Senin, 02 Desember 2013

Filled Under:

Khabbab bin Al-Arat (Guru Besar Seni Pengorbanan).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

       Sejumlah orang Quraish mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Khabbab pada waktu itu memang seorang pandai besi yang ahli membuat senjata, terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekkah dan dikirimnya ke pasar-pasar. Tidak seperti biasanya, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraish yang datang ke rumahnya. Mereka pun duduk menunggu kedatangannya.

     Tidak lama kemudian, Khabbab datang dengan wajah terlukis tanda Tanya yang bercahaya dan kedua matanya meneteskan air mata kegembiraan. Ia pun mengucapkan salam kepada rekan-rekannya itu lalu duduk di dekat mereka.
     Mereka segera menanyakan kepada Khabbab, “Apakah pengerjaan pedang-pedang kami telah selesai, wahai Khabbab?

     Air mata Khabbab sudah kering, pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, ia mengatakan, “Sungguh, keadaannya sangat menakjubkan!

     Orang-orang itu pun kembali bertanya kepadanya, “Wahai Khabbab, keadaan apa yang kamu maksud? Kami menanyakan kepadamu tentang pedang kami, apakah sudah selesai kamu kerjakan?

     Dengan pandangannya yang menerawang seolah-olah mimpi, Khabbab justru bertanya, “Apakah kalian sudah melihatnya? Apakah kalian sudah pernah mendengarkan ucapannya?

     Mereka saling pandang diliputi tanda Tanya dan keheranan. Salah seorang di antara mereka kembali bertanya dan kali ini dengan suatu muslihat, “Apakah kamu sendiri sudah melihatnya, wahai Khabbab?

     Khabbab mengetahui siasat lawan, sehingga berbalik bertanya, “Siapa maksudmu?

     “Maksudku ialah orang yang kamu katakan itu!” jawab orang tadi dengan nada marah.

     Akhirnya, Khabbab memberikan jawabannya setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tidak dapat dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukanlah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, melainkan karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang.

     Dalam keadaan masih haru dan terpesona, serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, ia mengatakan, “Benar, saya telah melihat dan mendengarnya. Saya menyaksikan kebenaran terpancar dari dirinya, dan cahaya terang dari tutur katanya.

     Sekarang, orang-orang Quraish yang memesan senjata itu mulai mengerti. Salah seorang mereka berteriak, “Siapa dia orang yang kau katakana itu, wahai budak Ummu Anmar?

     Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menjawab, “Siapa lagi, wahai Arab shahabatku? Siapa lagi di antara kaum kalian yang dari dirinya terpancar kebenaran dari tutur katanya memancarkan cahaya dia seorang?

     Seorang lainnya berteriak dan tampak gusar, “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad.

     Khabbab membangkitkan kepalanya dengan penuh kegembiraan dan berkata, “Benar, dialah utusan Allah kepada kita untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang.

     Setelah mengucapkan kata-kata itu, Khabbab tidak ingat lagi apa yang dia ucapkan atau yang diucapkan orang kepadanya. Ia pingsan beberapa saat lamanya dan ketika sadar, ia mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tidak ada lagi, sedangkan tubuhnya bengkak dan tulang-tulangnya terasa sakit. Darah mengalir membasahi pakaian dan tubuhnya. Kedua matanya memandang ke sekelilingnya dengan tajam. Sepertinya tempat itu terlalu sempit untuk pandangannya yang mulai terbuka.

     Dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedangkan kedua matanya yang cerdas memandang jauh, menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan dan kiri. Pandangannya bukan berhenti sampai pada dimensi yang biasa dikenal oleh manusia, melainkan hendak menembus dimensi yang hilang pada diri manusia. Kedua matanya itu ingin menyelidiki dimensi yang selama ini hilang dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di Mekkah dan orang-orang di manapun dan kapanpun.

     Mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad pada hari itu merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju dimensi yang hilang dalam kehidupan seluruh umat manusia? Demikianlah, Khabbab tenggelam dalam renungan dan pemikiran mendalam. Setelah itu ia kembali masuk ke rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan bersiap untuk menerima siksaan dan penderitaan baru.

     Mulai saat itu, Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Ia mendapatkan kedudukan itu di antara orang-orang yang—walaupun miskin dan tidak berdaya—berani tegak menghadapi kesombongan , kezaliman, dan kegilaan Quraish. Ia memperoleh kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran, sebagai berita gembira tibanya hari-hari bagi orang tertindas yang tidak berdaya.

     Mereka semua akan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya. Dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tanggung jawab semua itu sebagai seorang perintis.

     Asy-Sya’bi mangatakan, “Khabbab, menunjukkah ketabahannya, hungga tidak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga dagingnya terbakar.

     Orang-orang kafir Quraish telah mengubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang disediakan sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka memasukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian melilitkan ke tubuh, kedua tangan, dan kedua kaki Khabbab.

     Suatu hari, ia pergi bersama rekan-rekannya yang senasib dalam penderitaan menemui Rasulullah, tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas pengorbanan selama ini, melainkan karena mengharapkan keselamatan. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memintakan pertolongan kepada kami?” agar lebih jelas, mari kita dengarkan Khabbab menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:

     “Kami pergi mengadu kepada Rasulullah yang ketika itu sedang tidur berbantalan kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Kami berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memintakan pertolongan bagi kami?’

     Rasulullah pun duduk. Muka beliau berubah merah, lalu bersabda, ‘Sebelum kalian, ada seorang lelaki yang disiksa, tubuhnya dikubur hingga sebatas leher ke atas, lalu sebuah gergaji diambil untuk menggergaji kepalanya. Namun, siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari agamanya. Ada pula disikat antara daging dan tulang-tulangnya denga sikat besi. Siksaan itu juga tidak dapat menggoyahkan keimanannya. Sungguh, Allah benar-benar akan menyempurnakan urusan ini, hingga seorang pengembara dapat bepergian dari Sana’a ke Hadramaut, dan tidak ada yang ditakutkan selain Allah ‘Azza wa Jalla, walaupun serigala berada di antara hewan gembalaannya. Namun, sayang, kalian terburu-buru.’.

     Khabbab dengan rekan-rekannya mendengarkan kata-kata itu bertambah keimanan dan keteguhan hati mereka. Mereka semua berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan yang diharapkan dari mereka.

     Demikianlah Khabbab menanggung penderitaan dengan sabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang Quraish terpaksa meminta bantuan Ummu Anmar, yang tidak lain bekas majikan Khabbab yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil bagian dalam menyiksanya. Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu menaruhnya di atas kepala dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi, nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira.

     Suatu hari Rasulullah lewat di hadapannya, saat besi yang membara di atas kepalanya membakar dan memanggangnya. Dada Rasulullah terasa sesak karena pilu dan iba. Tetapi, apa yang dapat diperbuat selain meneguhkan hatinya dan mendoakannya. Pada saat itu Rasulullah mengangkat kedua belah telapak tangannya ke arah langit dan bersabda, “Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab.

     Allah pun berkehendak, hanya selang beberapa hari setelah itu, Ummu Anmar menerima hukuman balasan yang disegerakan di dunia ini, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh Dzat Yang Maha Kuasa, baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Dia diserang semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. Menurut keterangan ahli sejarah, ia melolong seperti anjing. Ada yang menyatakan kepadanya bahwa satu-satunya obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyetrika kepalanya dengan besi yang menyala. Akhirnya, kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang.

     Jika orang-orang Quraish hendak mematahkan keimanan dengan siksa, orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan pengorbanan. Khabbab adalah salah seorang yang dipilih yakdir untuk menjadi guru besar dalam ilmu tebusan dan pengorbanan. Bisa dikatakan bahwa seluruh waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk agama yang panji-[anjinya mulai berkibar.

     Pada masa-masa dakwah pertama, Khabbab tidak merasa cukup dengan hanya ibadah dan shalat semata, tetapi ia memanfaatkan kemampuanya untuk mengajar. Ia mendatangi rumah sebagian shahabatnya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena takut kekejaman Quraish, lalu membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat.

     Bila terhadap Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Barang siapa yang ingin membaca Al-Qur’an tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia meniru bacaan Ibnu Ummu Abidin,” maka kita katakana pula, “Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab sebagai nara sumber mengenai soal-soal yang berkaitan dengan Al-Qur’an, baik tentang hafalan maupun pelajarannya.

     Khabbab pula yang mengajarkan Al-Qur’an kepada Fatimah bin Al-Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid ketika mereka dipergoki oleh Umar bin Al-Khatthab yang datang dengan pedang di pinggang untuk membuat perhitungan dengan Islam dan Rasulullah. Tetapi, ketika dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis pada lembaran yang dipergunakan oleh Khabbab untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya yang diberkahi, “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad!

     Ketika Khabbab mendengarkan ucapan Umar itu, ia segera keluar dari tempat persembunyiannya, dan berkata, “Wahai Umar! Demi Allah, aku berharap semoga engkaulah orang yang telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan permohonan Nabi-Nya. Karena, kemarin aku mendengar beliau memohon, ‘Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang di antara dua lelaki yang lebih Engkau sukai: Abu Al-Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Al-Khatthab’.

     Umar langsung menyahut, “Di mana aku dapat menemui orang ini, wahai Khabbab?

     Khabbab menjawab, “Di Shafa, di rumah Arqam bin Abu Al-Arqam.

     Umar pun bergegas pergi untuk mendapatkan keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia.

     Khabbab bin Al-Arat menyertai Rasulullah dalam semua pertempuran, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan keyakinannya. Ketika Baitul Mal melimpah ruah dengan kekayaan pada masa pemerintahan Umar dan Utsman, Khabbab mendapat gaji besar karena termasuk golongan Muhajirin yang masuk Islam lebih awal. Penghasilannya yang cukup ini memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya di sampan pada suatu tempat di rumah itu, yang dikenal oleh para shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada suatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu.

     Meski demikian, Khabbab tidak pernah tidur nyenyak dan air mata tidak pernah kering disetiap teringat Rasulullah dan para shahabatnya yang telah membaktikan hidup mereka kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka. Dengarkanlah pembicaraannya dengan para pengunjung yang datang menjenguknya ketika ia sedang sakit yang membawa ajalnya.

     Mereka berkata kepadanya, “Berbahagialah, wahai Abu Abdullah karena engkau akan menjumpai shahabat-shahabatmu.

     Khabbab pun menjawab sambil menangis, “Tidak ada yang membuatku khawatir, tetapi kalian telah mengingatkanku kepada para shahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebelum mereka mendapatkan ganjaran di dunia sedikit pun juga. Sementara kita…, kita masih tetap hidup dan mendapat kekayaan dunia, hingga tidak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah.

     Kemudian ia menunjukkan rumah sederhana yang telah dibangunnya itu, lalu menunjukkan tempat untuk menaruh harta kekayaannya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tidak pernah menghalanginya terhadap siapa pun yang meminta.

     Setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya. Ketika ia melihat kain itu mewah dan berlebih-lebihan, ia berkata sambil meneteskan air mata, “Lihatlah ini kain kafanku. Bukankah kain kafan Hamzah bin Abdul Muthalib paman Rasulullah ketika gugur sebagai salah seorang syuhada hanyalah burdah berwarna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya, sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya?

     Khabbab wafat pada tahun 37 H. Dengan demikian, ahli pembuat pedang pada masa jahiliyyah itu telah tiada. Guru besar di bidang pengabdian dan pengorbanan dalam Islam itu telah berpulang. Kini telah meninggal seorang lelaki yang termasuk dalam kelompok yang terhadap mereka Al-Qur’an turun untuk membela dan melindungi, ketika sebagian orang terhormat dari kaum Quraish menuntut agar Rasulullah menyediakan hari-hari khusus untuk mereka, sedangkan orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib, dan Bilal mendapat jatah hari yang lain.

     Ternyata, Al-Qur’an yang mulia berpihak kepada hamba-hamba Allah yang miskin tersebut untuk memuji dan memuliakan mereka. Ayat-ayat Al-Qur’an berkumandang menyatakan kepada Rasul yang mulia:

وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).
QS:Al-An'am | Ayat: 52

وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَٰؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا ۗ أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?"
QS:Al-An'am | Ayat: 53

وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS:Al-An'am | Ayat: 54

     Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah sangat memuliakan mereka. Beliau membentangkan kain untuk mereka dan merangkul bahu, serta bersabda, “Selamat datang untuk orang-orang yang diriku diberi wasiat oleh Allah untuk memperhatikan mereka.

     Sungguh, salah seorang putra terbaik yang hidup pada masa wahyu turun dan generasi yang rela berkorban itu telah wafat. Mungkin kata-kata terbaik yang kita ucapkan untuk melepas tokoh ini, ialah kata-kata yang diucapkan oleh Ali ketika ia kembali dari Perang Shiffin, yang ketika itu pandangannya tertuju pada sebuah makam yang basah dan segar. Ia bertanya, “Makam siapakah ini?” orang-orang menjawab, “Makam Khabbab bin Al-Arat.” Ali pun merenung lama sekali dengan hati yang khusyuk dan berduka, lalu berkata:

     Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Khabbab

     Menganut Islam dengan penuh semangat

     Berhijrah semata-mata karena taat


     Dan hidup sebagai mujahid.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf