Sabtu, 14 Desember 2013

Filled Under:

Zaid bin Al-Khatthab (Rajawali Pertempuran Yamamah).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Suatu hari Rasulullah duduk dikelilingi oleh sejumlah kaum Muslimin. Saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba Rasulullah terdiam sejenak, kemudian beliau menghadapkan bicaranya kepada orang-orang di sekelilingnya, “Sesungguhnya di antara kalian ada seorang lelaki yang gerahamnya di dalam neraka lebih besar daripada gunung Uhud..

     Ketakutan dan bahkan kecemasan terhadap fitnah dalam agama kelak meliputi semua yang hadir dalam majelis beserta Rasulullah tersebut. Setiap orang yang hadir merasa khawatir dan takut bila dirinya yang akan menerima nasib yang paling jelek dan kesudahan yang terkutuk itu. Tetapi, semua orang yang mendengarkan pembicaraan waktu itu, kehidupannya telah berakhir dengan kebaikan, mereka telah menemui ajal mereka sebagai syuhada di jalan Allah. Tidak ada seorang pun yang masih hidup selain Abu Hurairah dan Rajjal bin Unfuwah.

     Setelah para shahabat yang hadir dalam majelis tersebut gugur sebagai syuhada, Abu Hurairah merasa seluruh persendiannya bergetar dan hatinya diliputi ketakutan, bila ramalan Rasulullah itu menimpa dirinya. Matanya tidak bisa terpejam saat hendak tidur, dan ia tidak pernah merasa aman dari kecemasan itu sampai takdir menyingkap tabir orang yang bernasib celaka itu. Orang yang bernama Rajjal itu ternyata murtad dari Islam, lalu bergabung dengan Musailamah Al-Kadzab, dan mengakui kenabian palsunya. Ketika itu nyatalah sudah nasib jelek dan kesudahan yang buruk, yang diramalkan Rasulullah.

     Sebelum itu, suatu hari Rajjal bin Unfuwah ini pergi menjumpai Rasulullah untuk berbaiat dan masuk Islam. Setelah menganut Islam, ia kembali kepada kaumnya. Ia tidak pernah datang lagi ke Madinah, kecuali setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah Rasulullah. Abu Bakar telah mendapatkan berita tentang keadaan penduduk Yamamah dan bergabungnya mereka dengan Musailamah. Rajjal mengusulkan kepada Ash-Shiddiq agar ia sendiri diutus kepada mereka untuk mengajak kembali kepada Islam. Khalifah pun merestui permintaannya itu.

     Rajjal berangkat ke negeri Yamamah. Namun, ketika ia menyaksikan jumlah mereka sangat banyak serta menakutkan, ia menyangka bahwa orang-orang itu pasti menang. Ketika itulah, jiwa khianatnya membisikkan agar mulai hari itu ia menyeberang saja ke pihak Al-Kadzab yang disangkanya akan jaya dan menang. Ia pun meninggalkan Islam dan bergabung ke dalam barisan Musailamah yang menyambutnya dengan mengobral janji-janji.

     Bahaya Rajjal terhadap Islam lebih mengkhawatirkan dari bahaya Musailamah sendiri. Pasalnya, keislamannya yang lalu, masa hidupnya bersama Rasulullah di Madinah, hafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sedikit, serta statusnya sebagai utusan Abu Bakar dapat ia manfaatkan untuk tujuan-tujuan busuk guna memperkuat kekuasaan Musailamah dan mengukuhkan kenabian palsunya. Ternyata benar, ia berkeliling kepada setiap orang untuk menyebarluaskan isu bahwa ia pernah mendengar Rasulullah pernah menyatakan bahwa beliau menjadikan Musailamah bin Habib sebagai serikatnya dalam perkara kenabian. Sekarang, karena Rasulullah telah wafat, maka orang yang paling berhak membawa bendera kenabian dan wahyu sesudahnya ialah Musailamah.

     Jumlah orang yang bergabung dengan Musailamah semakin bertambah banyak disebabkab kebohongan Rajjal ini, dan karena penyalahgunaan keislaman, serta hubungannya dengan Rasulullah pada masa lalu. Berita tentang ulah Rajjal ini akhirnya sampai ke Madinah. Kaum Muslimin sangat marah besar terhadap tindakan si murtad ini karena ia telah menyesatkan manusia sampai jauh. Kesesatan itu tentu akan memperluas daerah peperangan, yang harus diterjuni kaum Muslimin.

     Sosok Muslim yang paling murka dan terbakar kemarahannya untuk menjumpai Rajjal, ialah seorang shahabat mulia, yang cemerlang namanya dalam buku-buku riwayat dan sejarah dengan nama tersayang, Zaid bin Al-Khatthab.

     Zaid bin Al-Khatthab? Siapakah dia? Kalian tentu sudah mengenalnya karena ia adalah saudara lelaki Umar bin Al-Khatthab. Ya benar, ia adalah saudaranya yang paling tua dan lebih dahulu. Ia lebih tua daripada Umar dan tentu lebih dahulu lahirnya. Ia lebih dulu masuk Islam, sebagaimana ia lebih dulu syahid di jalan Allah. Zaid adalah seorang pahlawan ternama. Ia suka beramal secara diam-diam. Amalnya yang tersembunyi ini memancarkan permata kepahlawanannya.

     Keimanannya kepada Allah, Rasulullah, dan agama-Nya adalah keimanan yang teguh. Ia tidak pernah ketinggalan dari Rasulullah dalam setiap peperangan. Dalam setiap pertempuran keinginan untuk mendapatkan kemenangan tidak bisa mengungguli keinginannya untuk menggapai kesyahidan.

     Pada Perang Uhud, sewaktu pertempuran sengit sedang berlangsung antara orang-orang musyrik dan orang-orang Mukmin, Zaid bin Al-Khatthab menebas dan memukul. Adiknya Umar bin Al-Khatthab melihatnya saat baju besi yang dipakainya terlepas jatuh, hingga ia berada dalam kondisi yang mudah ditikam oleh musuh. Karena itu, Umar berteriak, “Wahai Zaid, ambillah baju besiku, dan pakailah untuk berperang.” Namun, Zaid menjawab, “Aku juga menginginkan syahid, seperti yang kau inginkan, wahai Umar.” Dengan keberanian yang luar biasa ia terus bertempur mati-matian tanpa baju besi.

     Penulis telah mengatakan sebelumnya bahwa Zaid sangat berhasrat untuk mendapatkan Rajjal, agar bisa menghabisi nyawa orang yang berperilaku yang keji itu dengan tangannya sendiri. Menurut pandangan Zaid, Rajjal bukan saja seorang yang murtad, melainkan lebih dari itu, ia juga seorang pembohong, munafik, dan pemecah-belah. Ia murtad bukanlah karena dibawa oleh kesadarannya, melainkan karena mengharapkan keuntungan dengan kemunafikan dan kebohongan terkutuk. Zaid dalam kebenciannya pada kemunafikan dan kebohongan memang tidak berbeda dengan saudaranya, Umar. Tidak ada yang lebih mambangkitkan kejijikan dan mengobarkan kemarahan bagi kedua orang ini seperti kemunafikan dan kebohongan dengan tujuan hina dan maksud yang rendah itu.

     Untuk kepentingan tujuan-tujuan rendah itulah, Rajjal memainkan peran busuknya, sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah golongan yang bergabung dengan Musailamah secara signifikan. Dengan ulahnya itu, ia sebenarnya telah menyeret sebagian besar orang-orang kepada kematian dan kebinasaan dengan menemui ajal mereka di medan perang murtad kelak; pertama, mereka telah disesatkan, kemudian dibinasakan. Dan untuk tujuan apa? Untuk sebuah ambisi dan ketamakan yang tercela yang telah mempengaruhi dirinya dan dibangkitkan oleh hawa nafsunya.

     Zaid mempersiapkan dirinya untuk menyempurnakan keimanannya dengan menumpas bahaya fitnah ini. Bukan hanya terhadap Musailamah, melainkan terhadap seorang yang lebih berbahaya daripadanya dan lebih berat dosanya, yaitu Rajjal bin Unfuwah.

     Pertempuran Yamamah diawali dengan suasana yang menyeramkan dan sangat mengkhawatirkan. Khalid bin Al-Walid menghimpun tentara Islam, lalu membagi-bagi tugas untuk menempati beberapa kedudukan. Ia menyerahkan panji perang kepada seseorang. Siapakah dia? Tiada lain ialah Zaid bin Al-Khatthab.

     Bani Hanifah, pengikut Musailamah, berperang dengan berani dan mati-matian. Pada mulanya angin kemenangan berpihak kepada musuh, dan banyak orang dari kalangan kaum Muslimin yang gugur syahid. Zaid melihat gejala turunnya mental dan semangat tempur merasuki hati sebagian kaum Muslimin. Ia lalu mendaki sebuah bukit kecil dan berseru kepada rekan-rekannya, “Wahai saudara-saudaraku, tabahkanlah hati kalian, gempurlah musuh, dan serang mereka habis-habisan. Demi Allah, aku tidak akan bicara lagi sebelum mereka dibinasakan oleh Allah atau aku menemui-Nya dan menyampaikan alasan-alasanku kepada-Nya.

     Kemudian ia tiring dari bukit itu dengan menggertakkan gerahamnya, sambil mengatupkan kedua bibirnya tenpa menggertakkan lidah untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia memusatkan serangannya ke arah Rajjal, menerobos barisan seperti panah lepas dari busurnya, dan terus mencari Rajjal hingga akhirnya bayangan buruannya itu terlihat olehnya. Ia maju lagi menerjang ke kiri dan ke kanan.

     Setiao bayangan buruannya itu ditelan gelombang manusia yang bertempur, Zaid berusaha mendekati dan mengejarnya lalu mengahntamkan pedangnya. Tetapi, gelombang manusia yang sangat hebat, menelan Rajjal sekali lagi. Namun, Zaid terus menyusup di belakangnya agar manusia terkutuk itu tidak luput dari tangannya. Akhirnya, ia dapat memegang batang lehernya dan menebaskan pedangnya ke kepalanya yang penuh dengan kepalsuan, kebohongan, dan pengkhianatan itu.

     Tewasnya si pembuat kebohongan tersebut diikuti pula dengan tewasnya tokoh-tokoh yang lain. Musailamah sendiri mulai dihantui oleh perasaan cemas dan takut, termasuk Muhkan bin Thufail dan seluruh tentara Musailamah. Berita kematian Rajjal langsung tersebar luas di kalangan mereka laksana api yang berkobar ditiup angin kencang.

     Sebelumnya, Musailamah telah menjanjikan kemenangan yang pasti kepada para pengikutnya, dan bahwa ia bersama Rajjal dan Muhkam akan membawa mereka ke masa depan gemilang dengan menebarkan agama dan membina kerajaan mereka. Namun, kini, Rajjal begitu cepat tewas. Itu berarti kenabian Musailamah palsu belaka. Esok hari, Muhkam pasti akan menyusul tewas, dan lusa Musailamah pasti juga akan mengalami nasib yang sama.

     Itulah yang terjadi. Zaid bin Al-Khatthab telah menyebabkan kehancuran mutlak dalam barisan Musailamah. Adapun pihak kaum Muslimin, ketika berita tewasnya Rajjal dan rekan-rekannya tersebar di antara mereka, tekad dan semangat mereka langsung membesar seperti gunung, bahkan korban-korban yang terluka bangkit lagi dengan pedangnya tanpa memedulikan luka mereka.

     Bahkan, mereka yang sudah berada di ambang kematian dan tidak ada tanda-tanda hidup lagi kecuali sisa gerak dan isyarat mata, ketika mendengar berita gembira itu, mereka merasakannya seperti mimpi dan hiburan yang indah. Kalau saja bisa, mereka ingin kembali hidup untuk bertempur lagi untuk menyaksikan kemenangan yang mengagumkan di akhir pertempuran. Tetapi, apa gunanya itu untuk mereka, sebab semua pintu surga telah terbuka lebar untuk menerima mereka, dan mereka sedang menantikan nama-nama mereka dipanggil.

     Zaid bin Al-Khatthab mengangkat kedua tangannya ke langit untuk memanjatkan doa kepada Rabbnya dan bersyukur atas nikmat-Nya. Selama waktu yang singkat itu, rupanya ia kembali kepada pedangnya dan sikap diamnya, karena ia bersumpah tidak akan berbicara sampai kemenangan sempurna tercapai atau ia gugur syahid.

     Jalannya pertempuran menguntungkan Muslimin dan kemenangan mutlak datang mendekat dengan cepatnya. Ketika itu Zaid telah yakin bahwa angin kemenangan sudah berada di ambang pintu.

     Belum pernah ia mengenal penutup kehidupan yang lebih menakjubkan daripada sekarang. Karena itu, ia sangat berharap kiranya Allah mengaruniakan kesyahidan kepadanya di Perang Yamamah ini.

     Angin surga pun berhembus memenuhi jiwanya dengan kerinduan dan mengisi ruang matanya dengan genangan air serta membangkitkan semangat dan tekadnya yang tidak kunjung padam. Ia terus menyerang untuk mencari tujuan terakhirnya yang agung. Akhirnya, pahlawan itu gugur dan jatuh ke tanah sebagai syahid. Namun, kalian harus mengatakan, ia bukan jatuh melainkan naik ke langit sebagai syahid. Ia telah naik ke langit dengan kebesaran, kemuliaan, dan kebahagiaan.

     Tentara Islam pun kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan. Saat Umar bersama Khalifah Abu Bakar menyambut kedatangan mereka, ia melayangkan pendangannya dengan penuh kerinduan, mencari-cari saudara kandungnya di antara kaum Muslimin yang kembali. Zaid adalah seorang yang berpostur tinggi, karenanya mudah dikenal dari jauh. Tetapi, belum sampai Umar bersusah payah mencarinya, salah seorang di antara kaum Muslimi yang kembali, mendekatinya dan menyampaikan belasungkawa atas syahidnya Zaid. Umar pun berkata, “Rahmatullah bagi Zaid. Ia mendahuluiku dengan dua kebaikan. Ia masuk Islam lebih dahulu dan gugur syahid lebih dahulu pula.

     Sekalipun telah banyak kemenangan yang diperoleh, di mana Islam Berjaya dan berbahagia, kenangan terhadap Zaid tidak pernah hilang dari pikiran Al-Faruq. Ia sering mengatakan, “Bila angin kerinduan berhembus, tercium olehku keharuman Zaid.
     Memang benar, kerinduan itu membawa bau wanginya Zaid dari nama baiknya dan budinya yang tinggi. Bahkan, bila Amirul Mukminin mengizinkan, penulis akan menambahkan beberapa patah ke dalam ungkapannya yang indah tersebut, yaitu:

     “Setiap angin kemenangan Islam berhembus, sejak peristiwa Yamamah, akan tercium selalu oleh Islam bau wangi, pengorbanan, kepahlawanan, dan kebesaran Zaid.


     Itulah yang terjadi, keluarga Al-Khatthab telah diberi berkah di bawah naungan bendera Rasulullah. Mereka mendapat berkah saat mereka masuk Islam, diberi berkah kala mereka berjihad dan mencari syahid, serta diberi berkah pada hari mereka dibangkitkan kelak.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf