Minggu, 29 Desember 2013

Filled Under:

Utbah bin Ghazwan (Esok Kalian akan Melihat Para Pejabat Pemerintahan yang Tidak Seperti Aku).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Di antara kaum Muslimin yang masuk Islam lebih dulu, dan di antara muhajirin pertama yang hijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan di antara pemanah pilihan yang tidak banyak jumlahnya yang telah banyak berjasa besar di jalan Allah, ada seorang lelaki dengan perawakan tinggi dengan muka bercahaya dan rendah hati. Dialah Utbah bin Ghazwan.

     Utbah merupakan orang yang ketujuh dari tujuh orang yang masuk Islam lebih awal dan mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah untuk menyatakan baiat dan bersedia menghadapi orang-orang Quraish yang melakukan kezaliman dengan segala kekuatan dan kekuasaannya.

     Pada hari-hari pertama dimulainya dakwah yang penuh penderitaan dan kesukaran, Utbah bersama rekan-rekannya telah memegang teguh suatu prinsip hidup mulia yang kelak menjadi bekal bagi hati nurani manusia dan akan berkembang menjadi luas melalui perkembangan masa. Ketika Rasulullah menyuruh para shahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah, Utbah termasuk di antara orang yang berhijrah itu. Hanya saja, kerinduannya kepada Nabi membuatnya merasa tidak tenang di sana, sehingga ia pun segera menjelajah daratan dan mengarungi lautan untuk kembali ke Mekkah, lalu tinggal di sana di samping Rasulullah hingga datang saatnya hijrah ke Madinah. Ketika itu Utbah juga berhijrah bersama kaum Muslimin lainnya.

     Sejak orang-orang Quraish melancarkan gangguan hingga berakhir pada peperangan, Utbah selalu membawa tombak dan anak panahnya. Ia melemparkan tombaknya dengan ketepatan yang luar biasa dan bersama para saudaranya seiman turut berperan dalam menghancurkan dunia lama dengan segala berhala dan kebohongannya.

     Ketika Rasulullah yang mulia telah wafat, ia juga tidak pernah meletakkan senjatanya bahkan selalu berkenan untuk berperang di muka bumi. Ketika berhadapan dengan tentara Persia, ia melakukan perjuangan yang agung.

     Amirul Mukminin Umar mengirim Utbah ke Ubullah untuk membebaskan negeri itu dan membersihkan buminya dari orang-orang Persia yang menjadikannya sebagai batu loncatan untuk menghancurkan kekuatan Islam yang sedang maju melintas wilayah-wilayah Persia. Ia diutus untuk membebaskan negeri Allah dan hamba-Nya dari cengkeraman mereka.

     Umar berkata kepada Utbah ketika melepaskannya bersama tentaranya, “Berangkatlah engau bersama anak buahmu hingga sampai batas terjauh dari negeri Arab, dan batas terdekat dari negeri Persia. Pergilah dan semoga Allah memberikan berkah dan karunia-Nya kepadamu. Serulah ke jalan Allah siapa yang menyambut seruanmu, sedangkan siapa yang menolak hendaknya ia membayar jizyah. Ketahuilah bahwa perang itu tidak mengenal belas kasihan terhadap setiap musuh. Tabahlah menghadapi musuh serta tawakalah kepada Allah, Rabbmu.

     Utbah pun berangkat meminpin pasukannya yang tidak banyak jumlahnya itu hingga tiba di Ubullah. Ketika itu orang-orang Persia telah menyiapkan tentara mereka yang terkuat. Utbah pun menyusun kekuatannya dan berdiri di muka pasukannya sambil membawa tombak di tangannya yang belum pernah meleset dari sasarannya sejak ia berkenalan dengan tombak. Ia berseru di tengah-tengah tentaranya, “Allah Maha Besar! Dia menepati janji-Nya.

     Ia seolah-olah dapat membaca apa yang akan terjadi karena tidak lama setelah terjadi pertempuran beberapa babak, Ubullah pun menyera dan buminya dibersihkan dari tentara Persia. Penduduknya terbebas dari kekejaman selama ini yang dirasakan bagai di penjara. Allah Yang Maha Agung benar-benar telah menepati janji-Nya.

     Di tanah Ubullah itu Utbah membangun kota Bashrah dengan dilengkapi sarana perkotaan dan membangun sebuah masjid besar. Setelah itu ia bermaksud meninggalkan negeri itu dan kembali ke Madinah, menjauhkan diri dari urusan pemerintahan. Namun, Amirul Mukminin Umar keberatan dan menyuruhnya tetap di sana.

     Utbah akhirnya menetap disana untuk menjadi imam shalat bagi rakyat setempat, memberikan pemahaman tentang agama kepada mereka, menegakkan hukum dengan adil, dan memberikan keteladanan yang sangat mengagumkan tentang kezuhudan, kewaraan, dan kesederhanaan. Ia selalu memerangi segala bentuk kemewahan dan sikap berlebih-lebihan dengan sekuat tenaga, sehingga orang-orang yang terbiasa dengan kesenangan dan hawa nafsu membencinya.

     Suatu hari, Utbah berpidato di tengah-tengah mereka, “Demi Allah, kalian telah melihatku bersama Rasulullah sebagai orang ketujuh dari tujuh orang. Kami tidak memiliki makanan selain daun-daunan, sehingga bagian dalam mulut kami terluka. Suatu hari aku dikaruniai rezeki berupa sehelai baju, lalu kubelah dua, separuh kuberikan kepada Sa’ad bin Malik dan separuh lagi kupakai untuk diriku.” Utbah sangat takut bila dunia akan marusak agamanya, sebagaimana ia juga khawatir bila itu terjadi kepada kaum Muslimin. Karena itu, ia selalu membimbing mereka agar hidup dalam kesederhanaan dan qanaah.

     Banyak orang telah mencoba pendiriannya dan membuatnya merasa bahwa dirinya adalah seorang penguasa yang memiliki hak-hak kekuasaan, apalagi ia berkuasa di negeri yang raja-rajanya belum terbiasa dengan zuhud dan hidup sederhana dan penduduknya juga menghargai penampilan luar yang berlebihan dan gemerlapan. Namun, semua itu dijawab oleh Utbah, “Aku berlindung kepada Allah dari keadaan yang terlihat besar dalam pandangan dunia kalian, namun kecil di sisi Allah.

     Ketika ia melihat adanya rasa keberatan pada wajah-wajah orang banyak karena kekokohan sikapnya untuk membiasakan mereka hidup dalam kesederhanaan dan qanaah, ia berkata kepada mereka, “Besok kalian akan melihat pemimpin pemerintahan yang menggantikan aku.

     Musim haji pun tiba. Utbah mewakilkan pemerintahan Bashrah kepada salah seorang rekannya, sedangkan ia sendiri pergi untuk menunaikan ibadah haji. Ketika ia telah selesai menunaikan ibadahnya, ia melanjutkan perjalanan ke Madinah. Di sana ia memohon kepada Amirul Mukminin agar Utbah diperkenankan mengundurkan diri dari pemerintahan. Tetapi, Umar tidak ingin menyia-nyiakan kepribadian dari orang-orang zuhud seperti ini, yang menjauhkan diri dari posisi yang amat didambakan dan menjadi incaran banyak orang.

     Umar pernah berkata kepada orang-orang, “Apakah kalian hendak menaruh amanah di atas pundakku, kemudian kalian tinggalkan aku untuk memikulnya seorang diri? Tidak, demi Allah, tidak aku izinkan untuk selamanya.” Kata-kata tersebut juga diucapkan kepada Utbah bin Ghazwan. Mau tidak mau Utbah harus patuh dan taat. Ia akhirnya pergi menuju keberadaannya untuk kembali ke Bashrah.

     Tetapi, sebelum naik ke atas kendaraan itu, ia menghadap ke arah kiblat, lalu mengangkat kedua telapak tangannya yang penuh ketundukan itu ke langit sambil memohon kepada Allah agar ia tidak dikembalikan ke Bashrah dan tidak pula menjadi pimpinan pemerintahan untuk selamanya.


     Doanya dikabulkan oleh Allah. Saat ia sedang dalam perjalanan ke wilayah pemerintahannya, maut datang menjemputnya. Rohnya naik ke Penciptanya, bersuka cita dengan pengorbanan, kezuhudan, dan kesahajaannya, di samping karena nikmat yang telah disempurnakan oleh-Nya dank arena pahala yang telah disediakan untuk dirinya.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf