah. Mereka
mengetahui bahwa jika beliau meminta buah pikiran dan pendapat mereka, itu
berarti beliau sedang menghadapi suasana kritis. Beliau meminta pendirian dan pendapat
mereka yang sebenarnya, sehingga bila ada di antara mereka yang berpendapat
lain yang berbeda dengan pendapat umum. Berarti ia tidak perlu takut atau akan
mendapat penyesalan.
Miqdad khawatir kalau di antara kaum
Muslimin ada yang merasa berat untuk bertempur. Karena itu, sebelum ada yang
angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka untuk mengungkap kalimat-kalimat
yang tegas dan dapat menyalakan semangat juang dan turut mengambil bagian dalam
membentuk pandapat umum. Tetapi, sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu
Bakar Ash-Shiddiq telah mendahuluinya dengan kata-kata yang sangat berkesan,
hingga mati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Al-Khatthab menyusul bicara, dengan ungkapan yang menakjubkan pula.
Kini giliran Miqdad untuk tampil
berbicara, “Wahai Rasulullah ,
laksanakanlah apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersamamu. Demi Allah
kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Isroil kepada Musa, ‘Pergi
dan berperanglah kamu bersama tuhanmu, sedangkan kami akan duduk menuggu di
sini.’ Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, ‘Pergi dan berperanglah Engkau
bersama tuhanmu, dan kami ikut berjuang bersamamu.’ Demi Dzat yang telah
mengutusmu membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami ke dalam lautan
lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan
kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kirimu, di bagian depan dan
di bagian belakangmu, hingga Allah memberikan kemenangan kepadamu.”
Ungkapan tersebut lepas bagai pekuru yang
dikuncurkan. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulut
bekiau komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad . Kata-kata tegas
yang diungkapkannya itu membangkitkan semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang
baik dari orang-orang beriman, dn berkata, “Wahai
Rasulullah , kami telah beriman dan membenarkanmu. Kami telah bersaksi bahwa apa
yang engkau bawa itu adalah benar dan untuk itu kami telah mengikat janji dan
kesetiaan kami. Karena itu, majulah, wahai Rasulullah , laksanakanlah apa yang
engkau kehendaki, dan kami akan selalu bersamamu.
Demi
Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran, seandainya engkau membawa kami
masuk ke dalam lautan ini, kami akan memasukinya. Tidak ada seorang pun di
antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur
menghadapi musuh. Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam
menghadapi musuh, dan semoga Allah memperlihatkanmu pebuatan kami yang berkenan
di hatimu. Kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah! Hati Rasulullah pun penuh
dengan kegembiraan, lalu bersabda kepada shahabat-shahabatnya, “Berangkatlah
dan besarkanlah hati kalian.”
<Lihat: Ar-Rahiq Al-Maklum, Al-Mubarakfuri, hlm. 209 (cet. Qatar, 2007)>.
Dan
kedua pasukan pun berhadapan. Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu
jumlahnya tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin Amr , Martsad bin Abu
Martsad , dan Az-Zubair bin Al-Awwam , sedangkan pejuang-pejuang lainnya terdiri
atas pasukan pejalan kaki atau pengendara unta.
Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi,
tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan
logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam. Demikianlah sifat Miqdad . Ia
adalah seorang filosof dan ahli pikir. Ia adalah seorang yang arif dan pandai
mengolah kata. Kebijaksanaannya itu tidak saja terlihat dalam kata-katanya
saja, tetapi juga tampak pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh, serta perilaku
yang lurus dan konsisten. Pengalamannya menjadi sumber bagi kearifan dan
penunjang kecerdasannya.
Suatu hari, ia diangkat oleh Rasulullah sebagai pemegang kendali (amir) di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari
tugasnya, Nabi bertanya, “Bagaimanakah
pendapatmu setelah menjadi amir?”
Ia pun menjawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikan diriku menganggap
diri sendiri di atas semua manusia, sedangkan mereka berada di bawahku. Demi
Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran, sejak saat ini saya tidak
berkeinginan menjadi pemimpin sekali pun untuk dua orang untuk selama-lamanya.”
Nah, jika ini bukan suatu kearifan, lantas
apa lagi yang dikatakan kearifan itu?
Jika orang ini bukan seorang yang arif, lantas orang seperti apa yang disebut
orang yang arif itu? Miqdad adalah sosok laki-laki yang tidak ingin tertipu
oleh dirinya sendiri dan tidak mau terpedaya oleh kelemahannya.
Ia memegang jabatan sebagai amir, hingga
dirinya diliputi oleh kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia
bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah
pengalaman pahit itu. Faktanya, setelah itu ia benar-benar menepati janji dan
sumpahnya itu, hingga sejak itu ia tidak pernah mau menerima jabatan amir.
Miqdad selalu mendendangkan hadits yang
didengarnya dari Rasulullah :
“Orang yang berbahagia ialah orang yang
dijauhkan dari fitnah.”
Oleh karena jabatan sebagai amir itu
dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah
bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah
menjauhinya. Salah satu perwujudan kearifannya ialah tidak tergesa-gesa dan
sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajari
dari Rasulullah yang telah menyampaikan kepada umatnya, “Bahwa hati manusia lebih cepat berbolak-balik daripada isi periuk saat
mendidih.”
Miqdad sering menangguhkan penilaian
terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah
agar tidak terjadi kesalahan menilai seseorang karena orang itu telah berubah
setelahnya. Dengan menangguhkan itu, berarti orang tersebut memang tidak
berubah lagi dan memang seperti itu adanya, sebab tidak ada perubahan atau hal
baru setelah kematian.
Kearifannya itu tampak jelas dalam
percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang shahabatnya berikut
ini:
“Suatu
hari kami sedang duduk-duduk bersama Miqdad . Tiba-tiba seseorang lewat dan
berkata kepada Miqdad , ‘Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat
Rasulullah ! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan
menyaksikan apa yang anda saksikan.’
Miqdad pergi menghampirinya, lalu berkata, ‘Apa yang mendorong kalian
untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan
kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?
Demi Allah, bukankah pada masa Rasulullah banyak orang yang ditelungkupkan
Allah mukanya ke neraka jahanam? Mengapa kalian tidak mengucapkan pujian bagi
Allah yang telah menghindarkan dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu,
dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi
kalian?’”
Itulah kearifan, tetapi di mana letak
kearifannya? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang
anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup pada masa Rasulullah dan
beroleh kesempatan untuk melihatnya. Tetapi, mata batin Miqdad yang tajam dan
arif mampu melihat sudut yang tidak tampak di balik keinginan itu. Bukankah
tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan
menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh
kafir bersama orang-orang kafir lainnya? Jadi, bukankah ia lebih baik memuji
Allah yang telah menghidupkannya pada masa-masa telah tercapainya kemantapan
bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih?
Itulah pandangan Miqdad , memancarkan
kearifan dan kecerdasan. Setiap tindakan, pengalaman, dan ucapannya,
menunjukkan bahwa ia seorang yang cerdas dan bijaksana.
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak
terkira besarnya. Bila cinta tumbuh dan membesar serta didampingi oleh hikmat,
maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya
dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul
konsekuensinya. Miqdad bin Amr adalah tipe manusia seperti ini. Kecintaannya
kepada Rasulullah menyebabkan hati dan pikirannya dipenuhi rasa tanggung jawab
terhadap keselamatan orang yang dicintainya, hingga setiap ada kehebohan di
Madinah, secepat kilat Miqdad berada di ambang pintu rumah Rasulullah ,
menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau tombaknya.
Sementara itu, kecintaannya kepada Islam
menyebabkannya bertanggung jawab terhadap keamanannya. Tidak saja dari tipu
daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan rekan-rekannya sendiri. Suatu
saat ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh
musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun menggembalakan
hewan tunggangannya. Tetapi, salah seorang anggota melanggarnya, dan sebagai
akibatnya ia menerima hukuman yang lebih besar daripada yang seharusnya, atau
sebenarnya mungkin tidak perlu diberi sanksi.
Miqdad lewat di depan orang yang menjalani
hukuman tersebut dan ia sedang menangis sambil berteriak-teriak. Ia pun
menanyakan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi dan orang itu pun menceritakan
apa yang telah menimpa dirinya. Miqdad meraih tangan orang itu dan membawanya
ke hadapan komandan. Ia lalu berbicara kepadanya tentang bagaimana sebenarnya
yang terjadi pada bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan
kekeliruan komandan tersebut. Miqdad pun berkata kepadanya, “Sekarang suruhlah ia membalas kesalahanmu
dan berilah kesempatan untuk melakukan Qishas.” Sang komandan pun tunduk
dan bersedia, hanya saja prajurit tersebut memaafkan dan berlapang dada.
Miqdad telah menunjukkan sikapnya yang
mulia. Keagungan agama ini telah mengangkatnya ke posisi yang terhormat. Ia
berlalu sambil mendendangkan kata-kata:
“Biarlah
aku mati, asal Islam tetap jaya.”
Memang, itulah yang menjadi cita-citanya,
yaitu kejayaan Islam walau harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Dengan
keteguhan hati yang menakjubkan ia berjuang bersama para shahabatnya untuk
mewujudkan cita-cita tersebut. Karena itu, sangat pantas bila ia mendapat
kehormatan dari Rasulullah menerima ucapan berikut:
“Sungguh,
Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya kepadaku
bahwa Dia mencintaimu.”
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar