بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Tidak lama kemudian, Khabbab datang dengan
wajah terlukis tanda Tanya yang bercahaya dan kedua matanya meneteskan air mata
kegembiraan. Ia pun mengucapkan salam kepada rekan-rekannya itu lalu duduk di
dekat mereka.
Mereka segera menanyakan kepada Khabbab, “Apakah
pengerjaan pedang-pedang kami telah selesai, wahai Khabbab?”
Air mata Khabbab sudah kering, pada kedua
matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya
sendiri, ia mengatakan, “Sungguh, keadaannya sangat
menakjubkan!”
Orang-orang itu pun kembali bertanya
kepadanya, “Wahai Khabbab, keadaan apa yang kamu
maksud? Kami menanyakan kepadamu tentang pedang kami, apakah sudah selesai kamu
kerjakan?”
Dengan pandangannya yang menerawang
seolah-olah mimpi, Khabbab justru bertanya, “Apakah
kalian sudah melihatnya? Apakah kalian sudah pernah mendengarkan ucapannya?”
Mereka saling pandang diliputi tanda Tanya
dan keheranan. Salah seorang di antara mereka kembali bertanya dan kali ini
dengan suatu muslihat, “Apakah kamu
sendiri sudah melihatnya, wahai Khabbab?”
Khabbab mengetahui siasat lawan, sehingga
berbalik bertanya, “Siapa maksudmu?”
“Maksudku
ialah orang yang kamu katakan itu!”
jawab orang tadi dengan nada marah.
Akhirnya, Khabbab memberikan jawabannya
setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tidak dapat dipancing-pancing.
Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukanlah karena
hasil muslihat dan termakan umpan mereka, melainkan karena ia telah meyakini
kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk
menyatakannya secara terus terang.
Dalam keadaan masih haru dan terpesona,
serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, ia mengatakan, “Benar,
saya telah melihat dan mendengarnya. Saya menyaksikan kebenaran terpancar dari
dirinya, dan cahaya terang dari tutur katanya.”
Sekarang, orang-orang Quraish yang memesan
senjata itu mulai mengerti. Salah seorang mereka berteriak, “Siapa
dia orang yang kau katakana itu, wahai budak Ummu Anmar?”
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh
orang suci, Khabbab menjawab, “Siapa lagi, wahai Arab shahabatku?
Siapa lagi di antara kaum kalian yang dari dirinya terpancar kebenaran dari
tutur katanya memancarkan cahaya dia seorang?”
Seorang lainnya berteriak dan tampak
gusar, “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad.”
Khabbab membangkitkan kepalanya dengan
penuh kegembiraan dan berkata, “Benar, dialah utusan Allah kepada kita
untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Khabbab
tidak ingat lagi apa yang dia ucapkan atau yang diucapkan orang kepadanya. Ia
pingsan beberapa saat lamanya dan ketika sadar, ia mendapati tamu-tamunya telah
bubar dan tidak ada lagi, sedangkan tubuhnya bengkak dan tulang-tulangnya
terasa sakit. Darah mengalir membasahi pakaian dan tubuhnya. Kedua matanya
memandang ke sekelilingnya dengan tajam. Sepertinya tempat itu terlalu sempit
untuk pandangannya yang mulai terbuka.
Dengan menahan rasa sakit, ia bangkit
menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil
bersandar pada dinding, sedangkan kedua matanya yang cerdas memandang jauh,
menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan dan kiri. Pandangannya bukan berhenti sampai
pada dimensi yang biasa dikenal oleh manusia, melainkan hendak menembus dimensi
yang hilang pada diri manusia. Kedua matanya itu ingin menyelidiki dimensi yang
selama ini hilang dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di
Mekkah dan orang-orang di manapun dan kapanpun.
Mungkinkah pembicaraan yang didengarnya
dari Muhammad pada hari itu merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju
dimensi yang hilang dalam kehidupan seluruh umat manusia? Demikianlah, Khabbab
tenggelam dalam renungan dan pemikiran mendalam. Setelah itu ia kembali masuk
ke rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan bersiap untuk menerima siksaan dan
penderitaan baru.
Mulai saat itu, Khabbab pun mendapatkan
kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Ia
mendapatkan kedudukan itu di antara orang-orang yang—walaupun miskin dan tidak
berdaya—berani tegak menghadapi kesombongan , kezaliman, dan kegilaan Quraish.
Ia memperoleh kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah
memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas
sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran, sebagai
berita gembira tibanya hari-hari bagi orang tertindas yang tidak berdaya.
Mereka semua akan duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya
telah memeras dan menganiayanya. Dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul
tanggung jawab semua itu sebagai seorang perintis.
Asy-Sya’bi mangatakan, “Khabbab,
menunjukkah ketabahannya, hungga tidak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh
tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke
punggungnya, hingga dagingnya terbakar.”
Orang-orang kafir Quraish telah mengubah
semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang disediakan sebagai bahan baku
untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka memasukkan
ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian melilitkan ke tubuh,
kedua tangan, dan kedua kaki Khabbab.
Suatu hari, ia pergi bersama
rekan-rekannya yang senasib dalam penderitaan menemui Rasulullah, tetapi bukan
karena kecewa dan kesal atas pengorbanan selama ini, melainkan karena
mengharapkan keselamatan. Mereka berkata, “Wahai
Rasulullah, mengapa engkau tidak memintakan pertolongan kepada kami?” agar lebih jelas, mari kita dengarkan Khabbab
menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:
“Kami pergi
mengadu kepada Rasulullah yang ketika itu sedang tidur berbantalan kain
burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Kami berkata kepada beliau, ‘Wahai
Rasulullah, mengapa engkau tidak memintakan pertolongan bagi kami?’
Rasulullah pun duduk. Muka beliau berubah merah, lalu bersabda, ‘Sebelum
kalian, ada seorang lelaki yang disiksa, tubuhnya dikubur hingga sebatas leher
ke atas, lalu sebuah gergaji diambil untuk menggergaji kepalanya. Namun,
siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari agamanya. Ada
pula disikat antara daging dan tulang-tulangnya denga sikat besi. Siksaan itu
juga tidak dapat menggoyahkan keimanannya. Sungguh, Allah benar-benar akan
menyempurnakan urusan ini, hingga seorang pengembara dapat bepergian dari
Sana’a ke Hadramaut, dan tidak ada yang ditakutkan selain Allah ‘Azza wa Jalla,
walaupun serigala berada di antara hewan gembalaannya. Namun, sayang, kalian
terburu-buru.’.”
Khabbab dengan rekan-rekannya mendengarkan
kata-kata itu bertambah keimanan dan keteguhan hati mereka. Mereka semua
berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya ketabahan, kesabaran, dan
pengorbanan yang diharapkan dari mereka.
Demikianlah Khabbab menanggung penderitaan
dengan sabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang Quraish terpaksa meminta bantuan
Ummu Anmar, yang tidak lain bekas majikan Khabbab yang telah membebaskannya
dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil
bagian dalam menyiksanya. Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu
menaruhnya di atas kepala dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat
kesakitan. Tetapi, nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan
menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira.
Suatu hari Rasulullah lewat di hadapannya,
saat besi yang membara di atas kepalanya membakar dan memanggangnya. Dada
Rasulullah terasa sesak karena pilu dan iba. Tetapi, apa yang dapat diperbuat
selain meneguhkan hatinya dan mendoakannya. Pada saat itu Rasulullah mengangkat
kedua belah telapak tangannya ke arah langit dan bersabda, “Ya
Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab.”
Allah pun berkehendak, hanya selang
beberapa hari setelah itu, Ummu Anmar menerima hukuman balasan yang disegerakan
di dunia ini, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh Dzat Yang Maha
Kuasa, baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Dia diserang
semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. Menurut keterangan ahli
sejarah, ia melolong seperti anjing. Ada yang menyatakan kepadanya bahwa
satu-satunya obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyetrika kepalanya dengan
besi yang menyala. Akhirnya, kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi
panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang.
Jika orang-orang Quraish hendak mematahkan
keimanan dengan siksa, orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan
pengorbanan. Khabbab adalah salah seorang yang dipilih yakdir untuk menjadi
guru besar dalam ilmu tebusan dan pengorbanan. Bisa dikatakan bahwa seluruh
waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk agama yang panji-[anjinya mulai
berkibar.
Pada masa-masa dakwah pertama, Khabbab
tidak merasa cukup dengan hanya ibadah dan shalat semata, tetapi ia
memanfaatkan kemampuanya untuk mengajar. Ia mendatangi rumah sebagian
shahabatnya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena takut
kekejaman Quraish, lalu membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat.
Bila terhadap Abdullah bin Mas’ud,
Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Barang siapa
yang ingin membaca Al-Qur’an tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia meniru
bacaan Ibnu Ummu Abidin,” maka kita
katakana pula, “Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab
sebagai nara sumber mengenai soal-soal yang berkaitan dengan Al-Qur’an, baik
tentang hafalan maupun pelajarannya.”
Khabbab pula yang mengajarkan Al-Qur’an
kepada Fatimah bin Al-Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid ketika mereka
dipergoki oleh Umar bin Al-Khatthab yang datang dengan pedang di pinggang untuk
membuat perhitungan dengan Islam dan Rasulullah. Tetapi, ketika dibacakan
ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis pada lembaran yang dipergunakan oleh Khabbab
untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya yang diberkahi, “Tunjukkan
kepadaku di mana Muhammad!”
Ketika Khabbab mendengarkan ucapan Umar
itu, ia segera keluar dari tempat persembunyiannya, dan berkata, “Wahai
Umar! Demi Allah, aku berharap semoga engkaulah orang yang telah dipilih oleh
Allah dalam memperkenankan permohonan Nabi-Nya. Karena, kemarin aku mendengar
beliau memohon, ‘Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang di antara dua
lelaki yang lebih Engkau sukai: Abu Al-Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar
bin Al-Khatthab’.”
Umar langsung menyahut, “Di
mana aku dapat menemui orang ini, wahai Khabbab?”
Khabbab menjawab, “Di
Shafa, di rumah Arqam bin Abu Al-Arqam.”
Umar pun bergegas pergi untuk mendapatkan
keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia.
Khabbab bin Al-Arat menyertai Rasulullah dalam
semua pertempuran, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan
keyakinannya. Ketika Baitul Mal melimpah ruah dengan kekayaan pada masa
pemerintahan Umar dan Utsman, Khabbab mendapat gaji besar karena termasuk
golongan Muhajirin yang masuk Islam lebih awal. Penghasilannya yang cukup ini
memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya di
sampan pada suatu tempat di rumah itu, yang dikenal oleh para shahabat dan
tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada suatu keperluan,
ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu.
Meski demikian, Khabbab tidak pernah tidur
nyenyak dan air mata tidak pernah kering disetiap teringat Rasulullah dan para
shahabatnya yang telah membaktikan hidup mereka kepada Allah. Mereka beruntung
telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi kaum Muslimin dan sebelum
harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka. Dengarkanlah pembicaraannya dengan
para pengunjung yang datang menjenguknya ketika ia sedang sakit yang membawa
ajalnya.
Mereka berkata kepadanya, “Berbahagialah,
wahai Abu Abdullah karena engkau akan menjumpai shahabat-shahabatmu.”
Khabbab pun menjawab sambil menangis, “Tidak
ada yang membuatku khawatir, tetapi kalian telah mengingatkanku kepada para
shahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa
semua amal bakti mereka, sebelum mereka mendapatkan ganjaran di dunia sedikit
pun juga. Sementara kita…, kita masih tetap hidup dan mendapat kekayaan dunia,
hingga tidak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah.”
Kemudian ia menunjukkan rumah sederhana
yang telah dibangunnya itu, lalu menunjukkan tempat untuk menaruh harta
kekayaannya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah
menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tidak pernah menghalanginya
terhadap siapa pun yang meminta.”
Setelah itu ia menoleh kepada kain kafan
yang telah disediakan orang untuknya. Ketika ia melihat kain itu mewah dan
berlebih-lebihan, ia berkata sambil meneteskan air mata, “Lihatlah
ini kain kafanku. Bukankah kain kafan Hamzah bin Abdul Muthalib paman
Rasulullah ketika gugur sebagai salah seorang syuhada hanyalah burdah berwarna
abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya,
sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya?”
Khabbab wafat pada tahun 37 H. Dengan
demikian, ahli pembuat pedang pada masa jahiliyyah itu telah tiada. Guru besar
di bidang pengabdian dan pengorbanan dalam Islam itu telah berpulang. Kini
telah meninggal seorang lelaki yang termasuk dalam kelompok yang terhadap
mereka Al-Qur’an turun untuk membela dan melindungi, ketika sebagian orang
terhormat dari kaum Quraish menuntut agar Rasulullah menyediakan hari-hari
khusus untuk mereka, sedangkan orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib, dan
Bilal mendapat jatah hari yang lain.
Ternyata, Al-Qur’an yang mulia berpihak
kepada hamba-hamba Allah yang miskin tersebut untuk memuji dan memuliakan
mereka. Ayat-ayat Al-Qur’an berkumandang menyatakan kepada Rasul yang mulia:
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ مَا
عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ
شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu
tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun
tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan
kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).
QS:Al-An'am | Ayat: 52
QS:Al-An'am | Ayat: 52
وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ
بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَٰؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا ۗ
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka
(orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya
(orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara
kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman):
"Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur
(kepada-Nya)?"
QS:Al-An'am | Ayat: 53
QS:Al-An'am | Ayat: 53
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ
نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ
تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu
datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah
menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang
berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat
setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS:Al-An'am | Ayat: 54
QS:Al-An'am | Ayat: 54
Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah
sangat memuliakan mereka. Beliau membentangkan kain untuk mereka dan merangkul
bahu, serta bersabda, “Selamat datang untuk orang-orang yang
diriku diberi wasiat oleh Allah untuk memperhatikan mereka.”
Sungguh, salah seorang putra terbaik yang
hidup pada masa wahyu turun dan generasi yang rela berkorban itu telah wafat.
Mungkin kata-kata terbaik yang kita ucapkan untuk melepas tokoh ini, ialah
kata-kata yang diucapkan oleh Ali ketika ia kembali dari Perang Shiffin, yang
ketika itu pandangannya tertuju pada sebuah makam yang basah dan segar. Ia
bertanya, “Makam siapakah ini?” orang-orang menjawab, “Makam
Khabbab bin Al-Arat.” Ali pun
merenung lama sekali dengan hati yang khusyuk dan berduka, lalu berkata:
Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada
Khabbab
Menganut Islam dengan penuh semangat
Berhijrah semata-mata karena taat
Dan hidup sebagai mujahid.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar