بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Kalimat-kalimat tersebut
merupakan rangkuman kehidupan seorang laki-lai saleh yang dikaruniai usia
panjang hingga melebihi 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah dan Islam sejak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya
dalam Perang Badar,cdengan harapan mendapatkan tempat dalam deretan para
pejuang, seandainya tidak ditolak oleh Rasulullah karena usianya yang masih
terlalu muda.
Sejak saat itu dan bahkan
sebelumnya lagi, ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrah ke Madinah,
hubungan anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasulullah dan Islam
telah mulai terjalin.
Sejak saat itu sampai saat ia
menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, kita akan mengetahui
bahwa ia adalah seorang yang tekun dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Ia
tidak pernah bergeser dari pendiriannya, walau seujung rambut, dan tidak pernah
menyimpang dari baiat yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah
diucapkannya.
Banyak sekali keistimewaan yang
bisa diambil dari Abdullah bin Umar . Ilmu, kerendahan hati, kebulatan tekad dan
keteguhan pendirian, kedermawanan, kesalehan dan ketekunannya dalam beribadah
serta ketangguhannya dalam berpegang kepada teladan yang diberikan oleh
Rasulullah ; semua sifat dan keutamaan ini turut berperan dalam menempa
kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar.
Abdullah belajar banyak hal
tentang kebaikan dari ayahanda, Umar bin Al-Khattab . Bersama ayahnya ia belajar
dari Rasulullah tentang semua macam kebaikan dan keagungan. Seperti ayahnya, ia
telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena
itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah merupakan suatu hal yang
sangat menakjubkan.
Abdullah selalu memperhatikan
apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah lalu menirunya secara cermat dan
teliti. Contohnya, Rasulullah pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka
Ibnu Umar pun melakukan hal yang sama di tempat itu.
Di tempat lain, Rasulullah pernah berdo’a sambil berdiri, maka Ibnu Umar pun berdo’a di tempat itu sambil
berdiri. Ketika di tempat lain Rasulullah berdo’a sambil duduk, Ibnu Umar pun
berdo’a di sana sambil duduk. Saat di suatu lokasi Rasulullah turun dari
punggung untanya dan melakukan shalat dua rakaat, Ibnu Umar pun tidak mau
ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia lewat di daerah dan
tempat itu.
Bahkan, ia tidak lupa ketika
unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu tempat di Mekkah sebelum
beliau turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua rakaat, meski barang kali
unta itu berputar karena mencari tempat yang cocok baginya untuk menderum. Nah,
ketika Abdullah bin Umar sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya
berputar dua kali kemudian menderumkan untanya, dan setelah itu ia shalat dua
rakaat, sehingga persis dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksikannya.
Kesetiannya yang sangat tulus
dalam mengikuti jejak Rasulullah ini telah mengundang pujian dari Ummul
Mukminin Aisyah, sehinnga ia mengatakan, “Tidak
seorang pun yang mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat
persinggahan beliau sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar .”
Abdullah telah memanfaatkan
usianya yang panjang dan penuh berkah itu untuk membuktikan kesetiaannya yang
mendalam terhadap Rasulullah , hingga suatu masa kaum Muslimin yang saleh
berdo’a, “Ya Allah, biarkanlah Ibnu Umar tetap hidup selama engkau memberikan hidup bagiku, agar aku dapat mengikuti
jejaknya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber
pertama selain dia.”
Karena kegemarannya yang kuat
tidak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah , Ibnu
Umar bersikap sangat hati-hati dalam penyampaian hadits dari Rasulullah . Dia
tidak akan menyampaikan suatu hadits darinya, kecuali ia ingat seluruh kata-kata
Rasulullah .
Orang-orang yang semasa
dengannya mengatakan, “Tak seorang pun di
antara shahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak tercecer atau
dikurangi sehuruf pun dalam menyampaikan hadits Rasulullah sebagaimana Ibnu
Umar .” Pun demikian dalam berfatwa, ia sangat berhati-hati dan lebih suka
menjaga diri.
Suatu hari, seseorang datang
kepadanya untuk meminta fatwa. Setelah orang itu mengajukan pertanyaan, Ibnu
Umar menjawab, “Saya tidak tahu tentang
masalah yang anda tanyakan itu.” Orang itu pun pergi dan baru beberapa
langkah ia meninggalkannya, Ibnu Umar menggosok-gosokkan telapak tangannya
sebagai ungkapan suka cita dan berkata dalam hatinya, “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya maka ia
menjawab tidak tahu.”
Dia tidak ingin berijtihad
untuk memberikan fatwa, karena takut berbuat kesalahan. Walaupun pola hidupnya
mengikuti ajaran agama besar, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang
yang berijtihad salah dan dua pahala bagi yang berijtihad benar, sikap
kehati-hatiannya telah menyebabkannya tidak berani berfatwa.
Dia juga menghindarkan diri
dari jabatan hakim, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara
jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, di samping menjamin pemasukan keuangan,
pengaruh, dan kedudukan mulia. Namun, apa perlunya kekayaan, pengaruh, dan
kemuliaan it bagi Ibnu Umar ?
Suatu hari, Khalifah Utsman memanggilnya dan meminta kesediaannya memegang jabatan hakim tersebut, tetapi
ia menolaknya. Utsman tetap mendesaknya, tetapi Ibnu Umar juga tetap
mempertahankan penolakannya itu.
“Apakah engkau tidak menaati perintahku?” Tanya Utsman .
Ibnu Umar menjawab, “Sama sekali tidak, hanya saya dengar para
hakim itu ada tiga macam: Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia
dalam neraka. Kedua, hakim yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam
neraka. Ketiga, hakim yang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka ia dalam
keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula mendapat pahala. Atas nama
Allah, saya memohon kepadamu agar dibebaskan dari jabatan itu.”
Khalifah Utsman menerima
keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu
kepada siapa pun. Sebab, Utsman menyadari bagaimana kedudukan Ibnu Umar di hati
masyarakat. Bila orang-orang yang bertakwa lagi saleh mengetahui keberatan Ibnu
Umar menerima jabatan tersebut, mereka pasti akan mengikuti langkahnya,
sehingga Utsman tidak akan menemukan seorang bertakwa yang bersedia menjadi
hakim.
Pendirian Abdullah bin Umar ini mungkin terlihat sebagai sikap yang
kurang positif. Tetapi, sebenarnya tidak demikian. Ibnu Umar tidak akan menolak
jabatan tersebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki
jabatan itu, karena masih banyak orang saleh dan wara’ di antara shahabat
Rasulullah , yang sebelumnya memang sudah memiliki pengalaman kerja cukup lama
di bidang kehakiman dan fatwa.
Penolakan Ibnu Umar ini tentu
saja tidak akan menyebabkan lowongan kursi jabatan tersebut atau
mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah
tertanam dalam kepribadian Ibnu Umar untuk selalu membina dan meningkatkan diri
agar lebih sempurna ketaatan dan peribadatannya kepada Allah.
Di sisi lain, kehidupan Islam
pada waktu itu bias juga menjadi factor penolakan itu. Pada masa itu, keduniaan
telah terbuka lebar bagi kaum Muslimin. Harta kekayaan yang melimpah ruah,
pangkat dan jabatan terbuka luas. Godaan harta dan kedudukan itu telah mengikat
dan membius hati sebagian orang beriman, sehingga sebagian shahabat Rasulullah —di
antaranya Ibnu Umar —bangkit mengibarkan bendera perlawanan terhadap godaan itu.
Wujudnya ialah dengan menjadikan diri mereka sebagai teladan dalam kezuhudan
dan kesalehan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan
godaannya.
Bias dikatakan bahwa Ibnu Umar adalah “shahabat malam” yang selalu
mengisinya dengan waktu shalat, dan “sekutu
waktu sahur” yang memanfaatkan waktu itu untuk menangis dan memohon
ampunan. Kala remaja, ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah ditakwilkan bahwa
qiyamul lail nantinya akan menjadi tumpuan cita-cita Ibnu Umar , tempat
bersemayam kesenangan dan kebahagiaannya. Sekarang, marilah kita dengar cerita
tentang mimpinya itu:
“Pada masa Rasulullah , aku pernah bermimpi seolah-olah di tanganku ada
selembar kain beludru. Tempat mana saja yang aku ingini di surge maka beludru
itu menerbangkan aku ke sana. Aku melihat kedua orang mendatangiku dan ingin
membawaku ke neraka. Tetapi, seorang malaikat menghadang mereka, dan berkata,
‘Jangan ganggu!’ kedua orang itu pun membiarkan jalan bagiku. Hafshah,
saudariku, menceritakan mimpi itu ke Rasulullah . Beliau pun bersabda, ‘Abdullah akan menjadi lelaki utama bila ia rajin shalat malam dan banyak melakukannya!’”
Sejak itu sampai pulang ke
Rahmatullah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik sedang
mukim maupun musafir. Ia selalu giat menunaikan shalat, mambaca Al-Qur’an, dan
banyak berdzikir menyebut nama Allah.
Satu hal yang sangat menyerupai
ayahnya ialah air mata bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari
Al-Qur’an. Ubaid bin Umar menuturkan, “Suatu
hari saya membacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar :
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul)
dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas
mereka itu (sebagai umatmu).
QS:An-Nisaa | Ayat: 41
QS:An-Nisaa | Ayat: 41
يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّىٰ بِهِمُ الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا
Di hari itu
orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka
disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah)
sesuatu kejadianpun.
QS:An-Nisaa | Ayat: 42
QS:An-Nisaa | Ayat: 42
Seketika Ibnu Umar menangis, hingga
janggutnya basah oleh air mata.
Suatu hari ketika ia duduk di antara
shahabat-shahabatnya, ia membaca:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
Kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang curang
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 1
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 1
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
(yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 2
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 2
وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 3
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 3
أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
Tidaklah orang-orang
itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 4
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 4
لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
pada suatu hari yang
besar,
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 5
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 5
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
(yaitu) hari (ketika)
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 6
QS:Al-Muthaffif | Ayat: 6
Dia terus mengulang kalimat-kalimat:
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
(yaitu) hari (ketika)
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”
Sedangkan air matanya mengucur bagai
hujan. Puncaknya, ia jatuh pingsan disebabkan paerasaan sedih dan tangis.
Sikap dermawan, zuhud, dan wara’ berkolaborasi pada dirinya dalam suatu
paduan seni yang agung membentuk corak kepribadian mengagumkan dari manusia
besar ini. Dia banyak memberi karena ia seorang dermawan. Abdullah hanya
memberikan barang yang halal karena ia seorang yang wara’ atau saleh. Ia tidak
peduli, andaikata kemurahannya itu akan menyebabkan dirinya miskin, sebab
dirinya seorang berhati zuhud.
Ibnu Umar termasuk orang yang hidup makmur dan berpenghasilan besar. Ia
adalah seorang pedagang yang jujur dan berhasil dalam kehidupannya. Selain itu,
gajinya dari Baitul Mal tidak sedikit. Hanya saja, tunjangan itu tidak sedikit
pun disimpannya untuk kehidupan pribadi, tetapi dibagi-bagikan
sebanyak-banyaknya kepada para fakir, miskin, dan pengemis.
Ayyub bin Wail Ar-Rasibi pernah menceritakan kepada kita salah satu
kedermawaannya. Suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak 4 ribu dirham dan
sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wail melihatnya di pasar sedang
membeli makanan untuk hewan tunggangannya, namun tidak dibayar secara kontan.
Didorong oleh rasa penasaran, Ibnu Wail menjumpai keluarganya, lalu
bertanya, “Bukankah kemarin Abu
Abdirrahman—maksudnya adalah Ibnu Umar —menerima kiriman 4 ribu dirham dan
sehelai baju dingin?”
“Benar.” Jawab mereka.
Ibnu Wail berkata, “Saya lihat, ia
tadi ke pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya, dan ia tidak punya
uang untuk membayarnya.”
Mereka menjawab, “Tidak sampai
malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Setelah itu ia mengambil
baju dingin itu dan menyampirkan di pundaknya, lalu pergi dan ketika kembali,
ia menjawab bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin.”
Mendebgar jawaban itu, Ibnu Waill langsung pergi sambil menepukkan
telapak tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar.
Di sana ia naik ke suatu tempat yang tinggi dan berteriak kepada para
pedagang di pasar, “Wahai kaum pedagang!
Apa yang kalian terhadap dunia? Lihatlah Ibnu Umar , yang mendapatkan kiriman
4 ribu dirham lalu membagi-bagikannya, sehinnga esok pagi ia membelikan makanan
untuk hewan tunggangannya secara utang!”
Begitulah bila orang yang gurunya Muhammad , dan ayahnya Umar ; luar biasa
dan mampu malakukan hal-hal istimewa. Kedermawanan, kezuhudan, dan kewara’an
merupakan tiga unsur yang menyatu pada Abdullah bin Umar , yang membuktikan
secara nyata bahwa dia adalah seorang pengikut terpercaya dan seorang putra
teladan.
Bagi orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah
Rasulullah , cukuplah sebagai bukti bahwa Ibnu Umar menghentikan tunggangannya
persis di tempat Rasulullah menghentikan unta beliau, dan ia berkata, “Semoga setiap jejak akan berpijak di atas
jejak sebelumnya.”
Begitu pula dalam persoalan bakti, hormat, dan kagum kepada orang tua,
Ibnu Umar mencapai suatu taraf yang , mengharuskan agar kepribadian Umar itu
diteladani oleh pihak musuh, apalagi oleh kaum kerabat, dan putra-putra
kandungnya sendiri.
Bila dipikir, memang tidak masuk akal bila orang yang mengaku sebagai
pengikut Rasulllah ini dan ayah seperti Umar akan menjadi budak harta. Karena
itulah, meski harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah, itu semuanya
hanya sekedar lewat, atau mampir ke rumahnya saja.
Kedermawanan itu baginya bukanlah alat untuk mencari nama, atau agar
dirinya menjadi buah bibir dan sanjungan orang. Karena itulah, pemberiannya
hanya ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan.
Abdullah jarang sekali makan seorang diri. Dia pasti disertai oleh
anak-anak yatim dan orang miskin. Sebaliknya, ia sering kali memarahi dan menyalahkan
sebagian putra-putranya, ketika mereka menyediakan jemuan untuk orang-orang
yang banyak harta dan tidak mengundang fakir miskin. Ia memberikan teguran.
“Kalian mengundang orang-orang yang dalam
keadaan kekenyangan, sementara orang-orang yang kelaparan kalian biarkan!”
Kaum fakir miskin sangat mengenal siapa Ibnu Umar , mengetahui sifat
santunnya, dan merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Mereka sering
duduk di jalan yang dilalui oleh Ibnu Umar saat pulang, dengan harapan terlihat
olehnya lalu diajak ke rumahnya. Mereka berkumpul di sekelilingnya tidak ubah
bagai kawanan lebah yang berhimpun mengerumuni bunga untuk menghisap sari
madunya.
Bagi Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan
atau majikan. Harta adalah alat untuk mencukupi kebutuhan hidaup dan bukan
untuk bermewah-mewahan. Hartanya bukanlah miliknya semata, melainkan hak fakir
miskin yang telah ditentukan di dalamnya. Jadi, setiap hamba punya hak yang
sama dan tidak ada hak istimewa karena kedudukan seseorang.
Kedermawanan yang tak terbatas ini disokong oleh sikap zuhudnya. Ibnu
Umar tidak hendak membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia.
Harapan dari dunia itu hanyalah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup
tubuhnya dan makanan sekedar penunjang hidup.
Salah satu shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan
sehelai baju yang halus dan indah kepadanya, dan berkata, “Saya bawa baju ini dari Khurasan untukmu. Alangkah senangnya hatiku
bila aku dapat melihatmu menanggalkan pakaianmu yang kasar ini, lalu
menggantinya dengan baj baru yang indah ini!”
“Biarkanlah kulihat dulu,”
jawab Ibnu Umar .
“Apakah ini sutera?” Tanya
Ibnu Umar sembari meraba baju itu.
“Bukan, itu hanya katun,”
jawab shahabatnya tersebut.
Ibnu Umar mengusap-usap baju itu sebentar, kemudian menyerahkannya
kembali kepada orang tersebut dan berkata, “Tidak,
aku khawatir terhadap diriku. Aku takut dia akan menjadikan diriku sombong dan
tampak mewah, sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah
diri.”
Pada kesempatan lain, seorang shahabat memberinya sebuah kotak yang
penuh dengan sesuatu.
“Apa ini isinya?” Tanya Ibnu
Umar .
“Obat istimewa, aku bawa untukmu
dari Iraq!” jawab shahabatnya.
“Obat untuk penyakit apa?”
“Obat penghancur makanan untuk
membantu pencernaan.” Ibnu Umar tersenyum, dan berkata kepada shahabat itu,
“Obat penghancur makanan? Selama 40 tahun
ini aku tidak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang.”
Seseorang yang tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun tentu
maksudnya bukan hendak menjauhi rasa kenyang itu semata, melainkan karena
dorongan sifat zuhud dan wara’nya, di samping bagian dari upayanya untuk
mengikuti jejak langkah Rasulullah dan ayahandanya. Ia sangat khawatir bila
kelak akan dihadapkan pada hari kiamat dengan pertanyaan, “Telah engkau habiskan segala kenikmatanmu waktu kamu hidup di dunia,
yang kamu bersenang-senang dengannya!”
Ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu atau seorang musafir
yang akan segera berlalu. Ia pernah bercerita tentang dirinya, “Aku tidak pernah membuat tembok dan tidak
pula menanam sebatang kurma sejak wafatnya Rasulullah .”
Maimun bin Mahran berkata, “Saya
masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana
berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang terdapat di sana, maka saya
mendapati harganya tidak sampai 100 dirham.”
Hal ini terjadi bukanlah karena Ibnu Umar miskin, sebab sejatinya ia
orang kaya, dan juga bukan orang yang pelit terhadap diri sendiri, karena
sebenarnya ia adalah seorang yang pemurah dan dermawan! Yang demikian karena ia
seorang yang zuhud yang tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah, dan
tidak senang menyimpang dari kebenaran serta kesalehan dalam menempuh hidup
ini.
Ibnu Umar dikaruniai umur panjang dan masih hidup pada Dinasti Umayyah,
di mana harta melimpah ruah, tanah tersebar luas, dan kemewahan terbentang di
kebanyakan rumah kaum Muslimin, apalagi di istana. Meski demikian, “”gunung yang mulia ini” (Ibnu Umar ) tetap
tegak dan tidak tergoyahkan, tidak hendak beranjak dari tempatnya, dan tidak
hendak bergeser dari sifat zuhud dan wara’nya.
Jika seseorang menyebut persoalan kebahagiaan dan kesenangan dunia yang
dihindarinya itu, ia berkata, “Aku dan
shahabatku telah sepakat atas suatu perkara, dan aku khawatir jika menyalahi
mereka, dan tak akan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya.”
Kemudian, ia menuturkan kepada orang-orang bahwa dia meninggalkan dunia
itu bukanlah disebabkan oleh ketidakmampuan. Kemudian ia menadahkan kedua
tangannya ke langit, sembari berkata, “Ya
Allah, Engkau mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah
kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraish memperebutkan dunia ini.”
Memang benar, seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan
merebut dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi, ia tidak perlu berebut karena
dunia datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya
tariknya.
Apakah ada yang lebih menarik daripada jabatan Khalifah? Jabatan ini
ditawarkan berkali-kali kepada Ibnu Umar , tetapi ia tetap menolak. Bahkan, ia
pernah diancam jika tidak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh
dan penolakannya semakin keras.
Al-Hasan menuturkan, “Tatkala
Utsman bin Affan terbunuh, kaum Muslimin berkata kepada Abdullah bin Umar ,
‘Engkau adalah seorang pemimpin. Keluarlah, agar kami meminta orang-orang
berbaiat kepadamu!’
Ibnu Umar menjawab, ‘Demi
Allah, bila mungkin, jangan ada walau setetes darah pun yang tertumpah
disebabkan diriku!’
Mereka berkata lagi, ‘Engkau
harus keluar! Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu!’
Namun, jawaban Ibnu Umar tidak
berbeda dengan yang pertama. Demikianlah, mereka membujuk dan mengancamnya,
tetapi mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa.”
Setelah waktu berjalan sekian tahun dan fitnah semakin menjadi-jadi,
Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar
sedia menerima jabatan Khalifah dan mereka akan berbaiat kepadanya, tetapi ia
selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya permasalahan yang ditujukan
kepada Ibnu Umar . Tetapi, ia mempunyai alasan yang logis.
Telah dimaklumi bahwa Utsman terbunuh, keadaan bertambah buruk dan
belarut-larut, sehingga bencana dan malapetaka pun tidak terelakkan. Walau pun
dia tidak mempunyai ambisi untuk menempati jabatan Khalifah tersebut, ia sejatinya
bersedia bertanggung jawab dan menaggung resikonya, dengan syarat ia dipilih
oleh seluruh kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika
baiat itu dipaksakan oleh sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah
ancaman pedang, inilah yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar , dan ia menolak
jabatan Khalifah yang dicapai dengan cara seperti itu.
Ketika itu syarat tersebut tidak mungkin terwujud. Meski sebesar apa pun
kebaikan Ibnu Umar dan kekompakkan kaum Muslimin dalam mencintai dan
menghormatinya, luasnya daerah san letaknya yang berjauhan, di samping
pertikaian yang sedang berkecamuk di antara kaum Muslimin, menyebabkan mereka
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat
senjata. Suasana waktu itu tidak memungkinkan tercapainya consensus atau
kesepakatan yang diharapkan oleh Ibnu Umar .
Suatu hari, seseorang mendatanginya dan berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap umat
manusia selain dirimu!”
“Mengapa?” Tanya Ibnu Umar , “Demi
Allah, saya tidak pernah menumpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan
jamaah mereka apalagi memecah-belah kesatuan mereka!”
Orang itu berkata lagi, “Seandainya
engkau bersedia (menjadi Khalifah), tidak akan seorang pun yang menentang.”
Jawab Ibnu Umar , “Saya tidak ingin
jabatan itu menjadi milikku, sementara masih ada orang yang mengatakan setuju,
sedangkan orang lain mengatakan tidak.”
Ketika peristiwa telah berkembang sedemikian rupa dan kedudukan
Mu’awiyah telah kokoh, lalu beralih ke putranya, Yazid, Ibnu Umar tetap
menjadi tumpuan harapan manusia untuk menempati jabatan Khalifah. Bahkan, ketika
Mu’awiyah II putra Yazid menduduki jabatan Khalifah lalu hanya selang beberapa
hari ia meninggalkannya karena tidak menyukainya, harapan terhadap Ibnu Umar tersebut tidak pernah surut. Padahal, pada saat itu Ibnu Umar telah menjadi
seorang yang berusia lanjut.
Marwan datang kepadanya dan berkata, “Ulurkanlah tangan anda agar kami berbaiat! Anda adalah pemimpin Islam
dan putra pemimpin Islam!”
Ibnu Umar menjawab, Apa yang akan
kita lakukan terhadap orang dari wilayah timur (masyriq)?“
“Kita gempur mereka sampai mau
berbaiat” jawab Marwan.
“Demi Allah, saya tidak sudi dalam
umur saya yang sudah 70 tahun ini ada seorang manusia yang terbunuh karena
saya.”
Marwan akhirnya pergi sambil menyenandungkan syair:
Aku melihat hingga api fitnah berkobar hingga puncaknya
Sepeninggal Abu Laila <Mu’awiyah bin
Yazid>, kerajaan akan berada di tangan yang
kuat lagi perkasa
Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan senjata inilah yang
menyebabkan Ibnu Umar tidak ingin ikut campur dan bersikap netral dalam
kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan pendukung Mu’awiyah .
Dia mengambil kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:
Siapa yang berkata,”Marilah shalat” akan aku penuhi.
Dan siapa yang berkata, “Marilah menuju kebahagiaan”, akan aku turuti
pula.
Tetapi siapa yang mengatakan, “Marilah membunuh saudaramu seagama dan
merampasnya!” maka aku akan katakan TIDAK.
Meski Ibnu Umar yang sudah mengambil sikap menjauh dari urusan
kekhalifahan itu dan menunjukkan ketidakberpihakan, ancaman kebathilan tetap
saja tidak luput darinya. Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada
di puncak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan
membingungkannya, bahkan Mu’awiyah mengancam akan membunuhnya <Tuduhan yang dikemukan Khalid di sini sangat
serius, karena terkait kehormatan seorang shahabat Nabi, disamping tidak
diketahui dasarnya—edt.>. padahal, Ibnu Umaar selalu bersemboyan, “Seandainya antara diriku dan seseorang ada
hubungan, walau hanya sebesar rambut, itu tidak akan putus.”
Suatu hari, Al-Hajjaj tampil berpidato, “Ibnu Zubair telah menyimpangkan kitabullah!”
Ibnu Umar berteriak menentangnya, “Bohong,
kamu dusta!”
Al-Hajjaj yang selama ini telah ditakuti oleh siapa pun juga merasa
terpukul mendapatkan serangan tiba-tiba. Tetapi, ia melanjutkan pembicaraan dengan
mengancamnya akan memberikan balasan yang seburuk-buruknya.
Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke muka Al-Hajjaj, dan di hadapan
orang-orang yang semuanya merasa takjub, ia menjawab, “Jika ancamanmu itu kamu laksanakan, sungguh itu tidak aneh karena
engkau adalah seorang dictator yang biadab!” tetapi, meski sekeras dan
sebesar apa pun keberanian Ibnu Umar , sampai akhir hayat ia selalu ingin agar
tidak terlibat dalam fitnah bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada
salah satu golongan.
Abu Al-‘Aliyah Al-Bara’ berkata, “Suatu
hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahui olehnya. Saya dengar
ia berbicara kepada dirinya, ‘Mereka meletakkan pedang-pedang di atas
pundak-pundak orang lain, mereka saling membunuh lalu berkata, ‘Wahai Abdullah
Bin Umar , ulurkanlah bantuanmu.’
Dia sangat menyesal dan berduka
melihat darah kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Seandainya ia maampu
menghentikan peperangan dan menjaga darah agar tidak tertumpah, ia pasti
melakukannya. Tetapi, peristiwa yang terjadi di luar kemampuannya, sehingga ia
lebih memilih untuk menjauhinya.
Hati kecilnya sejatinya
berpihak kepada Ali , bahkan tampak pada Ibnu Umar yakin Ali berada di pihak
yang benar. Terbukti, pada akhir hayatnya, diriwayatkan bahwa ia berkata,
‘Tiada sesuatu pun yang aku sesali karena tidak ku peroleh di dunia ini,
kecuali satu hal; aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali saat memerangi
golongan yang melampaui batas!’.”
Penolakannya berperang di pihak Ali ,
yang sebenarnya mempertahankan kebenaran dan berada di pihak yang benar,
dilakukannya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri, melainkan
karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu, serta menghindari
peperangan yang terjadi bukan antara Muslim dan musyrik, melainkan antara
sesama Muslim, yang saling menerkam saudaranya.
Hal itu dijelaskan secara gambling ketika Nafi’ bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman, anda adalah putra
Umar dan shahabat Rasulullah . Anda lebih tahu dalam hal ini, tetapi apa yang
menghalangi anda untuk bertindak?—maksudnya membela Ali ”
Ibnu Umar menjawabnya dengan ungkapan, “Alasannya, karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan
darah Muslim!
Allah berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu,
sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 193.
QS:Al-Baqarah | Ayat: 193.
Kita telah melakukan itu dan memerangi
orang-orang musyrik, hingga agama hanya untuk Allah semata. Tetapi, sekarang,
apa tujuan kita berperang?
Aku telah memulai berperang sejak
berhala-berhala masih memenuhi Al-Masjid Al-Haram dari pintu sampai ke
sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari Tanah Arab.
Sekarang, apakan aku akan memerangi orang yang mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH?”
Itulah logika, argument, dan
keyakinan Ibnu Umar . Jadi, ia menghindari peperangan dan tidak ingin terlibat
dalam hal itu, bukanlah karena takut atau hal-hal negative lainnya, melainkan
tidak menyetujui perang saudara antara sesama orang beriman, dan menentang
tindakan seorang Muslim yang menghunus pedang terhadap Muslim lainnya.
Ibnu Umar dikaruniai usia lanjut dan mengalami saat pintu-pintu
keduniaan terbuka lebar bagi kaum Muslimin. Harta melimpah ruah, jabatan
beraneka ragam, dan angan-angan manusia melambung tinggi. Namun, kekuatan
psikologisnya yang luar biasa mampu mengubah racun pada zamannya.
Kondisi zaman itu memang penuh dengan segala macam keinginan, fitnah dan
harta benda, bagi dirinya justru diubah menjadi zaman yang diliputi oleh
kezuhudan dan kesalehan. Dia menjalani masa itu sebagai orang yang tekun
beribadah dan selalu dekat dengan Sang Pencipta, dengan penuh keyakinan.
Kehidupannya diisi sepenuhnya dengan kegiatan tersebut. Karakternya yang agung,
yang telah dibentuk oleh Islam pada masa-masanya yang gemilang dan tinggi
menjulang, tidak tergoyahkan sedikit pun.
Corak kehidupan mengalami perubahan bersamaan dengan awal masa kekuasaan
Dinasti Umayyah, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari perubahan tersebut.
Masa itu bias dikatakan sebagai masa kelonggaran dalam segala hal; kelonggaran
yang bukan hanya bisa menuruti semua keinginan pemerintah, melainkan juga
keinginan-keinginan pribadi dan golongan. Di tengah-tengah badai godaan dunia
dan pasukan masa yang penuh dengan keluasan, kekayaan, dan kemegahannya, Ibnu
Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya, tidak menghiraukan semua itu,
dan tetap melanjutkan pengembangan jiwanya yang besar.
Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya
seperti yang diharapkannya, hingga orang-orang yang hidup semasa dengannya
melukiskannya dengan ungkapan, “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam hal keutamaan ia tidak ubahnya seperti Umar .”
Bahkan, ketika menyaksikan sifat dan akhlaknya yang mengagumkan itu, mereka
membandingkannya dengan Umar , yaitu ayahnya yang berpribadi besar. Mereka
berkata, “Umar hidup pada masa yang waktu
itu banyak tokoh yang menjadi saingannya, sedangkan Ibnu Umar hidup pada masa
yang waktu itu tidak ditemui siapa yang menandinginya.”
Perbandingan itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dimaafkan terhadap
orang seperti Ibnu Umar . Adapun Umar , tidak seorang pun dapat disejajarkan
dengannya, tidak mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum manapun
juga.
Pada tahun 73 H, ketika sang surya telah condong ke barat hendak
memasuki peraduannya, sebuah kapal keabadian telah mengangkat sauh dan mulai
berlayar ke alam lain dan Ar-Rafiq
Al-A’la <Istilah
ini, jika diterjemahkan, menyesuaikan konteksnya. Biasanya dimaksudkan untuk
kekasih tertinggi, surga, atau Allah—edt.>, membawa sosok tubuh salah
seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di Mekkah dan Madinah,
yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab . Adapun tokoh dari kalangan
shahabat yang terakhir wafat adalah Anas
bin Malik yang meninggal di Bashrah pada tahun 91 atau 93 H.
Selamat jalan Ibnu Umar
Semoga Allah merahmatimu ya Ibnu
Umar
Perubahan zaman tak mempengaruhi
sifatmu yang zuhud dan saleh.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar