بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak merubah (janjinya),
QS:Al-Ahzab | Ayat: 23
QS:Al-Ahzab | Ayat: 23
Rasulullah membacakan ayat yang mulia ini,
kemudian menatap wajah para shahabat. Beliau bersabda sambil menunjuk kepada
Thalhah, “Barang siapa ingin melihat seorang lelaki yang
masih berjalan di muka bumi, padahal ia telah memberikan nyawanya, maka
hendaklah ia melihat Thalhah.”
Tidak ada kegembiraan yang paling
didambakan oleh para shahabat Rasulullah, yang membuat hati mereka terbang
merindukannya, melebihi kedudukan seperti yang disandangkan oleh beliau kepada
Thalhah bin Ubaidullah ini. Karena itu, hati Thalhah pun tenteram mendengar
akhir hayatnya serta kesudahan nasibnya dalam hidup ini. Ia akan hidup dan mati
sebagai salah seorang dari mereka yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah, dan ia tidak terkena fitnah dan tidak mendapat kesukaran.
Rasulullah telah memberikan kabar gembira kepadanya, bahwa ia akan mendapatkan
surga. Lantas bagaimanakah riwayat hidup orang yang telah diramalkan akan
berbahagia itu?
Ketika Thalhah sedang dalam perjalanan
dagang ke Bashrah, ia bertemu dengan seorang pendeta yang sangat baik. Pada
waktu itu sang pendeta mengabarkan kepadanya bahwa Nabi yang akan muncul di
Tanah Haram, sebagaimana yang telah diramalkan oleh Nabi yang saleh, telah tiba
masa kemunculannya. Pendeta itu mengingatkan Thalhah agar tidak ketinggalan
menyertai kafilah kerasulan itu, yang merupakan kafilah pembawa petunjuk,
rahmat, dan pembebasan.
Setelah berbulan-bulan berada di Bashrah,
Thalhah kembali ke negerinya, Mekkah. Dalam perjalanan pulang itu, ia menangkap
kasak-kusuk penduduk tentang Muhammad Al-Amin dan wahyu yang datang kepadanya,
di samping tentang kerasulan yang dibawanya kepada seluruh umat manusia.
Orang pertama yang ditanyai Thalhah ialah
Abu Bakar. Abu Bakar memberitahukan kepadanya bahwa ia baru saja pulang bersama
kafilah dagangnya, dan bahwa ia berdiri di samping Muhammad sebagai seorang
Mukmin, yang membela dan menyerahkan dirinya kepada Allah.
Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri,
“Muhammad dan Abu Bakar? Demi Allah, tidak
mungkin kedua orang ini akan bersekongkol dalam kesesatan apapun.” Muhammad telah mencapai usia 40 tahun dan
sepanjang usia itu kita belum pernah mengetahui beliau melakukan kebohongan.
Apakah mungkin beliau berdusta hari ini terhadap Allah, lalu mengatakan bahwa Allah
telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya? Ini merupakan perkara yang
sulit dipercaya.
Thalhah mempercepat langkahnya menuju
rumah Abu Bakar dan tidak lama setelah terjadi perbincangan antara dia dan Abu
Bakar, kerinduannya untuk menemui Rasulullah dan hasratnya hendak berjanji
setia kepadanya terasa lebih cepat daripada detak jantungnya sendiri. Ia
ditemani Abu Bakar pergi dan menjumpai Rasulullah guna menyatakan keislamannya
dan mengambil tempat dalam kafilah pertama yang diberkati ini. Begitulah,
Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu.
Sekalipun Thalhah seorang yang terpandang
dalam kaumnya dan hartawan dengan perniagaannya yang selalu berkembang, ia
tetap saja tidak luput dari penganiayaan orang-orang Quraish karena
keislamannya. Untunglah, ia dan Abu Bakar mendapatkan perlindungan dari Naufal
bin Khuwailid, si Singa Quraish, paman Khadijah, istri Rasulullah. Dengan
demikian, penganiayaan terhadap keduanya tidak berlangsung lama, karena
orang-orang musyrik Quraish merasa segan kepadanya dan takut terhadap akibat
perbuatan mereka.
Thalhah hijrah ke Madinah ketika kaum
Muslimin diperintahkan hijrah. Selanjutnya ia tidak pernah ketinggalan dalam
semua peperangan bersama Rasulullah kecuali Perang Badar, karena waktu itu
Rasulullah mengutusnya bersama sa’id bin Zaid untuk suatu tugas penting ke luar
Madinah. Ketika mereka berdua telah menyelesaikan tugas dengan baik dan kembali
ke Madinah, pada waktu yang sama Rasulullah beserta para shahabatnya yang lain
sedang kembali dari Perang Badar.
Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya
kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah berjihad dalam peperangan
yang pertama itu. Tetapi, Rasulullah telah menenteramkan hati mereka hingga
mereka merasa lega dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala
yang sama dengan orang-orang yang berperang. Bahkan, Rasulullah membagikan
rampasan perang kepada keduanya tidak kurang dari yang didapat oleh mereka yang
menyertainya.
Sekarang, tibalah giliran Perang Uhud yang
akan memperlihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraish, yang tampil hendak
membalas dendam atas kekalahannya di Perang Badar dan untuk mengamankan tujuan
terakhirnya dengan menimpakan kekalahan telak atas kaum Muslimin. Kekalahan, yang
menurut perkiraan mereka, itu perkara mudah dan pasti dapat terlaksana.
Peperangan dahsyat pun berlangsung dan
banyak korban berjatuhan menutupi permukaan bumi. Kekalahan telah menimpa kaum
musyrikin. Ketika kaum Muslimin melihat musuh melarikan diri, mereka meletakkan
senjata, dan para pemanah turun meninggalkan posisi mereka untuk mengumpulkan
harta rampasan.
Ketika kaum Muslimin sedang lengah
tersebut, pasukan Quraish menyerang kembali dari belakang hingga berhasil
merebut dan menguasai kendali pertempuran. Pertempuran pun berkecamuk lagi
dengan segala kekejaman dan kedahsyatan. Serangan mendadak yang tiba-tiba itu
mampu membuat kocar-kacir barisan kaum Muslimin.
Thalhah memperhatikan pertempuran di
posisi Rasulullah berdiri. Ia melihat beliau menjadi sasaran utama serbuan
pasukan penyembah berhala itu. Karena itu, ia pun bergegas ke arah Rasulullah.
Thalhah terus maju menerobos jalan menuju posisi beliau, yang sebenarnya pendek
tetapi terasa panjang. Setiap jengkal ia dihadang oleh puluhan pedang yang
bersilang dan tombak-tombak yang mencari mangsanya.
Dari kejauhan ia melihat Rasulullah dan
pipi beliau mengalirkan darah. Ia sangat khawatir terhadap keselamatan beliau.
Karena itulah, ia tidak bisa lagi mengendalikan diri dan langsung menerjang
dengan satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya. Dan ternyata benar, di
hadapan Rasulullah ia menemukan apa yang dikhawatirkannya. Pedang kaum
musyrikin menyambar-nyambar ke arah beliau, mengepung dan hendak membinasakan.
Thalhah berdiri menghadang lawan,
seolah-olah satu barisan perang yang menggetarkan. Ia mengayunkan pedangnya
yang ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia
dapat melihat darah Rasulullah yang mulia menetes dan mendengar rintihan
kesakitannya. Ia mengangkat Nabi dengan tangan kiri dari lubang tempat kaki
beliau terperosok. Sambil memapah Rasulullah yang mulia dengan dekapan tangan
kiri ke dadanya, ia mundur ke tempat yang aman. Allah memberkati tangan
kanannya yang mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet orang-orang
musyrik yang hendak mengerumuni Rasulullah bagaikan belalang memenuhi medan
pertempuran.
Marilah kita dengarkan Abu Bakar
Ash-Shiddiq menggambarkan keadaan medan tempur waktu itu, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Aisyah.
Aisyah menuturkan, “Bila
disebutkan Perang Uhud, Abu Bakar selalu berkata, ‘Itu semua adalah hari milik
Thalhah. Aku adalah orang pertama yang mendapatkan Nabi. Beliau pun bersabda
kepadaku dan kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, ‘Tolonglah saudaramu itu
(Thalhah).’ Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat
lebih dari tujuh puluh luka tusukan tombak, sobekan pedang, dan tancapan panah,
dan ternyata jari-jari tangannya juga putus. Kami segera merawatnya dengan
baik.”
Di setiap medan pertempuran, Thalhah
selalu berada di barisan terdepan mencari keridhaan Allah dan membela bendera
Rasul-Nya. Thalhah hidup di tengah-tengah masyarakat Muslimin, mengabdi kepada
Allah berasama mereka yang beribadah, dan berjihad di jalan-Nya bersama
mujahidin yang lain. Bersama para shahabat yang lain, ia mengukuhkan
tiang-tiang agama yang baru ini; agama yang akan mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.
Bila hak Rabbnya telah ditunaikan, ia
menjalankan usahanya di muka bumi, mencari keridhaan Allah, dengan
mengembangkan perniagaannya yang
mendatangkan keuntungan dan usaha-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah adalah
seorang Muslim yang terbanyak hartanya dan paling berkembang kekayaannya. Semua
hartanya dipergunakannya untuk berkhidmat kepada agama Islam, yang benderanya
dipanggulnya bersama Rasulullah. Ia menafkahkan hartanya di jalan Allah tanpa
batas, dan karena itu pula Allah semakin memperbanyak hartanya.
Rasulullah memberinya gelar Thalhah Si
Baik Hati atau Thalhah Si Pemurah Hati dan Thalhah Si Dermawan, sebagai pujian
atas kedermawanannya yang berlimpah. Setiap kali ia mengeluarkan hartanya dalam
jumlah yang sangat besar, Allah Yang Maha Pemurah menggantinya dengan berlipat
ganda.
Istrinya, Su’da binti Auf mencerotakan
kepada kita, “Suatu hari saya melihat suami saya
sedang gelisah. Saya bertanya kepada suami saya, ‘Ada apa denganmu?’ Maka ia
menjawab, ‘Harta yang ada padaku ini semakin bertambah banyak, hingga
menyusahkan dan meyempitkanku.’ Aku pun berkata, ‘Tidak ada yang
mengkhawatirkan dirimu, bagi-bagikan saja.’ Ia lalu berdiri dan memanggil
orang-orang, kemudian membagi-bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang
tersisa lagi walau hanya satu dirham.
Suatu saat, setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi,
ia memandangi tumpukan harta itu, lalu mengalirlah air matanya, kemudian
berkata, ‘Bila seseorang dibebani harta sekian banyaknya dan tidak tahu apa
yang akan terjadi, ini pasti akan mengganggu ketenteraman ibadah kepada Allah.’
Ia lalu memanggil sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya
itu berkeliling melalui jalan-jalan Madinah dan rumah-rumahnya sambil
membagi-bagikannya sampai siang, sehingga tidak ada harta yang tersisa meski
hanya satu dirham.”
Jabir bin Abdullah juga pernah
menggambarkan kedermawanan Thalhah. Ia menuturkan, “Aku tidak
pernah melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang
banyak tanpa diminta lebih dulu, daripada Thalhah bin Ubaidullah.”
Thalhah adalah seorang yang paling banyak
berbuat baik kepada keluarga dan kerabatnya. Ia menanggung nafkah mereka semua
sekalipun demikian banyaknya. Berkaitan dengan ini, orang bercerita tentang
dirinya, “Tidak ada seorang pun dari Bani Taim yang
mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya pembelanjaan keluarganya. Ia
menikahkan anak-anak yatim mereka, memberikan perkerjaan untuk keluarga mereka,
dan melunasi utang-utang mereka.”
As-Sa’ib bin Zaid, lain pula ceritanya
tentang Thalhah, “Aku telah menyertai Thalhah saat
sedang safar maupun sedang mukim, dan aku tidak pernah menemukan orang yang
lebih merata kemurahan hatinya, baik mengenai uang atau makanan daripada
Thalhah.”
Pada masa kekhalifahan Utsman, terjadilah
fitnah yang sudah kita kenal. Thalhah mendukung alasan orang-orang yang
menentang Utsman dan membenarkan sebagian tuntutan mereka mengenai perubahan
dan reformasi. Tetapi, dengan pendirian itu, apakah ia mengajak orang untuk
membunuh Utsman atau merestuinya? Seandainya ia tahu bahwa fitnah itu akan
berlarut-larut, hingga mengakibatkan permusuhan dan saling menuduh, serta
menimbulkan kebencian yang menyala-nyala hingga akhirnya Utsman bin Affan yang
dijuluki “Dzun Nurain” itu harus menjadi korban dan menemui ajalnya dalam
peristiwa berdarah dan kejam itu.
Kita katakan, seandainya ia mengetahui
bahwa fitnah itu akan berakhir dengan pembunuhan seperti itu, ia pasti akan
menentang bersama para shahabatnya yang mendukung sejak awal, karena anggapan
dan dugaan bahwa gerakan itu hanyalah sebagai gerakan perbaikan dan peringatan
semata, tidak lebih dari itu.
Pendirian Thalhah itu menjadi kemelut
hidupnya, setelah terjadi kekerasan dan kekejaman di mana Utsman dikepung lalu
dibunuh. Tidak lama setelah Ali dibaiat oleh kaum Muslimin di Madinah, di
antaranya Thalhah dan Az-Zubair, mereka berdua langsung meminta izin pergi ke
Mekkah guna melaksanakan umrah. Dari Mekkah mereka menuju ke Bashrah, dan di
sana telah berhimpun banyak kekuatan yang hendak menuntut bela kematian Utsman.
Perang Jamal adalah pertemuan dua pasukan,
yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan yang
mendukung Ali. Menghadapi situasi sulit yang sedang melanda agama Islam dan
kaum Muslimin ini, Ali sendiri merasa sedih dan meneteskan air mata. Ia dipaksa
untuk bertindak keras. Dalam kedudukannya selaku Khalifah, tidak ada jalan
lain, dan tidak sepantasnya, ia bersikap lunak terhadap pembangkangan atas
pemerintahan, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata melawan khalifah
yang telah dikukuhkan syariat.
Ketika ia bangkit untuk memadamkan
pemberontakan semacam ini, ia selalu mencari jalan untuk menghindari
pertumpahan darah antara saudara-saudaranya, yang merupakan rekan-rekan
seperjuangan dan pengikut Rasulullah yang seagama, yaitu mereka yang sejak lama
telah berperang bersamanya melawan tentara syirik, menerjuni pertempuran
bahu-membahu di bawah bendera tauhid, yang mempersatukan mereka sebagai saudara
yang saling membela.
Bencana apakah ini? Dan ujian sulit apa
lagi yang lebih besar daripada itu?
Dalam mencari jalan keluar dari bencana
ini, dan untuk menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah di antara kaum
Muslimin, Ali selalu mempergunakan setiap cara yang dapat dipakai dan harapan
yang dapat diandalkan. Hanya saja, unsur-unsur yang dahulu melawan Islam—dan
kuantitas mereka banyak—yang akhir kehancuran mereka harus tunduk di bawah
kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar, kelompok inilah yang merajut fitnah,
serta menyuburkan dan mengendalikannya, sehingga semakin memperburuk keadaan.
Air mata Ali mengalir deras ketika melihat
Ummul Mukminin, Aisyah, dalam sekedup untanya, bertindak sebagai pemimpin
tentara yang hendak memeranginya. Ketika ia melihat Thalhah dan Az-Zubair, yang
merupakan pembela Rasulullah itu berada di tengah-tengah pasukan Aisyah, Ali
memanggil mereka berdua agar menghadapnya. Mereka pun menjumpai Ali hingga
leher kuda mereka bersentuhan.
Ali berkata kepada Thalhah, “Wahai
Thalhah, pantaskah engkau membawa istri Rasulullah untuk berperang, sedangkan
istrimu sendiri engkau tinggalkan di rumah?”
Selanjutnya, Ali berkata kepada Az-Zubair,
“Wahai Zubair, aku minta engkau menjawab karena
Allah, tidakkah engkau ingat, suatu hari ketika Rasulullah lewat di hadapanmu
sedang ketika itu kita sedang berada tempat si fulan. Beliau bersabda kepadamu,
‘Wahai Zubair, tidakkah engkau cinta kepada Ali?’ Maka engkau menjawab,
‘Bagaimana mungkin aku tidak cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak
pamanku, serta orang yang satu agama denganku?’ maka beliau bersabda, ‘Wahai
Zubair, demi Allah, bila engkau memeranginya, itu berarti engkau berlaku zalim
kapadanya.’.”
Zubair pun menjawab, “Ya,
sekarang aku ingat. Aku hampir saja lupa soal itu. Demi Allah, aku tidak akan
memerangimu.”
Akhirnya, Thalhah dan Zubair menarik diri
dari perang saudara ini. Mereka segera mengurungkan niatnya setelah mengetahui
duduk persolannya. Ketika mereka berdua melihat Ammar bin Yasir berperang di
pihak Ali, mereka langsung teringat sabda Rasulullah kepada Ammar, “Engkau
akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.” Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan
yang disertai Thalhah ini, ia tentu termasuk golongan yang melampaui batas.
Thalhah dan Zubair menarik diri dari
peperangan, namun harus membayar harga penarikan itu dengan nyawa. Namun,
mereka berdua menemui Allah dengan hati yang senang dan tenteram, karena
petunjuk dan ketajaman berpikir yang dilimpahkan kepada mereka berdua. Zubair
setelah menarik diri itu dibuntuti seorang lelaki bernama Amr bin Jurmuz yang
akhirnya membunuhnya saat Zubair sedang lengah, yakni ketika ia sedang
menunaikan shalat. Adapun Thalhah, ia dipanah oleh Marwan bin Al-Hakam, yang
berakhir pada kematiannya.
Peristiwa terbunuhnya Utsman telah
mendatangkan keresahan di hati Thalhah, hingga menyebabkan kemelut hidupnya.
Padahal, ia tidaklah ikut dalam pembunuhan ataupun menghasut orang untuk
membunuhnya. Ia hanya membela orang yang menentang Utsman ketika belum ada
tanda-tanda bahwa penentengan itu akan berlanjut dan berlarut-larut hingga
berubah menjadi kejahatan atau tindak pidana yang kejam.
Ketika ia bergabung dalam Perang Jamal,
bersama pasukan yang menentang Ali bin Abu Thalib untuk menuntut bela kematian
Utsman, tujuannya adalah untuk menebus dosa yang akan membebaskannya dari
tekanan batinnya. Sebelum pertempuran dimulai, ia berdoa dan mengadu kepada
Allah dengan berlinangan air mata, “Ya Allah, ambillah sekarang
kesalahanku terhadap Utsman hingga engkau ridha kepadaku.” Maka ketika ia ditemui Ali, seperti yang telah
penulis ceritakan, kata-kata Ali telah menerangi hatinya, sehingga ia bersama
Zubair melihat kebenaran lalu meninggalkan medan perang.
Hanya saja, kematian sebagai syahid telah
disediakan untuk Thalhah yang akan ia jemput atau menjemputnya kapanpun itu
terjadi. Bukankah Rasulullah telah bersabda tentang dirinya, “Inilah
dia orang yang akan mengorbankan nyawanya. Barang siapa ingin meyaksikan
seorang syahid yang berjalan di muka bumi, hendaklah ia menyaksikan Thalhah.”? Karena itulah, Thalhah menemui kesyahidan
sebagai akhir hidupnya yang agung dan yang telah ditakdirkan, dan dengan
demikian Perang Jamal pun berakhir.
Ummul Mukminin Aisyah menyadari bahwa ia
telah tergesa-gesa dalam menghadapi persoalan itu. Karena itu, ia meninggalkan
Bashrah menuju Baitul Haram lalu pergi ke Madinah, dan tidak ingin campur
tangan lagi dalam pertarungan itu. Untuk perjalanannya, Ali membekalinya dengan
semua fasilitas agar nyaman dan diiringi penghormatan.
Ketika Ali mengidentifikasi orang-orang
ang gugur sebagai syuhada di medan tempur, ia menshalatkan mereka semua, baik
yang bertempur di pihaknya maupun yang menentangnya. Setelah memakamkan Thalhah
dan Zubair, ia berdiri melepaskan keduanya dengan kata-kata indah dan mulia,
yang disudahinya dengan kalimat-kalimat berikut ini:
“Sesungguhnya
aku mengharapkan agar aku beserta Thalhah, Zubair, dan Utsman termasuk di
antara orang-orang yang difirmankan Allah:
وَنَزَعْنَا مَا فِي
صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ
Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati
mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas
dipan-dipan.
QS:Al-Hijr | Ayat: 47”
QS:Al-Hijr | Ayat: 47”
Kemudian Ali mengusap makam mereka berdua denagn
pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih,
seraya berkata, “Kedua telingaku ini telah mendengar
sendiri sabda Rasulullah, ‘Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku di surga.’.”
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar