بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Sekarang, berilah jalan untuk pahlawan ini,
wahai para ksatria. Mendekatlah kemari dari segenap penjuru dan tempat. Susah
atau mudah, datanglah ke sini dan segeralah menundukkah hati. Berkonsentrasilah
untuk mendapatkan pelajaran dalam berkorban yang tidak ada tandingannya. Anda
sekalian bisa jadi bertanya, “Apakah semua yang telah anda ceritakan
kepada kami sebelumnya bukan merupakan pelajaran-pelajaran tentang pengorbanan
yang jarang tandingannya?”
Benar, semua itu merupakan pelajaran, dan
kehebatannya tidak ada tandingannya. Tetapi, kali ini kalian berada di hadapan
seorang guru besar baru dalam pengorbanan. Seorang guru besar, yang seandainya
anda ketinggalan menghadiri kuliahnya. Anda akan kehilangan banyak
kebaikan-kebaikan yang tidak terkira.
Mari bersama kami, wahai penganut akidah
dari setiap umat di manapun. Mari bersama kami, wahai orang-orang yang
merindukan derajat yang tinggi dari segala masa dan zaman. Engkau juga, wahai
orang-orang yang tertipu oleh kepalsuan dan berprasangka buruk terhadap agama
dan iman. Datanglah kemari dengan kebanggaan palsumu itu dan perhatikanlah
puncak kemuliaan, pembelaan, ketabahan, keteguhan hati, pengorbanan, dan
loyalitas, atau dapat diringkas dengan satu kata: kebesaran yang luar biasa dan
mengagumkan, yang tumbuh dari keimanan terhadap kebenaran yang dimiliki oleh
orang-orang yang tulus.
Apakah kalian tidak melihat tubuh yang
sedang disalib itu? Inilah judul pelajaran kita hari ini, wahai segenap anak
manusia. Tubuh yang disalib di hadapan kalian itulah sekarang yang menjadi tema
dan mata pelajaran. Ia adalah seorang guru besar yang bernama Khubaib bin Adi.
Hafalkanlah nama yang mulia ini sebaik-baiknya! Hafalkanlah dan ingatlah selalu
namanya, karena ia merupakan lambing kemuliaan bagi setiap manusia, dari setiap
agama, aliran, dan keturunan mana pun sepanjang masa.
Ia seorang yang cukup dikenal di Madinah
dan termasuk shahabat dari kalangan Anshar. Ia sering menjumpai Rasulullah
sejak beliau hijrah ke tempat mereka, lalu beriman kepada Rabb semesta alam. Ia
merupakan sosok yang berjiwa bersih, suka terus terang, beriman teguh, dan
berhati mulia, seperti yang dilukiskan oleh Al-Hassan bin Tsabit dalam
syairnya:
Ia seorang ksatria yang kedudukannya
diakui di kalangan orang-orang Anshar
Sosok yang lapang dada, namun tegas dan tidak dapat ditawar-tawar.
Ketika panji Perang Badar telah
dikibarkan, Khubaib bin Adi tampil sebagai seorang prajurit yang perkasa dan
gagah berani. Salah seorang di antara kaum musyrikin yang berdiri menghadang
jalannya di Perang Badar ini dan tewas di ujung pedangnya. Orang tersebut
merupakan seorang pemimpin Quraish yang bernama Al-Harits bin Amir bin Naufal.
Setelah pertempuran selesai dan sisa-sisa pasukan Quraish yang kalah kembali ke
Mekkah dan Bani Harits mengetahui siapa yang telah menewaskan bapak mereka,
mereka menghafalkan dengan baik nama orang Islam yang telah menewaskan ayah
mereka dalam pertempuran itu, yaitu Khubaib bin Adi.
Kaum
Muslimin telah kembali ke Madinah dari Perang Badar. Mereka meneruskan
pembinaan masyarakat mereka yang baru. Khubaib adalah seorang ahli ibadah yang
benar-benar menunjukkan karakter orang-orang yang khusyuk dan kerinduan ahli
ibadah. Di Madinah ia memanfaatkan seluruh waktunya untuk beribadah penuh
dengan semangat kerinduan terhadap Rabbnya, menegakkan shalat malam, puasa pada
siang harinya, dan menyucikan Rabb semesta alam.
Suatu hari Rasulullah ingin menyelidiki
rahasia orang-orang Quraish, hingga dapat mengetahui ke mana arah gerakan serta
langkah-langkah persiapan mereka untuk peperangan baru. Untuk itu, beliau
mengirim sepuluh orang di antara para shahabat, termasuk Khubaib. Beliau
mengangkat Ashim bin Tsabit sebagai pemimpin mereka.
Tim
penyelidik ini pun berangkat ke tujuan hingga sampai di suatu tempat antara
Usfan dan Mekkah. Namun, gerakan mereka tercium olrh orang-orang kampung dari
Hudzail yang didiami oleh suku Bani Hayyan. Orang-orang dari suku ini segera
mengirim seratus orang pemanah yang hendak untuk menyusul orang-orang Islam
tersebut dan mengikuti jejak mereka dari belakang.
Kalau saja salah seorang di antara pasukan
Bani Hayyan itu tidak melihat biji kurma yang jatuh di atas pasir, maka mereka
pasti akan kehilangan jejak. Biji kurma itu dipungut oleh sebagian di antara
orang-orang ini, lalu diamati berdasarkan firasat bangsa Arab yang tajam dan
luar biasa, lalu berseru kepada teman-teman mereka, “Ini
adalah biji kurma yang berasal dari Yatsrib. Kita harus mengikuti jejak ini
hingga dapat kita ketahui di mana mereka berada.” Dengan petunjuk biji-biji kurma yang
berceceran di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka melihat dari
jauh rombongan kaum Muslimin yang sedang merereka cari.
Ashim, pemimpin tim penyelidik, merasa
bahwa mereka sedang diikuti musuh. Karena itu, ia memerintahkan kepada
rekan-rekannya untuk naik ke atas bukit. Para pemanah kaum Quraish yang
berjumlah seratus orang itu pun semakin mendekat. Mereka mengelilingi kaum
Muslimin lalu mengepung mereka dengan ketat.
Para pengepung meminta agar kaum Muslimin
menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya. Kesepuluh
orang ini menoleh kepada pemimpin mereka, Ashim bin Tsabit Al-Anshari, menunggu
apa yang ia perintahkan. Ashim mengatakan, “adapun aku,
demi Allah, aku tidak akan turun untuk mendapatkan perlindungan dari orang
musyrik. Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu.”
Seratus pemanah itu pun langsung
menghujani mereka denga anak panah. Pemimpin mereka, Ashim beserta tujuh orang
lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugur syahid. Mereka meminta agar yang
lain turun dan tetap akan dijamin keselamatannya sebagaimana yang telah
dijanjikan sebelumnya. Karena itu, tiga orang dari sisa tim itu, yaitu Khubaib
beserta dua orang shahabatnya, turun dari puncak.
Para pemanah mendekati Khubaib dan salah
seorang temannya, Zaid bin Ad-Datsinnah. Mereka mengurai tali, lalu mengikat
keduanya. Teman mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal pengkhianatan janji.
Karena itu, ia pun memutuskan untuk mati sebagaimana kematian Ashim dan
teman-temannya. Akhirnya, ia pun gugur syahid seperti yang ia inginkan.
Demikianlah, kedelapan orang yang termasuk
di antara orang-orang Mukmin yang paling tebal keimanannya, paling teguh
menepati janji, dan paling setia melaksanakan kewajiban terhadap Allah dan
Rasul-Nya, telah menunaikan darma bakti mereka hingga gugur syahid.
Khubaib dan Zaid berupaya melepaskan
ikatan mereka, tetapi tidak berhasil karena ikatannya sangat kuat. Keduanya
dibawa oleh para pemanah durhaka itu ke Mekkah. Nama Khubaib tersiar ke setiap
telinga orang Mekkah. Keluarga Al-Harits bin Amir masih ingat darah daging
mereka yang tewas di Perang Badar. Mereka mengingat nama Khubaib dengan baik. Nama
yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli
Khubaib sebagai budak untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka
kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari penduduk Mekkah yang
lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di Perang Badar.
Keputusan akhir, mereka sepakat
merundingkan bentuk siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuaskan
dendam mereka, bukan saja terhadapnya melainkan terhadap seluruh kaum Muslimin.
Sementara itu, orang-orang musyrik lainnya juga melakukan tindakan kejam
terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ad-Datsinnah, dengan melampiaskan segala
bentuk siksaan kepadanya hingga gugur syahid.
Khubaib telah menyerahkan hati, semua
urusan, dan akhir hidupnya kepada Rabb semesta alam. Ia memusatkan perhatiannya
untuk beribadah dengan jiwa yang teguh, keberanian yang tangguh, disertai
ketenteraman yang telah dilimpahkan Allah kepada yang dapat menghancurkan batu
karang dan melebur ketakutan. Allah selalu bersamanya dan ia pun selalu merasa
bersama Allah. Tangan Allah selalu menyertainya, dan seolah-olah jari-jemari
tangan-Nya membalut dadanya hingga terasa sejuk.
Suatu hari, salah seorang putrid Al-Harits
datang menjumpai Khubaib di tempat tahanannya yang ada di rumah Al-Harits.
Namun, tiba-tiba ia bergegas pergi dari tempat itu sambil berteriak memanggil
orang-orang Mekkah agar menyaksikan keajaiban, “Demi Allah,
aku melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur sambil memakannya.
Padahal ia terikat kuat di besi dan di Mekkah tidak ada sebiji anggur pun. Aku
merasa itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada Khubaib.”
Memang benar, itu adalah rezeki yang
diberikan Allah kepada hambanya yang saleh, sebagaimana dahulu hal seperti itu
pernah diberikan kepada Maryam binti Imran, yaitu ketika:
فَتَقَبَّلَهَا
رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا
زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا
رِزْقًا ۖ قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ ۖ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan
yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan
Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab,
ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu
memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi
Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa hisab.
QS:Ali Imran | Ayat: 37
QS:Ali Imran | Ayat: 37
Orang-orang musyrik menyampaikan berita
kepada Khubaib tentang kematian dan penderitaan yang dialami oleh rekan
sekaligus saudaranya, Zaid. Mereka mengira dengan hal itu dapat merusak
pendiriannya, membayangkan dan merasakan derita akibat penyiksaan yang membawa
kematian rekannya itu. Tetapi, mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah
merangkulnya dengan menurunkan ketenangan dan kasih sayang-Nya.
Mereka terus menguji keimanannya dan
membujuk dengan janji akan dibebaskan seandainya ia mau mengingkari Muhammad
dan sebelum itu, ia harus ingkar terhadap Tuhan yang telah diimaninya. Namun,
upaya mereka bagaikan hendak menjatuhkan matahari dengan memanahnya. Benar,
keimanan Khubaib bagaikan matahari, baik dari sisi kekuatan, jarak, maupun sisi
panas dan sinarnya. Ia akan memancarkan sinar bagi orang-orang yang ingin
mendapatkan sinarnya dan akan memberikan kehangatan bagi orang yang ingin
mendapatkan kehangatan darinya. Adapun orang yang menghampiri untuk
memusuhinya, ia akan terbakar dan hangus.
Ketika mereka merasa putus asa dari apa
yang mereka harapkan, akhirnya mereka menggiring pahlawan ini ke tempat
kematiannya. Mereka membawanya ke Tan’im, dan di sanalah ia menemui ajalnya.
Sebelum mereka melaksanakan eksekusi
terhadap dirinya, Khubaib meminta izin kepada mereka untuk shalat dua rakaat.
Mereka mengizinkannya karena menyangka bahwa diri Khubaib sedang berlangsung
tawar menawar untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah,
Rasul, dan agama-Nya. Khubaib menunaikan shalat dua rakaat dengan khusyuk,
denang, dan hati yang pasrah. Manisnya iman mengalir deras ke dalam jiwanya,
sehingga ia sangat berkeinginan bila tetap dalam keadaan shalat. Tetapi,
kemudian ia berpaling ke arah algojonya, lalu berkata kepada mereka, “Demi
Allah, kalau bukan karena nanti kalian menyangka bahwa aku takut mati, niscaya
akan kulanjutkan lagi shalatku.”
Kemudian ia mengangkat kedua lengannya ke
arah langit, lalu berdoa, “Ya Allah, hitunglah jumlah mereka
semua dan binasakanlah mereka satu per satu.”
Kemudian Khubaib menatap tajam wajah-wajah mereka, dengan keteguhan tekad lalu
melantunkan syair:
Aku tidak peduli selama aku dibunuh
sebagai seorang Muslim
Mati seperti apa pun, kematianku itu di jalan Allah
Karena tempat kembaliku kepada Allah
Jika Dia berkehendak, Dia akan memberkahi setiap potongan organ tubuhku
yang dipoton-potong
Mungkin inilah peristiwa pertama dalam sejarah bangsa Arab, di mana
mereka menyalib seorang lelaki, kemudian membunuhnya di atas salib. Mereka
telah menyiapkan beberapa batang pohon kurma untuk membuat sebuah salib besar,
lalu menyandarkan dan mengikat kuat Khubaib di atasnya. Orang-orang musyrik itu
benar-benar dalam kebuasan yang nyata, para pemanah melepaskan anak panah
mereka. Kekejaman yang di luar batas ini sengaja dilakukan secara
perlahan-lahan terhadap pahlawan yang disalin itu. Tetapi, Khubaib tidak
memejamkan matanya, dan wajahnya senantiasa memancarkan ketenangan yang
menakjubkan. Tubuhnya kini dipenuhi oleh tancapan anak panah dan sobekan pedang.
Saat itulah salah seorang pemimpin Quraish mendekatinya sambil berkata,
“Apakah engkau merasa senang bila Muhammad
menggantikanmu, sedangkan engkau dalam keadaan segar bugar bersama keluargamu?”
Mendengar itu, hati Khubaib bergejolak dan bagai badai ia berteriak
kepada para pembunuhnya, “Demi Allah, aku tidak akan pernah rela
tinggal bersama anak dan istriku dan menikmati kesenangan dunia, sedangkan
Rasulullah menderita walau hanya tertusuk duri!”
Kata-kata agung itu rupanya juga diucapkan oleh teman seperjuangannya,
Zaid bin Ad-Datsinnah saat mereka hendak membunuhnya. Kata-kata memesona yang
telah diucapkan oleh Zaid kemarin, dan sekarang diulangi oleh Khubaib itu,
telah menyebabkan Abu Sufyan, yang waktu itu belum masuk Islam, menepuk kedua
tangannya sambil mengatakan, “Demi Allah, aku belum pernah melihat
seorang pun mencintai orang lain seperti shahabat-shahabat Muhammad mencintai
Muhammad.”
Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba yang memberikan izin bagi setiap
anak panah dan mata pedang untuk mencapai sasarannya di tubuh pahlawan ini,
yang menyakitinya dengan segala kekejaman dan kebuasan. Di dekat tempat
kejadian itu, burung-burung bangkai dan burung-burung buas lainnya beterbangan,
seolah-olah menunggu selesainya prosesi pembunuhan itu dan pada algojonya
meninggalkan tempat itu, lalu mereka mendekat dan mengerubungi tubuh yang sudah
menjadi mayat itu sebagai santapan istimewa.
Tiba-tiba burung-burung tersebut berbunyi bersahut-sahutan seolah-olah
saling memanggil, lalu mereka berkumpul dan saling mendekatkan paruhnya
seakan-akan sedang berbisik dan saling bertukar kata. Tiba-tiba mereka
beterbangan dan membelah angkasa, dan pergi menjauh. Dengan perasaan dan
naluri, burung-burung itu seolah-olah mencium bau harum dari seorang lelaki
saleh dan selalu mendekatkan diri kepada Allah keluar dari tubuh yang tersalib
itu, sehingga mereka segan untuk menghampiri dan menyakitinya. Burung-burung
itu akhirnya terbang melintasi angkasa dan menahan diri dari kerakusannya.
Orang-orang musyrik kembali ke sarang kedengkian di Mekkah, setelah
melakukan tindakan melampaui batas dan permusuhan. Dan kini tinggallah tubuh
yang syahid itu dijaga oleh sejumlah orang Quraish yang bersenjata tombak dan
pedang.
Pada waktu orang-orang Quraish meletakkan Khubaib di atas pohon kurma
yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka mengikatnya, Khubaib telah
menghadapkan mukanya ke langit sambil berdoa kepada Allah Yang Maha Agung, “Ya
Allah, kami telah menyampaikan risalah dari Rasul-Mu, karena itu esok hari
sampaikanlah kepada beliau tindakan orang-orang itu terhadap kami.”
Allah mengabulkan doanya. Ketika Rasulullah sedang berada di Madinah,
tiba-tiba beliau diliputi rasa penasaran yang kuat bahwa para shahabat beliau
dalam musibah, dan terbayang oleh beliau tubuh salah seorang dari mereka sedang
tergantung. Karena itu beliau segera memanggil Miqdad bin Amr dan Az-Zubair bin
Al-Awwam agar mereka berdua cepat-cepat menunggang kuda mereka dan memacunya
dengan kencang untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Dengan petunjuk Allah mereka sampai ke tempat yang dimaksud. Mereka
menurunkan jasad shahabat mereka, Khubaib bin Adi, sementara tempat suci di
bumi telah menunggunya untuk memeluk dan menutupinya dengan debu-debunya yang
lembut. Hingga kini, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana makam
Khubaib. Mungkin itu lebih pantas dan utama untuknya, sehingga ia senantiasa
menjadi kenangan dalam hati nurani kehidupan, sebagai seorang pahlawan yang
gugur syahid di atas kayu salib.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar