Kamis, 19 Desember 2013

Kepergian Rasulullah ke Syam.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
     At-Tirmidzi melalui sanadnya yang sampai kepada Abu Musa Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Abu Musa menuturkan, “Syahdan, Abu Thalib membawa Muhammad de Syam bersama kafilah dagang Quraish. Ketika hampir mencapai kediaman pendeta (Buhaira), mereka berhenti dan menurunkan barang-barang bawaan mereka. Lalu pendeta itu menghampiri mereka. Padahal sebelum itu, setiap kali mereka melewati pendeta itu, ia tidak pernah keluar dan memperhatikan mereka.

     Abu Musa melanjutkan, “Pendeta itu menghampiri mereka yang sibuk menurunkan barang bawaan. Ia langsung menerobos ke tengah kerumunan dan memegang tangan Muhammad seraya berkata, ‘Anak ini adalah pemimpin alam semesta. Allah akan mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh alam.’

     Maka bertanyalah beberapa pemuka Quraish kepadanya, ‘Dari mana engkau mengetahui hal ini?’

     Pendeta itu menjawab, ‘Sesungguhnya ketika kalian berjalan dari Aqabah, tidak ada satu pohon dan bebatuan pun yang tidak bersujud. Mereka tidak akan bersujud kecuali kepada nabi. Sedangkan aku mengetahuinya dari stempel nubuat yang ada di bawah tulang rawan bahunya.’

     Kemudian pendeta itu pun pulang dan membuatkan hidangan untuk mereka. Sebentar kemudian, ketika ia datang lagi untuk mengantarkan makanan, Muhammad tengah menggembalakan unta. Pendeta itu berkata, ‘Kirimkan makanan ini kepadanya!’

     Muhammad pun berjalan mendekat, sementara segumpal awan terlihat menaunginya. Ketika ia hampir mencapai tempat di mana kafilahnya berada, pendeta itu berkata, ‘Lihat, di atasnya ada segumpal awan.’

     Disebutkan juga, ketika hampir mendekati mereka, Muhammad mendapati mereka telah lebih dulu berteduh di bawah bayangan pohon. Namun, ketika ia duduk, bayangan pohon tersebut condong ke arahnya untuk menaunginya. Sang pendeta berkata lagi, ‘Lihatlah, bayangan pohon itu condong kepadanya’.

     Abu Musa mengatakan, “Pendeta itu berdiri di depan mereka seraya mengingatkan agar jangan sampai mereka membawa Muhammad ke Romawi. Sebab, kata pendeta itu, bila orang-orang Romawi melihatnya, niscaya akan ketahuanlah tanda-tanda nubuat yang ada padanya sehingga mereka akan membunuhnya. Baru saja pendeta itu akan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba tujuh orang Romawi datang mendekati mereka. Ia pun berkata, ‘Sambutlah mereka!’

     Lalu ia bertanya kepada orang-orang Romawi itu, ‘Apa maksud kedatangan kalian ke sini?’

     Mereka menjawab, ‘Kami datang ke sini karena sang nabi muncul pada bulan ini. Maka tidak ada jalan lagi bagi kami selain mengutus orang-orang untuk mencarinya, dan kami diberitahu agar menuju jalan ini.’

     Pendeta tadi bertanya lagi, ‘Apakah di belakang kalian ada seseorang yang lebih baik daripada kalian?’

     Mereka menjawab, ‘Tidak ada, hanya kami saja yang pergi ke  arah ini.’

     Si pendeta kembali bertanya, ‘Pernahkah kalian menyaksikan suatu perkara yang telah dikehendaki Allah bisa dibatalkan oleh manusia?’

     Mereka menjawab, ‘Tidak.’

     Maka pendeta itu berkata, ‘Kalau demikian, berbai’atlah kalian kepadanya!’

     Disebutkan bahwa pendeta itu juga bertanya, “Siapakah wali anak ini?

     Kaum Quraish menjawab, “Abu Thalib.

     Sang pendeta menasihati Abu Thalib agar membawa Muhammad kembali ke Mekkah. Maka Abu Thalib mengirim Muhammad kembali ke Mekkah dan Abu Bakar menyuruh Bilal untuk menemaninya. Sedangkan pendeta tadi membekali Muhammad dengan kue dan minyak samin.

     Para ulama hadits berbeda pendapat tentang keshahihan hadits di atas. At-Tirmidzi menilai hadits ini sebagai hadits hasan, sedangkan Al-Hakim, Sl-Albani, Arjun, Syu’aib, Abdul Qadir Al-Arnauth, dan Ibnu Hajar mengategorikannya sebagai hadits shahih. Ibnu Hajar berkata, “Para perawi hadits ini memiliki tingkatan tsiqah. Tidak ada yang meragukan dari riwayat ini selain penyebutan nama Abu Bakar dan Bilal. Namun begitu, ada kemungkinan bahwa kalimat tersebut memiliki riwayat lain. Ia disisipkan oleh salah satu perawinya karena mengiranya merupakan bagian dari hadits ini.

     Sementara itu, Ibnu Qayyim berpendapat, “Penyebutan kedua nama ini merupakan kesalahan yang fatal.” Demikian pula dengan Adz-Dzahabi. Ia tidak menerima keshahihan riwayat tersebut. Katanya, “Hadits ini termasuk hadits sangat ditolak. Pasalnya, bagaimana mungkin dalam riwayat tersebut Abu Bakar tiba-tiba muncul sebagai salah satu tokohnya, sedangkan umurnya saat itu baru 10 tahun? (Abu Bakar 2,5 tahun lebih muda dari Rasulullah). Lalu, bagaimana ceritanya sehingga Bilal saat itu telah bersama Abu Bakar, sedangkan Abu Bakar membeli Bilal setelah Rasulullah diutus menjadi nabi? Bahkan bukankah waktu itu Bilal belum lahir?

     Kejanggalan lain di riwayat ini adalah ketika disebutkan condongnya bayangan pohon ke arahnya. Bila di atas kepala Rasulullah telah ada awan yang menaunginya, bagaimana mungkin bayangan pohon tersebut bisa terlihat? Pada sisi lain, kita juga sama sekali belum pernah mendengar Rasulullah menyebut kata “rahib” (pendeta) setiap kali mengingat atau bercerita tentang Abu Thalib. Demikian pula halnya dengan kaum Quraish dan para pemukanya, kendati cerita-cerita itu sangat banyak di antara mereka. Artinya, kalau memang Abu Thalib pernah bertemu dengan pendeta tersebut, cerita itu pasti akan sangat mahsyur di kalangan mereka. Selain itu, ia pasti juga akan memiliki rasa percaya terhadap nubuat itu sejak awal. Namun, mengapa ia justru mengingkari datangnya wahyu yang pertama kali di gua Hira? Selain itu, apabila Abu Thalib memang mengkhawatirkan keselamatan Muhammad setelah mendengarkan kabar tentang nubuatnya dari pendeta tadi, mengapa ia mengizinkan Muhammad pergi ke Syam untuk menjalankan dagangan Khadijah? Singkatnya, di dalam hadits tersebut terdapat kalimat-kalimat yang patut untuk diingkari.” Namun, Ibnu A’idzh juga meriwayatkan hadits tersebut di kitab Mghazi-nya tanpa menyabutkan kalimat, “…dan Abu Bakar meminta Bilal untuk menemaninya.

     Ibnu Katsir mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat beberapa kejanggalan. Namun, hadits ini termasuk hadits yang terputus sanadnya di tingkat shahabat saja. Yakni karena Abu Musa Al-Asy’ari baru bertemu Rasulullah pada Perang Khaibar, atau pada tahun ke-7 H. jadi, bagaimanapun, hadits ini tetap terputus sanadnya. Selain itu, perlu diketahui bahwa awan yang menaungi Rasulullah ini tidak pernah disebutkan di dalam hadits-hadits yang lebih shahih daripada itu…” Ibnu Katsir juga menyanggah penyebutan Abu Bakar dan Bilal di dalam riwayat tersebut sebagaimana sanggahan Adz-Dzahabi.

     Ibnu Sayyidinnas berkata, “Di dalam hadits ini terdapat hal yang janggal.” Adapun Adz-Dzahabi, dalam ikhtisar kitab Al-Mustadrak-nya mengatakan, “Saya kira hadits ini palsu. Bahkan, sebagian dari hadits tersebut tidak benar.

     Syaikh Abdurrahman Al-Wakil, dalam komentarnya terhadap kitab Ar-Raudh Al-Anf, juga sempat mempertanyakan kebenaran dari penyebutan Abu Bakar dan Bilal di dalam hadits tersebut.

     Adapun penulis dalam hal ini lebih cenderung untuk berpegang pada pendapat ulama hadits yang menerima hadits ini dan tidak menolaknya. Yaitu seperti At-Tirmidzh, Al-Hakim, Ibnu Sayyidinnas, Al-Jaza’iri, Ibnu Katsir, Al-Asqalani, As-Suyuthi, Ibnu Hajar, Al-Albani, dan beberapa lainnya. Alasan penulis, dalam hal ini kita dapat menyelaraskan jawaban dari seluruh penolakan terhadap hadits ini. Bila pokok persoalan dari penolakan hadits ini disebabkan adanya penyebutan nama Abu Bakar dan Bilal di dalamnya, bisa dimungkinkan bahwa penyebutan nama itu bukan berasal dari mantan hadits itu sendiri, melainkan milik riwayat lain yang dimasukkan oleh salah satu perawinya, yang mengira kalimat tersebut adalah bagian dari hadits ini.

     Terbukti, Ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini dengan isi yang dipakai oleh At-Tirmidzi, tetapi di dalamnya tidak ada penyebutan nama Abu Bakar dan Bilal. Memang, periwayatannya tanpa isnad (penyandaran ke sumber-sumber sebelumnya), sebagaimana berlaku dalam periwayatannya yang lain. Bahkan, hampir seluruh hadits yang diriwayatkannya tidak ada yang menyebutkan sanad (jalur penerimaan hadits).

     Alasan keberatan Ibnu Katsir menerima riwayat ini adalah karena riwayat ini bersumber dari Abu Musa Al-Asy’ari, shahabat yang baru berjumpa dengan Rasulullah setelah penaklukan Khaibar. Ibnu Katsir sendiri telah memberikan jawaban dan ulasan yang intinya bisa menerima riwayat ini, meskipun mengategorikannya sebagai hadits mursal. Selain itu, ada riwayat senada yang diriwayatkan oleh Razin dan Ali bin Abu Thalib dari ayahnya. Mengenai riwayat Razin ini, Ibnu Al-Atsir berkomentar, “Sesungguhnya antara hadits yang diriwayatkan oleh Razin dari Ali bin Abu Thalib, dan yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Musa Al-Asy’ari tidak jauh berbeda. Bahkan dengan adanya fakta ini, ke-MURSAL-an riwayat ini dimungkinkan tidak berlaku lagi.” Lebih dari itu, perlu digarisbawahi pula bahwa hadits-hadits yang mursal di tingkatan para shahabat pun banyak yang digunakan sebagai dalil oleh sebagian besar ulama.

     Sementara itu, Umawi menceritakan bahwa Rasulullah pernah melakukan perjalanan dagang bersama paman beliau, Zubair, ke Yaman. Waktu itu beliau berumur sebelas tahun. Mereka menyebutkan bahwa dalam perjalanan itu mereka melihat beberapa tanda kenabian pada diri Rasulullah. Di antaranya adalah ketika seekor unta jantan liar tiba-tiba menghadang jalan mereka. Begitu melihat Rasulullah, unta tersebut merunduk dan mendekam ke tanah, lalu Rasulullah pun menungganginya. Mereka juga sempat dihadangi oleh sebuah banjir besar, tetapi Allah cepat mengeringkan air banjir itu hingga mereka bisa melintasi lembah dengan selamat.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf