بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Marilah kita ceritakan kisahnya sejak
awal. Tetapi, dari permulaan yang mana? Pasalnya, ia sendiri hampir tidak tahu
di mana kehidupannya bermula, kecuali pada hari ia bersalaman dan berjabat
tangan dengan Rasulullah untuk berbaiat masuk Islam.
Seandainya ia mampu, ia ingin sekali
mengikis habis semua peristiwa dan kejadian masa lalu dalam sejarah hidupnya
sebelum hari keislamannya itu. Bila demikian, marilah kita mulai saja dari
peristiwa yang mengesankannya, saat-saat gemilang yang membahagiakan, ketika
hatinya tunduk kepada Allah, dan jiwanya menemukan sentuhan rahmat-Nya Yang
Maha Pengasih. Jiwanya memancarkan kerinduan kepada agama-Nya, kepada Rasul-Nya,
dan kepada keinginan meraih kesyahidan agung di jalan kebenaran, guna menebus
dan membuang jauh-jauh semua dosa dan kekeliruannya pada masa yang lalu dalam
mempertahankan kebathilan.
Suatu hari ia melakukan dialog dengan
dirinya sendiri dan memutar akal batinnya yang sehat untuk merenungkan agama
baru, yang panji-panji kebenarannya selalu bertambah cemerlang hari demi hari,
semakin tinggi menjulang. Ia memohon kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala
yang gaib, agar memberikan petunjuk, yang akan menjadi keyakinan yang bercahaya
di dalam hatinya dan membahagiakan. Ia berkata kepada dirinya, “Demi
Allah, sungguh telah nyata bukti-buktinya. Sungguh, lelaki itu seorang utusan.
Lalu, sampai kapan? Demi Allah, aku akan bangkit untuk masuk Islam.”
Mari kita dengarkan ia menceritakan
perjalanannya yang penuh berkah kepada Rasulullah dari Mekkah ke Madinah, guna
mengambil tempatnya kelak dalam kafilah kaum Muslimin, “Aku
menginginkan seseorang yang akan menjadi teman seperjalanan, dan aku menjumpai
Utsman bin Thalhah. Aku menceritakan kepadanya apa maksudku, dan ia pun segera
menyetujuinya. Kami berangkat bersama-sama ketika hari sudah hampir siang.
Ketika kami sampai di suatu dataran tinggi, tiba-tiba kami bertemu dengan Amr
bin Al-Ash. Ia mengucapkan salam dan kami membalasnya. Kemudian ia bertanya,
‘Ke manakah kalian hendak pergi?’ Kami pun menceritakan tujuan kami kepadanya
dan ia juga mengutarakan maksudnya untuk menjumpai Nabi, hendak masuk Islam.
Kami pun berangkat bersama-sama dan sampai di kota Madinah pada awal
hari bulan Safar 8 H. ketika aku telah dekat dengan Rasulullah, aku segera
member salam kepada beliau. Nabi pun membalas salamku dengan muka yang cerah.
Aku pun masuk Islam dan mengucapkan syahadat yang benar.
Rasulullah bersabda, ‘Sungguh, aku telah mengetahui bahwa engkau
mempunyai akal sehat, dan aku berharap, akal sehat itu hanya akan menuntunmu ke
jalan yang baik.’
Aku berbaiat kepada Rasulullah dan berkata kepada beliau, ‘Mintakanlah
ampunan untuk saya atas semua tindakan masa laluku yang menghalangi jalan
Allah.’
Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya keislaman itu telah menghapuskan segala
perbuatan yang lampau.’
Aku berkata, ‘Meski begitu, (mintakanlah ampunan untuk saya) wahai
Rasulullah.’ Beliau pun mengucapkan doa, ‘Ya Allah, aku meohon agar Engkau
mengampuni Khalid bin Al-Walid atas tindakannya menghalangi jalan-Mu pada masa
lalu.’
Setelah itu, Amr bin Al-Ash dan Utsman bin Thalhah bersama-sama memeluk
Islam dan berjanji setia kepada Rasulullah.”
Apakah anda memperhatikan ucapannya kepada
Rasulullah, “Mintakanlah ampunan untukku atas semua
tindakan masa laluku yang menghalangi jalan Allah”? Orang yang memerhatikan ucapan tersebut
dengan indera matanya maupun indera batinnya akan dapat memehami dengan jelas riwayat
hidup orang yang sekarang menjadi pahlawan Islam dan Pedang Allah itu, yang
belum diketahuinya.
Setelah kisah kehidupan Khalid sampai
jenjang tersebut, ucapannya itulah yang akan menjadi dalil dan alasan kita
untuk memahami dan menafsirkan pendirian itu. Adapun sekarang, Khalid yang
telah masuk Islam karena kesadarannya itu, yang sebelumnya kita lihat sebagai
prajurit berkuda pembela kaum Quraish, kita saksikan sekarang sebagai seorang
ahli siasat perang dari Dunia Arab, yang telah meninggalkan berhala pujaan
nenek moyangnya dan kebanggaan kuno milik bangsanya. Kemudian sekarang tampil
seiman, dan satu derap dengan perjuangan Rasulullah dan kaum Muslimin sebagai
seorang ahli di bawah naungan benderanya yang baru.
Takdir Allah telah menentukannya akan
bangkit berjuang di bawah panji-panji Nabi Muhammad menegakkan kalimat tauhid.
Sekarang bersama Khalid yang telah memeluk Islam, kita akan menyaksikan hal-hal
yang menakjubkan.
Masih ingatkah anda, tiga orang syuhada
perang Mu’tah? Mereka ialah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan
Abdullah bin Rawahah. Mereka semuanya adalah pahlawan Perang Mu’tah di bumi
Syam. Untuk keperluan peperangan ini, orang-orang Romawi telah mengerahkan
sekitar 200 ribu prajurit dan di sana pula kaum Muslimin menunjukkan prestasi
gemilang.
Apakah anda juga masih ingat kata-kata
Rasulullah sebagai pelipur lara ketika kematian mereka sebagai syuhada; tiga
orang pahlawan Perang Mu’tah? Pada waktu itu beliau bersabda, “Panji
perang di tangan Zaid bin Haritsah. Ia bertempur sambil membawa panji perang
hingga gugur. Kemudian panji tersebut diambil Ja’far yang bertempur sambil
membawa panji perang hingga gugur pula. Kemudian giliran Abdullah bin Rawahah
memegang panji tersebut sambil bertempur maju, hingga ia gugur sebagai syahid.”
Sebenarnya, masih ada yang tertinggal dari
sabda Rasulullah ini, yang sengaja penulis simpan untuk mengisi lembaran
berikut ini. Sisa yang tertinggal itu ialah:
“Kemudian
panji itu pun diambil alih oleh salah satu pedang dari Pedang Allah, lalu Allah
membukakan kemenangan di tangannya.”
Siapakah kiranya pahlawan itu? Dialah
Khalid bin Al-Walid. Sebenarnya, Khalid bin Al-Walid yang segera ikut
menerjunkan diri ke dalam Perang Mu’tah sesudah masuk Islam ini hanyalah
prajurit biasa, di bawah tiga panglima perang yang telah diangkat oleh
Rasulullah, yaitu Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah dan mereka bertiga telah
menemui syahidnya menurut urutan tersebut di medan perang yang dahsyat itu.
Setelah tiga panglima perang tersebut
gugur syahid, Tsabit bin Arqam bergegas menuju bendera perang tersebut lalu
membawanya dengan tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di
tengah-tengah pasukan Islam agar barisan mereka tidak kacau balau dan agar
semangat pasukan tidak kendur. Tidak lama sesudah itu, dengan gesit ia
melarikan kudanya ke arah Khalid, sembari berkata kepadanya, “Peganglah
panji ini, wahai Abu Sulaiman.”
Khalid merasa dirinya sebagai seorang yang
baru masuk Islam, tidak layak memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat orang-orang
Anshar dan Muhajirin yang telah lebih dulu masuk Islam daripada dirinya. Khalid
memang memiliki karakter pribadi yang sopan, rendah hati, bijaksana, dan
kelebihan-kelebihan akhlak lainnya. Ketika itu ia menjawab, “Tidak,
aku tidak pantas memegang panji perang itu. Engkaulah yang berhak memegangnya
karena engkau lebih tua dan telah menyertai Perang Badar.”
Tsabit menjawab, “Ambillah,
sebab kamu lebih tahu tentang strategi perang daripada aku, dan demi Allah aku
tidak akan mengambilnya, kecuali untukmu.”
Kemudian ia berseru kepada seluruh anggota
pasukan Islam, “Apakah kalian bersedia bila dipimpin
oleh Khalid?”
Mereka menjawab, “Ya!”
Prajurit yang jenius itu kini memegang
amanah sebagai pemegang komando perang. Ia memegang panji perang tersebut
dengan tangan kanan dan mengacungkan ke arah depan. Ia terlihat seperti hendak
menjebol semua pintu yang terkunci selama ini dan sudah datang saatnya untuk
didobrak dan diterjang melalui jalan panjang. Sejak saat itu, kepahlawanannya
yang luar biasa mencapai titik puncak yang telah ditentukan Allah baginya, baik
selagi Rasulullah masih hidup maupun sesudah wafat.
Khalid memegang tampuk kepemimpinan
pasukan setelah kondisi pertempuran terakhir telah memprihatinkan. Korban dari
pihak kaum Muslimin banyak berjatuhan, tubuh-tubuh mereka berlumuran darah,
sedangkan tentara Romawi dengan kuantitas yang jauh lebih besar, terus maju
laksana banjir yang menyapu medan. Dalam situasi yang demikian, tidak ada jalan
dan strategi perang yang mampu mengubah pertempuran yang akan berakhir menjadi
berbalik 180 derajat, yang menang jadi kalah dan yang kalah menjadi menang.
Satu-satunya jalan yang dapat diharapkan
dari seorang pahlawan ialah bagaimana melepaskan tentara Islam ini dari
kemusnahan total, dengan menghentikan korban yang terus berjatuhan, dan keluar
dengan sisa-sisa yang ada dengan selamat, mengundurkan diri secara cepat dan
teratur, yang dapat menghalangi kehancuran massal di medan tempur itu. Namun,
mundur dalam situasi seperti itu termasuk perkara yang mustahil. Tetapi, bila
benar apa yang dikatakan orang bahwa tidak ada yang mustahil bagi hati yang
pemberani, siapa lagi orang yang lebih berani hatinya daripada Khalid? Adakah
orang yang kepahlawanannya lebih hebat, dan pandangannya lebih tajam daripada
dirinya?
Saat itu Pedang Allah tersebut mengamati
seluruh medan tempur yang luas itu dengan kedua matanya yang tajam laksana mata
burung elang. Ia mengatur rencana dan langkah yang akan diambil secepat kilat.
Ia membagi pasukannya ke dalam kelompok-kelompok besar dalam suasana perang
berkecamuk terus. Setiap kelompok diberinya tugas masing-masing.
Kemudian Khalid mempergunakan keahlian
perangnya yang membawa mukjizat, dan kecerdikan akalnya yang luar biasa, sehingga
akhirnya dengan izin Allah, ia berhasil membuka jalur luas di antara barisan
pasukan Romawi. Dari jalur tersebut seluruh sisa pasukan Islam dapat keluar
meloloskan diri dengan selamat. Keberhasilan ini adalah berkat kepahlawanannya,
berkat keberanian disertai kecerdikan dan kecepatan bertindak tepat yang tidak
dapat dilupakan dalam sejarah. Karena pertempuran inilah, Rasulullah
menganugerahkan gelar “Si Pedang Allah yang selalu terhunus” kepadanya.
Dalam peristiwa lain, pada saat
orang-orang Quraish menodai perjanjian damainya dengan Rasulullah, kaum
Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah berangkat untuk membebaskan Mekkah. Di
bagian sayap kanan pasukan, Rasulullah mengangkat Khalid bin Al-Walid sebagai
pemimpinnya. Khalid memasuki Mekkah sebagai salah seorang pemimpin pasukan
Islam, sesudah selama ini dataran dan gunung-gunungnya menyaksikannya sebagai
pemimpin tentara paganis dan penganut syirik. Ia teringat kenangan masa
kanak-kanaknya, saat ia sedang bermain-main dengan manjanya, dan kenangan masa
muda yang menghabiskan waktu hanya untuk perbuatan sia-sia. Segala kenangan
masa lalu yang panjang datang kembali kepadanya, di mana usianya hilang percuma
untuk pengorbanan sia-sia bagi berhala-berhala yang lemah tidak berdaya.
Sebelum penyesalannya kian parah, hatinya
terbangun sadar oleh himbauan kesaksian hebat dan kebesarannya, yaitu kesaksian
dari cahaya yang menerangi Mekkah. Kesaksian nyata bagaimana orang-orang lemah
yang diperlakukan semena-mena, menanggung derita dan ancaman, sekarang kembali
ke kampung halaman mereka dari tempat mereka diusir secara Aniaya dan kejam.
Mereka kembali ke sana dengan mengendarai kuda mereka yang meringkik
berdengusan serta di bawah panji-panji Islam yang berkibaran. Suara-suara yang
mereka berbisik di Darul Al-Arqam dulu, sekarang berubah menjadi takbir yang
gemuruh dan menggetarkan Mekkah, disertai bahana tahlil kemenangan. Alam pun
seperti ikut menyertai suasana gembira mereka, semuanya seolah-olah berhari
raya.
Bagaimanakah proses keajaiban itu
berlangsung? Dan ulasan apakah kiranya yang pantas untuk peristiwa agung itu?
Tidak ada yang lain, kecuali yang sedang diucapkan oleh mereka yang sedang berjalan
berduyun-duyun di sela-sela suara tahlil dan takbir mereka, di kala mereka
berpandang satu sama lain dengan gembira:
وَعْدَ اللَّهِ ۖ لَا
يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan
menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
QS:Ar-Ruum | Ayat: 6
QS:Ar-Ruum | Ayat: 6
Khalid mengangkat kepala serta
menengadahkannya, lalu memandang penuh bangga dan ridha kepada bendera-bendera
Islam yang memenuhi angkasa, seraya berkata kepada dirinya sendiri, “Benar
bahwa itu janji Allah, dan Allah tidak pernah menyalahi janji-Nya.”
Kemudian ia menundukkan kepala karena rasa
syukur dan terharu terhadap nikmat Ilahi yang telah memberinya petunjuk masuk
Islam dan yang telah membuatnya menjadi salah seorang pembawa agama Islam ke
Mekkah pada hari kemenangan yang besar ini; bukan dari golongan orang-orang
yang masuk Islam karena pengaruh kemenangan islam.
Khalid selalu berada di samping
Rasulullah, menyerahkan semua tenaga dan kemampuannya yang luar biasa untuk
berbakti kepada agama yang telah diimaninya dengan penuh keyakinan, dan yang
seluruh kehidupannya didermakan untuknya.
Setelah Rasulullah wafat, memenuhi
panggilan Allah Yang Maaha Pengasih lagi Maha Tinggi, Abu Bakar Ash-Shiddiq
memikul tanggung jawab kekhalifahan. Badai kemurtadan bertiup kencang dengan
tipu dayanya, hendak menghancurkan agama yang baru dengan semboyannya yang
berbisa dan propagandanya yang merusak dan membinasakan. Di awal kegemparan
yang mengejutkan ini, Abu Bakar menolehkan mata dan perhatiannya pertama kepada
seorang pejuang yang tepat, seorang lelaki pilihan, Abu Sulaiman, Si Pedang
Allah, Khalid bin Al-Walid.
Memang benar, bahwa Abu Bakar telah mulai
memerangi kaum murtad dengan pasukan yang dipimpinnya sendiri, tetapi hal ini
tidak bertentangan dengan rencananya untuk mempersiapkan Khalid untuk suatu
hari yang menentukan nanti, yakni menentukan kalah menangnya dalam peperangan
terbesar menghadapi orang-orang murtad itu, di mana ia merupakan bintang
lapangan dan pahlawan yang ulung.
Saat golongan kaum murtad bersiap-siap
melaksanakan hasil keputusan persekongkolan mereka yang besar, Khalifah Abu
Bakar bertekad memimpin sendiri pasukan kaum Muslimin. Para shahabat senior
berusaha menghalangi maksudnya itu, tetapi sia-sia dan justru menambah
kebulatan tekadnya. Maksud Khalifah Abu Bakar dengan cara ini kemungkinan untuk
mewarnai pertempuran dengan corak khusus dan arti yang penting, yang dapat
mendorong orang-orang untuk menyertainya. Hal ini hanya dapat dikuatkan dengan partisipasi
nyata dari beliau dalam perang yang dahsyat, yakni dengan memimpinnya langsung,
baik atas sebagian maupun atas seluruh kekuatan umat. Sungguh, jalannya
peperangan tersebut akan menentukan timbul tenggelamnya kekuatan iman
menghadapi kekuatan murtad yang sesat.
Fenomena kemurtadan yang terjadi di
mana-mana secara serentak ini sangat mengkhawatirkan, walaupun pada mulanya
tampak sebagai pembangkangan saja. Dalam situasi seperti ini, kabilah-kabilah
yang selama ini ingin membalas dendam terhadap Islam, maupun yang selalu
mengintai kelemahannya, sekarang mendapat kesempatan istimewa atau peluang baru
untuk memberontak, tanpa kecuali apakah mereka kabilah Arab pedalaman maupun
yang tinggal di perbatasan, di mana masih bercokol kekuasaan dan pengaruh
Kerajaan Persia dan Romawi. Kerajaan-kerajaan tersebut telah merasakan
kebangkitan kekuatan Islam yang menjadi bahaya dan ancaman terhadap
kekuasaannya. Karena itu, sebagai dalang di belakang layar, mereka dengan
sengaja mengobarkan dan menyebarkan berbagai macam fitnah.
Demikianlah, api fitnah berkobar di
kalangan suku-suku Asad, Ghathafan, Abas, Thayyi’, dan Dzibyan, kemudian
menjalar ke kabilah-kabilah Bani Amir, Hawazin, Salim, dan Bani Tamim. Fitnah
ini diawali dengan terjadinya bentrokan-bentrokan senjata yang kecil, yang
kemudian berubah menjadi pertempuran besar yang melibatkan kekuatan pasukan
sampai puluhan ribu tentara.
Persekongkolan yang mengerikan itu segera
mendapat dukungan dari penduduk Bahrain, Oman, dan Muhrah. Sekarang Islam
benar-benar menghadapi bahaya besar, dan api peperangan itu telah dinyalakan di
sekeliling kaum Muslimin. Tetapi, Allah menyiapkan Abu Bakar.
Beliau menyiapkan pasukan kaum Muslimin
dan sekaligus memimpinnya menuju kabilah-kabilah Bani Abas, Muhrah, dan Dzibyan
yang tampil sebagai pasukan kuat. Pertempuran pun terjadi, dan akibatnya Islam
dapat mencatat kemenangan besar dan mantap. Tetapi, pasukan yang menang ini
tidak sempat beristirahat lama di Madinah, karena Khalifah harus mengerahkannya
lagi untuk menghadapi pertempuran berikutnya.
Berita-berita tentang pembangkangan kaum
dan suku setiap saat tampaknya semakin berbahaya. Abu Bakar sendiri maju
memimpin pasukan yang kedua ini, tetapi para shahabat utama tidak bisa menahan
kesabaran mereka. Semuanya sepakat untuk meminta Khalifah agar tetap tinggal di
Madinah.
Ali terpaksa menghadang Abu Bakar dan
memegang tali kekang kuda yang sedang ditungganginya untuk mencegah
keberangkatannya bersama pasukan, sembari berkata, “Hendak ke
manakah engkau, wahai Khalifah Rasulullah? Kukatakan kepadamu apa yang pernah
disabdakan Rasulullah pada hari Uhud, ‘Simpanlah pedangmu, wahai Abu Bakar.
Janganlah engkau cemaskan kami dengan dirimu’.”
Di hadapan desakan dan suara bulat kaum
Muslimin, Khalifah terpaksa menerima untuk tinggal di Madinah. Beliau membagi
tentara Islam menjadi sebelas kesatuan, masing-masing dibebani tugas tertentu,
dan sebagai komando tertinggi untuk keseluruhan kasatuan itu ia mengangkat
Khalid bin Al-Walid. Setelah menyerahkan bendera pasukan kepada tiap-tiap
komandonya, Khalifah menghadapkan wajahnya kepada Khalid, dan berkata, “Aku
pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Bahwa sebaik-baik hamba Allah dan teman
sepergaulan, ialah Khalid bin Al-Walid, sebilah pedang di antara pedang-pedang
Allah yang ditebaskan kepada orang-orang kafir dan munafik!’”
Khalid pun segera menjalankan tugasnya,
berpindah-pindah bersama pasukannya dari satu pertempuran ke pertempuran yang
lain; dari satu kemenangan ke kemenangan berikutnya, sampai berakhir dengan
pertempuran yang menentukan, yakni di Yamamah. Bani Hanifah bersama
kabilah-kabilah yang telah bergabung dengan mereka telah membangun persekutuan
tentara murtad yang sangat berbahaya dan dikepalai oleh Musailamah Al-Kadzab.
Beberapa kesatuan Islam telah mencoba kekuatan mereka, tetapi tidak berhasil.
Perintah Khalifah telah dititahkan kepada
panglimanya yang beruntung itu agar berangkat kepada Bani Hanifah itu. Khalid
pun bergerak maju, dan ketika Musailamah mengetahui bahwa Khalid sedang di
tengah perjalanan menuju tempatnya, kembali ia memperkuat susunan pasukannya,
karena ia menganggapnya sebagai bahaya dahsyat dan musuh yang sangat kuat.
Kedua pasukan telah berhadap-hadapan dan
saat anda membaca buku-buku riwayat dan sejarah tentang jalannya pertempuran
yang sengit itu, anda pasti merasa ngeri karena anda seolah-olah sedang
menyaksikan suatu pertempuran yang menyerupai perang masa kini dalam kekerasan
dan kekejamannya, sekalipun berbeda jenis senjata dan sarana perang yang
dipergunakan.
Khalid mengambil posisi dengan pasukannya
di dataran bukit-bukit pasir Yamamah, sedangkan Musailamah manghadapinya dengan
segala kecongkakan dan kedurjanaannya bersama barisan tentaranya yang banyak
seakan-akan tidak habisnya. Khalid segera menyerahkan panji-panji perang kepada
setiap komando pasukannya. Kedua pihak itu pun saling serang dan bertempur
rapat. Perang berkecamuk tiada hentinya, korban dari pihak kaum Muslimin
susul-menyusul berguguran laksana bunga-bunga di taman yang berjatuhan ditiup
angin topan.
Khalid telah melihat keunggulan musuh, ia
lalu memacu kudanya ke suatu tanah tinggi yang terdekat, pandangannya yang
diliputi ketajaman dan kecerdasan dengan cepat mengawasi seluruh medan tempur.
Secepat itu pula ia dapat menangkap dan menyimpulkan titik kelemahan
pasukannya.
Ia dapat merasakan tanggung jawab yang
melemah di kalangan prajuritnya di bawah serbuan-serbuan mendadak yang
dilakukan pasukan Musailamah. Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk
memperkuat semangat tempur kaum Muslimin dan tanggung jawab mereka setinggi
mungkin. Ia memanggil semua komando garis depan dan sayap, menertibkan posisi
masing-masing di medan tempur, dan kemudian berteriak dengan suaranya yang
mengesankan kemenangan, “Tunjukkanlah kelebihanmu
masing-masing. Hari ini kita akan melihat jasa setiap suku.”
Setiap suku tampil dengan kelebihannya
masing-masing. Orang-orang Muhajirin maju dengan panji-panji perang mereka dan
orang-orang Anshar pun maju di bawah panji-panji mereka. Seharusnya setiap
kelompok suku dengan panji-panji tersendiri. Demikianlah, hingga jelas nanti,
dari mana datangnya kekalahan itu. Semangat juang menyala dalam jiwa, penuh
dengan kebulatan tekad dan mengejutkan musuh.
Khalid tidak henti-hentinya menggemakan
tahlil dan takbir atau mengeluarkan perintah yang menentukan, sehingga
pedang-pedang pasukannya berubah bagai maut yang tidak dapat ditolak
kehendaknya, dan tidak dapat diubah tujuannya. Dalam waktu yang singkat,
berubahlah arah pertempuran. Prajurit-prajurit Musailamah mulai roboh
berjatuhan, dari puluhan hingga ratusan kemudian ribuan, laksana lalat-lalat
yang menggelepar.
Khalid telah menyalakan semangat
keberaniannya seperti aliran listrik kepada setiap prajuritnya. Jiwanya telah
menempati setiap prajurit pasukannya dan itulah salah satu keistimewaannya yang
menakjubkan. Demikianlah jalan pertempuran yang paling menegangkan dan
menyeramkan melawan orang-orang murtad itu. Musailamah tewas dan mayat-mayat
anak buah dan para prajuritnya bergelimpangan memenuhi seluruh medan perang,
dan di tempat itulah bendera-bendera yang menyerukan kebohongan dan kepalsuan
dikubur selama-lamanya.
Di Madinah Khalifah Abu Bakar shalat
syukur kepada Dzat Yang Maha Agung dan Maha Tinggi karena dikaruniai kemenangan
tersebut dan pahlawan perkasa ini.
Khalifah Abu Bakar dengan kecerdasan dan
ketajaman pandangannya telah mengetahui kekuatan-kekuatan jahat yang masih
bercokol di sekitar negerinya yang merupakan bahaya besar yang mengancam kelangsungan
hidup Islam dan pemeluknya, yaitu Persia di Iraq dan Romawi di Syria.
Kekaisaran yang sudah tua dan lemah ini selalu mengintai kelemahan umat Islam
dan menjadi pusat penyebaran kekacauan. Keduanya saling berhubungan meski
dengan ikatan yang lapuk dari kejayaan mereka pada masa lampau. Mereka memeras
dan menyiksa rakyat Iraq dan Syria, serta merendahkan martabat mereka, bahkan
mengerahkan rakyat yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang Arab
untuk memerangi kaum Muslimin.
Dengan panji-panji agama baru, kaum
Muslimin bermaksud meruntuhkan benteng-benteng peradaban kuno serta mengikis
habis segala bentuk kejahatan dan kekejamannya. Ketika itulah, Khalifah Abu
Bakar yang agung dan diberkahi menjatuhkan pilihannya kepada Khalid untuk berangkat
dengan pasukannya menuju Iraq. Pahlawan ini segera menjalankan titah dan
berangkat ke Iraq.
Sayang halaman ini tidak cukup untuk
menuliskan setiap kemenangan pasukannya di segala tempat. Andainya cukup,
tentulah akan kita lihat hal-hal yang sangat mengagumkan. Ia memulai operasi
militernya di Iraq dengan mengirim surat ke seluruh pembesar Kisra dan
gubernur-gubernurnya di semua wilayah Iraq dan kota-kotanya, sebagai berikut:
“Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin
Al-Walid kepada pembesar-pembesar Persia. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti
petunjuk. Amma ba’d,
Segala puji bagi Allah yang telah memporak-porandakan kaki tangan, dan
merenggut kerajaan, serta melemahkan tipu muslihat kalian. Siapa yang shalat
seperti shalat kami, dan menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami, ia
menjadi seorang Muslim. Ia akan mendapat hak seperti hak yang kami dapatkan,
dan ia berkewajiban seperti kewajiban kami. Bila tela sampai kapada kalian
suratku ini, hendaklah kalian kirimkan kepadaku jaminan, dan terimalah
perlindungan dariku. Jika tidak, demi Allah yang tiada Ilah yang berhak
disembah selain Dia, aku akan mengirimkan kepada kalian satu kaum berani mati,
padahal kalian masih sangat mencintai hidup.”
Para mata-mata yang disebarkan ke seluruh
penjuru datang menyampaikan berita tentang keberangkatan pasukan besar yang
dipersiapkan oleh panglima-panglima Persia di Iraq.
Khalid tidak membuang-buang waktu, dengan
cepat ia mempersiapkan pasukannya untuk menumpas kebathilan, sedangkan jarak
perjalanan dapat ditempuhnya dalam waktu singkat. Kemenangan demi kemenangan
dicapai oleh pasukan ekspedisinya, sejak dari Ubullah ke Sadir, disusul oleh
Najaf, lalu Hirah, kemudian Al-Anbar sampai ke Kazhimiah. Di setiap tempat ia
disambut oleh wajah berseri karena gembira. Bendera dan panji-panji Islam pun
naik, di bawahnya berlindung orang lemah yang tertindas penjajahan Persia.
Rakyat yang lemah dan terjajah selama ini
mengalami derita perbudakan dan penyiksaan dari orang Persia. Bandingkanlah itu
dengan peringatan keras dari Khalid kepada seluruh anggota pasukannya setiap
kali akan berangkat, “Janganlah kalian menyakiti para
petani. Biarkanlah mereka bekerja dengan aman, kecuali bila di antara mereka ada
yang hendak menyerang kalian. Perangilah orang menyerang kalian!”
Ia meneruskan perjalanan dengan pasukannya
yang telah memenangkan peperangan seperti mata pisau tajam mengiris permukaan
susu yang membeku, hingga sampailah ia ke perbatasan negeri Syam.
Ketika itu berkumandanglah suara takbir
dari muazin disertai takbir orang yang menang perang. Menurut anda, apakah
orang-orang Romawi mendengarnya di Syam? Apakah mereka menyadari bahwa takbir
ini merupakan bunyi lonceng kematian dan akhir dunia kekejaman? Benar, mereka
telah mendengarnya. Mereka kaget dan merasa ciut. Mereka telah memutuskan
dengan membabi buta untuk terjun ke medan perang disebabkan rasa putus asa dan
sia-sia.
Kemenangan yang diperoleh orang-orang
Islam di Iraq dari orang Persia menimbulkan harapan diperolehnya kemenangan
yang sama dari orang Romawi di Syria. Abu Bakar telah mengerahkan sejumlah
pasukan dan untuk mengepalainya dipilihnya dari kelompok panglima-panglima
mahir, seperti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Amr bin Al-Ash, Yazid bin Abu
Sufyan, kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Ketika berita gerakan tentara ini sampai
ke pendengaran Kaisar Romawi, ia menitahkan kepada para menteri dan jenderalnya
agar berdamai saja dengan kaum Muslimin dan tidak melibatkan diri dalam
peperangan yang hanya menimbulkan kerugian. Tetapi, para menteri dan
jenderalnya dengan gigih bersikeras hendak meneruskan perang sambil berkata, “Demi
Tuhan, kita akan membuat Abu Bakar kewalahan, sehingga ia tidak mampu
mendatangkan pasukan berkudanya ke negeri kita.”
Mereka menyiapkan tidak kurang dari 240
ribu tentara untuk peperangan ini. Pemimpin-pemimpin pasukan tentara Islam
mengirimkan gambaran tentang situasi gawat ini kepada Khalifah. Karenanya, Abu
Bakar berkata, “Demi Allah, semua kekhawatiran dan
keraguan meraka akan kusembuhkan dengan kedatangan Khalid!”
Kekhawatiran yang dimaksud adalah
kesewenang-wenangan, permusuhan, dan kesyirikan. Kesembuhan dari kekhawatiran
itu ialah perintah berangkat ke Syam dari Khalifah kepada Khalid untuk
mengepalai seluruh pasukan Islam yang sudah mendahuluinya berada di sana. Dan
alangkah cepatnya Khalid mematuhi perintah itu. Ia segera menyerahkan pimpinan
Iraq kepada Mutsanna bin Haritsah, dan dengan cepatnya ia berangkat bersama
prajurit-prajurit pilihannya, hingga sampai ke tempat kaum Muslimin di negeri
Syam. Dengan keahlian yang luar biasa, dalam waktu singkat ia menyusun pasukan
Islam dengan menertibkan posisinya.
Di medan perang dan sebelum pertempuran
dimulai, ia berdiri di tengah-tengah prajurit Islam untuk berpidato. Ia
berkata, sesudah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya, “Hari
ini adalah hari-hari Allah. Tidak pantas kita di sini berbangga-bangga dan
berbuat durhaka. Ikhlaskanlah jihad kalian, dan harapkan ridha Allah dengan
amal kalian! Mari kita bergantian memegang pimpinan. Hari ini salah seorang
memegang pimpinan, besok yang lain, lusa yang lain lagi, sehingga seluruhnya
mendapat kesempatan memimpin.”
“Hari ini
adalah hari-hari Allah.” Alangkah
hebatnya kata-kata itu sejak awal mendengarnya. “Tak pantas
kita di sini, berbangga-bangga dan durhaka.”
Kalimat ini lebih menakjubkan dan menunjukkan kewara’an yang sempurna.
Panglima yang agung, cerdas, dan penuh
vitalis itu tidak kurang dari sifat itsar (mendahulukan orang lain). Sekalipun
Khalifah telah mengangkatnya untuk mengepalai seluruh pasukan tentara dengan
membawahi para panglima, karena ia tidak ingin menjadi pembantu setan atas
pribadi-pribadi shahabatnya, ia pun bersedia turun dari pucuk jabatan yang
telah dipercayakan Khalifah secara mutlak. Ia menjadikan kepemimpinan itu
bergiliran. Hari ini seorang amir, besok amir yang kedua, dan lusa amir yang
lain pula, dan begitulah seterusnya.
Jumlah tentara Romawi yang besar dan
amunisi mereka yang lengkap merupakan suatu yang sangat mengecutkan.
Pemimpin-pemimpin mereka yakin bahwa waktu berada di pihak kaum Muslimin, dan
bahwa berlarut-larutnya peperangan dan banyaknya medan tempur akan membantu
kemenangan yang mantap bagi kaum Muslimin. Karena itu, mereka memutuskan untuk
menghimpun seluruh kekuatan mereka pada suatu medan tempur saja, dengan
mempersiapkan satu lapangan jebakan bagi orang-orang Arab.
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang
Islam pun sebelum kedatangan Khalid bin Al-Walid merasa gentar dan cemas, menyebabkan
rasa gelisah dan keluh kesah memenuhi jiwa mereka. Tetapi, iman mereka membuat
ringan segala pengabdian dalam suasana gelap gulita seperti itu, dan tiba-tiba
fajar harapan dan kemenangan meliputi mereka dengan cahayanya.
Bagaimanapun hebatnya orang-orang Romawi
dan tentaranya, Abu Bakar telah berkata, “Khalid akan
menyelesaikannya.” Ia
mengatakan itu karena benar-benar mengetahui keadaan orang-orangnya, dan ia
menambahkan, “Demi Allah, segala kekhawatiran mereka
akan kulenyapkan dengan Khalid! Biarkan orang-orang Romawi dengan segala
kehebatannya itu datang! Bukankah ada ‘penangkal’ bersama kaum Muslimin?”
Ibnul Walid mempersiapkan tentaranya
dengan membagi menjadi beberapa kesatuan besar. Ia mengatur kembali
langkah-langkah taktis dan strategis untuk menyerang dan bertahan, untuk
menandingi strategi Romawi, seperti yang telah dialaminya dari rekan-rekannya
orang Persia di Iraq. Ia juga memetakan setiap kemungkinan dari peperangan ini.
Yang menakjubkan, peperangan itu berjalan
tepat seperti yang dipetakan dan diharapkan oleh Khalid. Langkah demi langkah,
gerakan demi gerakan sma persis, sehingga seandainya ia memperkirakan berapa
banyaknya pukulan pedang di pertempuran itu, perhitungannya tidak akan keliru.
Setiap maneuver yang dinanti-nantikannya dari orang-orang Romawi, ternyata
mereka melakukannya juga dan setiap setiap taktik mundur yang diperkirakan akan
terjadi, itu benar-benar mereka lakukan.
Sebelum terjun ke kancah peperangan, ada
satu hal yang mengganggu pikirannya, yaitu kemungkinan sebagian anggota pasukannya
melarikan diri, terutama mereka yang baru saja masuk Islam, sesudah mereka
menyaksikan kehebatan dan keseraman tentara Romawi. Rahasia setiap kemenangan
gemilang yang diperoleh Khalid dalam peperangan ialah tsabat, dalam arti tetap tabah dan disiplin. Ia memandang bahwa
larinya dua atau tiga orang prajurit dari kesatuan akan menyebarkan kepanikan
dan kekacauan di seluruh kesatuan.
Ini dapat berakibat fatal dan merupakan
bencana yang mungkin tidak bisa ditimbulkan oleh seluruh kesatuan musuh. Oleh
sebab itu, tindakannya sangat tegas dan keras sekali terhadap mereka yang
membuang senjata dan berpaling melarikan diri.
Pada pertempuran ini sendiri, yaitu
pertempuran Yarmuk, sesudah seluruh pasukannya mengambil posisinya, ia
memanggil perempuan-perempuan Muslim dan untuk pertama kalinya ia
mempersenjatai kaum wanita. Mereka diperintahkan untuk berada di belakang
barisan pasukan Islam di setiap penjuru, sambil berpesan kepada mereka,”Siapa
yang melarikan diri, bunuhlah dia!”
sungguh, suatu akal bijak yang membuahkan hasil terbaik.
Ketika pertempuran hampir berlangsung,
panglima Romawi meminta Khalid tampil ke depan, karena ia ingin berbicara
kepadanya. Khalid pun muncul dan keduanya berhadap-hadapan di atas punggung
kuda masing-masing, yakni pada suatu lapangan kosong di antara kedua pasukan
besar. Panglima pasukan Romawi yang bernama Mahan itu pun berkata, “Kami
mengetahui bahwa yang mendorong kalian ke luar dari negeri kalian tidak lain
hanyalah kelaparan dan kesulitan. Jika kalian setuju, saya akan memberikan 10
dinar lengkap dengan pakaian dan makanan kepada tiap-tiap kalian, asalkan
kalian mau kembali ke negeri kalian. Di tahun yang akan datang, aku akan
mengirimkan sebanyak itu pula.”
Mendengar hal itu, bukan main marahnya
Khalid. Tetapi, ia tahan kemarahannya sambil menggertakan gigi. Ia menganggap
kata-kata panglima Romawi itu merupakan bentuk kekurangajaran, lalu memutuskan
untuk menjawabnya dengan kata-kata yang sesuai, sehingga ia berkata, “Yang
mendorong kami dari negeri kami, bukan karena lapar seperti yang anda sebutkan
tadi, melainkan kami adalah satu bangsa yang biasa minum darah. Kami tahu benar
bahwa tidak ada darah yang lebih manis dan lebih baik daripada darah
orang-orang Romawi, karena itulah kami datang!”
Panglima Khalid menggertakkan tali kekang
kudanya, sambil kembali ke pasukannya. Ia mengangkat bendera tinggi-tinggi
memberitahukan bahwa pertempuran segera dimulai. “Allah
Akbar…, berhembuslah angin surga!”
pasukannya pun maju menyerbu laksana peluru yang ditembakkan.
Pertempuran yang tiada tandingannya
berlangsung mencapai puncaknya. Orang-orang Romawi datang menghadang dengan
kesatuan-kesatuan pasukan besar yang menggunung. Tetapi, nyata dan jelas bagi
orang-orang itu sesuatu yang tidak mereka duga-duga dari kaum Muslimin. Para
pahlawan itu telah melukiskan gambar pejuangan yang mengagumkan dengan
pengorbanan dan keteguhan hati.
Saat pertempuran berkecamuk, salah seorang
dari mereka mendekati Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sembari berkata, “Aku
sudah bertekad mati syahid, apakah engkau mempunyai pesan penting yang akan
kusampaikan kepada Rasulullah, bila aku menemuinya nanti?” Abu Ubaidah menjawab, “Ada,
katakana kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya kami telah menemukan bahwa
apa yang dijanjikan Allah kepada kami, memang benar!’”
Lelaki itu pun langsung melesat maju
menyerang bagai anak panah lepas dari busurnya. Ia menyerbu ke tengah-tengah
pertempuran dahsyat, merindukan tempat peraduan dan pembaringannya. Ia menyerang
dengan sebilah pedang, dan dilawan oleh seribu pedang, hingga menemui
kesyahidan.
Itulah dia Ikrimah bin Abu Jahal. Dia
memang anak Abu Jahal. Ketika tekanan orang Romawi semakin berat, ia berseru
kepada kaum Muslimin dengan suara lantang, “Sungguh, aku
telah lama memerangi Rasulullah pada masa yang lalu sebelum Allah memberikan
petunjuk kepadaku untuk masuk Islam. Apakah pantas aku lari dari musuh-musuh
Allah hari ini?”
Kemudian ia berteriak, “Siapakah
yang bersedia dan berjanji untuk mati?”
sejumlah orang berjanji kepadanya untuk berjuang sampai mati, kemudian mereka
menyerbu ke jantung pertempuran bersamaan. Bukan hanya mencari kemenangan,
melainkan bila kemenangan itu harus ditebus dengan jiwa dan raga, mereka sudah
siap untuk mati syahid. Allah telah menerima pengorbanan dan baiat mereka.
Mereka semuanya gugur syahid.
Ada pula orang-orang yang luka berat.
Seseorang membawakan air kepada salah seorang yang terluka, namun ia member
isyarat agar air itu diberikan kepada temannya yang berdekatan lebih dulu
karena lukanya lebih berat. Ketika orang yang dimaksud ditawari air, ia
mengisyaratkan pula agar diberikan kepada yang lain, dan ketika orang yang
dituju didatangi, ia pun lebih mengutamakan orang lain, dan begitulah
seterusnya. Itulah yang terjadi. Mereka rela menderita kehausan sewaktu ruh-ruh
mereka melayang. Inilah contoh teladan yang paling indah tetang pengorbanan dan
mendahulukan kepentingan orang lain.
Peperangan Yarmuk benar-benar tempat
pengorbanan yang jarang ada tandingannya. Di antara monumen-monumen pengorbanan
yang menakjubkan itu adalah monument istimewa yang dibina oleg tekad baja yang
melukiskan karya Walid bin Al-Walid yang mengerahkan seratus tentaranya, tidak
lebih daripada itu. Mereka menyerbu sayap kiri Romawi yang jumlahnya tidak
kurang dari 40 ribu orang, oleh Khalid berseru kepada seratus orang yang
bersamanya itu, “Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidak ada kagi kesabaran dan ketabahan yang tinggal pada
orang-orang Romawi, kecuali apa yang kalian lihat! Sungguh, aku mengharap Allah
memberikan kesempatan kepada kalian untuk menebas batang leher mereka.”
Seratus orang menyerbu ke dalam 40 ribu
pasukan dan kemudian mereka menang? Anda tidak perlu tercengang! Bukankah hati
mereka penuh keimanan kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar? Iman
kepada Rasul-Nya yang benar lagi terpercaya. Iman kepada ketentuan Allah, yang
merupakan keimanan yang paling banyak membuahkan kebaikan, petunjuk, dan
keberuntungan dalam setiap urusan kehidupan.
Bukankah Khalifah mereka Abu Bakar, yang
benderanya sekarang telah menjulang tinggi di dunia, dari Madinah, ibukota baru
bagi dunia baru, ia sendiri masih bersedia memerah susu kambing untuk janda
yang ditinggal mati suaminya, dan dengan kedua tangannya mengadukkan roti bagi
anak-anak yatim piatu?
Bukankah panglima mereka adalah Khalid bin
Al-Walid; penawar kecemasan, pembasmi kesombongan, kekerasan, kedurhakaan,
permusuhan, dan Pedang Allah yang terhunus yang akan menebas unsur-unsur
perselisihan, kebencian dan kemusyrikan? Bukankah kenyaannya memang demikian?
Karena itu, berhembuslah, wahai angin kemenangan! Bertiuplah ruh keperkasaan,
keberuntungan, dan kedigdayaan!
Kejeniusan Khalid membuat kagum para
panglima Romawi dan komandan pasukannya, yang mendorong salah seorang di antara
mereka, yang bernama Georgius untuk mengundang Khalid pada saat peperangan
berhenti agar berdialog dengannya. Saat keduanya sudah bertemu, panglima Romawi
itu memulai percakapannya kepada Khalid, ia mengungkapkan, “Tuan
Khalid, jujurlah anda kepadaku, jangan berbohong, sebab orang merdeka tidak
pernah berbohong! Apakah Allah telah menurunkan sebilah pedang kepada Nabi anda
dari langit, lalu pedang itu diberikannya kepada anda, hingga setiap anda
hunuskan terhadap siapa pun, pedang tersebut pasti membinasakannya?”
“Tidak!” jawab Khalid.
“Mengapa anda
dinamai Pedang Allah?”
“Sesungguhnya
Allah telah mengutus Rasul-Nya kepada kami, sebagian kami ada yang
membenarkannya, dan sebagian pula mendustakannya. Aku dulunya termasuk orang
yang mendustakannya, sehingga akhirnya Allah menjadikan hati kami menerima
Islam, dan member petunjuk kepada kami melalui Rasul-Nya, lalu kami berjanji
setia kepadanya. Kemudian Rasulullah mendoakanku, dan beliau berkata kepadaku,
‘Engkaulah Pedang Allah di antara sekian banyak pedang-Nya.’ Itulah sebabnya
aku diberi nama Pedang Allah.”
“Untuk apa
sekalian diseru olehnya?”
“Untuk
menauhidkan Allah kepada Islam”
“Apakah
orang-orang yang masuk Islam sekarang akan mendapat pahala dan ganjaran seperti
anda juga?”
“Benar,
bahkan lebih besar.”
“Bagaimana
itu terjadi, padahal kalian lebih dahulu memeluknya?”
“Karena kami
telah hidup bersama Rasulullah, kami telah melihat tanda-tanda kerasulan dan
mukjizatnya, dan wajar bagi setiap orang yang telah melihat seperti yang kami
lihat dan mendengar seperti yang kami dengar, akan masuk Islam dengan mudah.
Adapun kalian yang belum pernah melihat dan mendengarnya, namun kemudian kalian
beriman kepada yang gaib, maka pahala kalian lebih besar dan berlipat ganda,
bila kalian membenarkan Allah dengan hati ikhlas serta niat yang suci.”
Panglima Romawi itu pun berseru, sambil
memajukan kudanya ke dekat Khalid dan berdiri di sampingnya, “Ajarkanlah
kepadaku Islam itu, wahai Khalid.”
Akhirnya, panglima Romawi tersebut masuk
Islam dan shalat dua rakaat. Itulah satu-satunya shalat yang sempat
dilakukannya.
Kedua pasukan itu mulai bertempur kembali.
Panglima Romawi Georgius sekarang berperang di pihak Muslim, dan mati-matian
menuntut syahid, sampai ia mencapainya dan berbahagia mendapatkannya.
Sekarang penulis akan memaparkan suatu
kebesaran hati manusia dalam suatu peristiwa termegah. Saat Khalid sedang
memimpin tentara Islam dalam peperangan yang banyak menimbulkan korban ini dan
pada waktu ia merenggutkan kemenangan gemilang dari cengkeraman tentara Romawi
secara luar biasa, tiba-tiba dikejutkan oleh sepucuk surat yang datang dari
Madinah, yang dibawa oleh seorang kurir Khalifah yang baru, Amirul Mukminin
Umar bin Al-Khatthab. Dalam surat tersebut tercantum salam penghargaan Al-Faruq
kepada seluruh pasukan Islam, berita berkabungnya terhadap Khalifah Rasulullah
Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah wafat, dan kemudian memberikan keputusan untuk
memberhentikan Khalid dari pimpinan pasukan dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai
gantinya.
Khalid membaca surat itu dengan tenang dan
memohonkan rahmat untuk Abu Bakar serta taufik untuk Umar. Ia meminta kepada di
pembawa surat agar tidak menceritakan isi surat tersebut kepada siapa pun,
menyuruhnya tetap tinggal di suatu tempat dan tidak meninggalkannya, serta
tidak berhubungan dengan siapa pun. Ia meneruskan pimpinan pertempuran, sambil
menyembunyikan berita kematian Abu Bakar dan perintah Umar sampai kemenangan
benar-benar menjadi kenyataan, yang waktu itu telah dekat sekali seolah-olah
telah berada di tangan.
Genderang kemenangan telah tiba.
Orang-orang Romawi telah takluk dan lari kocar-kacir. Khalid bin Al-Walid
menjumpai Abu Ubaidah sembari menyampaikan salam hormat seorang prajurit
terhadap panglimanya. Abu Ubaidah pada awalnya menyangka ulahnya itu sebagai
canda dari seorang panglima yang telah mewujudkan kemenangan yang tidak
diduga-duga. Tetapi, tidak lama kemudian ia melihat suatu kenyataan yang
sesungguhnya, maka ia pun mencium wajah Khalid di antara kedua matanya dan
memuji kebesaran jiwa dan akhlaknya.
Riwayat lain dalam sejarah megatakan,
bahwa surat yang dikirim olah Amirul Mukminin Umar ditujukan kepada Abu Ubaidah
dan berita tersebut disimpan saja olehnya, tanpa sepengetahuan Khalid sampai
perang berakhir. Riwayat manapun yang benar, yang ini atau yang itu, yang
penting bagi kita ialah sikap Khalid pada kedua kondisi tersebut, yang
mengungkapkan bahwa ia benar-benar suatu pribadi yang mengagumkan; penuh
keagungan dan kemuliaan. Sejauh pengetahuan si penulis, tidak satu pun kejadian
dalam seluruh kehidupan Khalid yang menjelaskan keikhlasannya yang mendalam dan
kejujurannya yang teguh, melebihi apa yang ditunjukkan peristiwa ini.
Menjadi seorang panglima ataupun prajurit
biasa itu sama saja bagi Khalid. Menjadi pemimpin seperti halnya prajurit,
masing-masing menanggung kewajiban yang harus ditunaikan terhadap Allah yang ia
imani, terhadap Rasul yang ia baiat, terhadap agama yang telah dipeluknya, dan
ia bernaung di bawah panji-panjinya.
Baktinya yang diberikan sebagai panglima
yang memerintah, sama dengan darmanya yang dibaktikannya sebagai prajurit yang
diperintah. Kemenangan besar terhadap nafsu ini dipersiapkan baginya sebagai
juga bagi orang lainnya oleh contoh teladan dan perilaku para Khalifah, yang
memegang tampuk pimpinan umat Islam waktu itu. Abu Bakar dan Umar. Itulah dua
nama yang bila saja lidah bergerak menyebutnya, segala sifat keutamaan dan
kebesarannya langsung terbayang dalam hati.
Meskipun hubungan kasih sayang Umar dan
Khalid sesekali merenggang, kebersihan jiwa Umar, keadilan, ketakwaan, dan
kebesaran pribadinya yang luar biasa, tidak secuil pun diragukan oleh Khalid.
Karena itu, tidak ada alasan untuk meragukan semua keputusan yang diambilnya,
karena hati nurani yang mengeluarkannya, telah sampai ke puncak kesalehan,
kelurusah, keikhlasan, dan kejujuran, sejauh yang dapat dicapai oleh manusia
yang berhati bersih dan terpimpin.
Tak ada sedikit pun maksud jelek Umar
terhadap pribadi Khalid itu. Hanya saja ia merasa keberatan terhadap pedangnya
yang terlalu cepat menggores dan tajam. Hal ini telah ada dalam bayangannya
ketika Umar mengusulkan pemberhentian Khalid kepada Abu Bakar, menyusul
terbunuhnya Malik bin Nuwairah. Kala itu, ia mengatakan, “Ada
sisi kezaliman pada pedang Khalid.”
Kezaliman yang dimaksud adalah sikap kurang hati-hati sehingga kadang-kadang
membunuh jiwa yang tidak semestinya terbunuh.
Khalifah Ash-Shiddiq menjawab, “Aku
tidak akan menyarungkan pedang yang telah terhunus oleh Allah atas orang-orang
kafir.”
Umar tidak bermaksud bahwa Khalid tidak
berhati-hati membunuh dengan pedangnya. Ia mengarahkan sifat itu kepada pedang
Khalid, bukan pribadi Khalid. Kata-kata itu bukan saja mengungkapkan adab sopan
santun, melainkan juga penilaian baiknya terhadap diri Khalid.
Kehidupan Khalid adalah perang sejak lahir
sampai mati. Lingkungan, pertumbuhan, pendidikan, dan seluruh kehidupannya,
sebelum dan sesudah Islam, merupakan arena bagi seorang pahlawan berkuda yang
lihai lagi ditakuti. Kemudian bahwa kegigihannya pada masa silam sebelum Islam,
peperangan-peperangan yang diterjuninya menentang Rasul dan shahabatnya, dan
pukulan-pukulan pedangnya pada masa kesyirikan yang menjatuhkan benyak kepala
orang yang beriman serta kening-kening para shahabat yang taat beribadah.
Semuanya itu merupakan beban yang berat bagi jiwanya.
Sekarang, ia menjadikan pedangnya sebagai
alat yang ampuh penebus masa lalu, dengan memancung habis segala tonggak
kemusyrikan, berlipat ganda hebatnya dari apa yang telah pernah dilakukannya
terhadap Islam. Anda tentu masih ingat kalimat yang pernah penulis ungkapkan di
awal cerita ini, yang keluar dari lisan Khalid ketika berbicara kepada
Rasulullah, “Ya Rasulullah, mintakanlah ampunan
atas semua tindakan menghalangi dari jalan Allah yang telah kulakukan.”
Sekalipun Rasulullah telah menjelaskan
bahwa Islam telah memaafkan semua kesalahan masa lalu, Khalid berusaha
mendapatkan janji dari Rasulullah saat ia masih hidup agar beliau memohonkan
ampun kepada Allah atas segala perbuatannya di masa silam itu. Sebilah pedang
ketika berada di tangan seorang panglima berkuda yang tiada duanya seperti
Khalid, kemudian tangan yang menggenggam pedang itu digerakkan oleh hati yang
bergelora dengan kehangatan semangat untuk menebus kesalahan dan menyucikan
diri, serta dipenuhi dengan pembelaan mutlak terhadap agama yang masih
dikelilingi berbagai persekongkolan jahat dan permusuhan. Sungguh, sulit bagi
pedang ini untuk melepaskan diri dari pembawaannya yang keras dan ketajamannya
yang memutus. Beginilah keadaannya, kita lihat pedang Khalid kesukaran bagi
pemiliknya.
Pasca penaklukan Mekkah, Nabi mengutus
Khalid ke beberapa kabilah yang berdekatan dengan negeri Mekkah, dengan pesan,
“Aku mengutusmu ke dai, bukan sebagai prajurit.” Rupanya pedangnya telah menguasai dirinya yang
mendorong kepada perang sebagai seorang prajurit dan terlepas dari peran
seorang dai, sebagaimana wasiat Rasulullah kepadanya.
Nabi terluka dan berduka ketika mendengar
tindakan Khalid dan sambil berdiri menghadap kiblat, beliau mengangkat
tangannya, memohon ampun kepada Allah dengan ungkapan, “Ya
Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari tindakan yang telah dilakukan Khalid.” Beliau kemudian mengutus Ali kepada mereka
untuk memberikan tebusan atas darah dan harta mereka.
Kata orang, Khalid membela dirinya dengan
alasan bahwa Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi mengatakan kepadanya, “Rasulullah
telah memerintahkan kepadamu agar engkau memerangi mereka karena mereka menolak
Islam.”
Khalid memiliki kekuatan yang luar biasa.
Kekuatan itu mendorongnya sekuat-kuatnya untuk menghancurkan seluruh dunia
lamanya yang menyiksa hatinya. Kalaulah kita mau memahaminya, itu bisa dilihat
saat ia meruntuhkan berhala ‘Uzza ketika dia dikirim Nabi untuk meruntuhkannya.
Kalau kita melihat bagaimana ia menghancurkan bangunan batu tersebut, kita
pasti menyaksikan seorang lelaki seolah-olah sedang memerangi barisan tentara
seluruhnya.
Ia menebas semua kepala dan merobek-robek
seluruh barisannya dengan kematian. Ia menghantam dengan tangan kanan dan
kirinya, serta dengan kakinya sambil berteriak kepada runtuhan yang bertebaran
dan debu yang berjatuhan, “Ya ‘Uzza, sekarang engkau diingkari
dan tak disucikan lagi. Aku melihat, Allah telah menghinakanmu.”
Tetapi kita sendiri, karena apa yang kita
harapkan tidak beda dengan yang diharapkan Umar, seandainya pedang Khalid tidak
bertindak keras, kita akan selalu mengulang-ulangi ucapan Amirul Mukminin, “Takkan
ada lagi seorang wanita pun yang akan sanggup melahirkan laki-laki seperti
Khalid.”
Sewaktu ia meninggal dunia Umar menangis
sejadi-jadinya. Kemudian orang-orang mengetahui bahwa Umar menangis bukan hanya
karena kehilangan Khalid semata, melainkan menangisi lenyapnya kesempatan untuk
mengangkatnya kembali memegang pucuk pimpinan tentara Islam, sesudah
berkurangnya kefanatikan manusia yang berlebih-lebihan kepadanya. Karena,
sebetulnya cukup lama Umar bertekad memulihkan kepemimpinannya itu dan
menjernihkan sebab-sebab pemberhentiannya, kalau tidaklah maut datang menjemput
pahlawan besar itu untuk bersegera pulang ke tempat kembalinya di surga.
Adapun sekarang, bukankah memang waktu
bagi dia untuk beristirahat? Karena, sebelum itu bumi ini belum pernah
melihatnya beristirahat seperti itu dari memerangi musuh. Bukankah sekarang
telah datang masanya bagi jasad yang selalu bekerja keras itu, untuk tidur
sekejap? Ialah pribadi yang sering dilukiskan oleh shahabat-shahabat maupun
oleh musuh-musuhnya, dengan kata-kata, “Orang yang
tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur.”
Ia sendiri, seandainya diperbolehkan
memilih, tentu akan memilih agar Allah menambah usianya agar dapat meneruskan
perjuangan meruntuhkan semua bangunan-bangunan lapuk, dan agar dapat menambah
amal dan jihadnya dalam Islam. Semangat juang dan keharuman namanya akan selalu
dikenang sepanjang masa, selama kuda-kuda perang masih meringkik, mata-mata
pedang masih berkilatan, dan selama panji-panji bendera tauhid masih di atas
pundak tentara Islam.
Khalid pernah berkata, “Tidaklah
suatu malam yang di dalamnya aku dihadiahi pengantin atau dikaruniai bayi itu
lebih aku sukai daripada malam yang sangat menegangkan saat aku berada dalam
ekspedisi tentara Muhajirin dan menemui pagi bersama mereka menggempur kaum
musyrikin.”
Karena itulah, ada sesuatu yang merisaukan
pikirannya sewaktu masih hidup, yaitu bila ia mati di atas tempat tidur, padahal
ia telah menghabiskan seluruh umurnya di atas punggung kuda perangnya, dan di
bawah kilatan pedangnya. Ia pernah berperang bersama Rasulullah. Ia telah
menundukkan kaum murtad. Ia telah membumiratakan takhta Kerajaan Persia dan
Romawi. Ia yang telah melompat menjelajahi bumi di Iraq setapak demi setapak,
hingga menaklukkannya demi Islam dan di Syria setapak demi setapak pula, sampai
semuanya dipersembahkannya ke haribaan Islam.
Khalid ialah seorang panglima, dengan
kesukaran hidup seorang prajurit dan kerendahan hati. Ia juga seorang prajurit
dengan tanggung jawab seorang panglima dengan keteladanannya. Seorang pahlawan
perang yang hatinya risau bila mati di atas tempat tidurnya. Ketika itu, ia
berkata sambil meneteskan air mata, “Aku telah ikut serta dalam pertempuran
di mana-mana. Seluruh tubuhku penuh dengan tebasan pedang, tusukan tombak, dan
tancapan panah. Namun, kini aku harus mati di atas ranjangku dalam keadaan
terbujur laksana matinya seekor unta. Sungguh, mata para pengecut tidak akan tertidur.”
Itulah kata-katanya. Kata-kata itu tidak
akan diucapkan seseorang dalam suasana demikian, kecuali ia seorang lelaki
jantan seperti dia! Dia mengucapkan pesan itu saat hampir menghembuskan
nafasnya yang terakhir.
Tahukah anda kepada siapa ia berpesan?
Yaitu kepada Umar bin Al-Khatthab sendiri.
Tahukah anda kekayaan apa yang
ditinggalkannya? Hanya kuda perang dan pedangnya.
Kemudian apa lagi? Selain itu, tidak ada
barang berharga yang dapat dinikmati atau dimiliki orang.
Hal itu karena seumur hidupnya tidak
pernah dipenuhi keinginan, kecuali menikmati kemenangan dan Berjaya mengalahkan
musuh kebenaran. Tak satu pun kesenangan dunia yang mempengaruhi keinginannya.
Ada satu lagi yang tertinggal, yaitu suatu
barang yang dijaganya mati-matian. Barang itu berupa kopiah. Suatu ketika,
kopiah itu terjatuh dalam Perang Yarmuk lalu ia dan orang lain harus bersusah
payah untuk mencarinya. Ketika orang lain mencelanya karena itu, ia berkata, “Di
dalamnya terdapat beberapa helai rambut dari ubun-ubun Rasulullah. Aku merasa
optimis dan berharap kemenangan dengan (keberkahan)nya.”
Akhirnya jenazah pahlawan besar ini keluar
dari rumahnya diusung oleh para shahabatnya. Ibu dari sang pahlawan
memandangnya dengan kedua mata yang bercahaya memperlihatkan kekerasan hati,
tetapi disaput awan duka cita, lalu melepasnya dengan kata-kata:
Engkau lebih baik daripada jutaan
orang
Karena engkau berhasil membuat wajah mereka tertunduk
Soal keberanian, engkau lebih berani daripada singa betina
Yang sedang mengamuk melindungi anaknya
Soal kedermawanan, engkau lebih dermawan daripada air yang mengalir
deras
Yang terjun dari celah bukit curam ke lembah.
Umar mendengar ucapan tersebut, maka
hatinya bertambah duka dan terharu. Air matanya jatuh berderai, “Engkau
benar! Demi Allah, ia memang seperti itu.”
Kini tingallah pahlawan itu di
pembaringannya. Para shahabatnya tegak berdiri dengan khusyuknya, dunia
sekeliling mereka hening, tenang dan sepi. Keheningan yang mengharukan itu,
tiba-tiba dipecahkan oleh ringkikan dan dengusan kuda yang datang, sebagaimana
yang dapat kita bayangkan, sesudah melepaskan tali kekangnya, segera mendompak
dan melompat lalu berlari melintasi jalan-jalan Madinah menyusul dari belakang
jenazah tuannya, pemilik, dan penunggangnya, sementara keharuman jenazah itu
semerbak membawanya ke arah tujuan.
Sewaktu kuda itu sampai ke dekat ke
kumpulan orang-orang yang sedang termenung menghadapi permukaan kubur yang
masih basah. Ia menggerak-gerakkan kepalanya bagaikan mengibarkan panji perang,
disertai dengan dengusan yang merendah, seperti yang dilakukannya selagi
pahlawannya masih hidup menaiki punggungnya, pergi bertempur mengguncangkan
istana-istana dan takhta Kerajaan Persia dan Romawi, menghilangkan segala
angan-angan keberhalauan dan kedurhakaan, dan mengikis habis segala kekuatan
kemusyrikan dan kemunduran yang merintangi jalan Islam.
Kuda itu terhenti dan matanya menatap
kubur tanpa menoleh sedikit pun. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya naik turun,
seakan-akan melambai kepada tuan dan pahlawannya, untuk memberikan hormat dan
menyampaikan salam perpisahan. Kemudian ia tertegun, dengan kepala terangkat ke
atas dan kening yang meninggi, lalu mengalirlah air matanya yang deras.
Kuda ini telah diwakafkan Khalid bersama
pedangnya untuk jalan Allah. Tetapi, adakah orang berkuda lainnya yang sanggup
menungganginya sesudah Khalid? Maukah ia merendahkan punggungnya bagi orang
lain? Wahai, pahlawan yang selalu Berjaya, wahai fajar di setiap malam. Engkau
telah mengangkat tinggi moral pasukanmu, dengan ucapan setiap bergerak maju, “Kala
subuh datang menjelma, pejalan-pejalan malam melantunkan pujian.”
Kata-katamu itu telah menjadi kata-kata
mutiara. Dan engkau telah menyelesaikan perjalanan malammu. Temuilah pagi hari
dengan memuji, wahai Abu Sulaiman! Sebutan namamu sangat mulia, harum mewangi,
kekal abadi, wahai Khalid! Biarkanlah kami mengulang-ulangi bersama Amirul
Mukminin ucapan kata-kata yang sedap, manis, dan indah yang dilantunkan untuk
meratapi dan melepas kepergianmu; Rahmatullah bagi Abu Sulaiman.
Apa yang di sisi Allah lebih baik
daripada yang di dunia
Ia hidup terpuji dan berbahagia setelah mati.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
4 komentar:
Terima kasih, masha allah sungguh inspiratif. may the eyes of cowards never sleep. :)
Terimakasih atas ilmunya, semoga berkah dan tetap semangat
Berbagi dalam kebaikan.
Subhanallah
Masya Alloh, smg kita bener2 bisa teladani keberanian, kesantunan dan kelapang dada annya khalid bin walid, sang panglima tempur di medan jihad..
Posting Komentar