بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Abu Musa melanjutkan, “Pendeta
itu menghampiri mereka yang sibuk menurunkan barang bawaan. Ia langsung
menerobos ke tengah kerumunan dan memegang tangan Muhammad seraya berkata,
‘Anak ini adalah pemimpin alam semesta. Allah akan mengutusnya sebagai rahmat
bagi seluruh alam.’
Maka bertanyalah beberapa pemuka Quraish kepadanya, ‘Dari mana engkau
mengetahui hal ini?’
Pendeta itu menjawab, ‘Sesungguhnya ketika kalian berjalan dari Aqabah,
tidak ada satu pohon dan bebatuan pun yang tidak bersujud. Mereka tidak akan
bersujud kecuali kepada nabi. Sedangkan aku mengetahuinya dari stempel nubuat
yang ada di bawah tulang rawan bahunya.’
Kemudian pendeta itu pun pulang dan membuatkan hidangan untuk mereka.
Sebentar kemudian, ketika ia datang lagi untuk mengantarkan makanan, Muhammad
tengah menggembalakan unta. Pendeta itu berkata, ‘Kirimkan makanan ini
kepadanya!’
Muhammad pun berjalan mendekat, sementara segumpal awan terlihat menaunginya.
Ketika ia hampir mencapai tempat di mana kafilahnya berada, pendeta itu
berkata, ‘Lihat, di atasnya ada segumpal awan.’
Disebutkan juga, ketika hampir mendekati mereka, Muhammad mendapati
mereka telah lebih dulu berteduh di bawah bayangan pohon. Namun, ketika ia
duduk, bayangan pohon tersebut condong ke arahnya untuk menaunginya. Sang
pendeta berkata lagi, ‘Lihatlah, bayangan pohon itu condong kepadanya’.”
Abu Musa mengatakan, “Pendeta
itu berdiri di depan mereka seraya mengingatkan agar jangan sampai mereka
membawa Muhammad ke Romawi. Sebab, kata pendeta itu, bila orang-orang Romawi
melihatnya, niscaya akan ketahuanlah tanda-tanda nubuat yang ada padanya
sehingga mereka akan membunuhnya. Baru saja pendeta itu akan beranjak dari
tempatnya, tiba-tiba tujuh orang Romawi datang mendekati mereka. Ia pun
berkata, ‘Sambutlah mereka!’
Lalu ia bertanya kepada orang-orang Romawi itu, ‘Apa maksud kedatangan
kalian ke sini?’
Mereka menjawab, ‘Kami datang ke sini karena sang nabi muncul pada bulan
ini. Maka tidak ada jalan lagi bagi kami selain mengutus orang-orang untuk
mencarinya, dan kami diberitahu agar menuju jalan ini.’
Pendeta tadi bertanya lagi, ‘Apakah di belakang kalian ada seseorang
yang lebih baik daripada kalian?’
Mereka menjawab, ‘Tidak ada, hanya kami saja yang pergi ke arah ini.’
Si pendeta kembali bertanya, ‘Pernahkah kalian menyaksikan suatu perkara
yang telah dikehendaki Allah bisa dibatalkan oleh manusia?’
Mereka menjawab, ‘Tidak.’
Maka pendeta itu berkata, ‘Kalau demikian, berbai’atlah kalian
kepadanya!’”
Disebutkan bahwa pendeta itu juga
bertanya, “Siapakah wali anak ini?”
Kaum Quraish menjawab, “Abu
Thalib.”
Sang pendeta menasihati Abu Thalib agar
membawa Muhammad kembali ke Mekkah. Maka Abu Thalib mengirim Muhammad kembali
ke Mekkah dan Abu Bakar menyuruh Bilal untuk menemaninya. Sedangkan pendeta
tadi membekali Muhammad dengan kue dan minyak samin.
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang
keshahihan hadits di atas. At-Tirmidzi menilai hadits ini sebagai hadits hasan,
sedangkan Al-Hakim, Sl-Albani, Arjun, Syu’aib, Abdul Qadir Al-Arnauth, dan Ibnu
Hajar mengategorikannya sebagai hadits shahih. Ibnu Hajar berkata, “Para
perawi hadits ini memiliki tingkatan tsiqah. Tidak ada yang meragukan dari
riwayat ini selain penyebutan nama Abu Bakar dan Bilal. Namun begitu, ada
kemungkinan bahwa kalimat tersebut memiliki riwayat lain. Ia disisipkan oleh
salah satu perawinya karena mengiranya merupakan bagian dari hadits ini.”
Sementara itu, Ibnu Qayyim berpendapat, “Penyebutan
kedua nama ini merupakan kesalahan yang fatal.” Demikian pula dengan Adz-Dzahabi. Ia tidak
menerima keshahihan riwayat tersebut. Katanya, “Hadits ini
termasuk hadits sangat ditolak. Pasalnya, bagaimana mungkin dalam riwayat
tersebut Abu Bakar tiba-tiba muncul sebagai salah satu tokohnya, sedangkan
umurnya saat itu baru 10 tahun? (Abu Bakar 2,5 tahun lebih muda dari
Rasulullah). Lalu, bagaimana ceritanya sehingga Bilal saat itu telah bersama
Abu Bakar, sedangkan Abu Bakar membeli Bilal setelah Rasulullah diutus menjadi
nabi? Bahkan bukankah waktu itu Bilal belum lahir?
Kejanggalan lain di riwayat ini adalah ketika disebutkan condongnya
bayangan pohon ke arahnya. Bila di atas kepala Rasulullah telah ada awan yang
menaunginya, bagaimana mungkin bayangan pohon tersebut bisa terlihat? Pada sisi
lain, kita juga sama sekali belum pernah mendengar Rasulullah menyebut kata
“rahib” (pendeta) setiap kali mengingat atau bercerita tentang Abu Thalib.
Demikian pula halnya dengan kaum Quraish dan para pemukanya, kendati
cerita-cerita itu sangat banyak di antara mereka. Artinya, kalau memang Abu
Thalib pernah bertemu dengan pendeta tersebut, cerita itu pasti akan sangat
mahsyur di kalangan mereka. Selain itu, ia pasti juga akan memiliki rasa
percaya terhadap nubuat itu sejak awal. Namun, mengapa ia justru mengingkari
datangnya wahyu yang pertama kali di gua Hira? Selain itu, apabila Abu Thalib
memang mengkhawatirkan keselamatan Muhammad setelah mendengarkan kabar tentang
nubuatnya dari pendeta tadi, mengapa ia mengizinkan Muhammad pergi ke Syam
untuk menjalankan dagangan Khadijah? Singkatnya, di dalam hadits tersebut
terdapat kalimat-kalimat yang patut untuk diingkari.” Namun, Ibnu A’idzh juga meriwayatkan hadits
tersebut di kitab Mghazi-nya tanpa menyabutkan kalimat, “…dan
Abu Bakar meminta Bilal untuk menemaninya.”
Ibnu Katsir mengatakan, “Di
dalam hadits ini terdapat beberapa kejanggalan. Namun, hadits ini termasuk
hadits yang terputus sanadnya di tingkat shahabat saja. Yakni karena Abu Musa
Al-Asy’ari baru bertemu Rasulullah pada Perang Khaibar, atau pada tahun ke-7 H.
jadi, bagaimanapun, hadits ini tetap terputus sanadnya. Selain itu, perlu
diketahui bahwa awan yang menaungi Rasulullah ini tidak pernah disebutkan di
dalam hadits-hadits yang lebih shahih daripada itu…” Ibnu Katsir juga menyanggah penyebutan Abu
Bakar dan Bilal di dalam riwayat tersebut sebagaimana sanggahan Adz-Dzahabi.
Ibnu Sayyidinnas berkata, “Di
dalam hadits ini terdapat hal yang janggal.”
Adapun Adz-Dzahabi, dalam ikhtisar kitab Al-Mustadrak-nya mengatakan, “Saya kira hadits ini palsu. Bahkan,
sebagian dari hadits tersebut tidak benar.”
Syaikh Abdurrahman Al-Wakil, dalam komentarnya terhadap kitab Ar-Raudh
Al-Anf, juga sempat mempertanyakan kebenaran
dari penyebutan Abu Bakar dan Bilal di dalam hadits tersebut.
Adapun penulis dalam hal ini lebih cenderung untuk berpegang pada
pendapat ulama hadits yang menerima hadits ini dan tidak menolaknya. Yaitu
seperti At-Tirmidzh, Al-Hakim, Ibnu Sayyidinnas, Al-Jaza’iri, Ibnu Katsir,
Al-Asqalani, As-Suyuthi, Ibnu Hajar, Al-Albani, dan beberapa lainnya. Alasan
penulis, dalam hal ini kita dapat menyelaraskan jawaban dari seluruh penolakan
terhadap hadits ini. Bila pokok persoalan dari penolakan hadits ini disebabkan
adanya penyebutan nama Abu Bakar dan Bilal di dalamnya, bisa dimungkinkan bahwa
penyebutan nama itu bukan berasal dari mantan hadits itu sendiri, melainkan
milik riwayat lain yang dimasukkan oleh salah satu perawinya, yang mengira
kalimat tersebut adalah bagian dari hadits ini.
Terbukti, Ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini dengan isi yang dipakai oleh
At-Tirmidzi, tetapi di dalamnya tidak ada penyebutan nama Abu Bakar dan Bilal.
Memang, periwayatannya tanpa isnad (penyandaran ke sumber-sumber sebelumnya),
sebagaimana berlaku dalam periwayatannya yang lain. Bahkan, hampir seluruh
hadits yang diriwayatkannya tidak ada yang menyebutkan sanad (jalur penerimaan
hadits).
Alasan keberatan Ibnu Katsir menerima riwayat ini adalah karena riwayat
ini bersumber dari Abu Musa Al-Asy’ari, shahabat yang baru berjumpa dengan
Rasulullah setelah penaklukan Khaibar. Ibnu Katsir sendiri telah memberikan
jawaban dan ulasan yang intinya bisa menerima riwayat ini, meskipun
mengategorikannya sebagai hadits mursal. Selain itu, ada riwayat senada yang
diriwayatkan oleh Razin dan Ali bin Abu Thalib dari ayahnya. Mengenai riwayat
Razin ini, Ibnu Al-Atsir berkomentar, “Sesungguhnya
antara hadits yang diriwayatkan oleh Razin dari Ali bin Abu Thalib, dan yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Musa Al-Asy’ari tidak jauh berbeda.
Bahkan dengan adanya fakta ini, ke-MURSAL-an riwayat ini dimungkinkan tidak
berlaku lagi.” Lebih dari itu, perlu digarisbawahi
pula bahwa hadits-hadits yang mursal di tingkatan para shahabat pun banyak yang
digunakan sebagai dalil oleh sebagian besar ulama.
Sementara itu, Umawi menceritakan bahwa Rasulullah pernah melakukan
perjalanan dagang bersama paman beliau, Zubair, ke Yaman. Waktu itu beliau
berumur sebelas tahun. Mereka menyebutkan bahwa dalam perjalanan itu mereka
melihat beberapa tanda kenabian pada diri Rasulullah. Di antaranya adalah
ketika seekor unta jantan liar tiba-tiba menghadang jalan mereka. Begitu
melihat Rasulullah, unta tersebut merunduk dan mendekam ke tanah, lalu
Rasulullah pun menungganginya. Mereka juga sempat dihadangi oleh sebuah banjir
besar, tetapi Allah cepat mengeringkan air banjir itu hingga mereka bisa
melintasi lembah dengan selamat.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar