Sabtu, 23 November 2013

Filled Under:

Mu'adz bin Jabal (Shahabat yang Paling Tahu Mana yang Halal dan Mana yang Haram).



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
   Tatkala Rasulullah  mengambil baiat dari orang-orang Anshar pada baiat Aqabah II, di antara para utusan yang terdiri atas tujuh puluh orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilau serta memikat perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Jika ia berbicara, orang yang melihat akan semakin terpesona karenanya. Itulah dia Mu’adz bin Jabal . Jadi, Mu’adz  adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut berbaiat pada baiat Aqabah II, hingga termasuk As-Sabiqun Al-Awalun (golongan yang pertama masuk Islam). Orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti itu, mustahil tidak akan turut bersama Rasulullah  dalam setiap perjuangan. Demikian pula dengan Mu’adz .

     Tetapi, kelebihannya yang menonjol dan keistimewaannya yang utama ialah kepahaman atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkan berhak menerima pujian dari Rasulullah  dengan sabdanya, “Umatku yang paling tahu persoalan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal .

     Soal kecerdasan otak dan keberanian mengemukakan pendapat, Mu’adz  hampir sama dengan Umar bin Al-Khatthab . Ketika Rasulullah  hendak mengirimnya ke Yaman, beliau menanyainya:

     “Apa yang menjadi pedoman dalam mengadili sesuatu, wahai Mu’adz ?

     “Kitabullah.

     “Bagaimana jika kamu tidak menemukan Kitabullah?

     “Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya tidak akan berlaku sia-sia.

     Maka, berseri-serilah wajah Rasulullah , dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah  sebagaimana yang diridhai oleh Rasulullah .<Lihat penjelasan tentang kelemahan hadits ini di dalam Al-Hadits Adh-Dha’ifah, Al-Albani: II/273 (Al-Khurasyi)>.

     Dengan demikian, kecintaan Mu’adz  terhadap Kitabullah dan sunnah Rasulullah  tidak manutup pintu untuk mengikuti buah pikirannya, dan tidak menjadi penghalang bagi akalnya untuk memahami kebenaran-kebenaran dahsyat yang masih tersembunyi, yang menunggu usaha orang yang akan menghadapi dan menyingkapnya. Kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah kemungkinan yang mengantarkan Mu’adz  berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, dan mampu mengatasi persoalan saudara-saudaranya, hingga dinyatakan oleh Rasulullah  sebagai “orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram.

     Cerita-cerita sejarah melukiskan dirinya bagaimana adanya, yakni sebagai sosok yang berotak cemerlang dan menjadi penyuluh serta dapat memutuskan persoalan dengan sebaik-baiknya. A’idzullah bin Abdullah menuturkan kepada kita sebuah kisah yang terjadi suatu hari di awal pemerintahan Umar . Ia masuk masjid bersama beberapa orang shahabat, ia mengisahkan:

     “Aku duduk di suatu majelis yang dihadiri oleh lebih dari tiga puluh orang, masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah . Pada majelis yang berbentuk lingkaran itu ada seorang anak muda yang sangat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, manis tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat suatu keraguan tentang suatu hadits, mereka menanyakannya kepada anak muda itu dan ia pun segera memberikan fatwanya. Ia tidak pernah berbicara kecuali bila diminta. Tatkala majelis itu berakhir, aku mendekati anak muda itu dan menanyakan siapa namanya. Ia pun menjawab, ‘saya adalah Mu’adz bin Jabal ’.

     Berikutnya, Abu Muslim Al-Khaulani menuturkan, “Saya masuk ke Masjid Hamah, dan di dalamnya aku mendapati sejumlah orang tua seorang duduk dan di tengah-tengah mereka ada seorang anak muda yang berkilau giginya. Anak muda itu diam tidak bersuara. Tetapi, bila orang-orang ragu tentang suatu masalah, merka menoleh dan bertanya kepadanya. Aku pun bertanya kepada teman karibku, ‘Siapakah orang itu?’ ia menjawab, ‘Itu adalah Mu’adz bin Jabal .’ Dalam diriku timbul perasaan suka dan sayang kepadanya.

     Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, ia menceritakan, “Bila para shahabat berbicara dan di antara mereka hadir Mu’adz bin Jabal , mereka pasti meminta pendapatnya karena kewibawaannya.

     Amirul Mukminin Umar  sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan, dalam salah satu peristiwa yang pada waktu itu ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar  pernah berkata, “Kalau bukan karena Mu’adz bin Jabal , Umar pasti celaka!

     Mu’adz  memang memiliki otak yang terlatih dengan baik dan logika yang menawan serta memuaskan lawan, yang mengalir dengan tenang dan cermat. Di mana saja kita menjumpai namanya di celah-celah riwayat dan sejarah, kita akan mendapati ia sebagai orang yang selalu menjadi titik pusat lingkaran. Di mana pun ia duduk, orang-orang pun ramai mengelilinginya.

     Mu’adz  adalah seorang yang pendiam. Ia tidak akan berbicara kecuali atas permintaan hadirin. Jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka menyerahkan perkara itu kepada Mu’adz  untuk memutuskannya. Jika ia telah membuka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalinya, “Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara.

     Kedudukannya yang tinggi di bidang pengetahuan dan penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik pada waktu Rasulullah  masih hidup maupun setelah beliau wafat, telah dicapai Mu’adz  sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia pada masa pemerintahan Umar , sedangkan usianya belum genap 33 tahun.

     Mu’adz  adalah seorang yang suka memberi, kaya hati, dan tinggi budi. Tidak suatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh, kemurahan Mu’adz  telah menghabiskan semua hartanya.

     Ketika Rasulullah  wafat, Mu’adz  masih berada di Yaman, yakni sejak ia dikirim Nabi  ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-beluk agama Islam. Pada masa pemerintahan Abu Bakar , Mu’adz  kembali dari Yaman. Umar  tahu bahwa Mu’adz  telah menjadi seorang yang kaya raya, maka diusulkan Umar  kepada Khalifah agar kekayaannya itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar , Umar  segera pergi ke rumah Mu’adz  dan mengemukakan masalah tersebut.

     Mu’adz  adalah seorang yang bersih dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya secara haram, bahkan juga tidak hendak menerima barang yang sybhat. Karena itu, usul Umar  ditolaknya dan alasan yang diungkapkannya mampu dipatahkannya dengan alasan pula. Akhirnya, Umar  berpaling dan meninggalkannya.

     Keesokan harinya, Mu’adz  segera pergi ke rumah Umar . Saat ia tiba di sana, Umar  dirangkul dan dipeluknya, sementara air mata mendahului perkataannya. Ia berkata, “Tadi malam, aku bermimpi memasuki kolam yang penuh dengan air, hinnga membuat saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, dan menyelamatkan saya, wahai Umar .

     Kemudian mereka bersama-sama pergi untuk menemui Abu Bakar , dan Mu’adz  meminta kepada Khalifah untuk mengambil setengah hartanya. Namun, Abu Bakar  menjawab, “Aku tidak akan mengambil apa pun darimu.

     “Sekarang harta itu telah halal dan menjadi harta yang baik,” kata Umar  kepada Mu’adz .

     Andai diketahuinya bahwa Mu’adz  memperoleh harta itu dari jalan yang tidak baik, tentu tidak satu dirham pun Abu Bakar  yang saleh itu akan menyisakan baginya. Namun, Umar  tidak pula berbuat salah dengan melemparkan kecurigaan atau menaruh dugaan terhadap Mu’adz . Hal itu timbul tidak lebih karena masa itu merupakan gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tidak ubah bagai burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama, menuju kepada kebaikan.

     Mu’adz  pindah ke Syria, dan tinggal bersama penduduk setempat dan musafir yang berkunjung ke sana, sebagai guru dan ahli hukum. Tatkala Abu Ubaidah  meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar  sebagai penngantinya di Syria. Tetapi, baru beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, ia dipanggil Allah untuk manghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri.

     Umar  berkata, “Sekiranya saya mengangkat Mu’adz  sebagi pengganti, lalu ditanya oleh Allah mengapa saya mengangkatnya, saya akan menjawab, ‘Saya mendengar Nabi-Mu bersabda, ‘Bila ulama menghadap Allah, Mu’adz  pasti berada di antara mereka’.’.” Mengangkat sebagai pengganti, yang dimaksud Umar  di sini ialah penggantinya sebagai Khalifah bagi seluruh kaum Muslimin, bukan kepala suatu negeri atau wilayah.

     Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Umar  pernah ditanyai oleh seseorang, “Bagaimana jika anda tetapkan pengganti anda? Artinya, anda pilih sendiri orang yang akan menjadi Khalifah itu, lalu kami berbaiat dan menyetujuinya.

     Umar  pun menjawab, “Seandainya Mu’adz bin Jabal  masih hidup, tentu saya akan angkat ia sebagai Khalifah,dan kemudian bila saya menghadap Allah ‘Azza wa Jalla dan ditanya tentang pengangkatannya, siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin bagi umat manusia, aku akan menjawab, ‘Saya mengangkat Mu’adz bin Jabal  setelah mendengar Nabi  bersabda,: Mu’adz bin Jabal  adalah pemimpin golongan ulama pada hari kiamat.’

     Suatu hari Rasulullah  bersabda, “Wahai Mu’adz ! Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Jangan lupa setiap usai shalat, ucapkanlah, ‘Ya Allah, bantulah diriku untuk selalu ingat, dan rasa syukur, serta beribadah dengan ikhlas kepada-Mu.’

     Do’a yang tepat sekali, “Ya Allah, bantulah diriku.” Rasulullah  selalu mendesak manusia untuk memahami makna yang agung ini yang maksudnya ialah bahwa tiada daya maupun upaya, dan tiada bantuan maupun pertolongan kecuali dengan pertolongan dan kekuatan dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Mu’adz  mangerti dan memahami ajaran ini dan telah menerapkannya secara tepat. Pada suatu pagi, Rasulullah  bertemu dengan Mu’adz , dan bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Mu’adz ?

     “Aku menghadapi pagi ini sebagai orang beriman, wahai Rasulullah .

     “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lantas apakah hakikat keimananmu?

     “Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai waktu pagi lagi. Tiada suatu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi lagi dengan langkah lainnya. Seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan aku seolah-olah menyaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga, sedangkan penduduk neraka menderita siksa di dalamnya.

     Rasulullah  pun bersabda, “Engkau memang mengetahuinya, karena itu peganglah kuat-kuat dan jangan engkau lepaskan.

     Ternyata memang benar bahwa Mu’adz  telah menyerahkan seluruh jiwa raga dan nasibnya kepada Allah, hingga tidak ada suatu pun yang tampak olehnya kecuali hanyalah Dia. Tepat sekali gambaran yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang kepribadiannya, “Mu’adz  adalah seorang hamba yang tunduk kepada Allah dan berpegang teguh kepada agama-Nya. Kami menganggap Mu’adz  serupa dengan Nabi Ibrahim. Mu’adz  senantiasa menyeru manusia untuk mencapai ilmu dan berdzikir kepada Allah. Dia pun menghimbau mereka agar mencari ilmu yang benar lagi bermanfaat, ia berkata, ‘Waspadalah terhadap ketergekincingan orang yang berilmu! Kenalilah kebenaran itu dengan kebenaran pula, karena kebenaran itu mempunyai cahaya’.

     Menurut Mu’adz , ibadah itu hendaklah dilakukan dengan cermat dan jangan berlebihan. Suatu hari salah seorang Muslim meminta kepadanya agar diberi pelajaran, “Apakah anda bersedia mematuhinya bila saya ajarkan?” Tanya Mu’adz .

     “Sungguh, saya sangat berharap akan menaati anda!” ujar orang itu.

     Mu’adz  berkata kepadanya, “Berpuasalah namun jangan lupa berbuka. Lakukanlah shalat dan tidurlah. Berusahalah mencari nafkah dan janganlah berbuat dosa. Janganlah kamu mati kecuali dalam beragama Islam, serta jauhilah dari do’a orang yang teraniaya!

     Menurut Mu’adz , ilmu itu ialah mengenal dan beramal, katanya, “Pelajarilah segala ilmu yang kalian minati, tetapi Allah tidak akan member kalian manfaat dengan ilmu itu sebelum kalian mengamalkannya lebih dulu.

     Baginya iman dan dzikir kepada Allah ialah selalu siaga demi kebesaran-Nya dan pengawasan yang tidak putus-putus terhadap kegiatan jiwa. Al-Aswad bin Hilal berkata, “Kami berjalan bersama Mu’adz , maka ia berkata kepada kami, ‘Marilah kita duduk sebentar untuk renungan keimanan’.

     Mungkin sikap dan pendiriannya itu terdorong oleh semangat jiwa dan pikiran yang tiada mau diam dan selalu bergejolak sesuai dengan pendiriannya yang pernah ia kemukakan kepada Rasulullah , bahwa tiada satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali timbul sangkaan bahwa ia tidak akan mengikutinya lagi dengan langkah berikutnya. Hal itu ialah karena tenggelamnya dalam mengingat-ingat Allah dan kesibukannya dalam meneliti dan mengoreksi dirinya sendiri.

     Sekarang tibalah ajalnya Mu’adz  dipanggil menghadap Allah. Dan dalam sakaratul maut, muncullah dari bawah sadarnya hakikat segala yang bernyawa ini, dan seandainya ia dapat berbicara akan mengalirlah dari lisannya kata-kata yang dapat menyimpulkan urusan dan kehidupannya. Pada detik-detik tersebut, Mu’adz  mengucapkan perkataan yang menyingkapkan dirinya sebagai seorang Mukmin besar.

     Dengan pandangan tajam menatap ke arah langit, Mu’adz  bermunajat kepada Allah Yang Maha Pengasih, dengan ungkapan, “Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mangalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan. Tetapi, hanyalah untuk menutup hawa di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketakwaan.

     Ia lalu mengulurkan tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya kea lam ghaib masih sempat ia mengatakan, “Selamat datang, wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan.


     Nyawa Mu’adz  pun melayang menghadap Allah. Kita semua kepunyaan Allah dan kita kembali kepada-Nya.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf