بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Orang-orang yang mendengarkannya
menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, dan mereka menanyakan, “Apakan
itu, wahai Abud Darda’?”
Abud
Darda’ memulai kata-katanya dengan wajah berseri-seri, di bawah cahaya iman dan
hikmah, lalu menjawab, “Zikir kepada Allah, karena
sesungguhnya zikir kepada Allah itu lebih utama.”
Dengan kata-kata itu, ahli hikmah yang
mengagumkan ini tidak bermaksud menganjurkan orang menganut filsafat
mengucilkan diri, bukan menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak pula agar
mengabaikan tugas agama yang baru ini, karena salah satu tugasnya menempatkan
jihad sebagai sebuah kebanggaan. Abud Darda’ tentu saja bukanlah tipe orang
yang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan agama ini
bersama Rasulullah sampai datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan
kemenangan merebut Mekkah.
Hanya saja, salah satu ciri yang terdapat
dalam dirinya, ia termasuk orang yang suka merenung di relung hikmah, dan
mengabdikan hidupnya untuk mencari kebenaran dan keyakinan. Abud Darda’, ahli
hikmah yang besar di zamannya itu, adalah seorang insane yang telah dikuasai
oleh kerinduan yang sangat dalam untuk menemukan dan melihat hakikat.
Sebagaimana ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang teguh,
ia merasa juga yakin dan percaya bahwa iman ini, dengan segala kewajiban dan
pemahaman yang menyertainya, merupakan jalan utama dan satu-satunya untuk
mencapai hakikat itu.
Ia tetap berpegang teguh dan menyerahkan
dirinya kepada Allah. Dengan keteguhan, kedewasaan, dan keagungan, ia menempa
hidupnya sesuai dengan keimanan. Ia terus menelusuri jejak hingga mencapai
tingkat kebenaran yang teguh, dan menempati kedudukan yang tinggi bersama
orang-orang yang berbakti, yakni saat ia menyeru Rabbnya dengan membaca
ayat-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
QS:Al-An'am | Ayat: 162
QS:Al-An'am | Ayat: 162
Abud Darda’ telah berjihad melawan hawa
nafsu dan mengekang dirinya untuk memperoleh mutiara batin yang sempurna. Ia
telah mencapai tingkatan tertinggi, yaitu tingkatan orang yang mempersembahkan seluruh
kehidupannya semata bagi Allah pemelihara semesta alam.
Sekarang marilah kita mendekati ahli
hikmah dan orang suci itu! Apakah anda tidak memperhatikan cahaya yang memancar
di sekeliling sinarnya? Apakah anda tidak mencium wangi semerbak yang berhembus
dari arahnya? Itulah dia cahaya hikmah dan harumnya iman. Iman dan hikmah telah
bertemu kepada lelaki yang rindu kepada Rabbnya ini; suatu pertemuan bahagia
yang tiada tara.
Ibunya pernah ditanyai orang tentang amal
yang sangat disukai Abud Darda’, maka bundanya menjawab, “Tafakur
dan mengambil pelajaran.” Abud
Darda’ benar-benar telah meresapi dengan sempurna firman Allah yang terdapat
dalam beberapa ayat:
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ
ۚ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا ۖ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ
حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ
وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ
وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli
kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng
mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan
kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka
dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
QS:Al-Hasyr | Ayat: 2
QS:Al-Hasyr | Ayat: 2
Ia selalu mendorong rekan-rekannya untuk
merenung dan berpikir, dengan mengatakan kepada mereka, “Berpikir
satu jam itu lebih baik daripada beribadah satu malam.” Beribadah, berpikir, dan mencari hakikat telah
menguasai seluruh diri dan kehidupannya.
Saat Abud Darda’ rela mengambil Islam
sebagai agamanya dan berbaiat kepada Rasulullah akan melaksanakan agama yang
mulia ini, pada waktu itu ia adalah seorang saudagar kaya yang sukses di antara
saudagar-saudagar di Madinah. Sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan
sebagian besar umurnya dalam dunia perniagaan, bahkan sampai saat Rasulullah
dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madihan, tidak lama setelah ia masuk Islam,
dan Islam menjadi jalan hidupnya.
Marilah kita dengarkan saat ia sendiri
menceritakan kisah tersebut kepada kita, “Aku
menyatakan masuk Islam di hadapan Nabi saat aku menjadi saudagar. Aku ingin
agar ibadah dan perniagaanku dapat berjalan beriringan, tetapi hal itu tidak
berhasil. Aku pun mengabaikan perniagaan dan focus pada ibadah.
Aku tidak akan merasa bahagia sedikit pun jika sekarang aku berjual beli
dan beruntung setiap harinya tiga ratus dinar, sekalipun tokoku itu terletak di
depan pintu masjid. Perlu dipahami bahwa aku tidak mengatakan kepada kalian,
bahwa Allah mengharamkan jual beli. Hanya saja, secara pribadi aku lebih senang
bila aku termasuk ke dalam golongan orang yang perniagaan dan jual beli itu
tidak melalaikan dari zikir kepada Allah.”
Apakah anda tidak memperhatikan bagaimana
kata-katanya yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, serta memancarkan
hikmah dan kejujuran? Ia telah memberikan jawaban sebelum kita menanyakan
kepaanya, “Apakah Allah mengharamkan perniagaan, wahai
Abud Darda’?”
Uraiannya melenyapkan kesangsian yang ada
dalam pikiran kita. Ia mengisyaratkan kepada kita tujuan yang lebih tinggi yang
hendak dicapainya, dalam wujud meninggalkan jual beli sekalipun ia sukses dalam
hal ini. Ia mencari keistimewaan dan keluhuran rohani yang berkembang menuju
derajat tertinggi yang dapat dicapai oleh anak manusia.
Abud Darda’ menghendaki agar ibadah itu
laksana tangga yang akan mengangkatnya ke alam kebaikan yang tinggi, agar
kebenaran itu berada dalam puncak keluhuran dan hakikat itu memancarkan
cahayanya. Seandainya yang ia kehendaki hanyalah menunaikan perintah dan
meninggalkan larangan, niscaya ia sanggup menghimpun antara keinginannya itu
dan perdagangan serta usaha-usahanya yang lain. Berapa pedagang yang saleh,
atau sebaliknya orang saleh yang jadi pedagang.
Di antara para shahabat Rasulullah pun
banyak yang banyak berniaga dan perniagaan mereka tidak melalaikan dari
mengingat Allah, bahkan mereka giat mengembangkan perniagaan dan hartanya untuk
dibaktikan kepada tujuan Islam dan mencukupi kepentingan kaum Muslimin. Namun,
jalan yang ditempuh para shahabat yang lain itu tidak mengurangi arti jalan
hidup Abud Darda’, dan sebaliknya jalan yang ditempuhnya juga tidak mengurangi
makna jalan mereka, karena setiap orang dimudahkan Allah untuk mengikuti jalan
hidup yang ditetapkan bagi masing-masing.
Abud Darda’ benar-benar menyadari bahwa ia
diciptakan untuk meraih sesuatu yang memang sedang hendak dicapainya itu, yaitu
mengkhususkan diri mencari hakikat melalui “latihan-latihan berat” dalam wujud
menjauhi kesenangan dunia sesuai dengan keimanan yang diajarkan Allah
kepadanya, menurut tuntunan Rasulullah dan Islam.
Jika anda suka, sebutlah itu tasawuf,
hanya saja tasawuf seorang lelaki yang telah melengkapi kecerdasan seorang
Mukmin, kemampuan berpikir, dan pemahaman seorang shahabat, serta yang
menjadikan tasawufnya suatu gerakan dinamis yang membina rohani, bukan sekedar
hanya baying-bayang yang baik dari bangunan ini. Itulah dia Abud Darda’,
shahabat sekaligus murid Rasulullah.
Itulah dia Abud Darda’ seorang suci dan
ahli hikmah, yang telah menolak dunia dengan kedua telapak tangannya dan
melindunginya dengan dadanya. Ia adalah sosok lelaki yang mampu mengasah dan
menyucikan jiwa, sehingga menjadi cermin yang memantulkan hikmah, kebenaran dan
kebaikan, yang menjadikan Abud Darda’ sebagai seorang guru dan ahli hikmah yang
lurus. Berbahagialah mereka yang datang menemuinya dan mendengarkan ajarannya.
Sekarang, mari kita mendekat untuk
mengetahui lebih jauh tentang hikmah darinya, wahai orang yang berakal. Kita
mulai dengan filsafatnya terhadap dunia; terhadap kesenangan dan kemewahan. Ia
telah terpengaruh hingga hingga ke dasar jiwanya oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang
menghinakan orang seperti dalam ayat:
الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,
QS:Al-Humazah | Ayat: 2
QS:Al-Humazah | Ayat: 2
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,
QS:Al-Humazah | Ayat: 3
QS:Al-Humazah | Ayat: 3
Ia juga sangat terkesan sampai ke lubuk
hatinya oleh sabda Rasulullah:
“Sedikit
tetapi mencukupi itu lebih baik daripada yang banyak tetapi melalaikan.”
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:
“Jauhkanlah
diri kalian dari keduniaan semampu kalian, sebab siapa yang menjadikan dunia tujuan
utamanya, Allah akan menceraiberaikan urusannya, lalu menjadikan kemiskinan
dalam pandangan matanya. Dan siapa yang menjadikan akhirat tujuan utamanya,
Allah akan menghimpunkan miliknya yang bercerai berai, lalu menjadikan kekayaan
dalam hatinya, dan menjadikan kebaikan mudah baginya” <HR.
Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir>.
Karena
itulah, Abud Darda menyesalkan orang-orang uang menjadi tawanan segala
keinginan untuk menumpuk kekayaan dan berkata, “Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang.” Ditanyakan kepadanya, “Apakah
yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu, wahai Abud Darda’?” ia menjawab, “Memiliki
harta di setiap lembah.”
Ia menyeru kepada manusia untuk memiliki
dunia tanpa terikat kepada dunia. Itulah sejatinya kepemilikan seseorang
terhadap dunia ini. Adapun keinginan untuk menguasainya secara serakah tidak
akan pernah ada kesudahannya, maka yang demikian adalah bentuk penghambatan dan
perbudakan terburuk. Dalam hal ini ia berkata, “Barang siapa
yang tidak merasa puas terhadap dunia, maka tidak ada dunia baginya.”
Harta baginya hanya sarana untuk hidup
bersahaja dan sederhana, tidak lebih dari itu. Karena itulah, setiap orang
harus berupaya mendapatkan harta yang halal dan mendapatkannya secara tenang
dan seimbang, bukan dengan kerakusan dan keserakahan.
Abud Darda’ juga menuturkan, “Janganlah
engkau makan kecuali dengan yang baik, janganlah melakukan upaya kecuali yang
baik, dan janganlah memasukkan ke rumahmu kecuali yang baik.”
Ia pernah mengirimkan surat kepada
shahabatnya dengan kata-kata sebagai berikut:
“Amma ba’d,
tidak satu pun harta kekayaan dunia yang engkau miliki, melainkan sudah ada
orang lain yang memilikinya sebelum dirimu, dan akan terus ada orang lain yang
memilikinya setelah dirimu. Dunia yang engkau miliki sejatinya hanya sekedar
yang telah kamu manfaatkan untuk dirimu. Karena itulah, utamakanlah harta itu
untuk anakmu di mana engkau mengumpulkan harta untuknya agar menjadi warisan
baginya.
Sejatinya, engkau mengumpulkan harta itu untuk salah satu dari dua
kemungkinan: (pertama) untuk anak yang saleh yang beramal dengan harta itu
untuk menaati Allah, maka ia berbahagia dengan segala kepayahanmu mengumpulkan
harta itu. Dan (kedua) untuk anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk
maksiat, maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah kamu kumpulkan
untuknya itu. Percayakanlah nasib mereka kepada rezeki yang ada pada Allah, dan
selamatkanlah dirimu sendiri.”
Menurut pandangan Abud Darda’, dunia seluruhnya
hanya titipan. Ketika Siprus ditaklukkan dan banyak harta rampasan perang di
bawa ke Madinah, orang-orang melihat Abud Darda’ menangis. Dengan perasaan
heran mereka mendekatinya dan meminta Jubair bin Nafir untuk menanyainya, “Wahai
Abud Darda’, apakah sebabnya engkau menangis pada saat Islam dan pemeluknya
telah dimenangkan oleh Allah?”
Abud Darda’ menjawabnya dengan kata-kata
yang sangat berharga dan penuh arti, “Celakalah
engkau, wahai Jubair! Alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka
meninggalkan perintah-Nya. Bila suatu umat yang perkasa, Berjaya, dan mempunyai
kekuatan, lalu mereka meninggalkan perintah Allah, niscaya mereka menjadi
seperti yang engkau lihat.”
Faktanya memang benar. Menurut Abud
Darda’, keruntuhan yang begitu cepat melanda tentara Islam di negeri-negeri
yang dibebaskan penyebabnya ialah negeri-negeri tersebut kehilangan pegangan
rohani yang baik sebagai pelindung dan agama yang benar yang menghubungkanya
dengan Allah. Dengan alasan yang sama, ia juga mengkhawatirkan keadaan kaum
Muslimin saat ikatan iman mereka mengendur, ketika hubungan mereka dengan
Allah, kebenaran, dan kebaikan menjadi lemah, sebagaimana dulu berpindah kepada
mereka dengan mudah pula.
Menurut keyakinannya, dunia seluruhnya
hanya pinjaman semata, yang sekaligus menjadikan jembatan untuk menyeberang ke
kehidupan yang abadi dan lebih membahagiakan.
Suatu saat, shahabatnya datang
menjenguknya ketika dia sedang sakit. Meeka mendapatinya terbaring di atas
tikar dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya dengan kasur yang lebih empuk.
Ia pun menjawab tawaran ini sambil member
isyarat dengan jari telunjuknya, sedang kedua matanya yang bercahaya menatap
jauh kedepan, “Negeri kita jauh di sana. Kita
mengumpulkan untuk negeri itu dan kesanalah kita akan kembali. Kita akan
berangkat dan beramal untuk bekal di sana.”
Pandangan terhadap nilai dunia ini bagi
Abud Darda’ bukan sekedar perspektif nalar saja, melainkan lebih dari itu, merupakan
suatu jalan hidup. Yazid bin Mu’awiyyah, putra khalifah pada waktu itu, pernah
melamar putrid Abud Darda’, namun ia menolak lamaran tersebut. Kemudian, ketika
putrinya tersebut dilamar oleh salah seorang putra kaum Muslimin yang miskin
tetapi saleh, putrinya itu pun dinikahkan dengannya. Orang-orang tidak habis
piker dengan keputusannya itu.
Abud Darda’ pun mengajarkan kepada mereka
alasan-alasannya, dengan mengatakan, “Bagaimana
opini kalian nanti tentang si Abud Darda’ bila putrinya telah dikelilingi para
pelayan dan terperdaya oleh kemewahan istana? Di mana letak agamanya waktu itu?”
Itulah dia seorang yang bijaksana dan
berjiwa lurus dengan hati yang mulia. Semua kesenangan dunia yang sangat
diinginkan nafsunya dan didambakan kalbunya, mampu ia tundukkan. Ini tidak
berarti bahwa ia lari dari kebahagiaan, tetapi sebaliknya kebahagiaan sejati
baginya ialah menguasai dunia, bukan dikuasai dunia. Bila manusia hidup dalam
batas kesahajaan dan kesederhanaan; bila mereka menggunakan hakikat dunia
sebagai jembatan yang akan menyeberangkan ke kampung halaman yang abadi, itu
berarti mereka akan memperoleh kebahagiaan sejati yang lebih semprna dan lebih
agung.
Abud Darda’ mengatakan, “Kebaikan
bukanlah karena dengan memperbanyak harta dan anak. Kebaikan yang sesungguhnya
ialah bila semakin besar rasa santunmu, semakin bertambah banyak ilmumu, dan
kamu berpacu menandingi orang lain dalam mengabdi kepada Allah.”
Pada masa Khalifah Utsman, Mu’awiyyah
menjadi gubernur di Syam dan Abud Darda’ menjabat hakim atas kehendak Khalifah.
Di Syam itulah Abud Darda’ menjadi tonggak penegak yang mengingatkan orang
tentang jalan yang ditempuh Rasulullah dalam hidup beliau, kezuhudan beliau,
dan jalan hidup para pelopor Islam pertama dari golongan syuhada dan
orang-orang yang berbakti.
Negeri Syam waktu itu adalah negeri yang
makmur penuh dengan kenikmatan dan kemewahan hidup. Penduduk, yang mabuk dengan
kesenangan dunia dan tenggelam dalam kemewahan ini, seolah-olah dibatasi oleh
peringatan dan nasihat Abud Darda’. Abud Darda’ mengumpulkan mereka dan berdiri
untuk menyampaikan pidato:
“Wahai
penduduk Syam, kalian adalah saudara seagama, tetangga dalam rumah tangga, dan
pembela melawan musuh. Tetapi, saya merasa heran melihat kalian semua, mengapa
kalian tidak merasa malu? Kalian mengumpulkan apa yang tidak kalian makan.
Kalian membangun semua apa yang tidak akan kalian huni. Kalian mengharapkan apa
yang tidak akan kalian capai.
Beberapa kurun waktu sebelum kalian, mereka pun mengumpulkan dan
menyimpannya. Mereka mengangan-angankan, lalu mereka berkepanjangan dalam
angan-angan mereka itu. Mereka membangun dan mengokohkan bangunan itu tetapi
akhirnya semua itu binasa. Angan-angan mereka menjadi fatamorgana. Rumah-rumah
mereka menjadi kuburan belaka. Mereka itulah kaum Add, yang memenuhi wilayah
antara Aden dan Oman dengan harta dan anak-anak mereka.”
Kemudian kedua bibirnya menyunggingkan
senyuman lebar yang mengisyaratkan sindiran. Ia melambaikan tangannya kepada
khalayak yang hadir dengan sindiran yang tajam, ia berteriak, “Siapakah
yang mau membeli harta peninggalan kaum Add dariku dengan harta dua dirham
saja?”
Abud Darda’ memang sosok orang yang
berwibawa, anggun, dan memancarkan cahaya. Hikmahnya meyakinkan, firasatnya
menakjubkan, serta logikanya benar dan cerdas. Ibadah menurut Abud Darda’ bukan
sekedar rutinitas ritual dan ikut-ikutan, melainkan suatu upaya untuk mencari
kabaikan dan mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan rahmat dan ridha
Allah, senantiasa rendah hati, dan mengingatkan manusia akan kelemahannya serta
kelebihan Rabb atasnya.
Ia pernah mengatakan, “Carilah
kebaikan sepanjang hidupmu, dan berharaplah mendapatkan terpaan hembusan
karunia Allah, sebab Allah mempunyai hembusan-hembusan rahmat yang dapat
mengenai siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Mohonlah kepada
Allah agar menutupi kekurangan kalian, dan menganugerahkan ketenteraman dari
ketakutan kalian.”
Mata ahli hikmah ini selalu terbuka untuk
meneliti tipuan dalam ibadah dan mengingatkan kepada setiap orang dari
kepalsuan tersebut. Kepalsuan inilah yang banyak menimpa sebagian besar
orang-orang yang berwatak lemah dalam
iman mereka. Mereka merasa bangga dengan ibadah sendiri, lalu merasa dirinya
lebih baik daripada orang lain dan arogan. Marilah kita dengarkan penuturannya
yang lain, “Kebaikan sebesar biji sawi dari orang
yang bertakwa dan yakin itu lebih berat dan lebih bernilai daripada ibadah
sebesar gunung dari orang-orang yang tertipu oleh diri sendiri.”
Ia menambahkan, “Janganlah
kalian membebani orang lain dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya.
Janganlah kalian mengorek-orek mereka dalam urusan yang menjadi wewenang
Rabbnya. Jagalah diri kalian sendiri, sebab siapa yang selalu mengingini apa
yang dipunyai orang lain, niscaya akan berkepanjangan deritanya.”
Abud Darda’ tidak ingin seseorang yang
ahli ibadah, bagaimana pun tinggi pengabdiannya, mengaku dirinyalah secara
mutlak lebih sempurna dari hamba-hamba Allah yang lain. Ia justru harus
bersyukur kepada Allah atas taufik-Nya, dan menolong dengan mendoakan orang
lain yang belum mendapatkan taufik itu dengan ketinggian ibadah dan keikhlasan
niatnya. Apakah anda pernah mendapatkan kata-kata bijak yang sinarnya melebihi
hikmah yang budiman ini?
Seorang shahabatnya yang bernama Abu
Qalabah mangatakan, “Suatu haru Abud Darda’ melihat
orang-orang sedang mencaci maki seseorang yang terperosok dalam perbuatan dosa,
maka ia melarangnya.
Ia mengatakan, ‘Bagaimana pendapat kalian bila melihatnya terperosok ke
dalam lubang? Bukankah seharusnya kalian berusaha mengeluarkannya dari lubang
itu?’
Mereka menjawab, ‘Ya, benar.’
Abud Darda’ mengatakan, ‘Kalau begitu, janganlah kalian cela dia.
Bersyukurlah kalian, karena Allah menyelamatkan kalian (dari dosa itu).’
Mereka bertanya, ‘Apakah kita tidak membencinya?’
Abud Darda’ menjawab, ‘Bencilah terhadap perbuatannya, dan bila
ditinggalkannya hal itu, berarti dia adalah saudaraku’.”
Seandainya apa yang telah penulis sebutkan
tentang Abud Darda’ tersebut merupakan salah satu sisi dari dua sisi ibadah, maka
sisi yang lain adalah ilmu dan makrifat. Abud Darda’ benar-benar menmpatkan
ilmu pada kedudukan tertinggi dan menganggapnya sebagai kesucian bagi dirinya
sebagai orang yang bijaksana dan ahli ibadah. Perhatikanlah ungkapannya tentang
ilmu, “Orang tidak mungkin mencapai tingkat orang
bertakwa apabila tidak berilmu. Apa gunanya ilmu bila tidak dibuktikan dengan
perbuatan?”
Ilmu baginya merupakan pemahaman,
perilaku, makrifat, jalan hidup, dan ide kehidupan. Karena yang menyucikan ilmu
ini adalah seorang yang bijaksana maka kita melihatnya meneriakkan bahwa ilmu
dan orang yang mempelajarinya itu mempunyai kedudukan yang sama dalam
kemuliaan, keutamaan, dan pahala. Ia juga melihat bahwa kebesaran hidup ini
tergantung kepada ilmu yang baik sebelum segala hal terjadi.
Ia mengatakan, “Aku
tidak tahu mangapa ulama kalian pergi berlalu, sedangkan orang-orang jahil di
antara kalian tidak mau mempelajari ilmu. Ketahuilah bahwa guru yang baik dan
muridnya, serupa pahalanya. Dan tidak ada lagi kebaikan yang lebih utama dari
kebaikan mereka.”
Ia juga mengatakan, “Manusia
itu ada tiga macam: orang yang berilmu, orang yang belajar, dan yang ketiga
adalah orang bodoh yang tidak mempunyai kebaikan apa-apa.”
Sebagaimana telah penulis jelaskan
sebelumnya, ilmu dan amal tidak pernah berpisah dalam pemikiran Abud Darda’. Ia
berkata, “Yang paling kutakutkan pada hari kiamat kelak
ialah bila aku ditanya di depan semua orang. ‘Wahai Uwaimir, apakah engkau
berilmu?’ lalu aku menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku ditanya lagi, ‘Apa saja yang engkau
amalkan dari ilmu itu?’”
Abud Darda’ selalu memuliakan ulama yang
mengamalkan ilmunya, menghormati mereka dengan penghormatan yang besar, bahkan
berdoa kepada Rabbnya dengan ungkapan, “Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari kutukan hati ulama.” Ia ditanyai, “Bagaimana
mungkin hati mereka mngutukmu?”
ia pun menjawab, “Bila aku dibenci.”
Perhatikanlah bagaimana ia memandang suatu
kutukan besar bila terdapat kebencian ulama kepadanya. Karena itulah, dengan
rendah hati ia berdoa kepada Rabbnya, agar melindunginya dari hal itu.
Kebijaksanaan Abud Darda’ mengajarkan
berbuat baik dalam persaudaraan dan membina hubungan di antara sesama manusia
atas dasar tabiat manusia itu sendiri. Dalam hal ini ia pernah mengatakan, “Menegur
saudaramu atas kesalahannya itu lebih baik bagimu daripada engkau kehilangan
dirinya. Siapakah mereka bagimu, kalau bukan saudara? Nasihatilah saudaramu dan
bersikaplah yang lembut kepadanya. Janganlah engkau ikut-ikutan mendengki
saudaramu, sehingga engkau akan seperti orang itu pula. Barang kali esok maut
menjemputnya, sehingga itu membuatmu merasa kehilangan dan menangisinya.
Tetapi, bagaimana engkau akan menangisinya sesudah mati, sedangkan selagi hidup
saja engkau tidak pernah memenuhi haknya?”
Pengawasan Allah terhadap hamba-Nya
menjadi dasar yang kuat bagi Abud Darda’ untuk membangun hak-hak persaudaraan
di atasnya. Ia pernah mengatakan, “Aku benci menganiaya seseorang, dan
aku lebih benci lagi jika sampai menganiaya seseorang yang tidak mampu meminta
pertolongan dari ketidakadilanku kecuali kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi
Maha Besar.”
Alangkah besar jiwamu, dan betapa terang
pancaran rohmu, wahai Abud Darda’!
Ia selalu memberikan peringatan keras
terhadap masyarakat dari pikiran keliru yang menyangka bahwa kaum lemah mudah
saja mereka perlakukan sewenang-wenang dengan meyalahgunakan kekuasaan dan
kekuatan. Ia mengingatkan bahwa di dalam kelemahan orang-orang itu terdapat
kekuatan yang ampuh, yakni jeritan hati dan doa kepada Allah karena kelemahan
mereka, lalu menyerahkan nasib mereka kepada-Nya atas perlakuan orang yang
menindasnya itu.
Itulah dia Abud Darda’ yang budiman itu.
Abud Darda’ yang zuhud, ahli ibadah, dan selalu merindukan perjalanan pulang
untuk bertemu dengan Rabbnya. Inilah dia Abud Darda’, yang bila orang terpesona
oleh ketakwaannya, lalu mereka meminta doa restunya, ia pun menjawab dengan
kerendahan hati yang teguh, “Aku bukan ahli berenang, sehingga aku
takut akan tenggelam.”
Itulah jawabannya, tetapi benarkah engkau
tidak bisa berenang, wahai Abud Darda’? tetapi, apa yang tidak menakjubkan dari
dirinya? Bukankah ia hasil tempaan Rasulullah, murid Al-Qur’an, putra Islam
yang pertama, dan rekan seperjuangan Abu Bakar, Umar, serta tokoh-tokoh utama
lainnya?
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar