Kamis, 21 November 2013

Filled Under:

Abdullah bin Umar (Pribadi yang Teguh dan Selalu Dekat Kepada Allah).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
     SaatAbdullah bin Umar  (bahasa Arab: عبد الله بن عمربن الخطاب) telah berusia senja, ia berbicara, “Aku telah berbaiat kepada Rasulullah  dan sampai saat ini, aku tidak pernah merusak atau mengingkari janji itu. Aku tidak pernah berbaiat kepada pengobar fitnah dan tidak pula membangunkan orang Mukmin dari tidurnya.

     Kalimat-kalimat tersebut merupakan rangkuman kehidupan seorang laki-lai saleh yang dikaruniai usia panjang hingga melebihi 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah  dan Islam sejak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar,cdengan harapan mendapatkan tempat dalam deretan para pejuang, seandainya tidak ditolak oleh Rasulullah  karena usianya yang masih terlalu muda.

     Sejak saat itu dan bahkan sebelumnya lagi, ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrah ke Madinah, hubungan anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasulullah  dan Islam telah mulai terjalin.

     Sejak saat itu sampai saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, kita akan mengetahui bahwa ia adalah seorang yang tekun dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Ia tidak pernah bergeser dari pendiriannya, walau seujung rambut, dan tidak pernah menyimpang dari baiat yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diucapkannya.

     Banyak sekali keistimewaan yang bisa diambil dari Abdullah bin Umar . Ilmu, kerendahan hati, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, kedermawanan, kesalehan dan ketekunannya dalam beribadah serta ketangguhannya dalam berpegang kepada teladan yang diberikan oleh Rasulullah ; semua sifat dan keutamaan ini turut berperan dalam menempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar.

     Abdullah  belajar banyak hal tentang kebaikan dari ayahanda, Umar bin Al-Khattab . Bersama ayahnya ia belajar dari Rasulullah  tentang semua macam kebaikan dan keagungan. Seperti ayahnya, ia telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah  merupakan suatu hal yang sangat menakjubkan.

     Abdullah  selalu memperhatikan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah  lalu menirunya secara cermat dan teliti. Contohnya, Rasulullah  pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar  pun melakukan hal yang sama di tempat itu.

     Di tempat lain, Rasulullah  pernah berdo’a sambil berdiri, maka Ibnu Umar  pun berdo’a di tempat itu sambil berdiri. Ketika di tempat lain Rasulullah  berdo’a sambil duduk, Ibnu Umar  pun berdo’a di sana sambil duduk. Saat di suatu lokasi Rasulullah  turun dari punggung untanya dan melakukan shalat dua rakaat, Ibnu Umar  pun tidak mau ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia lewat di daerah dan tempat itu.

     Bahkan, ia tidak lupa ketika unta tunggangan Rasulullah  berputar dua kali di suatu tempat di Mekkah sebelum beliau turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua rakaat, meski barang kali unta itu berputar karena mencari tempat yang cocok baginya untuk menderum. Nah, ketika Abdullah bin Umar  sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian menderumkan untanya, dan setelah itu ia shalat dua rakaat, sehingga persis dengan perbuatan Rasulullah  yang telah disaksikannya.

     Kesetiannya yang sangat tulus dalam mengikuti jejak Rasulullah  ini telah mengundang pujian dari Ummul Mukminin Aisyah, sehinnga ia mengatakan, “Tidak seorang pun yang mengikuti jejak langkah Rasulullah  di tempat-tempat persinggahan beliau sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar .

     Abdullah  telah memanfaatkan usianya yang panjang dan penuh berkah itu untuk membuktikan kesetiaannya yang mendalam terhadap Rasulullah , hingga suatu masa kaum Muslimin yang saleh berdo’a, “Ya Allah, biarkanlah Ibnu Umar  tetap hidup selama engkau memberikan hidup bagiku, agar aku dapat mengikuti jejaknya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain dia.

     Karena kegemarannya yang kuat tidak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah , Ibnu Umar  bersikap sangat hati-hati dalam penyampaian hadits dari Rasulullah . Dia tidak akan menyampaikan suatu hadits darinya, kecuali ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah .

     Orang-orang yang semasa dengannya mengatakan, “Tak seorang pun di antara shahabat Rasulullah  yang lebih berhati-hati agar tidak tercecer atau dikurangi sehuruf pun dalam menyampaikan hadits Rasulullah  sebagaimana Ibnu Umar .” Pun demikian dalam berfatwa, ia sangat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri.

     Suatu hari, seseorang datang kepadanya untuk meminta fatwa. Setelah orang itu mengajukan pertanyaan, Ibnu Umar  menjawab, “Saya tidak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu.” Orang itu pun pergi dan baru beberapa langkah ia meninggalkannya, Ibnu Umar  menggosok-gosokkan telapak tangannya sebagai ungkapan suka cita dan berkata dalam hatinya, “Ibnu Umar  ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya maka ia menjawab tidak tahu.

     Dia tidak ingin berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut berbuat kesalahan. Walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran agama besar, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang berijtihad salah dan dua pahala bagi yang berijtihad benar, sikap kehati-hatiannya telah menyebabkannya tidak berani berfatwa.

     Dia juga menghindarkan diri dari jabatan hakim, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, di samping menjamin pemasukan keuangan, pengaruh, dan kedudukan mulia. Namun, apa perlunya kekayaan, pengaruh, dan kemuliaan it bagi Ibnu Umar ?

     Suatu hari, Khalifah Utsman  memanggilnya dan meminta kesediaannya memegang jabatan hakim tersebut, tetapi ia menolaknya. Utsman  tetap mendesaknya, tetapi Ibnu Umar  juga tetap mempertahankan penolakannya itu.

     “Apakah engkau tidak menaati perintahku?” Tanya Utsman .

     Ibnu Umar  menjawab, “Sama sekali tidak, hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam: Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua, hakim yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Ketiga, hakim yang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula mendapat pahala. Atas nama Allah, saya memohon kepadamu agar dibebaskan dari jabatan itu.

     Khalifah Utsman  menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu kepada siapa pun. Sebab, Utsman  menyadari bagaimana kedudukan Ibnu Umar  di hati masyarakat. Bila orang-orang yang bertakwa lagi saleh mengetahui keberatan Ibnu Umar  menerima jabatan tersebut, mereka pasti akan mengikuti langkahnya, sehingga Utsman  tidak akan menemukan seorang bertakwa yang bersedia menjadi hakim.

     Pendirian Abdullah bin Umar  ini  mungkin terlihat sebagai sikap yang kurang positif. Tetapi, sebenarnya tidak demikian. Ibnu Umar  tidak akan menolak jabatan tersebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki jabatan itu, karena masih banyak orang saleh dan wara’ di antara shahabat Rasulullah , yang sebelumnya memang sudah memiliki pengalaman kerja cukup lama di bidang kehakiman dan fatwa.

     Penolakan Ibnu Umar  ini tentu saja tidak akan menyebabkan lowongan kursi jabatan tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah tertanam dalam kepribadian Ibnu Umar  untuk selalu membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan peribadatannya kepada Allah.

     Di sisi lain, kehidupan Islam pada waktu itu bias juga menjadi factor penolakan itu. Pada masa itu, keduniaan telah terbuka lebar bagi kaum Muslimin. Harta kekayaan yang melimpah ruah, pangkat dan jabatan terbuka luas. Godaan harta dan kedudukan itu telah mengikat dan membius hati sebagian orang beriman, sehingga sebagian shahabat Rasulullah —di antaranya Ibnu Umar —bangkit mengibarkan bendera perlawanan terhadap godaan itu. Wujudnya ialah dengan menjadikan diri mereka sebagai teladan dalam kezuhudan dan kesalehan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya.

     Bias dikatakan bahwa Ibnu Umar  adalah “shahabat malam” yang selalu mengisinya dengan waktu shalat, dan “sekutu waktu sahur” yang memanfaatkan waktu itu untuk menangis dan memohon ampunan. Kala remaja, ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah  ditakwilkan bahwa qiyamul lail nantinya akan menjadi tumpuan cita-cita Ibnu Umar , tempat bersemayam kesenangan dan kebahagiaannya. Sekarang, marilah kita dengar cerita tentang mimpinya itu:

     “Pada masa Rasulullah , aku pernah bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang aku ingini di surge maka beludru itu menerbangkan aku ke sana. Aku melihat kedua orang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi, seorang malaikat menghadang mereka, dan berkata, ‘Jangan ganggu!’ kedua orang itu pun membiarkan jalan bagiku. Hafshah, saudariku, menceritakan mimpi itu ke Rasulullah . Beliau pun bersabda, ‘Abdullah  akan menjadi lelaki utama bila ia rajin shalat malam dan banyak melakukannya!’

     Sejak itu sampai pulang ke Rahmatullah, Ibnu Umar  tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik sedang mukim maupun musafir. Ia selalu giat menunaikan shalat, mambaca Al-Qur’an, dan banyak berdzikir menyebut nama Allah.

     Satu hal yang sangat menyerupai ayahnya ialah air mata bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Qur’an. Ubaid bin Umar  menuturkan, “Suatu hari saya membacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar :
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).
QS:An-Nisaa | Ayat: 41
يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّىٰ بِهِمُ الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا
Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun.
QS:An-Nisaa | Ayat: 42

     Seketika Ibnu Umar  menangis, hingga janggutnya basah oleh air mata.
     Suatu hari ketika ia duduk di antara shahabat-shahabatnya, ia membaca:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 1

الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 2

وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 3

أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 4

لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
pada suatu hari yang besar,
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 5

يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 6

     Dia terus mengulang kalimat-kalimat:

يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”
     Sedangkan air matanya mengucur bagai hujan. Puncaknya, ia jatuh pingsan disebabkan paerasaan sedih dan tangis.

     Sikap dermawan, zuhud, dan wara’ berkolaborasi pada dirinya dalam suatu paduan seni yang agung membentuk corak kepribadian mengagumkan dari manusia besar ini. Dia banyak memberi karena ia seorang dermawan. Abdullah  hanya memberikan barang yang halal karena ia seorang yang wara’ atau saleh. Ia tidak peduli, andaikata kemurahannya itu akan menyebabkan dirinya miskin, sebab dirinya seorang berhati zuhud.

     Ibnu Umar  termasuk orang yang hidup makmur dan berpenghasilan besar. Ia adalah seorang pedagang yang jujur dan berhasil dalam kehidupannya. Selain itu, gajinya dari Baitul Mal tidak sedikit. Hanya saja, tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk kehidupan pribadi, tetapi dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada para fakir, miskin, dan pengemis.

     Ayyub bin Wail Ar-Rasibi pernah menceritakan kepada kita salah satu kedermawaannya. Suatu hari Ibnu Umar  menerima uang sebanyak 4 ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wail  melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya, namun tidak dibayar secara kontan.

     Didorong oleh rasa penasaran, Ibnu Wail menjumpai keluarganya, lalu bertanya, “Bukankah kemarin Abu Abdirrahman—maksudnya adalah Ibnu Umar —menerima kiriman 4 ribu dirham dan sehelai baju dingin?”

     “Benar.” Jawab mereka.

     Ibnu Wail berkata, “Saya lihat, ia tadi ke pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya, dan ia tidak punya uang untuk membayarnya.

     Mereka menjawab, “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Setelah itu ia mengambil baju dingin itu dan menyampirkan di pundaknya, lalu pergi dan ketika kembali, ia menjawab bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin.

     Mendebgar jawaban itu, Ibnu Waill langsung pergi sambil menepukkan telapak tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar.

     Di sana ia naik ke suatu tempat yang tinggi dan berteriak kepada para pedagang di pasar, “Wahai kaum pedagang! Apa yang kalian terhadap dunia? Lihatlah Ibnu Umar , yang mendapatkan kiriman 4 ribu dirham lalu membagi-bagikannya, sehinnga esok pagi ia membelikan makanan untuk hewan tunggangannya secara utang!

     Begitulah bila orang yang gurunya Muhammad , dan ayahnya Umar ; luar biasa dan mampu malakukan hal-hal istimewa. Kedermawanan, kezuhudan, dan kewara’an merupakan tiga unsur yang menyatu pada Abdullah bin Umar , yang membuktikan secara nyata bahwa dia adalah seorang pengikut terpercaya dan seorang putra teladan.

     Bagi orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah , cukuplah sebagai bukti bahwa Ibnu Umar  menghentikan tunggangannya persis di tempat Rasulullah  menghentikan unta beliau, dan ia berkata, “Semoga setiap jejak akan berpijak di atas jejak sebelumnya.

     Begitu pula dalam persoalan bakti, hormat, dan kagum kepada orang tua, Ibnu Umar  mencapai suatu taraf yang , mengharuskan agar kepribadian Umar itu diteladani oleh pihak musuh, apalagi oleh kaum kerabat, dan putra-putra kandungnya sendiri.

     Bila dipikir, memang tidak masuk akal bila orang yang mengaku sebagai pengikut Rasulllah  ini dan ayah seperti Umar  akan menjadi budak harta. Karena itulah, meski harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah, itu semuanya hanya sekedar lewat, atau mampir ke rumahnya saja.

     Kedermawanan itu baginya bukanlah alat untuk mencari nama, atau agar dirinya menjadi buah bibir dan sanjungan orang. Karena itulah, pemberiannya hanya ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan.

     Abdullah  jarang sekali makan seorang diri. Dia pasti disertai oleh anak-anak yatim dan orang miskin. Sebaliknya, ia sering kali memarahi dan menyalahkan sebagian putra-putranya, ketika mereka menyediakan jemuan untuk orang-orang yang banyak harta dan tidak mengundang fakir miskin. Ia memberikan teguran.

Kalian mengundang orang-orang yang dalam keadaan kekenyangan, sementara orang-orang yang kelaparan kalian biarkan!

     Kaum fakir miskin sangat mengenal siapa Ibnu Umar , mengetahui sifat santunnya, dan merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Mereka sering duduk di jalan yang dilalui oleh Ibnu Umar  saat pulang, dengan harapan terlihat olehnya lalu diajak ke rumahnya. Mereka berkumpul di sekelilingnya tidak ubah bagai kawanan lebah yang berhimpun mengerumuni bunga untuk menghisap sari madunya.

     Bagi Ibnu Umar  harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau majikan. Harta adalah alat untuk mencukupi kebutuhan hidaup dan bukan untuk bermewah-mewahan. Hartanya bukanlah miliknya semata, melainkan hak fakir miskin yang telah ditentukan di dalamnya. Jadi, setiap hamba punya hak yang sama dan tidak ada hak istimewa karena kedudukan seseorang.

     Kedermawanan yang tak terbatas ini disokong oleh sikap zuhudnya. Ibnu Umar  tidak hendak membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia. Harapan dari dunia itu hanyalah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup tubuhnya dan makanan sekedar penunjang hidup.

     Salah satu shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju yang halus dan indah kepadanya, dan berkata, “Saya bawa baju ini dari Khurasan untukmu. Alangkah senangnya hatiku bila aku dapat melihatmu menanggalkan pakaianmu yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baj baru yang indah ini!

     “Biarkanlah kulihat dulu,” jawab Ibnu Umar .

     “Apakah ini sutera?” Tanya Ibnu Umar  sembari meraba baju itu.

     “Bukan, itu hanya katun,” jawab shahabatnya tersebut.

     Ibnu Umar  mengusap-usap baju itu sebentar, kemudian menyerahkannya kembali kepada orang tersebut dan berkata, “Tidak, aku khawatir terhadap diriku. Aku takut dia akan menjadikan diriku sombong dan tampak mewah, sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri.

     Pada kesempatan lain, seorang shahabat memberinya sebuah kotak yang penuh dengan sesuatu.

     “Apa ini isinya?” Tanya Ibnu Umar .

     “Obat istimewa, aku bawa untukmu dari Iraq!” jawab shahabatnya.

     “Obat untuk penyakit apa?

     “Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan.” Ibnu Umar  tersenyum, dan berkata kepada shahabat itu, “Obat penghancur makanan? Selama 40 tahun ini aku tidak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang.

     Seseorang yang tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun tentu maksudnya bukan hendak menjauhi rasa kenyang itu semata, melainkan karena dorongan sifat zuhud dan wara’nya, di samping bagian dari upayanya untuk mengikuti jejak langkah Rasulullah  dan ayahandanya. Ia sangat khawatir bila kelak akan dihadapkan pada hari kiamat dengan pertanyaan, “Telah engkau habiskan segala kenikmatanmu waktu kamu hidup di dunia, yang kamu bersenang-senang dengannya!

     Ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu atau seorang musafir yang akan segera berlalu. Ia pernah bercerita tentang dirinya, “Aku tidak pernah membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma sejak wafatnya Rasulullah .

     Maimun bin Mahran berkata, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar  dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang terdapat di sana, maka saya mendapati harganya tidak sampai 100 dirham.

     Hal ini terjadi bukanlah karena Ibnu Umar  miskin, sebab sejatinya ia orang kaya, dan juga bukan orang yang pelit terhadap diri sendiri, karena sebenarnya ia adalah seorang yang pemurah dan dermawan! Yang demikian karena ia seorang yang zuhud yang tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah, dan tidak senang menyimpang dari kebenaran serta kesalehan dalam menempuh hidup ini.

     Ibnu Umar  dikaruniai umur panjang dan masih hidup pada Dinasti Umayyah, di mana harta melimpah ruah, tanah tersebar luas, dan kemewahan terbentang di kebanyakan rumah kaum Muslimin, apalagi di istana. Meski demikian, “”gunung yang mulia ini” (Ibnu Umar ) tetap tegak dan tidak tergoyahkan, tidak hendak beranjak dari tempatnya, dan tidak hendak bergeser dari sifat zuhud dan wara’nya.

     Jika seseorang menyebut persoalan kebahagiaan dan kesenangan dunia yang dihindarinya itu, ia berkata, “Aku dan shahabatku telah sepakat atas suatu perkara, dan aku khawatir jika menyalahi mereka, dan tak akan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya.

     Kemudian, ia menuturkan kepada orang-orang bahwa dia meninggalkan dunia itu bukanlah disebabkan oleh ketidakmampuan. Kemudian ia menadahkan kedua tangannya ke langit, sembari berkata, “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraish memperebutkan dunia ini.

     Memang benar, seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan merebut dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi, ia tidak perlu berebut karena dunia datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya tariknya.

     Apakah ada yang lebih menarik daripada jabatan Khalifah? Jabatan ini ditawarkan berkali-kali kepada Ibnu Umar , tetapi ia tetap menolak. Bahkan, ia pernah diancam jika tidak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin keras.

     Al-Hasan menuturkan, “Tatkala Utsman bin Affan  terbunuh, kaum Muslimin berkata kepada Abdullah bin Umar , ‘Engkau adalah seorang pemimpin. Keluarlah, agar kami meminta orang-orang berbaiat kepadamu!’

     Ibnu Umar  menjawab, ‘Demi Allah, bila mungkin, jangan ada walau setetes darah pun yang tertumpah disebabkan diriku!’

     Mereka berkata lagi, ‘Engkau harus keluar! Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu!’

     Namun, jawaban Ibnu Umar  tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah, mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa.”

     Setelah waktu berjalan sekian tahun dan fitnah semakin menjadi-jadi, Ibnu Umar  tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar sedia menerima jabatan Khalifah dan mereka akan berbaiat kepadanya, tetapi ia selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya permasalahan yang ditujukan kepada Ibnu Umar . Tetapi, ia mempunyai alasan yang logis.

     Telah dimaklumi bahwa Utsman  terbunuh, keadaan bertambah buruk dan belarut-larut, sehingga bencana dan malapetaka pun tidak terelakkan. Walau pun dia tidak mempunyai ambisi untuk menempati jabatan Khalifah tersebut, ia sejatinya bersedia bertanggung jawab dan menaggung resikonya, dengan syarat ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika baiat itu dipaksakan oleh sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, inilah yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar , dan ia menolak jabatan Khalifah yang dicapai dengan cara seperti itu.

     Ketika itu syarat tersebut tidak mungkin terwujud. Meski sebesar apa pun kebaikan Ibnu Umar  dan kekompakkan kaum Muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, luasnya daerah san letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang berkecamuk di antara kaum Muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah menjadi beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata. Suasana waktu itu tidak memungkinkan tercapainya consensus atau kesepakatan yang diharapkan oleh Ibnu Umar .

     Suatu hari, seseorang mendatanginya dan berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia selain dirimu!

     “Mengapa?” Tanya Ibnu Umar , “Demi Allah, saya tidak pernah menumpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-belah kesatuan mereka!

     Orang itu berkata lagi, “Seandainya engkau bersedia (menjadi Khalifah), tidak akan seorang pun yang menentang.

     Jawab Ibnu Umar , “Saya tidak ingin jabatan itu menjadi milikku, sementara masih ada orang yang mengatakan setuju, sedangkan orang lain mengatakan tidak.

     Ketika peristiwa telah berkembang sedemikian rupa dan kedudukan Mu’awiyah  telah kokoh, lalu beralih ke putranya, Yazid, Ibnu Umar  tetap menjadi tumpuan harapan manusia untuk menempati jabatan Khalifah. Bahkan, ketika Mu’awiyah II putra Yazid menduduki jabatan Khalifah lalu hanya selang beberapa hari ia meninggalkannya karena tidak menyukainya, harapan terhadap Ibnu Umar  tersebut tidak pernah surut. Padahal, pada saat itu Ibnu Umar  telah menjadi seorang yang berusia lanjut.

     Marwan datang kepadanya dan berkata, “Ulurkanlah tangan anda agar kami berbaiat! Anda adalah pemimpin Islam dan putra pemimpin Islam!

     Ibnu Umar  menjawab, Apa yang akan kita lakukan terhadap orang dari wilayah timur (masyriq)?

     “Kita gempur mereka sampai mau berbaiat” jawab Marwan.

     “Demi Allah, saya tidak sudi dalam umur saya yang sudah 70 tahun ini ada seorang manusia yang terbunuh karena saya.

     Marwan akhirnya pergi sambil menyenandungkan syair:

Aku melihat hingga api fitnah berkobar hingga puncaknya

Sepeninggal Abu Laila <Mu’awiyah bin Yazid>, kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa

     Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar  tidak ingin ikut campur dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali  dan pendukung Mu’awiyah . Dia mengambil kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:

Siapa yang berkata,”Marilah shalat” akan aku penuhi.

Dan siapa yang berkata, “Marilah menuju kebahagiaan”, akan aku turuti pula.

Tetapi siapa yang mengatakan, “Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampasnya!” maka aku akan katakan TIDAK.

     Meski Ibnu Umar  yang sudah mengambil sikap menjauh dari urusan kekhalifahan itu dan menunjukkan ketidakberpihakan, ancaman kebathilan tetap saja tidak luput darinya. Telah lama sekali Mu’awiyah  yang ketika itu berada di puncak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan membingungkannya, bahkan Mu’awiyah  mengancam akan membunuhnya <Tuduhan yang dikemukan Khalid di sini sangat serius, karena terkait kehormatan seorang shahabat Nabi, disamping tidak diketahui dasarnya—edt.>. padahal, Ibnu Umaar selalu bersemboyan, “Seandainya antara diriku dan seseorang ada hubungan, walau hanya sebesar rambut, itu tidak akan putus.

     Suatu hari, Al-Hajjaj tampil berpidato, “Ibnu Zubair  telah menyimpangkan kitabullah!

     Ibnu Umar  berteriak menentangnya, “Bohong, kamu dusta!

     Al-Hajjaj yang selama ini telah ditakuti oleh siapa pun juga merasa terpukul mendapatkan serangan tiba-tiba. Tetapi, ia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya akan memberikan balasan yang seburuk-buruknya.

     Ibnu Umar  mengacungkan tangannya ke muka Al-Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang semuanya merasa takjub, ia menjawab, “Jika ancamanmu itu kamu laksanakan, sungguh itu tidak aneh karena engkau adalah seorang dictator yang biadab!” tetapi, meski sekeras dan sebesar apa pun keberanian Ibnu Umar , sampai akhir hayat ia selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan.

     Abu Al-‘Aliyah Al-Bara’  berkata, “Suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar  tanpa diketahui olehnya. Saya dengar ia berbicara kepada dirinya, ‘Mereka meletakkan pedang-pedang di atas pundak-pundak orang lain, mereka saling membunuh lalu berkata, ‘Wahai Abdullah Bin Umar , ulurkanlah bantuanmu.’

     Dia sangat menyesal dan berduka melihat darah kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Seandainya ia maampu menghentikan peperangan dan menjaga darah agar tidak tertumpah, ia pasti melakukannya. Tetapi, peristiwa yang terjadi di luar kemampuannya, sehingga ia lebih memilih untuk menjauhinya.

     Hati kecilnya sejatinya berpihak kepada Ali , bahkan tampak pada Ibnu Umar  yakin Ali  berada di pihak yang benar. Terbukti, pada akhir hayatnya, diriwayatkan bahwa ia berkata, ‘Tiada sesuatu pun yang aku sesali karena tidak ku peroleh di dunia ini, kecuali satu hal; aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali  saat memerangi golongan yang melampaui batas!’.”

     Penolakannya berperang di pihak Ali , yang sebenarnya mempertahankan kebenaran dan berada di pihak yang benar, dilakukannya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri, melainkan karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu, serta menghindari peperangan yang terjadi bukan antara Muslim dan musyrik, melainkan antara sesama Muslim, yang saling menerkam saudaranya.

     Hal itu dijelaskan secara gambling ketika Nafi’ bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman, anda adalah putra Umar  dan shahabat Rasulullah . Anda lebih tahu dalam hal ini, tetapi apa yang menghalangi anda untuk bertindak?—maksudnya membela Ali 

     Ibnu Umar  menjawabnya dengan ungkapan, “Alasannya, karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim!
Allah berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 193.

     Kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama hanya untuk Allah semata. Tetapi, sekarang, apa tujuan kita berperang?

     Aku telah memulai berperang sejak berhala-berhala masih memenuhi Al-Masjid Al-Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari Tanah Arab. Sekarang, apakan aku akan memerangi orang yang mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH?

     Itulah logika, argument, dan keyakinan Ibnu Umar . Jadi, ia menghindari peperangan dan tidak ingin terlibat dalam hal itu, bukanlah karena takut atau hal-hal negative lainnya, melainkan tidak menyetujui perang saudara antara sesama orang beriman, dan menentang tindakan seorang Muslim yang menghunus pedang terhadap Muslim lainnya.

     Ibnu Umar  dikaruniai usia lanjut dan mengalami saat pintu-pintu keduniaan terbuka lebar bagi kaum Muslimin. Harta melimpah ruah, jabatan beraneka ragam, dan angan-angan manusia melambung tinggi. Namun, kekuatan psikologisnya yang luar biasa mampu mengubah racun pada zamannya.

     Kondisi zaman itu memang penuh dengan segala macam keinginan, fitnah dan harta benda, bagi dirinya justru diubah menjadi zaman yang diliputi oleh kezuhudan dan kesalehan. Dia menjalani masa itu sebagai orang yang tekun beribadah dan selalu dekat dengan Sang Pencipta, dengan penuh keyakinan. Kehidupannya diisi sepenuhnya dengan kegiatan tersebut. Karakternya yang agung, yang telah dibentuk oleh Islam pada masa-masanya yang gemilang dan tinggi menjulang, tidak tergoyahkan sedikit pun.

     Corak kehidupan mengalami perubahan bersamaan dengan awal masa kekuasaan Dinasti Umayyah, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari perubahan tersebut. Masa itu bias dikatakan sebagai masa kelonggaran dalam segala hal; kelonggaran yang bukan hanya bisa menuruti semua keinginan pemerintah, melainkan juga keinginan-keinginan pribadi dan golongan. Di tengah-tengah badai godaan dunia dan pasukan masa yang penuh dengan keluasan, kekayaan, dan kemegahannya, Ibnu Umar  tetap bertahan dengan segala keutamaannya, tidak menghiraukan semua itu, dan tetap melanjutkan pengembangan jiwanya yang besar.

     Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya seperti yang diharapkannya, hingga orang-orang yang hidup semasa dengannya melukiskannya dengan ungkapan, “Ibnu Umar  telah meninggal dunia, dan dalam hal keutamaan ia tidak ubahnya seperti Umar .” Bahkan, ketika menyaksikan sifat dan akhlaknya yang mengagumkan itu, mereka membandingkannya dengan Umar , yaitu ayahnya yang berpribadi besar. Mereka berkata, “Umar  hidup pada masa yang waktu itu banyak tokoh yang menjadi saingannya, sedangkan Ibnu Umar  hidup pada masa yang waktu itu tidak ditemui siapa yang menandinginya.

     Perbandingan itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dimaafkan terhadap orang seperti Ibnu Umar . Adapun Umar , tidak seorang pun dapat disejajarkan dengannya, tidak mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum manapun juga.

     Pada tahun 73 H, ketika sang surya telah condong ke barat hendak memasuki peraduannya, sebuah kapal keabadian telah mengangkat sauh dan mulai berlayar ke alam lain dan Ar-Rafiq Al-A’la <Istilah ini, jika diterjemahkan, menyesuaikan konteksnya. Biasanya dimaksudkan untuk kekasih tertinggi, surga, atau Allah—edt.>, membawa sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di Mekkah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab . Adapun tokoh dari kalangan shahabat yang terakhir wafat adalah Anas bin Malik yang meninggal di Bashrah pada tahun 91 atau 93 H.

Selamat jalan Ibnu Umar 

Semoga Allah merahmatimu ya Ibnu Umar 

Perubahan zaman tak mempengaruhi sifatmu yang zuhud dan saleh.





▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf