بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Tetapi, kelebihannya yang menonjol dan
keistimewaannya yang utama ialah kepahaman atau keahliannya dalam soal hukum.
Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang
menyebabkan berhak menerima pujian dari Rasulullah dengan sabdanya, “Umatku yang paling tahu persoalan yang halal
dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal .”
Soal kecerdasan otak dan keberanian
mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Al-Khatthab . Ketika
Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, beliau menanyainya:
“Apa
yang menjadi pedoman dalam mengadili sesuatu, wahai Mu’adz ?”
“Kitabullah.”
“Bagaimana
jika kamu tidak menemukan Kitabullah?”
“Saya
pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya tidak akan berlaku sia-sia.”
Maka, berseri-serilah wajah Rasulullah ,
dan bersabda, “Segala puji bagi Allah
yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sebagaimana yang diridhai
oleh Rasulullah .” <Lihat penjelasan tentang kelemahan hadits
ini di dalam Al-Hadits Adh-Dha’ifah, Al-Albani: II/273 (Al-Khurasyi)>.
Dengan
demikian, kecintaan Mu’adz terhadap Kitabullah dan sunnah Rasulullah tidak
manutup pintu untuk mengikuti buah pikirannya, dan tidak menjadi penghalang
bagi akalnya untuk memahami kebenaran-kebenaran dahsyat yang masih tersembunyi,
yang menunggu usaha orang yang akan menghadapi dan menyingkapnya. Kemampuan
untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah
kemungkinan yang mengantarkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu
fiqih, dan mampu mengatasi persoalan saudara-saudaranya, hingga dinyatakan oleh
Rasulullah sebagai “orang yang paling
tahu tentang yang halal dan yang haram.”
Cerita-cerita sejarah melukiskan dirinya
bagaimana adanya, yakni sebagai sosok yang berotak cemerlang dan menjadi
penyuluh serta dapat memutuskan persoalan dengan sebaik-baiknya. A’idzullah bin
Abdullah menuturkan kepada kita sebuah kisah yang terjadi suatu hari di awal
pemerintahan Umar . Ia masuk masjid bersama beberapa orang shahabat, ia
mengisahkan:
“Aku
duduk di suatu majelis yang dihadiri oleh lebih dari tiga puluh orang,
masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah .
Pada majelis yang berbentuk lingkaran itu ada seorang anak muda yang sangat
tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, manis tutur katanya dan termuda
usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat suatu keraguan tentang
suatu hadits, mereka menanyakannya kepada anak muda itu dan ia pun segera
memberikan fatwanya. Ia tidak pernah berbicara kecuali bila diminta. Tatkala
majelis itu berakhir, aku mendekati anak muda itu dan menanyakan siapa namanya.
Ia pun menjawab, ‘saya adalah Mu’adz bin Jabal ’.”
Berikutnya, Abu Muslim Al-Khaulani
menuturkan, “Saya masuk ke Masjid Hamah,
dan di dalamnya aku mendapati sejumlah orang tua seorang duduk dan di
tengah-tengah mereka ada seorang anak muda yang berkilau giginya. Anak muda itu
diam tidak bersuara. Tetapi, bila orang-orang ragu tentang suatu masalah, merka
menoleh dan bertanya kepadanya. Aku pun bertanya kepada teman karibku, ‘Siapakah
orang itu?’ ia menjawab, ‘Itu adalah Mu’adz bin Jabal .’ Dalam diriku timbul
perasaan suka dan sayang kepadanya.”
Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan
memberikan ulasan, ia menceritakan, “Bila
para shahabat berbicara dan di antara mereka hadir Mu’adz bin Jabal , mereka
pasti meminta pendapatnya karena kewibawaannya.”
Amirul Mukminin Umar sendiri sering
meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan, dalam salah satu peristiwa yang
pada waktu itu ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah
berkata, “Kalau bukan karena Mu’adz bin
Jabal , Umar pasti celaka!”
Mu’adz memang memiliki otak yang terlatih
dengan baik dan logika yang menawan serta memuaskan lawan, yang mengalir dengan
tenang dan cermat. Di mana saja kita menjumpai namanya di celah-celah riwayat
dan sejarah, kita akan mendapati ia sebagai orang yang selalu menjadi titik
pusat lingkaran. Di mana pun ia duduk, orang-orang pun ramai mengelilinginya.
Mu’adz adalah seorang yang pendiam. Ia
tidak akan berbicara kecuali atas permintaan hadirin. Jika mereka berbeda
pendapat dalam suatu hal, mereka menyerahkan perkara itu kepada Mu’adz untuk
memutuskannya. Jika ia telah membuka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan
oleh salah seorang yang mengenalinya, “Seolah-olah
dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara.”
Kedudukannya yang tinggi di bidang pengetahuan
dan penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik pada waktu Rasulullah masih
hidup maupun setelah beliau wafat, telah dicapai Mu’adz sewaktu ia masih muda.
Ia meninggal dunia pada masa pemerintahan Umar , sedangkan usianya belum genap
33 tahun.
Mu’adz adalah seorang yang suka memberi,
kaya hati, dan tinggi budi. Tidak suatu pun yang diminta kepadanya, kecuali
akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh, kemurahan
Mu’adz telah menghabiskan semua hartanya.
Ketika Rasulullah wafat, Mu’adz masih
berada di Yaman, yakni sejak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum
Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-beluk agama Islam. Pada masa
pemerintahan Abu Bakar , Mu’adz kembali dari Yaman. Umar tahu bahwa Mu’adz telah
menjadi seorang yang kaya raya, maka diusulkan Umar kepada Khalifah agar
kekayaannya itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar , Umar segera pergi
ke rumah Mu’adz dan mengemukakan masalah tersebut.
Mu’adz adalah seorang yang bersih dan suci
hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu
diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya secara haram, bahkan juga
tidak hendak menerima barang yang sybhat. Karena itu, usul Umar ditolaknya dan
alasan yang diungkapkannya mampu dipatahkannya dengan alasan pula. Akhirnya,
Umar berpaling dan meninggalkannya.
Keesokan harinya, Mu’adz segera pergi ke
rumah Umar . Saat ia tiba di sana, Umar dirangkul dan dipeluknya, sementara air
mata mendahului perkataannya. Ia berkata, “Tadi
malam, aku bermimpi memasuki kolam yang penuh dengan air, hinnga membuat saya
cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, dan menyelamatkan saya, wahai
Umar .”
Kemudian mereka bersama-sama pergi untuk
menemui Abu Bakar , dan Mu’adz meminta kepada Khalifah untuk mengambil setengah
hartanya. Namun, Abu Bakar menjawab, “Aku
tidak akan mengambil apa pun darimu.”
“Sekarang
harta itu telah halal dan menjadi harta yang baik,” kata Umar kepada
Mu’adz .
Andai diketahuinya bahwa Mu’adz memperoleh
harta itu dari jalan yang tidak baik, tentu tidak satu dirham pun Abu Bakar yang saleh itu akan menyisakan baginya. Namun, Umar tidak pula berbuat salah
dengan melemparkan kecurigaan atau menaruh dugaan terhadap Mu’adz . Hal itu
timbul tidak lebih karena masa itu merupakan gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh
utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang
berjalan secara santai, tidak ubah bagai burung yang terbang berputar-putar,
ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada
dalam kafilah yang sama, menuju kepada kebaikan.
Mu’adz pindah ke Syria, dan tinggal
bersama penduduk setempat dan musafir yang berkunjung ke sana, sebagai guru dan
ahli hukum. Tatkala Abu Ubaidah meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul
Mukminin Umar sebagai penngantinya di Syria. Tetapi, baru beberapa bulan saja
ia memegang jabatan itu, ia dipanggil Allah untuk manghadap-Nya dalam keadaan
tunduk dan menyerahkan diri.
Umar berkata, “Sekiranya saya mengangkat Mu’adz sebagi pengganti, lalu ditanya oleh
Allah mengapa saya mengangkatnya, saya akan menjawab, ‘Saya mendengar Nabi-Mu
bersabda, ‘Bila ulama menghadap Allah, Mu’adz pasti berada di antara mereka’.’.”
Mengangkat sebagai pengganti, yang dimaksud Umar di sini ialah penggantinya sebagai
Khalifah bagi seluruh kaum Muslimin, bukan kepala suatu negeri atau wilayah.
Sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir, Umar pernah ditanyai oleh seseorang, “Bagaimana jika anda tetapkan pengganti anda? Artinya, anda pilih
sendiri orang yang akan menjadi Khalifah itu, lalu kami berbaiat dan
menyetujuinya.”
Umar pun menjawab, “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, tentu saya akan angkat ia
sebagai Khalifah,dan kemudian bila saya menghadap Allah ‘Azza wa Jalla dan
ditanya tentang pengangkatannya, siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin bagi
umat manusia, aku akan menjawab, ‘Saya mengangkat Mu’adz bin Jabal setelah
mendengar Nabi bersabda,: Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama pada
hari kiamat.’”
Suatu hari Rasulullah bersabda, “Wahai Mu’adz ! Demi Allah, aku sungguh sayang
kepadamu. Jangan lupa setiap usai shalat, ucapkanlah, ‘Ya Allah, bantulah
diriku untuk selalu ingat, dan rasa syukur, serta beribadah dengan ikhlas
kepada-Mu.’”
Do’a yang tepat sekali, “Ya Allah, bantulah diriku.” Rasulullah selalu mendesak manusia untuk memahami makna yang agung ini yang maksudnya ialah
bahwa tiada daya maupun upaya, dan tiada bantuan maupun pertolongan kecuali
dengan pertolongan dan kekuatan dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Mu’adz mangerti dan memahami ajaran ini dan telah menerapkannya secara tepat.
Pada suatu pagi, Rasulullah bertemu dengan Mu’adz , dan bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Mu’adz ?”
“Aku
menghadapi pagi ini sebagai orang beriman, wahai Rasulullah .”
“Setiap
kebenaran ada hakikatnya, lantas apakah hakikat keimananmu?”
“Setiap
berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Setiap
berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai waktu pagi lagi. Tiada
suatu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi
lagi dengan langkah lainnya. Seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut,
dipanggil melihat buku catatannya. Dan aku seolah-olah menyaksikan penduduk
surga menikmati kesenangan surga, sedangkan penduduk neraka menderita siksa di
dalamnya.”
Rasulullah pun bersabda, “Engkau memang mengetahuinya, karena itu
peganglah kuat-kuat dan jangan engkau lepaskan.”
Ternyata memang benar bahwa Mu’adz telah
menyerahkan seluruh jiwa raga dan nasibnya kepada Allah, hingga tidak ada suatu
pun yang tampak olehnya kecuali hanyalah Dia. Tepat sekali gambaran yang
diberikan Ibnu Mas’ud tentang kepribadiannya, “Mu’adz adalah seorang hamba yang tunduk kepada Allah dan berpegang
teguh kepada agama-Nya. Kami menganggap Mu’adz serupa dengan Nabi Ibrahim.
Mu’adz senantiasa menyeru manusia untuk mencapai ilmu dan berdzikir kepada
Allah. Dia pun menghimbau mereka agar mencari ilmu yang benar lagi bermanfaat,
ia berkata, ‘Waspadalah terhadap ketergekincingan orang yang berilmu!
Kenalilah kebenaran itu dengan kebenaran pula, karena kebenaran itu mempunyai cahaya’.”
Menurut Mu’adz , ibadah itu hendaklah
dilakukan dengan cermat dan jangan berlebihan. Suatu hari salah seorang Muslim
meminta kepadanya agar diberi pelajaran, “Apakah
anda bersedia mematuhinya bila saya ajarkan?” Tanya Mu’adz .
“Sungguh,
saya sangat berharap akan menaati anda!” ujar orang itu.
Mu’adz berkata kepadanya, “Berpuasalah namun jangan lupa berbuka.
Lakukanlah shalat dan tidurlah. Berusahalah mencari nafkah dan janganlah
berbuat dosa. Janganlah kamu mati kecuali dalam beragama Islam, serta jauhilah
dari do’a orang yang teraniaya!”
Menurut Mu’adz , ilmu itu ialah mengenal
dan beramal, katanya, “Pelajarilah segala
ilmu yang kalian minati, tetapi Allah tidak akan member kalian manfaat dengan
ilmu itu sebelum kalian mengamalkannya lebih dulu.”
Baginya iman dan dzikir kepada Allah ialah
selalu siaga demi kebesaran-Nya dan pengawasan yang tidak putus-putus terhadap
kegiatan jiwa. Al-Aswad bin Hilal berkata, “Kami
berjalan bersama Mu’adz , maka ia berkata kepada kami, ‘Marilah kita duduk
sebentar untuk renungan keimanan’.”
Mungkin sikap dan pendiriannya itu
terdorong oleh semangat jiwa dan pikiran yang tiada mau diam dan selalu
bergejolak sesuai dengan pendiriannya yang pernah ia kemukakan kepada
Rasulullah , bahwa tiada satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali timbul
sangkaan bahwa ia tidak akan mengikutinya lagi dengan langkah berikutnya. Hal
itu ialah karena tenggelamnya dalam mengingat-ingat Allah dan kesibukannya
dalam meneliti dan mengoreksi dirinya sendiri.
Sekarang tibalah ajalnya Mu’adz dipanggil
menghadap Allah. Dan dalam sakaratul maut, muncullah dari bawah sadarnya
hakikat segala yang bernyawa ini, dan seandainya ia dapat berbicara akan
mengalirlah dari lisannya kata-kata yang dapat menyimpulkan urusan dan
kehidupannya. Pada detik-detik tersebut, Mu’adz mengucapkan perkataan yang menyingkapkan
dirinya sebagai seorang Mukmin besar.
Dengan pandangan tajam menatap ke arah
langit, Mu’adz bermunajat kepada Allah Yang Maha Pengasih, dengan ungkapan, “Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut
kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui
bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mangalirkan air sungai atau
menanam kayu-kayuan. Tetapi, hanyalah untuk menutup hawa di kala panas, dan
menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan,
keimanan, dan ketakwaan.”
Ia lalu mengulurkan tangannya seolah-olah
hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya kea lam ghaib masih
sempat ia mengatakan, “Selamat datang,
wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan.”
Nyawa Mu’adz pun melayang menghadap Allah.
Kita semua kepunyaan Allah dan kita kembali kepada-Nya.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar