Suatu ketika, negeri itu menjadi sasaran
orang-orang Romawi yang datang menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk
Shuhaib bin Sinan. Ia dijual oleh saudagar-saudagar budak belian, dan
perkelanaannya yang panjang berakhir di Mekkah, yakni setelah menghabiskan masa
kanak-kanak dan permulaan masa remajanya di negri Romawi, hingga lidah dan
dialeknya telah menjadi lidah dan dialek Romawi.
Majikannya tertarik oleh kecerdasan,
keuletan, dan kejujurannya, hingga Shuhaib dimerdekakannya. Majikannya
memberikan kesempatannya untuk dapat berniaga bersamanya.
Nah, sekarang mari kita dengarkan cerita
rekannya yang bernama Ammar bin Yasir, yang menuturkan peristiwa yang terjadi
suatu hari, “Aku berjumpa dengan Shuhaib
bin Sinan di muka pintu rumah Al-Al-Arqam, yakni ketika Rasulullah sedang
berada di dalamnya.
“hendak
ke mana kamu?” tanyaku kepadanya.
“Kamu
sendiri hendak ke mana?” jawabnya.
“Aku
hendak menjumpai Muhammad untuk mendengarkan apa yang beliau katakana.”
“Aku
juga menginginkan itu.”
Kami pun masuk menemui Rasulullah . Beliau
menerima Islam kepada kami, dan kami menerimanya. Kami tinggal di sana sampai
petang hari dan setelah itu kami meninggalkan tempat itu secara sembunyo
sembunyi.
Dengan demikian, SHuhaib telah tahu jalan
ke rumah Al-Al-Arqam. Artinya, ia telah mengetahui jalan menuju petunjuk dan
cahaya, juga ke arah pengorbanan yang berat dan tebusan yang besar. Jadi,
melewati pintu kayu yang memisah bagian dalam rumah Al-Al-Arqam dan bagian
luarnya, maknanya bukan sekedar melewati ambang pintu itu semata, malainkan
melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan. Yakni, alam lama dengan segala
apa yang diwakilinya baik keagamaan dan akhlak, maupun peraturan yang harus
dilangkahinya menuju alam baru dengan segala aspek dan persoalannya.
Melangkahi ambang pintu rumah Al-Arqam
yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki, pada hakikatnya adalah melangkahi
bahaya besar yang luas. Jadi, menghampiri rintangan itu—maksud kami keberanian
melangkahi ambang pintu itu—berart mendeklarasikan datangnya suatu masa yang
penuh dengan tanggung jawab yang tidak enteng. Apalagi bagi fakir miskin, budak
belian, dan perantau, memasuki rumah Al-Arqam berarti suatu pengorbanan yang
melampaui kemampuan yang lazim dari manusia.
Shahabat kita Shuhaib adalah anak
pendatang atau perantau, sedangkan shahabat yang berjumpa dengannya di ambang
pintu rumah tadi—Amar bin Yasir—adalah seorang miskin. Tetapi, mengapa keduanya
berani menghadapi bahaya, dan mengapa mereka bersiap sedia untuk menemuinya?
Itulah dia panggilan iman yang tidak dapat
dibendung. Dan itulah dia pengaruh kepribadian Muhammad, yang kesan-kesannya
telah mengisi hati banyak orang, baik dengan hidayah maupun kasih sayang.
Itulah dia daya pesona dari barang baru yang bersinar cemerlang, yang telah
memukau akal pikiran yang muak melihat kebasian barang lama, bosan dengan
kesesatan dan kepalsuannya. Di atas semuanya, itulah rahmat dari Allah Ta’ala
yang dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, serta petunjuk-Nya yang
diberikan kepada orang yang kembali dan pasrah kepada-Nya.
Shuhaib telah bergabung dengan kafilah
orang-orang beriman. Bahkan, ia telah membuat tempat yang luas dan tinggi dalam
barisan orang-orang yang teraniaya dan tersiksa! Begitu pula dalam barisan
dermawan dan penanggung uang tebusan.
Sebuah riwayat telah menyebutkan bagaimana
keadaan sebenarnya yang membuktikan rasa tanggung jawabnya yang besar sebagai
seorang Muslim yang telah berbaiat kepada Rasulullah dan bernaung di bawah
panji-panji Islam. Dituturkan dalam riwayat itu:
“Tiada
suatu perjuangan bersenjata yang diterjuni Rasulullah , kecuali aku pasti
menyertainya. Tiada suatu baiat yang dijalaninya, kecuali tentulah aku
menghadirinya. Tiada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya, kaecuali aku
termasuk sebagai anggota rombongannya. Tidak pernah beliau bertempur, baik pada
masa-masa pertama Islam atau pada masa-masa akhir, kecuali ak berada di sebelah
kanan atau di sebelah kirinya. Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan oleh
kaum Muslimin di hadapan mereka, pasti aku akan menyerbu paling depan. Demikian
pula bila ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke
belakang. Aku tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah berada dalam
jangkauan musuh sampai ia kembali menemui Allah.”
Suatu gambaran keimanan yang istimewa dan
kecintaan yang luar biasa. Shuhaib—semoga Allah meridhainya dan meridhai semua
shahabatnya—memang layak mendapatkan keunggulan iman ini, sejak ia menerima
cahaya Ilahi dan menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasulullah . Mulai saat
itu hubungannya dengan dunia dan sesama manusia, bahkan dengan dirinya pribadi
mendapatkan corak baru. Jiwanya telah bertempa menjadi keras dan ulet, zuhud
tidak kenal lelah, hingga dengan bekal tersebut ia berhasil mengatasi segala
macam peristiwa dan menjinakkan bahaya.
Kami telah menuturkan di bagian sebelumnya
bahwa ia selalu menghadapi segala akibat dan risiko dengan keberanian yang luar
biasa. Ia tidak pernah mundur dari segala pertempuran atau pengucilan diri dari
bahaya. Kegemarannya telah dialihkan dari menumpuk keuntungan kepada memikul
tanggung jawab, dan menikmati kehidupan kepada mengarungi bahaya dan mencintai
maut.
Hari-hari perjuangannya yang mulia dan
cintanya yang luhur itu diawali pada saat hijrahnya. Pada hari itu ia
meninggalkan segala emas dan perak, serta kekayaan yang diperolehnya sebagai
hasil perniagaan selama beberapa tahun di Mekkah. Semua kejayaan ini, yakni
yang dimilikinya, dilepaskan dalam sekejap, tanpa berpikir panjang atau mundur
maju.
Ketika Rasulullah hendak berhijrah,
Shuhaib mengetahuinya, dan menurut rencana ia akan menjadi orang ketiga dalam
hijrah tersebut, di samping Rasulullah dan Abu Bakar. Tetapi, orang-orang
Quraish telah mengatur persiapan di malam harinya untuk mencegah hijrah
Rasulullah. Shuhaib terjebak dalam salah satu perangkap mereka, hingga
terhalang untuk hijrah untuk sementara waktu, sedangkan Rasulullah dan
shahabatnya berhasil meloloskan diri atas berkah Allah Ta’ala.
Shuhaib berusaha menolak tuduhan Quraish
dengan jalan bersilat lidah, hingga ketika mereka lengah ia naik ke punggung
untanya, lalu dipacunya hewan itu dengan sekencang-kencangnya menuju padang
pasir yang luas. Tetapi, Quraish mengirim pemburu-pemburu mereka untuk
menyusulnya dan usaha itu hampir berhasil. Saat Shuhaib melihat dan berhadapan
dengan mereka, ia justru mengucapkan, “Wahai
orang-orang Quraish, kalian semua tahu bahwa aku adalah ahli panah yang ulung.
Demi Allah, kalian tidak akan berhasil mendekati diriku, sebelum aku melepaskan
semua anak panah yag berada di dalam kantung ini, dan setelah itu aku akan
menggunakan pedang untuk menebas kalian, sampai senjata di tanganku habis
semua! Nah, majulah ke sini kalau kaian berani. Tetapi, kalau kalian setuju,
saya akan menunjukkan tempat penyimpanan harta bendaku, asal saja kalian
membiarkanku pergi.”
Orang-orang Quraish tertarik oleh tawaran
terakhir itu, dan setuju menerima hartanya sebagai imbalan dirinya. Mereka
berkata, “Saat engkau datang kepada kami
dulu, engkau adalah orang miskin. Namun sekarang, hartamu menjadi banyak di
tengah-tengah kami hingga melimpah ruah. Dan sekarang, engkau akan pergi dengan
membawa jiwa dan harta kekayaanmu?”
Shuhaib akhirnya menunjukkan tempat
disembunyikan hartanya, dan sebagai gantinya mereka membiarkannya pergi.
Orang-orang Quraish pun kembali ke Mekkah.
Sungguh aneh sikap orang-orang Quraish
tersebut, sebab mereka langsung saja mempercayai ucapan Shuhaib tanpa bimbang
atau bersikap waspada, hinnga mereka tidak meminta suatu bukti, bahkan tidak
meminta agar mengucapkan sumpah. Kenyataan ini menunjukkan tingginya kedudukan
Shuhaib di mata mereka, sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya.
Shuhaib melanjutkan perjalanan hijrahnya
dengan perasaan bahagia meski hanya seorang diri, hingga akhirnya berhasil
menyusul Rasulullah di Quba’. Waktu itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi oleh
beberapa orang shahabat, dan tanpa diduga sebelumnya Shuhaib datang dan
mengucapkan salam. Saat Rasulullah melihatnya, beliau berseru dengan gembira, “Sungguh menguntungkan jual beli Abu Yahya…
Betapa menguntungkan jual belinya.” <Sirah
Ibnu Hisyam: I/7477.>. Ketika itulah, Allah menurunkan ayat-Nya yang
mulia:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 207
QS:Al-Baqarah | Ayat: 207
Memang,
Shuhaib telah menjual jiwanya yang beriman itu dengan segala harta kekayaan. Ia
mengumpulkan harta kekayaan itu sepanjang masa mudanya, yakni seluruh usia
mudanya dikerahkan untuk itu dan kini sedikit pun ia tidak merasa dirinya rugi.
Apa artinya harta, emas, perak dan seluruh dunia ini, asal saja imannya tidak
terganggu, hati nuraninya berkuasa dan kemauannya menjadi raja.
Shuhaib
sangaat disayangi oleh Rasulullah . Di samping kesalehan dan ketakwaannya, ia
adalah seorang yang periang dan humoris. Suatu hari Rasulullah sedang melihat
Shuhaib sedang memakan kurma dan salah satu matanya bengkak. Rasulullah pun
bertanya kepadanya sambil tertawa, “Mengapa
engkau memakan kurma, sedangkan sebelah matamu bengkak? Shuhaib menjawab, “Apa salahnya? Aku memakannya dengan mata
yang sebelah lagi.”
Di
samping itu, Shuhaib adalah seorang pemurah dan dermawan. Tunjangannya yang
diperoleh dari Baitul Mal dibelanjakan semuanya di jalan Allah, yakni untuk
membantu orang yang kemalangan dan menolong fakir miskin yang sengsara, demi
memenuhi firman Allah Ta’ala:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
QS:Al-Insaan | Ayat: 8
QS:Al-Insaan | Ayat: 8
Jiwa kedermawanannya yang sangat besar itu
bahkan mengundang peringatan dari Umar, ia berkata kepada Shuhaib, “Aku melihatmu banyak sekali mendermakan
makanan hingga melewati batas.” Shuhaib menjawab, “Itu karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Orang yang
terbaik di antara kalian adalah orang yang suka member makanan’.”
Setelah diketahui bahwa kehidupan Shuhaib
berlimpah ruah dengan keutamaan dan kebesaran, Umar bin Al-Khattab memilihnya
untuk menjadi imam bagi kaum Muslimin dalam shalat mereka. Ini merupakan suatu
keistimewaan yang memenuhi hidupnya dengan keakraban dan keagungan.
Ketika Amirul Mukminin ditikam oleh musuh
sewaktu melakukan shalat subuh bersama kaum Muslimin, ia tidak lupa
menyampaikan pesan dan kata-kata akhirnya kepada para shahabat, “Hendaklah Shuhaib menjadi imam kaum Muslimin
dalam shalat.”
Ketika itu Umar memilih enam orang
shahabat yang diberi tugas untuk mengurus pemilihan Khalifah baru. Dan
biasanya, Khalifah kaum Muslimin menjadi imam dalam shalat-shalat mereka.
Lantas, siapakah yang akan bertindak sebagai imam pada masa transisi antara
wafatnya Amiril Mukminin dan terpilihnya Khalifah baru itu? Umar tentu saja
tidak sembarangan mengambil keputusan, apalagi dalam saat-saat seperti itu,
yakni ketika ruhnya yang suci hendak menghadap Allah. Ia akan berpikir seribu
kali sebelum menjatuhkan oilihannya. Kalau ia telah memutuskan pilihannya,
tentulah tidak ada orang yang lebih beruntung dan memenuhi syarat daripada
orang yang dipilihnya itu.
Umar telah memilih Shuhaib. Ia memilihnya
untuk menjadi Imam bagi kaum Muslimin menunggu terpilihnya Khalifah baru yang
akan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Ketika ia memilihnya, tentu bukan tidak
tahu bahwa lidah Shuhaib adalah lidah asing. Peristiwa ini merupakan
kesempurnaan karunia Allah terhadap hamba-Nya yang saleh, Shuhaib bin Sinan.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar