بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah memasuki Madinah, dan dengan demikian
beliau telah mengakhiri perjalanan hijrah beliau dengan gemilang. Di kampung
hijrah ini beliau memulai hari-hari yang penuh hijrah yang tersimpan di
dalamnya takdir yang tidak pernah ada yang menyerupainya dalam kehidupan
manusia. Dengan mengendarai unta, Rasulullah berjalan di tengah-tengah manusia
yang berdesak-desakan, dengan hati yang dipenuhi dengan antusiasme, kecintaan
dan kerinduan. Beliau naik di atas unta dan orang-orang berebut memegang kekang
untanya, karena masing-masing menginginkan beliau menjadi tamu kehormatan
mereka.
Perjalanan Nabi tersebut sampai ke
perkampungan Bani Salim bin Auf. Mereka mencegat laju unta sembari berkata, “Wahai
Rasulullah, tinggallah di tempat kami, karena kami memiliki anggota suku yang
banyak, sarana lengkap, dan kekuatan yang cukup.”
Beliau menjawab tawaran mereka, saat
mereka telah memegang tali kekang unta beliau, “Biarkanlah,
jangan halangi jalannya, karena ia hanyalah melaksanakan perintah.” Unta Nabi terus berjalan hingga melewati
pemukiman Bani Bayadhah, lalu ke kampung Bani Sa’idah, terus melaju ke kampung
Bani Harits bin Khazraj, kemudian sampai di kampung Bani Adi bin Najjar. Setiap
suku atau kabilah itu mencoba menghentikan langkah unta Nabi, dan tidak
henti-hentinya meminta dengan sepenuh hati agar Nabi sudi membahagiakan mereka
dengan menetap di kampung mereka. Namun, Nabi menjawab tawaran mereka sambil
tersenyum syukur dan bersabda, “Biarkanlah ia berjalan, karena ia
diperintah.”
Nabi telah menyerahkan pemilihan tempat
tinggalnya kepada takdir, di mana tempat itulah nanti menjadi rumah beliau
dalam kemuliaannya. Di atas tanahnya bakal muncul suatu masjid yang akan
memancarkan kalimat-kalimat dan cahaya Allah ke seluruh penjuru dunia. Di
sampingnya akan berdiri satu atau beberapa bilik dari tanah dan batu kasar,
yang di dalamnya tidak terdapat kemewahan dunia, melainkan hanya apa yang cukup
untuk makan sehari-hari saja atau bahkan kurang.
Tempat itu akan dihuni oleh seorang guru
dan utusan Allah yang akan meniupkan semangat kebangkitan pada kehidupan yang
sudah padam, dan yang akan memberikan kemuliaan dan keselamatan bagi mereka
yang berkata, “Rabb kami ialah Allah.” Kemudian mereka tetap istiqamah dengan prinsip
itu; yaitu bagi orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan itu
dengan kesyirikan; bagi mereka yang mengikhlaskan agama mereka untuk Allah; dan
bagi mereka yang berbuat kebaikan di muka bumi dan tidak berbuat kerusakan.
Memang benar, Rasulullah telah menyerahkan
sepenuhnya penentuan tempat tinggal tersebut kepada takdir yang akan memimpin
langkah perjuangan beliau selanjutnya. Untuk itu, beliau membiarkan unta yang
beliau tunggangi terlepas bebas. Beliau tidak menepuk punuknya dan tidak pula
menghentikan langkahnya. Beliau menghadapkan hati kepada Allah, serta berserah
kepada-Nya dengan berdoa, “Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku,
pilihkanlah untukku.”
Di depan rumah Bani Malik bin Najjar, unta
Rasulullah menderum kemudian bangkit dan berputar-putar di tempat itu. Unta itu
kemudian kembali ke tempat menderumnya
semula, lalu menderum lagi dan tidak beranjak dari tempatnya. Rasulullah
turun untuk masuk. Beliau mengikutinya dengan diliputi oleh hikmah dan berkah.
Tahukah kalian siapakah orang yang
berbahagia ini, yang telah dipilih takdir bahwa unta Nabi menderum di depan
rumahnya, hingga Rasulullah menjadi tamunya, dan semua penduduk Madinah merasa
iri atas keberuntungan yang dilimpahkan kepadanya? Orang tersebut adalah
pahlawan yang sedang kita bicarakan sekarang ini, dialah Abu Ayyub Al-Anshari
Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.
Pertemuan ini sebenarnya bukan pertemuan
yang pertama bagi Abu Ayyub dengan Rasulullah. Sebelumnya, ketika utusan
Madinah yang pergi ke Mekkah untuk mengadakan baiat yang diberkati dan terkenal
dengan nama Baiat Aqabah Kedua. Abu Ayyub termasuk di antara tujuh puluh orang
yang beriman yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah
serta menjabatnya dengan kuat, untuk berjanji setia dan siap menjadi pembela.
Sekarang, ketika Rasulullah sudah bermukim
di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai ibukota bagi agama Allah, takdir
keberuntungan telah dilimpahkan kepada Abu Ayyub, karena rumahnya menjadi
tempat tinggal pertama bagi muhajir agung, Rasulullah yang mulia. Rasulullah
telah memilih untuk menempati lantai dari rumahnya. Namun, saat Abu Ayyub harus
menempati ruangan di lantai dua, ia merasa tidak nyaman sama sekali. Ia tidak
bisa membayangkan bagaimana ia akan sanggup berdiri atau tidur di tempat yang
lebih tinggi daripada tempat yang digunakan Rasulullah berdiri dan tidur.
Karena itu, ia memohon dan berharap kepada nabi agar beliau pindah ke lantai
dua, dan beliau pun mengabulkan permintaannya.
Nabi akan tinggal di rumah Abu Ayyub
sampai pembangunan masjid dan kamar beliau di sampingnya selesai. Sejak
orang-orang Quraish bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang
tempat hijrahnya di Madinah, menghasut kabilah-kabilah lain, serta mengarahkan
tentaranya untuk memadamkan cahaya Ilahi,sejak itulah Abu Ayyub memfokuskan
aktivitasnya untuk berjihad di jalan Allah. Dalam Perang Badar, Uhud, Khandaq,
dan semua pertempuran dan peperangan, pahlawan ini tampil sebagai mujahid yang
mengorbankan jiwa dan hartanya untuk Allah Rabb semesta alam.
Setelah Rasulullah wafat pun, ia tidak
pernah ketinggalan untuk ikut dalam pertempuran yang diwajibkan atas kaum
Muslimin, sekalipun jarak yang akan ditempuh sangat jauh dan beban yang akan
dihadapi tidak ringan. Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam maupun
malam dengan suara keras maupun pelan dalam firman Allah Ta’ala:
انْفِرُوا خِفَافًا
وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun
berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
QS:At-Taubah | Ayat: 41
QS:At-Taubah | Ayat: 41
Dalam catatan sejarah, ia hanya satu kali
saja tidak menyertai tentara Islam yang oleh Khalifah tampuk kepemimpinan
perang diberikan kepada seorang Muslim muda, sedangkan Abu Ayyub tidak setuju
dengan kepemimpinannya. Ya, hanya sekali saja, tidak lebih. Meski demikian, ia
sangat menyesal atas sikapnya itu dan jiwanya terguncang karenanya. Ia
mengatakan, “Tidak masalah bagiku siapa yang akan
menjadi atasanku.” Setelah
itu, ia tidak pernah ketinggalan lagi dalam barisan tentara Islam, berperang di
bawah benderanya, dan membela kehormatan.
Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin
Abu Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ia tanpa ragu-ragu berdiri di pihak
Ali, karena dialah yang telah dibaiat oleh kaum Muslimin. Ketika Ali syahid
karena dibunuh, dan khalifah berpindah ke tangan Mu’awiyah, Abu Ayyub
menyendiri dalam kezuhudan, bertawakal, dan bertakwa kepada Allah. Ia tidak
berharap apa-apa dari dunia ini selain tersedianya suatu tempat yang lowong
untuk berjuang dalam barisan para mujahidin. Ternyata benar, ketika ia
mengetahui ada tentara Islam bergerak ke
arah Konstantinopel, ia bergegas menaiki kudanya dan membawa pedangnya.
Ia berangkat untuk mencari kesyahidan yang sudah lama didambakan dan
dirindukannya.
Dalam pertempuran inilah Abu Ayyub menderita
luka berat. Ketika komandannya datang menjenguknya, nafasnya sedang berlomba
dengan keinginannya hendak menemui Allah. Panglima pasukan yang waktu itu
dipegang oleh Yazid bin Mu’awiyah bertanya kepadanya, “Apa
yang engkau inginkan, wahai Abu Ayyub?”
Menurut anda, adakah di antara kita yang
dapat membayangkan apa keinginan Abu Ayyub? Tidak ada, karena keinginannya
sewaktu nyawa hendak berpindah dari tubuhnya ialah sesuatu yang sukar atau
hampir tidak kuasa manusia membayangkan atau mengkhayalkannya. Ia telah meminta
kepada Yazid, bila dirinya telah meninggal agar jasadnya dibawa dengan kudanya
sejauh mungkin jarak yang dapat di tempuh ke
arah musuh, dan di sanalah ia minta dikuburkan. Kemudian hendaklah Yazid
berangkat dengan bala tentaranya seoanjang jalan itu, hingga terdengar olehnya
bunyi tapak kaki kuda kaum Muslimin di atas kuburnya dan ia mengetahui bahwa
mereka telah berhasil mencapai kemenangan dan kejayaan.
Apakah anda kira ini hanyalah lamunan
belaka? Ternyata tidak dan itu bukanlah khayalan, melainkan kejadian nyata dan
kebenaran yang akan disaksikan dunia suatu hari kelak. Dunia akan berhenti
untuk membelalakan mata dan membuka telinga, hampir-hampir tidak percaya
terhadap apa yang didengar dan dilihatnya.
Yazid benar-benar sukses mengabulkan
wasiat Abu Ayyub. Di jantung Konstantinopel yang sekarang bernama Istanbul, di
sanalah terdapat kubur bagi jasad lelaki besar dan agung itu. Bahkan, sebelum
wilayah itu dikuasai oleh kaum Muslimin, bangsa Romawi di Konstantinopel
memandang Abu Ayyub dimakamnya itu sebagai orang suci. Anda akan tercengang
bila mendapati semua ahli sejarah yang mencatat berbagai peristiwa akan
berkata, “Orang-orang Romawi sering mengunjungi dan
berziarah ke kuburnya dan meminta hujan melalui perantaranya, bila mereka
mengalami kekeringan.”
Sekalipun hidup Abu Ayyub penuh dengan
dunia peperangan, hingga tidak pernah membiarkan pedangnya beristirahat.
Kehidupannya berjalan dengan sangat tenang laksana desiran angin kala fajar.
Hal itu karena ia pernah mendengar sabda Rasulullah yang telah terpatri dalam
hatinya, “Bila engkau shalat, lakukanlah seolah-olah itu
yang terakhir. Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata kepada orang lain yang
menyebabkan engkau harus meminta maaf. Lenyapkan harapan terhadap apa yang
berada di tangan orang lain.”
Karena itulah lidahnya tidak pernah
terlibat dalam fitnah apa pun dan dirinya tidak terjerembab ke dalam kerakusan.
Ia telah mengahabiskan hidupnya dalam kerinduan ahli ibadah dan ketabahan orang
yang hendak berpisah. Karena itu, ketika ajalnya datang, tidak ada yang
diinginkannya dari dunia ini dengan segala keindahan kecuali cita-cita yang
melambangkan kepahlawanan dan kebesarannya dalam hidupnya, “Bawalah
jasadku jauh-jauh ke tanah Romawi, kemudian kuburkanlah aku di sana.”
Ia yakin sepenuhnya bahwa kemenangan akan
datang dan dengan mata hatinya ia percaya bahwa wilayah Konstantinopel telah
termasuk dalam taman impian Islam, dalam lingkungan cahaya dan sinarnya. Karena
itu, ia menginginkannya sebagai tempat istirahatnya yang terakhir, yakni di
ibukota Negara itu, di mana akan terjadi pertempuran yang menentukan, dan dari
bawah tanahnya yang subur, ia akan dapat mengikuti gerakan tentara Islam,
mendengar kibaran benderanya, dan bunyi tapak kaki kudanya serta gemerincing
pedang-pedangnya.
Sekarang ini, Abu Ayyub Al-Anshari masih
terkubur di sana. Hanya saja ia tidak lagi mendengar gemerincing pedang atau
ringkikan kuda. Keadaan telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat yang
dituju sejak waktu yang lama. Tetapi, sekarang, dari pagi hingga petang dan
setiap hari didengarnya suara azan yang berkumandang di menara-menaranya yang
menjulang di angkasa:
“Allahu
Akbar… Allahu Akbar.”
Rohnya yang berbahagia di negeri kekekalan
dan mahligai kejayaannya menyahut, “Inilah apa yang telah dijanjikan Allah
dan Rasul-Nya. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.”
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
1 komentar:
Itu beneran gambarnya abu ayyub al anshari?
Posting Komentar