بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dia adalah salah seorang dari dua insan
yang bersaudara karena Allah, dan telah mengikat janji dengan Rasulullah yang
tumbuh dan berkembang bersama-sama. Ummu Sulaim, ibunya, membawanya menghadap
Rasulullah, saat usianya pada waktu itu baru 10 tahun, seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, ini adalah anak Anas, anak yang akan menjadi pelayanmu. Karena itu,
berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya.”
Rasulullah mencium anak itu tepat di
antara kedua matanya lalu mendoakan kebaikan untuknya. Doa agar dikaruniai usia
panjang dan penuh dengan kebaikan dan keberkahan. Dalam doa tersebut,
Rasulullah mengucapkan, “Ya Allah, perbanyaklah harta dan
anaknya, berkahilah ia, dan masukkanlah ia ke dalam surga.”
Anas hidup sampai usia 99 tahun dan
dikaruniai anak dan cucu yang banyak, di samping rezeki dalam wujud kebun yang
luas dan subur, yang dapat menghasilkan buah-buahan yang dipanen dua kali dalam
setahun.
Orang yang kedua dari dua bersaudara itu
adalah Al-Bara’ bin Malik. Ia menjalani hidupnya dengan kepribadian yang agung
dan berjiwa berani. Semboyan hidupnya adalah “Allah dan
surga”. Barang siapa melihatnya saat ia berperang mempertahankan agama
Allah, ia niscaya melihat ketakjuban di atas ketakjuban. Ketika Al-Bara’
berperang melawan orang-orang musyrik dengan pedangnya, ia bukanlah termasuk
orang-orang yang mencari kemenangan, malainkan mencari kesyahidan sekalipun
kemenangan pada waktu itu merupakan tujuan yang mulia. Puncak cita-citanya
ialah gugur syahid dan memenuhi janjinya di medan pertempuran yang mulia di
antara medan pertempuran Islam dan kebenaran. Untuk itulah, ia tidak pernah
ketinggalan dalam setiap peperangan, baik bersama Rasulullah maupun tidak.
Suatu hari, rekan-rekannya datang
mengunjunginya saat ia sedang sakit. Dia membaca mimic wajah mereka semua,
kemudian berkata, “Mungkin kalian akan mengkhawatirkan
aku akan mati di atas kasurku ini. Tidak, demi Allah, Rabbku tidak akan
menghalangiku untuk mati syahid.”
Allah benar-benar telah meluluskan
harapannya. Ia memang tidak mati di atas tempat tidurnya, melainkan gugur
syahid dalam salah satu pertempuran yang terdahsyat. Medan Perang Yamamah
sepertinya memang diciptakan untuk kepahlawanan Al-Bara’. Pertempuran itu
disiapkan untuk seorang pahlawan yang sampai-sampai Umar mewasiatkan agar ia
jangan menjadi komando pasukan, disebabkan keberaniannya yang luar biasa,
keperwiraan, dan keteguhan hatinya menghadang maut. Semua sifatnya itu akan
menyebabkan kepemimpinannya dalam pasukan membahayakan anak buahnya dan dapat
membawa kebinasaan.
Al-Bara’ berdiri di medan Perang Yamamah
ketika tentara Islam yang berada di bawah lomando Khalid bin Al-Walid
bersiap-siap untuk menyerbu. Ia berdiri untuk menghadapi detik-detik yang ia
rasakan berjalan lama sekali sebelum akhirnya panglimanya memerintahkan maju.
Kedua matanya yang tajam bergerak-gerak dengan cepatnya menelusuri seluruh
medan tempur, seolah-olah sedang mencari tempat bersemayam terbaik untuk
seorang pahlawan. Hal itu wajar karena tidak ada di dunia ini yang menyibukkan
dirinya selain tujuan yang satu ini.
Korban di pihak kaum Musyrikin penyeru
kezaliman dan kebatilan banyak yang berjatuhan akibat ketajaman pedang Al-Bara’
yang ampuh. Kemudian di akhir pertempuran, suatu pukulan pedang mengenai
tubuhnya dari tangan seorang musyrik, yang menyebabkan tubuhnya jatuh ke tanah,
sementara rohnya terbang menempuh jalannya ke tingkat yang tertinggi di
singgasana para syuhada dan tempat kembali orang-orang yang diberkahi.
Khalid menyerukan suara takbir, “Allahu
Akbar”, maka seluruh
barisan yang berlapis-lapis itu pun maju ke
arah sasarannya. Al-Bara’ sang perindu kematian pun menjadi bagian di
antara mereka. Ia terus mengejar pengikut Musailamah Al-Kadzab dengan
pedangnya, hingga mereka berjatuhan laksana daun kering di musim gugur.
Tentara Musailamah bukanlah tentara yang
lemah dan sedikit jumlahnya, bahkan merupakan barisan tentara murtad yang
paling berbahaya. Kuantitas, amunisi, dan kenekatan prajuritnya merupakan
bahaya di atas semua bahaya. Mereka mampu meladeni serangan kaum Muslimin
dengan perlawanan yang mencapai puncak kekerasan. Para tokoh dan orator mereka
meneriakkan kata-kata yang membangkitkan semangat dari atas pelana kuda mereka.
Mereka juga mengingatkan janji Allah.
Al-Bara’ bin Malik mempunyai suara indah
dan keras. Ia dipanggil oleh panglima Khalid, “Wahai Bara’.”
Al-Bara’ pun menyerukan kata-kata yang
penuh kaya makna dan kuat. Kalimat yang ia ucapkan ialah’ “Wahai
penduduk, tidak ada lagi Madinah bagi kalian sekarang. Yang ada hanyalah Allah
dan surga.”
Ucapan itu menunjukkan semangat orang yang
mengucapkan dan menjelaskan kualitasnya. Benar, yang tinggal hanyalah Allah dan
surga, karena di dalam suasana dan tempat seperti ini tidak sepantasnya ada
pikiran-pikiran kepada yang lain walau Madinah, ibukota Negara Islam, tempat
rumah tangga, istri, dan anak-anak mereka. Sekarang mereka tidak pantas
berpikir ke sana. Sebab bila mereka sampai dikalahkan, tidak ada artinya
Madinah lagi.
Kata-kata Al-Bara’ ini meresap laksana…,
laksana apa? Perumpamaan apa pun akan terasa tidak tepat karena tidak sepadan
dengan pengaruh yang ditimbulkannya. Kalau begitu, kita katakan saja, kata-kata
Al-Bara’ini telah meresap dan itu saja sudah cukup. Dalam waktu yang tidak
lama, suasana pertempuran pun kembali kepada keadaannya semula.
Kaum Muslimin maju sebagai pendahuluan
bagi suatu kemenangan yang gemilang. Orang-orang musyrik tersungkur ke jurang
kekalahan yang amat pahit. Pada saat itu Al-Bara’ bersama rekan-rekannya
berjalan dengan bendera Muhammad hendak mencapai tujuan yang utama. Orang-orang
musyrik mundur dan melarikan diri ke belakang. Mereka berkumpul dan berlindung
di suatu perkebunan besar yang mereka ambil sebagai benteng pertahanan.
Pertempuran menjadi reda dan semangat kaum
Muslimin agak surut. Dan tampaknya, kondisi yang aman itu merupakan kesempatan
yang ditunggu-tunggu oleh pengikut dan tentara Musailamah agar kendali
peperangan berbalik ke tangan mereka. Pada saat yang genting itu, Al-Bara’ naik
ke bukit dan berteriak, “Wahai kaum Muslimin, bawalah aku dan
lemparkan ke tengah-tengah mereka ke dalam kebun itu.”
Bukankah sudah penulis katakan sebelumnya
kepada kalian bahwa ia bukan mencari kemenangan melainkan kesyahidan? Ia
benar-benar membayangkan bahwa langkah ini adalah penutup yang terbaik bagi
kehidupannya, dan bentuk yang terindah untuk kematiannya. Ketika ia dilemparkan
ke dalam kebun itu nanti, ia segera membukakan pintu bagi kaum Muslimin, dan
bersamaan dengan itu pedang-pedang orang musyrikin akan melukai dan mengoyak
tubuhnya, tetapi di waktu itu pula pintu-pintu surga akan terbuka lebar
memperlihatkan kemewahan dan kenikmatannya untuk menyambut pengantin baru yang
mulia.
Al-Bara’ rupanya tidak menunggu digotong
dan dilemparkan oleh kaumnya. Ia sendiri memanjat dinding dan melemparkan
dirinya ke dalam kebun dan langsung membukakan pintu yang selanjutnya langsung
diserbu oleh tentara Islam. Hanya saja, mimpi Al-Bara’ belum menjadi kenyataan,
karena ternyata tidak ada pedang kaum musyrikin yang sampai mencabut nyawanya,
sehingga ia tidak berjumpa dengan kematian yang selama ini didambakan. Benar
apa yang dikatakan oleh Abu Bakar, “Songsong dan carilah kematian, niscaya
engkau akan mendapatkan kehidupan.”
Benar, bahwa tubuh pahlawan itu menderita
lebih dari 80 tusukan pedang orang-orang musyrik, sehingga sebulan setelah
perang itu berlalu, ia masih lupa lukanya belum sembuh dan Khalid sendiri ikut
merawatnya pada waktu itu. Tetapi, semua yang menimpa dirinya ini belum lagi
dapat mengantarkannya kepada apa yang dicita-citakannya.
Namun, hal itu tidak menyebabkan Al-Bara’
berputus asa. Esok aka nada lagi pertempuran lain. Rasulullah pernah
mengabarkan kepadanya bahwa ia memiliki doa yang dikabulkan oleh Allah. Dengan
demikian yang harus dilakukannya adalah selalu berdoa kepada Rabbnya agar
dikaruniai kesyahidan. Setelah itu, ia tidak perlu terburu-buru karena setiap
ajal itu ada ketetapan waktunya.
Sekarang Al-Bara’ telah sembuh dari
luka-luka Perang Yamamah. Kini ia maju lagi bersama pasukan Islam yang pergi
hendak menghalau semua kekuatan kezaliman ke tempat kematiannya. Kekuatan zalim
itu berada di sana tempat dua kerajaan raksasa dan aniaya, yaitu Romawi dan
Persia, yang dengan tentaranya yang ganas menduduki negeri Allah, memperbudak
hamba-hamba-Nya, dan mengintip kelemahan pasukan Islam. Al-Bara’ memukulkan
pedangnya dan di setiap tempat bekas pukulan itu berdiri dinding yang kokoh
dalam bangunan dunia baru yang akan tumbuh di bawah bendera Islam, yang tumbuh
dengan cepat bagai fajar yang terbit pada pagi hari.
Dalam salah satu peperangan di Iraq,
orang-orang Persia mempergunakan setiap cara yang rendah dan biadab yang dapat
mereka lakukan. Mereka menggunakan pengait-pengait yang diikatkan ke ujung
rantai yang dipanaskan dengan api, lalu melemparkan dari dalam benteng mereka,
sehingga dapat menyambar kaum Muslimin dan mengaitnya secara tiba-tiba,
sedangkan korban tidak dapat melepaskan diri.
Al-Bara’ dan saudaranya yang agung, Anas
bin Malik, mendapat tugas bersama sekelompok kaum Muslimin untuk merebut salah
satu dari benteng-benteng itu. Tetapi, tiba-tiba salah satu pengait yang
dilemparkan musuh jatuh dan menyangkut ke tubuh Anas, sedangkan ia tidak sanggup
memegang rantai untuk melepaskan dirinya, karena masih panas dan menyala.
Al-Bara’ menyaksikan peristiwa yang menyeramkan ini. Dengan cepat ia menuju
saudaranya yang sedang ditarik ke atas oleh pengait dengan talinya yang panas
menuju lantai dinding benteng. Dengan keberanian yang luar biasa ia memegang
rantai itu dengan kedua tangannya, lalu menarik dan menyentakkannya dengan
sekuat tenaga, hingga akhirnya ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, dan
Anas selamat dari bahaya.
Al-Bara’ dan orang-orang yang bersamanya,
nelihat kedua telapak tangannya dan ternyata tidak ada lagi pada tempatnya.
Dagingnya ternyata telah meleleh karena terbakar dan kini hanya tinggal
kerangkanya yang memerah kecokelatan dan terbakar hangus. Sang pahlawan kembali
menghabiskan cukup waktu yang lama untuk memulihkan luka bakarnya sampai
benar-benar sembuh.
Apakah belum juga datang masanya bagi sang
perindu kematian itu untuk mencapai maksudnya? Sudah, sekarang sudah datang
masanya. Inilah dia pertempuran Tustar yang sedang menjelang. Dan di sinilah
tentara Islam berhadapan dengan bala tentara Persia, dan di sini juga Al-Bara’
dapat merayakan pestanya yang terbesar.
Penduduk Ahwaz dan Persia telah bersekutu
dalam barisan tentara yang sangat besar hendak menyerang kaum Muslimin. Amirul
Mukminin Umar menuliskan surat kepada sa’ad bin Ab Waqash di Kufah agar
mengirimkan pesukan ke Ahwaz. Ia juga menuliskan surat kepada Abu Musa
Al-Asy’ari di Bashrah agar mengirimkan pasukan ke Ahwaz, sambil berpesan dalam
surat itu, “Angkatlah Suhail bin Adi sebagai
komandan pasukan dan hendaklah ia didampingi oleh Al-Bara’ bin Malik.”
Pasukan yang datang dari Kufah bertemu
dengan tentara yang datang dari Bashrah untuk menghadapi tentara Ahwaz dan
Persia dalam sebuah pertempuran yang sangat berbahaya. Di kalangan tentara umat
Islam terdapat dua orang bersaudara utama, yaitu Anas bin Malik dan Al-Bara’
bin Malik.
Pertempuran dimulai dengan perang tanding
satu lawan satu. Al-Bara’ sendiri menjatuhkan sampai seratus penantang dari Persia.
Kemudian berkecamuklah perang yang membaur di antara kedua pasukan dan dari
kedua belah pihak berjatuhan korban yang tidak sedikit.
Sebagian shahabat mendekati Al-Bara’ saat
perang sedang berlangsung. Mereka memanggilnya dengan seruan, “Wahai
Bara’, apakah engkau masih ingat sabda Rasulullah tentang dirimu: banyak orang
yang berambut kusut masai dan berdebu dan hanya memiliki dua pakaian lapuk
hingga tidak diperhatikan orang sama sekali, namun seandainya ia memohon
kutukan kepada Allah bagi mereka, pastilah akan diluluskannya. Dan diantara
orang-orang itu ialah Al-bara’ bin Malik? Wahai Bara’, bersumpahlah kamu kepada
Rabbmu, agar Dia mengalahkan musuh dan menolong kita.”
Al-Bara’ pun mengangkat kedua tangannya
ke arah langit dengan merendah diri lalu
berdoa, “Ya Allah, berikanlah bumi mereka kepada kami.
Ya Allah, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami atas mereka dan pertemukanlah
aku hari ini dengan Nabi-Mu.”
Al-Bara’ mengarahkan pandangannya kepada
saudaranya (Anas) yang berperang berdampingan dengannya dengan pandangan yang
lama sekali seolah-olah hendak mengucapkan selamat tinggal. Kaum Muslimin
menyerbu dengan keberanian yang tidak dikenal dunia kecuali dari mereka. Mereka
akhirnya mendapatkan karunia kemenangan yang nyata.
Di tengah-tengah para syuhada di medan
pertempuran, di sanalah Al-Bara’ dengan wajahnya menampilkan senyuman yang
manis seperti cahaya fajar. Tangan kanannya menggenggam segumpal tanah
berlumuran darah yang suci. Musafir itu telah sampai ke kampungnya. Ia bersama
temannya yang juga gugur syahid telah mencapai perjalanan hidup yang agung lagi
mulia, dan mereka menerima panggilan:
وَنَزَعْنَا مَا فِي
صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ ۖ وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا
أَنْ هَدَانَا اللَّهُ ۖ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ ۖ وَنُودُوا
أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada
mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala
puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami
sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami
petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa
kebenaran". Dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang
diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan".
QS:Al-A'raf | Ayat: 43
QS:Al-A'raf | Ayat: 43
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
1 komentar:
mengapa Anda meletakkan gambar ini
Posting Komentar