Selasa, 17 Desember 2013

Filled Under:

Az-Zubair bin Al-Awwam (Pengikut Setia Rasulullah).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Setiap nama Thalhah disebut, nama Zubair pun disebut bersamanya. Demikian pula ketika nama Zubair disebut, nama Thalhah tidak ketinggalan. Ketika Rasulullah mempersaudarakan para shahabatnya di Mekkah sebelum hijrah, beliau telah mempersaudarakan antara Thalhah dan Zubair.

     Sudah sejak lama Rasulullah memperbincangkan mereka berdua secara bersamaan, misalnya sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.” Mereka berdua memang berhimpun bersama Rasulullah dalam kerabat dan keturunan. Nasab Thalhah bertemu dengan nasab Rasulullah pada Murrah bin Ka’ab, sedangkan nasab Zubair bertemu dengan nasab Rasulullah juga pada Qushai bin Kilab, selain bahwa ibunya, Shafiyah, merupakan bibi Rasulullah dari jalur ayah.

     Thalhah dan Zubair adalah dua sejoli yang paling banyak kesamaan dalam persoalan kehidupan di dunia. Persamaan di antara keduanya sangat banyak, di antaranya dalam pertumbuhan, kekayaan, kedermawanan, keteguhan beragama, dan keberanian. Keduanya termasuk orang-orang angkatan pertama masuk Islam, dan termasuk di antara sepuluh orang yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah masuk surga. Keduanya juga termasuk kelompok enam shahabat ahli musyawarah, yang diserahi tugas oleh Umar bin Al-Khatthab memilih khalifah sepeninggal Umar bin Al-Khatthab. Bukan itu saja, akhir hayat mereka berdua pun benar-benar serupa, bahkan sama persis.

     Zubair telah masuk Islam lebih awal karena ia adalah satu dari tujuh orang yang mula-mula menyatakan keislamannya, dan perintis yang telah memainkan perannya yang penuh berkah di rumah Al-Arqam.

     Usianya pada waktu itu baru 15 tahun. Begitulah, ia telah diberi petunjuk, cahaya, dan kebaikan saat masih belia. Ia benar-benar seorang penunggang kuda dan pemberani sejak kecilnya, sehingga ahli sejarah menyebutnya bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair.

     Pada awal masa Islam, dan waktu itu jumlah kaum Muslimin sedikit sekali hingga mereka selalu bersembunyi di rumah Al-Arqam, tiba-tiba tersebar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Seketika itu, tidak ada yang dilakukan oleh Zubair selain menghunuskan pedang dan mengacungkannya, lalu berjalan di jalan-jalan kota Mekkah laksana badai, padahal ia masih muda belia. Langkah pertama, ia meneliti berita tersebut dengan bertekad seandainya berita itu ternyata benar, niscaya pedangnya akan menebas semua pundak orang Quraish, hingga ia dapat mengalahkan mereka atau mereka menewaskan Zubair.

     Di dataran tinggi Mekkah, Rasulullah menjumpainya dan menanyakan kepadanya apa tujuannya berada di tempat tersebut. Zubair menyampaikan berita yang ada. Rasulullah mendoakan kebaikan untuknya dan keampuhan bagi pedangnya.

     Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang dari kaumnya, ia tetap saja harus menanggung penderitaan dan penyiksaan dari orang-orang Quraish. Dan justru yang memimpin penyiksaan itu adalah pamannya sendiri. Ia pernah disekap di dalam kurungan, kemudian dipenuhi dengan asap api agar sesak nafasnya. Zubair lalu dipanggil dalam kondisi tertekan oleh siksaan, “Ingkarilah Tuhan Muhammad itu, niscaya aku lepaskan siksa itu darimu.” Tawaran itu dijawab oleh Zubair yang pada waktu itu masih dalam masa pertumbuhan dan belum kuat tulangnya, dengan kata-kata yang pedas dan mengejutkan, ia membalas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya,

     Zubair turun berhijrah ke Habasyah pertama dan kedua, kemudian ia kembali untuk menyertai semua peperangan bersama Rasulullah. Ia tidak pernah ketinggalan dari satu pun pertempuran. Banyaknya luka-luka yang terdapat pada tubuhnya dan masih berbekas sesudah lukanya itu sembuh membuktikan bagaimana kepahlawanan dan keperkasaan Zubair.

     Mari kita dengarkan penuturan salah seorang shahabatnya yang telah menyaksikan bekas-bekas luka yang terdapat hampir pada seluruh bagian tubuhnya, “Aku pernah menemani Az-Zubair bin Al-Awwam pada sebagian perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Aku melihat banyak sekali bekas luka goresan pedang, dan di dadanya terdapat seperti mata air yang dalam, menunjukkan bekas tusukan lembing dan anak panah. Aku pun berkata kepadanya,‘Demi Allah, aku melihat sendiri pada tubuhmu apa yang belum pernah kulihat pada orang lain sedikitpun.’ Maka Zubair berkata kepadaku, ‘Demi Allah, semua luka-luka itu kudapat bersama Rasulullah pada peperangan di jalan Allah’.

     Ketika Perang Uhud usai dan pasukan Quraish kembali ke Mekkah, ia bersama Abu Bakar diutus oleh Rasulullah untuk mengikuti dan menghalau tentara Quraish, agar mereka menganggap kaum Muslimin masih memiliki kekuatan, sehingga tidak berpikir untuk kembali ke Madinah guna memulai peperangan yang baru.

     Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh orang Muslim. Sekalipun mereka datang sebenarnya sedang mengikuti suatu pasukan yang menang, namun kecerdikan dan muslihat perang yang dipergunakan oleh Abi Bakar dan Zubair, membuat orang-orang Quraish menyangka bahwa mereka salah duga menilai kekuatan kaum Muslimin, dan membuat mereka berpikir bahwa pasukan yang dipimpin oleh Zubair dan Abu Bakar itu sebagai pendahuluan dari bala tentara Rasulullah yang menyusul di belakang, dan akan tampil menghalau mereka dengan dahsyat. Karena itulah, mereka bergegas mempercepat perjalanannya dan mempercepat langkah pulang ke Mekkah.

     Pada Perang Yarmuk, Zubair merupakan prajurit yang memimpin langsung satu pasukan. Sewaktu ia melihat sebagian besar anak buah yang dipimpinnya merasa gentar menghadapi tentara Romawi yang bergerak maju, ia meneriakkan, “Allahu Akbar!” ia menerobos pasukan musuh yang mendekat itu seorang diri dengan mengayunkan pedangnya. Ia kemudian kembali ke tengah-tengah barisan musuh yang dahsyat itu dengan pedang di tangan kanannya, menari-nari dan berputar bagaikan kincir, tidak pernah melemah apalagi berhenti.

     Zubair sangat merindukan kesyahidan dan menginginkan gugur di jalan Allah. Ia pernah berkata, “Thalhah bin Ubaidullah memberi nama anak-anaknya dengan nama para nabi, padahal ia tahu bahwa tidak ada nabi lagi sepeninggal Muhammad. Sungguh, aku menamai anak-anakku dengan nama para syuhada, semoga mereka gugur sebagai syuhada.” Benar, ia menamai anaknya dengan nama-nama para shahabat yang gugur syahid, berikut ini rinciannya:

  •  Abdullah bin Zubair, yang diambil dari nama shahabat yang gugur syahid, Abdullah bin Jahsy.
  • Al-Mundzir, diambil dari nama shahabat yang syahid, Al-Mundzir bin Amr.
  • Urwah, diambil dari nama shahabat yang dudur syahid, Urwah bin Amr.
  • Hamzah, diambil dari nama syahid yang mulia, Hamzah bin Abdul Muthalib.
  • Ja’far, diambil dari nama syahid yang agung, Ja’far bin Abu Thalib.
  •  Mush’ab, diambil dari nama shahabat yang syahid, Mush’ab bin Umair.
  • Khalid, diambil dari nama shahabat yang syahid, Khalid bin Sa’id.

     Seterusnya, ia memilih nama untuk anak-anaknya dengan nama para syuhada, dengan harapan agar mereka menemui ajalnya sebagai syuhada.

     Tentang riwayat hidupnya ada yang mengatakan, “Ia tidak pernah memerintah satu daerah pun, tidak pula mengumpulkan pungutan, pajak, atau lainnya; hanya berperang di jalan Allah.” Kalebihannya sebagai prajurit perang tergambar pada kepercayaan terhadap dirinya sendiri yang sempurna. Sekalipun seratus ribu orang menyertainya di medan tempur, engkau akan melihat bahwa ia berperang seakan-akan sendirian di arena pertempuran, dan seolah-olah tanggung jawab perang dan kemenangan terpikul di atas pundaknya sendiri.

     Keistimewaannya sebagai pejuang terlukis pada keteguhan hatinya dan kekuatan akalnya. Pada Perang Uhud ia menyaksikan jasad pamannya, Hamzah, yang telah disayat oleh orang-orang musyrik dengan kejam. Ia berdiri di depannya sambil menggertakkan gigi-giginya karena marah dan memegang pedangnya. Tidak ada yang terpikir olehnya selain mengadakan pembalasan yang setimpal, tetapi wahyu segera datang melarang Rasulullah dan kaum Muslimin, meski hanya memikirkan persoalan itu.

     Ketika pengepungan terhadap Bani Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah mengirim Zubair bersama Ali bin Abu Thalib. Ia berdiri di depan benteng musuh yang kuat sambil mengulang-ulang ucapannya, “Demi Allah, biarlah kami merasakan apa yang dirasakan oleh Hamzah, bila kami tidak mampu menundukkan benteng mereka.” Kemudian ia terjun ke dalam benteng hanya berdua saja dengan Ali. Dengan kekuatan berpikir yang menakjubkan, mereka berdua berhasil membuat musuh yang bertahan di dalam benteng merasa ketakutan dan akhirnya mereka berdua berhasil membuka pintu benteng tersebut bagi kaum Muslimin.

     Pada Perang Hunain, Zubair melihat pemimpin suku Hawazin, Malik bin Auf, yang juga menjadi panglima pasukan musyrik dalam perang tersebut. Ia melihatnya setelah lari bersama pasukannya dari medan Perang Hunain, dan sedang berdua di tengah-tengah gerombolan besar rekan-rekannya bersama sisa pasukan yang kalah. Secara tiba-tiba ia menyerbu rombongan itu seorang diri dan membuat kesatuan mereka kocar-kacir. Kemudian ia menghalau mereka dari tempat persembunyian yang mereka gunakan sebagai markas untuk menyergap pemimpin-pemimpin Islam yang baru kembali dari arena peperangan.

     Kecintaan dan penghargaan Rasulullah terhadap Zubair sangat luar biasa. Beliau sangat membanggakannya, dan pernah bersabda tentang dirinya, “Setiap Nabi mempunyai pengikut setia, dan pengikut setiaku adalah Az-Zubair bin Al-Awwam.” Hal itu karena Zubair bukan saja setia, melainkan lebih dari itu, karena ia adalah seorang yang penepat janji yang kuat, pemberani yang perkasa, pemurah yang tidak terkira, dan penjual jiwa dan harta untuk Allah Rabb semesta alam. Al-Hassan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifatnya ini dengan indah sekali, dalam ungkapan syairnya:

Ia berdiri teguh menepati janjinya kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya.

Sebagai pengikut setianya, dan perkataannya sesuai dengan perbuatannya.

Ia berdiri membela jalan beliau.

Sebagai pembela kebenaran, karena kebenaran itu jalan sebaik-baiknya.

Ia adalah seorang berkuda yang termahsyur, dan pahlawan yang gagah perkasa.

Merajalela di medan perang dan ditakuti di setiap arena.

Dengan Rasulullah mempunyai pertalian darah dan masih berhubungan keluarga.

Dalam membela Islam mempunyai jasa-jasa yang tidak terkira.

Banyak bahaya mengancam Nabi Al-Musthafa mencair oleh pedang Az-Zubair.

Semoga Allah membalas jasa-jasanya dengan balasan yang setimpal.

     Zubair adalah seorang yang berbudi luhur dan berpekerti mulia. Keberanian dan kemurahan hatinya seimbang laksana dua kuda yang sepadan. Ia telah berhasil mengurus perniagaannya dengan gemilang, kekayaannya melimpah, tetapi semua itu dibelanjakannya untuk membela Islam, sehingga ia sendiri mati dalam kondisi memiliki utang. Tawakalnya kepada Allah merupakan dasar kemurahan hati, sumber keberanian dan pengorbanannya, hingga ia rela menyerahkan nyawa.

     Ia pernah berwasiat kepada anaknya, Abdullah, agar melunasi utang-utangnya, “Bila aku tidak mampu membayar utang, mintalah kepada tuanku.

     Abdullah menanyakan kepadanya, “Maulana mana yang ayah maksud?

     Ia pun menjawab, “Allah, sebaik-baik pelindung dan pemberi pertolongan.

     Setelah mendapatkan pesan itu, Abdullah sering mengatakan, “Maka demi Allah, setiap aku terjatuh ke dalam kesukaran karena utangnya, aku selalu memohon, ‘Wahai penolong Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka utang itu lunas berkat pertolongan Allah.

     Dalam Perang Jamal, sebagaimana penulis ungkapkan dalam cerita yang lalu mengenai Thalhah, Zubair menemui akhir hayat dan tempat kesudahannya. Setelah ia menyadari kebenaran dan berlepas tangan dari peperangan, ia selalu diintai oleh golongan yang menghendaki terus berkobarnya api fitnah, dan akhirnya ia ditusuk oleh seorang pembunuh yang curang saat ia sedang lengah, yakni ketika Zubair sedang shalat menghadap Allah.

     Si pembunuh itu pergi menjumpai Ali, dengan keyakinan bahwa Ali akan menganggap itu sebagai kabar gembira ketika mendengar tindakannya terhadap Zubair, apalagi sambil menyerahkan pedang Zubair yang telah dirampasnya setelah melakukan kejahatan tersebut. Tetapi, Ali berteriak ketika mengetahui bahwa orang yang berada di depan pintu adalah pembunuh Zubair yang meminta izin masuk dan memerintahkan orang untuk mengusirnya, “Sampaikanlah berita gembira kepada pembunuh putra Shafiyah itu bahwa telah disediakan api neraka untuknya.

     Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali oleh beberapa shahabatnya, ia mencium dan menangis, kemudian berkata, “Demi Allah, pedang ini sudah banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah dari bahaya.

     Untuk mengakhiri pembicaraan kita tentang Zubair, apakah ada penghormatan yang lebih indah dan berharga untuk dipersembahkan kepadanya daripada ucapan Ali? Ada! Yaitu:

Semoga keselamatan dilimpahkan kepada Az-Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya.


Selamat, dan sekali lagi selamat untuk pengikut setia Rasulullah.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf