Minggu, 29 Desember 2013

Filled Under:

Abu Hurairah (Gudang Hafalan pada Masa Wahyu).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Memang benar bahwa kecerdasan seseorang itu adakalanya menjadi sasaran fitnah dari orang lain. Orang-orang yang mempunyai bakat luar biasa banyak ada yang harus membayar mahal, justru pada saat ia mestinya menerima ganjaran dan penghargaan. Shahabat mulia, Abu Hurairah, termasuk salah seorang di antara mereka.

     Dia memiliki bakat luar biasa dalam kemampuan dan kekuatan ingatan. Kemampuannya untuk menyimak dan menghafal apa yang didengarnya dengan baik. Ia cukup mendengar sekali saja lalu  manguasai isinya, dan tersimpan dalam ingatan. Setelah itu,  ia hampir tidak pernah lupa satu kata  atau huruf pun dari apa yang telah didengarnya, sekalipun usia bertambah dan waktu terus berjalan. Karena itulah, ia telah mendedikasikan hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah, sehingga merupakan shahabat terbanyak yang hafal setiap perkataan Rasulullah (hadits), di samping paling banyak meriwayatkannya.

     Ketika datang masa pemalsuan hadits yang dengan sengaja mereka-reka hadits palsu atas nama Rasulullah, mereka memperalat nama Abu Hurairah dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dengan mengeksploitasi reputasi Abu Hurairah yang luas itu dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah. Karena itu, riwayat dari Abu Hurairah terkesan meragukan dan menimbulkan tanda Tanya.

     Untungnya ada usaha keras dan ketekunan yang luar biasa, serta banyak waktu yang telah dihabiskan oleh tokoh-tokoh utama seperti para ulama hadits. Mereka telah membaktikan hidup mereka untuk meneliti hadits-hadits Nabi dan menyingkirkan setiap kepalsuan dan tambahan yang dimasukkan ke dalamnya. Dengan demikian, Abu Hurairah selamat dari gurita kebohongan dan rekayasa yang sengaja hendak diselundupkan oleh kaum perusak ke dalam Islam, dengan mengambinghitamkan Abu Hurairah dan membebankan dosa dan kejahatan mereka kepadanya.

     Pada zaman kita ini, ketika kita mendengarkan penasihat agama, penceramah ata khatib Jumat mengucapkan kalimat “Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah bersabda’” penulis katakan ketika anda mendengarkan nama ini dalam rangkaian kata tersebut, dan ketika anda banyak menjumpainya, yang banyak sekali dalam kitab-kitab hadits, sirah, fikih, serta kitab-kitab agama pada umumnya, ketahuilah sekarang anda sedang berjumpa dengan pribadi yang gemar bergaul dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Karena itulah, pembendaharaan yang menakjubkan dalam hal hadits dan pengarahan-pengarahan penuh hikmah yang dihafalkannya dari Nabi jarang ada bandingannya.

     Abu Hurairah dengan bakat dan pembendaharaan hadits yang dimilikinya itu benar-benar menjadi sosok shahabat yang paling mampu membawa anda ke hari-hari pada masa kehidupan Rasulullah beserta para shahabatnya. Itu selama anda beriman teguh dan berjiwa siaga, untuk mengetahui berbegai ufuk yang membuktikan berbagai kehebatan Muhammad beserta para shahabatnya dan memberikan makna kepada kehidupan ini dan memimpinnya ke  arah kesadaran dan pikiran sehat. Bila halaman-halaman yang anda hadapi ini telah menggerakkan kerinduan anda untuk mengetahui lebih dalam tentang Abu Hurairah dan mendengarkan beritanya, sekarang anda mendapatkan apa yang anda inginkan itu.

     Abu Hurairah ialah salah seorang yang menerima pantulan revolusi Islam, dengan segala perubahan mengagumkan yang diciptakannya. Dengan revolusi Islam itu, orang yang semula berupa buruh menjadi majikan; seorang yang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia manjadi iman dan panutan; dan seorang yang sujud di hadapan batu-batu yang disusun menjadi orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.

     Inilah dia sekarang bercerita dan mengatakan, “Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan berhijrah dalam keadaan miskin. Aku menerima upah sebagai pembantu kepada Bushrah binti Ghazwan untuk mengisi perutku. Akulah yang melayani keluarga itu bila merekasedang menetap dan menuntun binatang tunggangannya bila sedang bepergian. Sekarang, inilah aku. Allah telah menikahkanku dengan putrid Bushrah.” Segala puji bagi llah yang telah menjadikan agama ini tiang penegak dan menjadikan Abu Hurairah sebagai panutan umat.

     Abu Hurairah datang dan menjumpai Nabi pada tahun 7 H ketika beliau berada di Khaibar. Ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan. Sejak ia bertemu dengan Nabi dan berbaiat kepada beliau untuk masuk Islam, ia bisa dikatakan tidak pernah berpisah dari beliau kecuali pada saat tidur saja. Kejadian itu berjalan selama masa empat tahun yang dilaluinya bersama Rasulullah, sejak ia memeluk Islam sampai nabi perbi ke Rahmatullah.

     Kita katakan, waktu yang hanya empat tahun itu tidak ubahnya bagai usia manusia seutuhnya. Empat tahun itu merupakan waktu yang cukup panjang lebar, penuh dengan segala perkataan, perbuatan, dan pendengaran yang baik. Dengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah mendapat kesempatan yang besar yang memungkinkannya untuk memainkan peranan penting dalam berbakti untuk agama Allah.

     Pahlawan perang di kalangan shahabat itu tidak sedikit jumlahnya. Ahli fikih, juru dakwah, dan para guru juga tidak sedikit. Tetapi, lingkungan dan masyarakat memerlukan tulisan dan penulis. Pada masa itu kehidupan manusia pada umumnya, bukan hanya sebatas pada bangsa Arab saja, tidak peduli terhadap urusan tulis-menulis. Keahlian yang satu ini pada waktu itu belum merupakan bukti kemajuan di masyarakat manapun. Bahkan, Eropa sendiri juga demikian keadaannya sejak kurun waktu yang belum lama ini. Kebanyakan dari raja-rajanya, tidak terkecuali Charlemagne atau karel yang agung sebagai tokoh utamanya, adalah orang-orang buta huruf yang tidak bisa baca tulis, padahal menurut ukuran masa itu mereka memiliki kecerdasan dan kemampuan besar.

     Kita kembali pada pembicaraan semula untuk melihat bagaimana proses Abu Hurairah dengan fitrahnya dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun oleh Islam, yaitu kebutuhan terhadap orang-orang yang mampu memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya. Pada waktu itu di antara para shahabat memang sebagian mampu menulis, tetapi jumlah mereka sedikit sekali, belum lagi dari jumlah mereka yang sedikit ini sebagian tidak mempunyai kesempatan untuk mencatat hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasulullah.

     Abu Hurairah sendiri juga bukan seorang penulis, melainkan seorang ahli hafal yang mahir. Di samping itu, ia memiliki kesempatan atau banyak waktu luang baginya, karena ia tidak punya tanah yang akan digarap maupun perniagaan yang akan diurus. Ia pun menyadari bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan. Karena itu, ia bertekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan cara mengikuti Rasulullah terus-menerus dan senantiasa menyertai majelisnya.

     Kemudian, ia menyadari bahwa bakat yang dikaruniakan oleh Allah kepada dirinya adalah daya ingatannya yang luas dan kuat, dan bakat itu semakin bertambah kuat, tajam dan luas lagi dengan doa Rasulullah, agar pemilik bakat ini diberkahi oleh Allah. Bila demikian, bukanlah wajar bila Abu Hurairah menjadi salah seorang yang memelihara warisan umat ini dan mewariskannya kepada generasi-generasi selanjutnya? Tetu saja, dan peran itulah yang disiapkan oleh bakatnya, dan ia telah melakukannya dengan sebaik-baiknya.

     Sekali lagi, Abu Hurairah bukan tergolong dalam barisan penulis, melainkan sebagaimana telah penulis sebutkan sebelumnya, seorang yang terampil menghafa dan kuat ingatan. Karena ia tidak punya tanah yang akan ditanami atau perniagaan yang akan menyibukkannya, ia tidak berpisah dengan Rasulullah, baik saat sedang perjalanan maupun saat menetap.

     Begitulah, ia membaktikan diri dan ketajaman daya ingatnya untuk menghafal hadits dan wejangan Rasulullah. Ketika Rasulullah teelah pulang ke Ar-Rafi Al-A’la, Abu Hurairah terus-menerus menyampaikan hadits, yang menyebabkan sebagian shahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya hadits-hadits ini dan kapan ia mendengar serta menyimpannya dalam ingatan.

     Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan membela diri dari keragu-raguan yang menjangkiti sebagian shahabatnya, dengan ungkapan, “Kalian telah mengatakan bahwa Abu Hurairah terlalu banyak mengeluarkan hadits dari Nabi dan kalian juga menyatakan bahwa orang-orang muhajirin lebih dahulu daripadanya masuk Islam tidak menceritakan hadits-hadits itu.

     Ketahuilah, bahwa shahabat-shahabatku berasal dari kalangan muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedangkan shahabat-shahabatku dari kalangan Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka. Adapun aku, aku adalah orang miskin yang paling banyak menyertai majelis Rasulullah. Aku hadir ketika mereka yang absen, dan aku selalu ingat ketika mereka lupa.

     Nabi bersabda kepada kami pada suatu hari, ‘Siapa yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, ia tidak pernah sedikit pun yang pernah didengarnya dari diriku.’ Maka aku membentangkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian aku meraih kain itu ke diriku.

     Demi Allah, aku tidak pernah lupa sedikit pun apa yang pernah kudengar dari beliau. Demi Allah, kalau bukan karena satu ayat dalam kitab Allah, aku tidak akan menceritakan satu hadits pun selamanya. Ayat itu ialah:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati,
QS:Al-Baqarah | Ayat: 159

     Begitulah, Abu Hurairah membocorkan rahasia kenapa ia menjadi satu-satunya shahabat yang paling banyak mengeluarkan riwayat dari Rasulullah. Pertama, karena ia memiliki waktu luang lebih banyak untuk menyertai Nabi daripada para shahabat lainnya. Kedua, karena ia memiliki daya ingat yang kuat, dan dimintakan berkah oleh Rasulullah, sehingga ingatannya semakin kuat. Ketiga, ia menceritakannya bukan karena ia gemar bercerita, melainkan karena keyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadits tersebut merupakan tanggung jawabnya terhadap agama dan hidupnya. Kalau ia tidak melakukannya, berarti ia menyembunyikan kebaikan dan kebenaran, dan termasuk orang yang lalai, yang tentu akan menerima hukuman.

     Karena alasan itulah, ia harus memberitakan dan tidak peduli terhadap siapa pun yang menghalangi atau melarangnya, hingga suatu hari Amirul Mukminin Umar berkata kepadanya, “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Bila tidak, aku akan mengembalikanmu ke tanah Daus.

     Namun, larangan dari Amirul Mukminin tersebut bukan merupakan tuduhan bagi Abu Hurairah, melainkan sebagai salah satu sikap untuk mendukung suksesnya pemikiran yang dibangun dan disosialisasikan oleh Umar pada waktu itu; yaitu agar kaum Muslimin pada waktu itu tidak membaca dan menghafalkan yang lain selain Al-Qur’an, sampai melakat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran.

     Al-Qur’an adalah kitab Allah, undang-undang Islam, dan kamus agama ini. Banyaknya hadits dari Rasulullah, terutama pada tahun-tahun menyusul wafatnya Nabi, dan Al-Qur’an pun sedang dalam masa penyusunan pada waktu itu, dapat menyebabkan kesimpangsiuran dan campur baur yang tidak berguna dan tidak perlu terjadi. Karena alasan itulah, Umar berpesan, “Sibukkanlah diri kalian dengan Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah kalam Allah.” Umar juga mengatakan, “Kurangilah meriwayatkan dari Rasulullah, kecuali tentang sesuatu yang beliau lakukan.

     Ketika Umar mengutus Abu Musa Al-Asy’ari ke Iraq, ia berpesan kepadanya, “Engkau akan mendatangi suatu kaum yang di dalam masjid mereka sibuk membaca Al-Qur’an hingga seperti suara lebah, maka biarkanlah seperti itu dan jangan menyibukkan mereka dengan hadits, dan aku menjadi pendukungmu dalam hal ini.

     Al-Qur’an sudah dihimpun dengan jalan yang sangat cermat, hingga terjamin keasliannya tanpa dimasuki oleh sesuatu yang bukan bagiannya. Adapun hadits, Umar tidak dapat menjamin bebas dari pemalsuan atau perubahan atau dipakai sebagai alat untuk mengada-ada atas nama Rasulullah dan merugikan agama Islam.

     Abu Hurairah menghargai pandangan Umar ini, tetapi ia juga percaya terhadap dirinya dan teguh memenuhi amanah. Ia tidak ingin menyembunyikan satu pun hadits dan ilmu, selama diyakininya bahwa menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan. Karena itulah, setiap ada kesempatan untuk menumpahkan sisi dadanya terkait hadits yang pernah didengar dan ditangkapnya, ia memanfaatkan waktu itu untuk menceritakan dan mengatakan kepada orang lain.

     Hanya saja, ada persoalan lain yang merisaukan dan menimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah karena seringnya ia bercerita dan banyak meriwayatkan hadits. Persoalan itu ialah pada waktu itu juga muncul tukang hadits lain yang meriwayatkan dari Rasulullah. Ia memperbanyak dan berlebih-lebihan, sehingga para shahabat merasa tidak tenang terhadap sebagian besar dari hadits-hadits. Orang itu adalah Ka’ab Al-Ahbar, yang tak lain adalah seorang Yahudi yang masuk Islam.

     Suatu hari, Marwan bin Hakam bermaksud menguji Abu Hurairah dalam hafalan. Ia pun memanggil Abu Hurairah dan mengajak duduk bersamanya, lalu meminta kepadanya agar mengabarkan hadits-hadits dari Rasulullah. Pada saat yang sama, ia menyuruh penulisnya menuliskan apa yang diceritakan oleh Abu Hurairah dari balik dinding. Satu tahun kemudian, Marwan kembali memanggil Abu Hurairah dan memintanya agar membacakan lagi hadits-hadits yang pada tahun sebelumnya telah ditulis oleh sekretarisnya. Ternyata, tidak ada yang terlupakan oleh Abu Hurairah walau hanya sepatah kata pun.

     Abu Hurairah pernah berkata mengenai dirinya, “Tidak ada seorang pun dari shahabat Rasulullah yang lebih banyak menghafal hadits selain diriku, kecuali Abdullah bin Amr bin Al-Ash, karena ia pandai menuliskannya, sedangkan aku tidak.

     Imam Syafi’I mengemukakan pendapatnya tentang Abu Hurairah, “Ia seorang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi hadits semasanya.

     Al-Bukhari menyatakan, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah tidak ubahnya bagai suatu perpustakaan besar yang ditakdirkan kelestarian dan keabadiannya.

     Abu Hurairah termasuk orang yang ahli ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, yang selalu menunaikan shalat malam secara bergiliran bersama istri dan anak-anaknya. Ia sendiri shalat malam selama sepertiga malam, istrinya sepertiga malam, dan anaknya juga sepertiga malam. Dengan demikian, tidak ada waktu malam yang terlewati kecuali ada ibadah, zikir, dan shalat di rumah Abu Hurairah.

     Karena keinginannya memusatkan perhatiannya untuk menyertai Rasulullah, ia pernah tersiksa oleh lapar yang tidak pernah dirasakan oleh orang lain. Ia pernah menceritakan kepada kita bagaimana rasa lapar menggigit perutnya, sehingga ia mengikatkan batu dengan sorbannya ke perut dan menekankan hatinya dengan kedua tangan, lalu terjatuh di masjid sambil menggeliat kesakitan, hingga sebagian shahabatnya menyangkanya sedang terserang penyakit epilepsy, padahal sama sekali tidak.

     Sejak Abu Hurairah menganut Islam, tidak ada persoalan hiduo yang memberatkan dan menekan perasaannya, selain satu masalah yang hampir menyebabkannya tidak dapat memejamkan mata. Masalah itu ialah mengenai ibunya, karena waktu itu ibunya menolak untuk masuk Islam. Ibunya bukan saja menolak untuk masuk Islam, bahkan ia menyakiti perasaannya dengan menjelekkan Rasulullah di depannya.

     Suatu hari, ibunya kembali dengan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati Abu Hurairah tentang Rasulullah, hingga ia tidak dapat menahan tangisnya oleh kesedihan, lalu ia pergi ke Masjid Rasulullah. Marilah kita dengarkan ia menceritakan lanjutan kejadian itu:

  “Aku menjumpai Rasulullah sambil menangis, lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, aku telah mengajak ibuku untuk masuk Islam namun ia menolak ajakanku itu. Hari ini pun aku berusaha mendekatinya agar masuk Islam. Namun, ia justru mengeluarkan kata-kata yang tidak kusukai tentang dirimu. Karena itu, doakanlah kepada Allah agar memberikan petunjuk kepada ibuku untuk masuk Islam.

     Rasulullah berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.

     Aku segera berlari menjumpai ibuku untuk menyampaikan kabar gembira tentang doa Rasulullah itu. Ketika sampai di depan pintu, ternyata pintu itu terkunci. Aku mendengar bunyi gemericik air dari luar, dan ibuku memanggilku, ‘Wahai Abu Hurairah, tunggulah di tempatmu!

     Ibu keluar dengan memakai baju gamisnya, dan sambil merapikan kerudungnya, ia mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

     Aku pun segera berlari menemui Rasulullah sambil menangis karena gembira, sebagaimana dahulu aku menangis karena berduka. Aku berkata kepada beliau, ‘Aku menyampaikan kabar gembira, wahai Rasulullah. Bahwa Allah telah mengabulkan doamu. Allah telah memberikan petunjuk kepada ibuku untuk masuk Islam.

     Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi oleh orang-orang beriman, baik lelaki maupun perempuan.’ Maka Rasulullah berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini beserta ibunya dikasihi oleh setiap orang beriman lelaki dan perempuan’.

     Abu Hurairah hidup sebagai seorang ahli ibadah dan mujahid. Ia tidak pernah ketinggalan dalam perang maupun amal ketaatan. Pada masa Umar bin Al-Khatthab, ia diangkat sebagai gubernur di daerah Bahrain. Seperti yang telah kita ketahui, Umar sangat keras dan teliti terhadap pejabat-pejabat yang diangkatnya. Apabila ia mengangkat seseorang dan pada waktu itu ia mempunyai dua pasang pakaian. Ketika meninggalkan jabatannya nanti orang itu pun seharusnya hanya mempunyai dua pasang pakaian juga. Dan bahkan lebih utama bila ia hanya memiliki satu pasang saja.

     Apabila waktu meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, ia tidak akan luput dari interogasi Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan halal yang diperbolehkan dalam syariat. Ini benar-benar suatu dunia lain yang diisi oleh Umar dengan hal-hal luar biasa dan mengagumkan.

     Ternyata, ketika Abu Hurairah memangku jabatan sebagai seorang  gubernur Bahrain, ia menyimpan harta berasal dari sumber yang halal. Hal ini diketahui oleh Umar, sehingga ia pun dipanggil agar datang ke Madinah. Mari kita dengarkan Abu Hurairah memaparkan Tanya jawab yang berlangsung antara dirinya dan Amirul Mukminin Umar:

     “Wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?

     “Aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh kitab-Nya. Aku hanya menjadi musuh orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah.

     “Lalu dari mana engkau mengumpulkan harta sebanyak sepuluh ribu itu?

     “Kuda punyaku beranak-pinak dan pemberian orang berdatangan.

     “Kembalikan harta itu ke Baitul Mal!

     Abu Hurairah akhirnya menyerahkan harta itu kepada Umar, kemudian mengangkat tangannya ke  arah langit sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin.

     Tidak lama setelah itu, Umar memanggil Abu Hurairah kembali dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru. Tetapi, ia menolak dan meminta maaf karena tidak dapat menerimanya.

     Umar bertanya kepadanya, “Apa sebabnya engkau menolak?

     Abu Hurairah menjawab, “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku dirampas, dan punggungku dipukul.

     Kemudian ia melanjutkan, “aku takut bila nanti aku memutuskan tanpa ilmu dan berbicara tanpa belas kasih.

     Suatu hari, kerinduan Abu Hurairah untuk bertemu dengan Allah semakin kuat. Saat orang-orang yang mengunjungi datang dan mendoakannya agar cepat sembuh dari penyakitnya, ia sendiri justru memohon kepada Allah dengan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku sangat ingin bertemu dengan-Mu, dan semoga engkau pun demikian.

     Akhirnya pada tahun 59 H Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah dalam usia 78 tahun. Di sekeliling orang-orang saleh penghuni perkuburan Baqi’, di tempat yang diberkahi itu jasadnya dibaringkan. Pada saat orang-orang yang mengiringkan jenazahnya kembali dari perkuburan, mulut dan lidah mereka tiada hentinya membaca hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah kepada mereka dari Rasulullah yang mulia.


     Mungkin saja ada salah seorang di antara mereka yang baru masuk Islam menoleh dan bertanya kepada temannya, “Mengapa guru kita yang telah wafat itu diberi gelar Abu Hurairah (bapak kucing)?” Temannya yang telah mengetahui persoalan gelar itu pasti akan menjawab, “Pada masa jahiliyyah namanya ialah Abdu Syams, dan tatkala memeluk Islam, oleh Rasulullah diberi nama Abdurrahman. Ia sangat penyayang kepada binatang dan mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendong, dan diberi tempat. Kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayangannya. Inilah sebabnya ia diberi gelar Bapak Kucing. Semoga Allah ridha kepadanya dan ia pun ridha kepada Allah.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf