Selasa, 17 Desember 2013

Filled Under:

Thalhah bin Ubaidullah (Ksatria Perang Uhud).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya),
QS:Al-Ahzab | Ayat: 23

     Rasulullah membacakan ayat yang mulia ini, kemudian menatap wajah para shahabat. Beliau bersabda sambil menunjuk kepada Thalhah, “Barang siapa ingin melihat seorang lelaki yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia telah memberikan nyawanya, maka hendaklah ia melihat Thalhah.

     Tidak ada kegembiraan yang paling didambakan oleh para shahabat Rasulullah, yang membuat hati mereka terbang merindukannya, melebihi kedudukan seperti yang disandangkan oleh beliau kepada Thalhah bin Ubaidullah ini. Karena itu, hati Thalhah pun tenteram mendengar akhir hayatnya serta kesudahan nasibnya dalam hidup ini. Ia akan hidup dan mati sebagai salah seorang dari mereka yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, dan ia tidak terkena fitnah dan tidak mendapat kesukaran. Rasulullah telah memberikan kabar gembira kepadanya, bahwa ia akan mendapatkan surga. Lantas bagaimanakah riwayat hidup orang yang telah diramalkan akan berbahagia itu?

      Ketika Thalhah sedang dalam perjalanan dagang ke Bashrah, ia bertemu dengan seorang pendeta yang sangat baik. Pada waktu itu sang pendeta mengabarkan kepadanya bahwa Nabi yang akan muncul di Tanah Haram, sebagaimana yang telah diramalkan oleh Nabi yang saleh, telah tiba masa kemunculannya. Pendeta itu mengingatkan Thalhah agar tidak ketinggalan menyertai kafilah kerasulan itu, yang merupakan kafilah pembawa petunjuk, rahmat, dan pembebasan.

     Setelah berbulan-bulan berada di Bashrah, Thalhah kembali ke negerinya, Mekkah. Dalam perjalanan pulang itu, ia menangkap kasak-kusuk penduduk tentang Muhammad Al-Amin dan wahyu yang datang kepadanya, di samping tentang kerasulan yang dibawanya kepada seluruh umat manusia.

     Orang pertama yang ditanyai Thalhah ialah Abu Bakar. Abu Bakar memberitahukan kepadanya bahwa ia baru saja pulang bersama kafilah dagangnya, dan bahwa ia berdiri di samping Muhammad sebagai seorang Mukmin, yang membela dan menyerahkan dirinya kepada Allah.

     Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri, “Muhammad dan Abu Bakar? Demi Allah, tidak mungkin kedua orang ini akan bersekongkol dalam kesesatan apapun.” Muhammad telah mencapai usia 40 tahun dan sepanjang usia itu kita belum pernah mengetahui beliau melakukan kebohongan. Apakah mungkin beliau berdusta hari ini terhadap Allah, lalu mengatakan bahwa Allah telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya? Ini merupakan perkara yang sulit dipercaya.

     Thalhah mempercepat langkahnya menuju rumah Abu Bakar dan tidak lama setelah terjadi perbincangan antara dia dan Abu Bakar, kerinduannya untuk menemui Rasulullah dan hasratnya hendak berjanji setia kepadanya terasa lebih cepat daripada detak jantungnya sendiri. Ia ditemani Abu Bakar pergi dan menjumpai Rasulullah guna menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam kafilah pertama yang diberkati ini. Begitulah, Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu.

     Sekalipun Thalhah seorang yang terpandang dalam kaumnya dan hartawan dengan perniagaannya yang selalu berkembang, ia tetap saja tidak luput dari penganiayaan orang-orang Quraish karena keislamannya. Untunglah, ia dan Abu Bakar mendapatkan perlindungan dari Naufal bin Khuwailid, si Singa Quraish, paman Khadijah, istri Rasulullah. Dengan demikian, penganiayaan terhadap keduanya tidak berlangsung lama, karena orang-orang musyrik Quraish merasa segan kepadanya dan takut terhadap akibat perbuatan mereka.

     Thalhah hijrah ke Madinah ketika kaum Muslimin diperintahkan hijrah. Selanjutnya ia tidak pernah ketinggalan dalam semua peperangan bersama Rasulullah kecuali Perang Badar, karena waktu itu Rasulullah mengutusnya bersama sa’id bin Zaid untuk suatu tugas penting ke luar Madinah. Ketika mereka berdua telah menyelesaikan tugas dengan baik dan kembali ke Madinah, pada waktu yang sama Rasulullah beserta para shahabatnya yang lain sedang kembali dari Perang Badar.

     Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah berjihad dalam peperangan yang pertama itu. Tetapi, Rasulullah telah menenteramkan hati mereka hingga mereka merasa lega dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala yang sama dengan orang-orang yang berperang. Bahkan, Rasulullah membagikan rampasan perang kepada keduanya tidak kurang dari yang didapat oleh mereka yang menyertainya.

     Sekarang, tibalah giliran Perang Uhud yang akan memperlihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraish, yang tampil hendak membalas dendam atas kekalahannya di Perang Badar dan untuk mengamankan tujuan terakhirnya dengan menimpakan kekalahan telak atas kaum Muslimin. Kekalahan, yang menurut perkiraan mereka, itu perkara mudah dan pasti dapat terlaksana.

     Peperangan dahsyat pun berlangsung dan banyak korban berjatuhan menutupi permukaan bumi. Kekalahan telah menimpa kaum musyrikin. Ketika kaum Muslimin melihat musuh melarikan diri, mereka meletakkan senjata, dan para pemanah turun meninggalkan posisi mereka untuk mengumpulkan harta rampasan.

     Ketika kaum Muslimin sedang lengah tersebut, pasukan Quraish menyerang kembali dari belakang hingga berhasil merebut dan menguasai kendali pertempuran. Pertempuran pun berkecamuk lagi dengan segala kekejaman dan kedahsyatan. Serangan mendadak yang tiba-tiba itu mampu membuat kocar-kacir barisan kaum Muslimin.

     Thalhah memperhatikan pertempuran di posisi Rasulullah berdiri. Ia melihat beliau menjadi sasaran utama serbuan pasukan penyembah berhala itu. Karena itu, ia pun bergegas ke arah Rasulullah. Thalhah terus maju menerobos jalan menuju posisi beliau, yang sebenarnya pendek tetapi terasa panjang. Setiap jengkal ia dihadang oleh puluhan pedang yang bersilang dan tombak-tombak yang mencari mangsanya.

     Dari kejauhan ia melihat Rasulullah dan pipi beliau mengalirkan darah. Ia sangat khawatir terhadap keselamatan beliau. Karena itulah, ia tidak bisa lagi mengendalikan diri dan langsung menerjang dengan satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya. Dan ternyata benar, di hadapan Rasulullah ia menemukan apa yang dikhawatirkannya. Pedang kaum musyrikin menyambar-nyambar ke arah beliau, mengepung dan hendak membinasakan.

     Thalhah berdiri menghadang lawan, seolah-olah satu barisan perang yang menggetarkan. Ia mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan  ke kanan. Ia dapat melihat darah Rasulullah yang mulia menetes dan mendengar rintihan kesakitannya. Ia mengangkat Nabi dengan tangan kiri dari lubang tempat kaki beliau terperosok. Sambil memapah Rasulullah yang mulia dengan dekapan tangan kiri ke dadanya, ia mundur ke tempat yang aman. Allah memberkati tangan kanannya yang mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasulullah bagaikan belalang memenuhi medan pertempuran.

     Marilah kita dengarkan Abu Bakar Ash-Shiddiq menggambarkan keadaan medan tempur waktu itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah.

     Aisyah menuturkan, “Bila disebutkan Perang Uhud, Abu Bakar selalu berkata, ‘Itu semua adalah hari milik Thalhah. Aku adalah orang pertama yang mendapatkan Nabi. Beliau pun bersabda kepadaku dan kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, ‘Tolonglah saudaramu itu (Thalhah).’ Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh luka tusukan tombak, sobekan pedang, dan tancapan panah, dan ternyata jari-jari tangannya juga putus. Kami segera merawatnya dengan baik.

     Di setiap medan pertempuran, Thalhah selalu berada di barisan terdepan mencari keridhaan Allah dan membela bendera Rasul-Nya. Thalhah hidup di tengah-tengah masyarakat Muslimin, mengabdi kepada Allah berasama mereka yang beribadah, dan berjihad di jalan-Nya bersama mujahidin yang lain. Bersama para shahabat yang lain, ia mengukuhkan tiang-tiang agama yang baru ini; agama yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.

     Bila hak Rabbnya telah ditunaikan, ia menjalankan usahanya di muka bumi, mencari keridhaan Allah, dengan mengembangkan perniagaannya  yang mendatangkan keuntungan dan usaha-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah adalah seorang Muslim yang terbanyak hartanya dan paling berkembang kekayaannya. Semua hartanya dipergunakannya untuk berkhidmat kepada agama Islam, yang benderanya dipanggulnya bersama Rasulullah. Ia menafkahkan hartanya di jalan Allah tanpa batas, dan karena itu pula Allah semakin memperbanyak hartanya.

     Rasulullah memberinya gelar Thalhah Si Baik Hati atau Thalhah Si Pemurah Hati dan Thalhah Si Dermawan, sebagai pujian atas kedermawanannya yang berlimpah. Setiap kali ia mengeluarkan hartanya dalam jumlah yang sangat besar, Allah Yang Maha Pemurah menggantinya dengan berlipat ganda.

     Istrinya, Su’da binti Auf mencerotakan kepada kita, “Suatu hari saya melihat suami saya sedang gelisah. Saya bertanya kepada suami saya, ‘Ada apa denganmu?’ Maka ia menjawab, ‘Harta yang ada padaku ini semakin bertambah banyak, hingga menyusahkan dan meyempitkanku.’ Aku pun berkata, ‘Tidak ada yang mengkhawatirkan dirimu, bagi-bagikan saja.’ Ia lalu berdiri dan memanggil orang-orang, kemudian membagi-bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang tersisa lagi walau hanya satu dirham.

     Suatu saat, setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi, ia memandangi tumpukan harta itu, lalu mengalirlah air matanya, kemudian berkata, ‘Bila seseorang dibebani harta sekian banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi, ini pasti akan mengganggu ketenteraman ibadah kepada Allah.’ Ia lalu memanggil sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling melalui jalan-jalan Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai siang, sehingga tidak ada harta yang tersisa meski hanya satu dirham.

     Jabir bin Abdullah juga pernah menggambarkan kedermawanan Thalhah. Ia menuturkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta lebih dulu, daripada Thalhah bin Ubaidullah.

     Thalhah adalah seorang yang paling banyak berbuat baik kepada keluarga dan kerabatnya. Ia menanggung nafkah mereka semua sekalipun demikian banyaknya. Berkaitan dengan ini, orang bercerita tentang dirinya, “Tidak ada seorang pun dari Bani Taim yang mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya pembelanjaan keluarganya. Ia menikahkan anak-anak yatim mereka, memberikan perkerjaan untuk keluarga mereka, dan melunasi utang-utang mereka.

     As-Sa’ib bin Zaid, lain pula ceritanya tentang Thalhah, “Aku telah menyertai Thalhah saat sedang safar maupun sedang mukim, dan aku tidak pernah menemukan orang yang lebih merata kemurahan hatinya, baik mengenai uang atau makanan daripada Thalhah.

     Pada masa kekhalifahan Utsman, terjadilah fitnah yang sudah kita kenal. Thalhah mendukung alasan orang-orang yang menentang Utsman dan membenarkan sebagian tuntutan mereka mengenai perubahan dan reformasi. Tetapi, dengan pendirian itu, apakah ia mengajak orang untuk membunuh Utsman atau merestuinya? Seandainya ia tahu bahwa fitnah itu akan berlarut-larut, hingga mengakibatkan permusuhan dan saling menuduh, serta menimbulkan kebencian yang menyala-nyala hingga akhirnya Utsman bin Affan yang dijuluki “Dzun Nurain” itu harus menjadi korban dan menemui ajalnya dalam peristiwa berdarah dan kejam itu.

     Kita katakan, seandainya ia mengetahui bahwa fitnah itu akan berakhir dengan pembunuhan seperti itu, ia pasti akan menentang bersama para shahabatnya yang mendukung sejak awal, karena anggapan dan dugaan bahwa gerakan itu hanyalah sebagai gerakan perbaikan dan peringatan semata, tidak lebih dari itu.

     Pendirian Thalhah itu menjadi kemelut hidupnya, setelah terjadi kekerasan dan kekejaman di mana Utsman dikepung lalu dibunuh. Tidak lama setelah Ali dibaiat oleh kaum Muslimin di Madinah, di antaranya Thalhah dan Az-Zubair, mereka berdua langsung meminta izin pergi ke Mekkah guna melaksanakan umrah. Dari Mekkah mereka menuju ke Bashrah, dan di sana telah berhimpun banyak kekuatan yang hendak menuntut bela kematian Utsman.

     Perang Jamal adalah pertemuan dua pasukan, yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan yang mendukung Ali. Menghadapi situasi sulit yang sedang melanda agama Islam dan kaum Muslimin ini, Ali sendiri merasa sedih dan meneteskan air mata. Ia dipaksa untuk bertindak keras. Dalam kedudukannya selaku Khalifah, tidak ada jalan lain, dan tidak sepantasnya, ia bersikap lunak terhadap pembangkangan atas pemerintahan, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata melawan khalifah yang telah dikukuhkan syariat.

     Ketika ia bangkit untuk memadamkan pemberontakan semacam ini, ia selalu mencari jalan untuk menghindari pertumpahan darah antara saudara-saudaranya, yang merupakan rekan-rekan seperjuangan dan pengikut Rasulullah yang seagama, yaitu mereka yang sejak lama telah berperang bersamanya melawan tentara syirik, menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid, yang mempersatukan mereka sebagai saudara yang saling membela.

     Bencana apakah ini? Dan ujian sulit apa lagi yang lebih besar daripada itu?

     Dalam mencari jalan keluar dari bencana ini, dan untuk menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah di antara kaum Muslimin, Ali selalu mempergunakan setiap cara yang dapat dipakai dan harapan yang dapat diandalkan. Hanya saja, unsur-unsur yang dahulu melawan Islam—dan kuantitas mereka banyak—yang akhir kehancuran mereka harus tunduk di bawah kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar, kelompok inilah yang merajut fitnah, serta menyuburkan dan mengendalikannya, sehingga semakin memperburuk keadaan.

     Air mata Ali mengalir deras ketika melihat Ummul Mukminin, Aisyah, dalam sekedup untanya, bertindak sebagai pemimpin tentara yang hendak memeranginya. Ketika ia melihat Thalhah dan Az-Zubair, yang merupakan pembela Rasulullah itu berada di tengah-tengah pasukan Aisyah, Ali memanggil mereka berdua agar menghadapnya. Mereka pun menjumpai Ali hingga leher kuda mereka bersentuhan.

     Ali berkata kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, pantaskah engkau membawa istri Rasulullah untuk berperang, sedangkan istrimu sendiri engkau tinggalkan di rumah?

     Selanjutnya, Ali berkata kepada Az-Zubair, “Wahai Zubair, aku minta engkau menjawab karena Allah, tidakkah engkau ingat, suatu hari ketika Rasulullah lewat di hadapanmu sedang ketika itu kita sedang berada tempat si fulan. Beliau bersabda kepadamu, ‘Wahai Zubair, tidakkah engkau cinta kepada Ali?’ Maka engkau menjawab, ‘Bagaimana mungkin aku tidak cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang satu agama denganku?’ maka beliau bersabda, ‘Wahai Zubair, demi Allah, bila engkau memeranginya, itu berarti engkau berlaku zalim kapadanya.’.

     Zubair pun menjawab, “Ya, sekarang aku ingat. Aku hampir saja lupa soal itu. Demi Allah, aku tidak akan memerangimu.

     Akhirnya, Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini. Mereka segera mengurungkan niatnya setelah mengetahui duduk persolannya. Ketika mereka berdua melihat Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali, mereka langsung teringat sabda Rasulullah kepada Ammar, “Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.” Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, ia tentu termasuk golongan yang melampaui batas.

     Thalhah dan Zubair menarik diri dari peperangan, namun harus membayar harga penarikan itu dengan nyawa. Namun, mereka berdua menemui Allah dengan hati yang senang dan tenteram, karena petunjuk dan ketajaman berpikir yang dilimpahkan kepada mereka berdua. Zubair setelah menarik diri itu dibuntuti seorang lelaki bernama Amr bin Jurmuz yang akhirnya membunuhnya saat Zubair sedang lengah, yakni ketika ia sedang menunaikan shalat. Adapun Thalhah, ia dipanah oleh Marwan bin Al-Hakam, yang berakhir pada kematiannya.

     Peristiwa terbunuhnya Utsman telah mendatangkan keresahan di hati Thalhah, hingga menyebabkan kemelut hidupnya. Padahal, ia tidaklah ikut dalam pembunuhan ataupun menghasut orang untuk membunuhnya. Ia hanya membela orang yang menentang Utsman ketika belum ada tanda-tanda bahwa penentengan itu akan berlanjut dan berlarut-larut hingga berubah menjadi kejahatan atau tindak pidana yang kejam.

     Ketika ia bergabung dalam Perang Jamal, bersama pasukan yang menentang Ali bin Abu Thalib untuk menuntut bela kematian Utsman, tujuannya adalah untuk menebus dosa yang akan membebaskannya dari tekanan batinnya. Sebelum pertempuran dimulai, ia berdoa dan mengadu kepada Allah dengan berlinangan air mata, “Ya Allah, ambillah sekarang kesalahanku terhadap Utsman hingga engkau ridha kepadaku.” Maka ketika ia ditemui Ali, seperti yang telah penulis ceritakan, kata-kata Ali telah menerangi hatinya, sehingga ia bersama Zubair melihat kebenaran lalu meninggalkan medan perang.

     Hanya saja, kematian sebagai syahid telah disediakan untuk Thalhah yang akan ia jemput atau menjemputnya kapanpun itu terjadi. Bukankah Rasulullah telah bersabda tentang dirinya, “Inilah dia orang yang akan mengorbankan nyawanya. Barang siapa ingin meyaksikan seorang syahid yang berjalan di muka bumi, hendaklah ia menyaksikan Thalhah.”? Karena itulah, Thalhah menemui kesyahidan sebagai akhir hidupnya yang agung dan yang telah ditakdirkan, dan dengan demikian Perang Jamal pun berakhir.

     Ummul Mukminin Aisyah menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapi persoalan itu. Karena itu, ia meninggalkan Bashrah menuju Baitul Haram lalu pergi ke Madinah, dan tidak ingin campur tangan lagi dalam pertarungan itu. Untuk perjalanannya, Ali membekalinya dengan semua fasilitas agar nyaman dan diiringi penghormatan.

     Ketika Ali mengidentifikasi orang-orang ang gugur sebagai syuhada di medan tempur, ia menshalatkan mereka semua, baik yang bertempur di pihaknya maupun yang menentangnya. Setelah memakamkan Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepaskan keduanya dengan kata-kata indah dan mulia, yang disudahinya dengan kalimat-kalimat berikut ini:

     “Sesungguhnya aku mengharapkan agar aku beserta Thalhah, Zubair, dan Utsman termasuk di antara orang-orang yang difirmankan Allah:

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ
Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.
QS:Al-Hijr | Ayat: 47


     Kemudian Ali mengusap makam mereka berdua denagn pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih, seraya berkata, “Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri sabda Rasulullah, ‘Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku di surga.’.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf