بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Suatu hari Rasulullah duduk dikelilingi oleh
sejumlah kaum Muslimin. Saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba
Rasulullah terdiam sejenak, kemudian beliau menghadapkan bicaranya kepada
orang-orang di sekelilingnya, “Sesungguhnya di antara kalian ada
seorang lelaki yang gerahamnya di dalam neraka lebih besar daripada gunung
Uhud..”
Ketakutan dan bahkan kecemasan terhadap
fitnah dalam agama kelak meliputi semua yang hadir dalam majelis beserta
Rasulullah tersebut. Setiap orang yang hadir merasa khawatir dan takut bila
dirinya yang akan menerima nasib yang paling jelek dan kesudahan yang terkutuk
itu. Tetapi, semua orang yang mendengarkan pembicaraan waktu itu, kehidupannya
telah berakhir dengan kebaikan, mereka telah menemui ajal mereka sebagai
syuhada di jalan Allah. Tidak ada seorang pun yang masih hidup selain Abu
Hurairah dan Rajjal bin Unfuwah.
Setelah para shahabat yang hadir dalam
majelis tersebut gugur sebagai syuhada, Abu Hurairah merasa seluruh
persendiannya bergetar dan hatinya diliputi ketakutan, bila ramalan Rasulullah
itu menimpa dirinya. Matanya tidak bisa terpejam saat hendak tidur, dan ia
tidak pernah merasa aman dari kecemasan itu sampai takdir menyingkap tabir
orang yang bernasib celaka itu. Orang yang bernama Rajjal itu ternyata murtad
dari Islam, lalu bergabung dengan Musailamah Al-Kadzab, dan mengakui kenabian
palsunya. Ketika itu nyatalah sudah nasib jelek dan kesudahan yang buruk, yang
diramalkan Rasulullah.
Sebelum itu, suatu hari Rajjal bin Unfuwah
ini pergi menjumpai Rasulullah untuk berbaiat dan masuk Islam. Setelah menganut
Islam, ia kembali kepada kaumnya. Ia tidak pernah datang lagi ke Madinah,
kecuali setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah
Rasulullah. Abu Bakar telah mendapatkan berita tentang keadaan penduduk Yamamah
dan bergabungnya mereka dengan Musailamah. Rajjal mengusulkan kepada Ash-Shiddiq
agar ia sendiri diutus kepada mereka untuk mengajak kembali kepada Islam.
Khalifah pun merestui permintaannya itu.
Rajjal berangkat ke negeri Yamamah. Namun,
ketika ia menyaksikan jumlah mereka sangat banyak serta menakutkan, ia
menyangka bahwa orang-orang itu pasti menang. Ketika itulah, jiwa khianatnya
membisikkan agar mulai hari itu ia menyeberang saja ke pihak Al-Kadzab yang
disangkanya akan jaya dan menang. Ia pun meninggalkan Islam dan bergabung ke
dalam barisan Musailamah yang menyambutnya dengan mengobral janji-janji.
Bahaya Rajjal terhadap Islam lebih
mengkhawatirkan dari bahaya Musailamah sendiri. Pasalnya, keislamannya yang
lalu, masa hidupnya bersama Rasulullah di Madinah, hafalan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tidak sedikit, serta statusnya sebagai utusan Abu Bakar dapat ia
manfaatkan untuk tujuan-tujuan busuk guna memperkuat kekuasaan Musailamah dan
mengukuhkan kenabian palsunya. Ternyata benar, ia berkeliling kepada setiap
orang untuk menyebarluaskan isu bahwa ia pernah mendengar Rasulullah pernah
menyatakan bahwa beliau menjadikan Musailamah bin Habib sebagai serikatnya
dalam perkara kenabian. Sekarang, karena Rasulullah telah wafat, maka orang
yang paling berhak membawa bendera kenabian dan wahyu sesudahnya ialah
Musailamah.
Jumlah orang yang bergabung dengan
Musailamah semakin bertambah banyak disebabkab kebohongan Rajjal ini, dan
karena penyalahgunaan keislaman, serta hubungannya dengan Rasulullah pada masa
lalu. Berita tentang ulah Rajjal ini akhirnya sampai ke Madinah. Kaum Muslimin
sangat marah besar terhadap tindakan si murtad ini karena ia telah menyesatkan
manusia sampai jauh. Kesesatan itu tentu akan memperluas daerah peperangan,
yang harus diterjuni kaum Muslimin.
Sosok Muslim yang paling murka dan
terbakar kemarahannya untuk menjumpai Rajjal, ialah seorang shahabat mulia,
yang cemerlang namanya dalam buku-buku riwayat dan sejarah dengan nama
tersayang, Zaid bin Al-Khatthab.
Zaid bin Al-Khatthab? Siapakah dia? Kalian
tentu sudah mengenalnya karena ia adalah saudara lelaki Umar bin Al-Khatthab.
Ya benar, ia adalah saudaranya yang paling tua dan lebih dahulu. Ia lebih tua
daripada Umar dan tentu lebih dahulu lahirnya. Ia lebih dulu masuk Islam, sebagaimana
ia lebih dulu syahid di jalan Allah. Zaid adalah seorang pahlawan ternama. Ia
suka beramal secara diam-diam. Amalnya yang tersembunyi ini memancarkan permata
kepahlawanannya.
Keimanannya kepada Allah, Rasulullah, dan
agama-Nya adalah keimanan yang teguh. Ia tidak pernah ketinggalan dari
Rasulullah dalam setiap peperangan. Dalam setiap pertempuran keinginan untuk
mendapatkan kemenangan tidak bisa mengungguli keinginannya untuk menggapai
kesyahidan.
Pada Perang Uhud, sewaktu pertempuran
sengit sedang berlangsung antara orang-orang musyrik dan orang-orang Mukmin,
Zaid bin Al-Khatthab menebas dan memukul. Adiknya Umar bin Al-Khatthab
melihatnya saat baju besi yang dipakainya terlepas jatuh, hingga ia berada
dalam kondisi yang mudah ditikam oleh musuh. Karena itu, Umar berteriak, “Wahai
Zaid, ambillah baju besiku, dan pakailah untuk berperang.” Namun, Zaid menjawab, “Aku
juga menginginkan syahid, seperti yang kau inginkan, wahai Umar.” Dengan keberanian yang luar biasa ia terus
bertempur mati-matian tanpa baju besi.
Penulis telah mengatakan sebelumnya bahwa
Zaid sangat berhasrat untuk mendapatkan Rajjal, agar bisa menghabisi nyawa
orang yang berperilaku yang keji itu dengan tangannya sendiri. Menurut
pandangan Zaid, Rajjal bukan saja seorang yang murtad, melainkan lebih dari
itu, ia juga seorang pembohong, munafik, dan pemecah-belah. Ia murtad bukanlah
karena dibawa oleh kesadarannya, melainkan karena mengharapkan keuntungan
dengan kemunafikan dan kebohongan terkutuk. Zaid dalam kebenciannya pada
kemunafikan dan kebohongan memang tidak berbeda dengan saudaranya, Umar. Tidak
ada yang lebih mambangkitkan kejijikan dan mengobarkan kemarahan bagi kedua
orang ini seperti kemunafikan dan kebohongan dengan tujuan hina dan maksud yang
rendah itu.
Untuk kepentingan tujuan-tujuan rendah
itulah, Rajjal memainkan peran busuknya, sehingga menyebabkan bertambahnya
jumlah golongan yang bergabung dengan Musailamah secara signifikan. Dengan
ulahnya itu, ia sebenarnya telah menyeret sebagian besar orang-orang kepada
kematian dan kebinasaan dengan menemui ajal mereka di medan perang murtad
kelak; pertama, mereka telah disesatkan, kemudian dibinasakan. Dan untuk tujuan
apa? Untuk sebuah ambisi dan ketamakan yang tercela yang telah mempengaruhi
dirinya dan dibangkitkan oleh hawa nafsunya.
Zaid mempersiapkan dirinya untuk
menyempurnakan keimanannya dengan menumpas bahaya fitnah ini. Bukan hanya
terhadap Musailamah, melainkan terhadap seorang yang lebih berbahaya
daripadanya dan lebih berat dosanya, yaitu Rajjal bin Unfuwah.
Pertempuran Yamamah diawali dengan suasana
yang menyeramkan dan sangat mengkhawatirkan. Khalid bin Al-Walid menghimpun
tentara Islam, lalu membagi-bagi tugas untuk menempati beberapa kedudukan. Ia
menyerahkan panji perang kepada seseorang. Siapakah dia? Tiada lain ialah Zaid
bin Al-Khatthab.
Bani Hanifah, pengikut Musailamah,
berperang dengan berani dan mati-matian. Pada mulanya angin kemenangan berpihak
kepada musuh, dan banyak orang dari kalangan kaum Muslimin yang gugur syahid.
Zaid melihat gejala turunnya mental dan semangat tempur merasuki hati sebagian
kaum Muslimin. Ia lalu mendaki sebuah bukit kecil dan berseru kepada
rekan-rekannya, “Wahai saudara-saudaraku, tabahkanlah
hati kalian, gempurlah musuh, dan serang mereka habis-habisan. Demi Allah, aku
tidak akan bicara lagi sebelum mereka dibinasakan oleh Allah atau aku
menemui-Nya dan menyampaikan alasan-alasanku kepada-Nya.”
Kemudian ia tiring dari bukit itu dengan
menggertakkan gerahamnya, sambil mengatupkan kedua bibirnya tenpa menggertakkan
lidah untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia memusatkan serangannya ke arah
Rajjal, menerobos barisan seperti panah lepas dari busurnya, dan terus mencari
Rajjal hingga akhirnya bayangan buruannya itu terlihat olehnya. Ia maju lagi
menerjang ke kiri dan ke kanan.
Setiao bayangan buruannya itu ditelan
gelombang manusia yang bertempur, Zaid berusaha mendekati dan mengejarnya lalu
mengahntamkan pedangnya. Tetapi, gelombang manusia yang sangat hebat, menelan
Rajjal sekali lagi. Namun, Zaid terus menyusup di belakangnya agar manusia
terkutuk itu tidak luput dari tangannya. Akhirnya, ia dapat memegang batang
lehernya dan menebaskan pedangnya ke kepalanya yang penuh dengan kepalsuan,
kebohongan, dan pengkhianatan itu.
Tewasnya si pembuat kebohongan tersebut
diikuti pula dengan tewasnya tokoh-tokoh yang lain. Musailamah sendiri mulai
dihantui oleh perasaan cemas dan takut, termasuk Muhkan bin Thufail dan seluruh
tentara Musailamah. Berita kematian Rajjal langsung tersebar luas di kalangan
mereka laksana api yang berkobar ditiup angin kencang.
Sebelumnya, Musailamah telah menjanjikan
kemenangan yang pasti kepada para pengikutnya, dan bahwa ia bersama Rajjal dan
Muhkam akan membawa mereka ke masa depan gemilang dengan menebarkan agama dan
membina kerajaan mereka. Namun, kini, Rajjal begitu cepat tewas. Itu berarti
kenabian Musailamah palsu belaka. Esok hari, Muhkam pasti akan menyusul tewas,
dan lusa Musailamah pasti juga akan mengalami nasib yang sama.
Itulah yang terjadi. Zaid bin Al-Khatthab
telah menyebabkan kehancuran mutlak dalam barisan Musailamah. Adapun pihak kaum
Muslimin, ketika berita tewasnya Rajjal dan rekan-rekannya tersebar di antara
mereka, tekad dan semangat mereka langsung membesar seperti gunung, bahkan
korban-korban yang terluka bangkit lagi dengan pedangnya tanpa memedulikan luka
mereka.
Bahkan, mereka yang sudah berada di ambang
kematian dan tidak ada tanda-tanda hidup lagi kecuali sisa gerak dan isyarat
mata, ketika mendengar berita gembira itu, mereka merasakannya seperti mimpi
dan hiburan yang indah. Kalau saja bisa, mereka ingin kembali hidup untuk
bertempur lagi untuk menyaksikan kemenangan yang mengagumkan di akhir
pertempuran. Tetapi, apa gunanya itu untuk mereka, sebab semua pintu surga
telah terbuka lebar untuk menerima mereka, dan mereka sedang menantikan nama-nama
mereka dipanggil.
Zaid bin Al-Khatthab mengangkat kedua
tangannya ke langit untuk memanjatkan doa kepada Rabbnya dan bersyukur atas
nikmat-Nya. Selama waktu yang singkat itu, rupanya ia kembali kepada pedangnya
dan sikap diamnya, karena ia bersumpah tidak akan berbicara sampai kemenangan
sempurna tercapai atau ia gugur syahid.
Jalannya pertempuran menguntungkan
Muslimin dan kemenangan mutlak datang mendekat dengan cepatnya. Ketika itu Zaid
telah yakin bahwa angin kemenangan sudah berada di ambang pintu.
Belum pernah ia mengenal penutup kehidupan
yang lebih menakjubkan daripada sekarang. Karena itu, ia sangat berharap
kiranya Allah mengaruniakan kesyahidan kepadanya di Perang Yamamah ini.
Angin surga pun berhembus memenuhi jiwanya
dengan kerinduan dan mengisi ruang matanya dengan genangan air serta
membangkitkan semangat dan tekadnya yang tidak kunjung padam. Ia terus
menyerang untuk mencari tujuan terakhirnya yang agung. Akhirnya, pahlawan itu
gugur dan jatuh ke tanah sebagai syahid. Namun, kalian harus mengatakan, ia
bukan jatuh melainkan naik ke langit sebagai syahid. Ia telah naik ke langit
dengan kebesaran, kemuliaan, dan kebahagiaan.
Tentara Islam pun kembali ke Madinah
dengan membawa kemenangan. Saat Umar bersama Khalifah Abu Bakar menyambut
kedatangan mereka, ia melayangkan pendangannya dengan penuh kerinduan, mencari-cari
saudara kandungnya di antara kaum Muslimin yang kembali. Zaid adalah seorang
yang berpostur tinggi, karenanya mudah dikenal dari jauh. Tetapi, belum sampai
Umar bersusah payah mencarinya, salah seorang di antara kaum Muslimi yang
kembali, mendekatinya dan menyampaikan belasungkawa atas syahidnya Zaid. Umar
pun berkata, “Rahmatullah bagi Zaid. Ia mendahuluiku
dengan dua kebaikan. Ia masuk Islam lebih dahulu dan gugur syahid lebih dahulu
pula.”
Sekalipun telah banyak kemenangan yang
diperoleh, di mana Islam Berjaya dan berbahagia, kenangan terhadap Zaid tidak
pernah hilang dari pikiran Al-Faruq. Ia sering mengatakan, “Bila
angin kerinduan berhembus, tercium olehku keharuman Zaid.”
Memang benar, kerinduan itu membawa bau
wanginya Zaid dari nama baiknya dan budinya yang tinggi. Bahkan, bila Amirul
Mukminin mengizinkan, penulis akan menambahkan beberapa patah ke dalam ungkapannya
yang indah tersebut, yaitu:
“Setiap angin
kemenangan Islam berhembus, sejak peristiwa Yamamah, akan tercium selalu oleh
Islam bau wangi, pengorbanan, kepahlawanan, dan kebesaran Zaid.”
Itulah yang terjadi, keluarga Al-Khatthab
telah diberi berkah di bawah naungan bendera Rasulullah. Mereka mendapat berkah
saat mereka masuk Islam, diberi berkah kala mereka berjihad dan mencari syahid,
serta diberi berkah pada hari mereka dibangkitkan kelak.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar