بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Apakah kalian masih ingat kisah tentang
Sa’ad bin Amir? Dialah sosok yang zuhud, ahli ibadah, dan selalu dekat kepada
Allah. Dengan semua karakternya itu, Amirul Mukminin Umar menyatakan dirinya
layak menerima kepemimpinan di wilayah Syam. Kita telah membicarakan tentang
dirinya dan menyaksikan kezuhudan, keunggulan, dan semua sifat menakjubkan
lainnya.
Sekarang, pada halaman ini kita akan
bertemu dengan saudara atau bisa dikatakan saudara kembarnya, baik dalam
kewaraan, kezuhudan, keunggulan, maupun keagungan jiwa yang jarang ada
tandingannya. Dialah Umair bin Sa’ad. Kaum Muslimin memberinya gelar “tokoh
unik satu-satunya”. Memang
pantas bila gelar ini diberikan secara bulat oleh para shahabat Rasulullah yang
sama-sama mempunyai kelebihan, pemahaman, dan cahaya kebenaran.
Ayah Sa’ad yang merupakan seorang Qari’
turut serta dalam Perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya
bersama Rasulullah, dan setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui
Allah saat gugur syahid di Pertempuran Qadisiyah. Ia membawa anaknya ketika
datang menjumpai Rasulullah untuk membaiat dan masuk Islam.
Sejak Umair memeluk Islam, dan menjadi
ahli ibadah yang menetap dalam kedekatan dengan Allah, ia meninggalkan segala
kemewahan dan pergi bernaung ke bawah ketenangan naungan-Nya.
Anda akan kesulitan menemukannya di
barisan pertama, kecuali pada jamaah shalat, karena dalam persoalan ini, ia
selalu memburu dan bercokol di shaf pertama untuk mengejar pahala orang-orang
yang lebih dahulu kepada kebaikan. Atau, di medan jihad, karena dalam hal ini
ia selalu bergegas mengejar barisan terdepan. Ia selalu mendambakan gugur
syahid.
Selain dari dua itu, ia tekun memperbaiki
diri dengan mengembangkan amal kebaikan, kedermawanan, keutamaan, dan
ketakwaan. Ia sangat rajin ibadah yang selalu bermunajat kepada Rabbnya. Ia
seorang yang cepat menyadari kesalahan dan sering menangisi dosanya. Ia selalu
mencari jalan kembali kepada Allah dalam setiap perjalanan dan di setiap
pemukiman.
Allah telah menjadikan hati para shahabat
lainnya menaruh kasih sayang kepadanya, sehingga ia menjadi kesejukan bagi
pandangan dan kesayangan hati bagi mereka. Semua itu karena kekuatan iman,
kebersihan jiwa, ketenangan jalan hidup, kemuliaan akhlak, dan kecermelangan
penampilannya, yang memancarkan kegembiraan dan ketenangan bagi setiap orang
yang bergaul dengannya atau melihatnya. Tidak ada seorang pun atau sesuatu yang
lebih diutamakan olehnya kecuali agamanya.
Suatu hari, ia mendengarkan Jullas bin
Suwaid bin Ash-Shamit, yang merupakan kerabatnya, saat sedang berada dalam
rumahnya, megatakan, “Seandainya lelaki ini benar, kita ini
tentu lebih jelek dari keledai.”
Lelaki yang mereka meksud ialah Rasulullah. Jullas sendiri termasuk di antara
orang-orang yang memeluk Islam didorong oleh rasa takut pada waktu itu.
Ketika Umair bin Sa’ad mendengarkan
kata-kata itu, timbullah kemarahan dan kebingungan di dalam hatinya yang biasa
tenang dan tenteram itu. Kemarahan itu disebabkan oleh seorang yang telah
mengaku menganut Islam berani merendahkan Rasulullah dengan kata-kata yang keji
itu, sedangkan kebingungan itu timbul karena pikiriannya berjalan cepat oleh
perasaan tanggung jawabnya terhadap apa yang telah didengarnya dan tidak dapat
diterimanya.
Apakah ia akan menyampaikan apa yang telah
didengarnya itu kepada Rasulullah? Bagaiman caranya, padahal ia harus bersifat
jujur dalam menyampaikannya? Atau, apakah ia akan berdiam diri saja lalu
memendam semua yang didengarnya di dalam dada? Bagaimana dan di mana letak
loyalitas terhadap janji kepada Rasulullah yang telah membimbing mereka dari
kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan? Tetapi, kebingungannya
tidaklah berjalan lama karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar
dari persoalannya.
Umari langsung berubah menjadi seorang
lelaki perkasa dan orang beriman yang hanya takut kepada Rabbnya. Ia menatap
Jullas bin Suwaid, seraya berkata, “Demi Allah, wahai Jullas, engkau
adalah seorang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku,
dan yang paling kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan. Sungguh,
engkau telah melontarka sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan
sumbernya darimu, niscaya akan menyakitkan hatimu. Tetapi, andainya kubiarkan
saja kata-kata itu, tentu agamaku akan binasa padahal hak agama itu lebih utama
ditunaikan. Karena itu, aku akan menyampaikan apa yang kudengar darimu kepada
Rasulullah.”
Demikianlah, Umair benar-benar telah
memenuhi hatinya yang saleh. Pertama, ia menunaikan hak majelis sesuai dengan
amanah, dan dengan jiwanya yang besar membebaskan diri dari perann sebagai
orang yang hanya mendengarkan saja kata orang tanpa mengingatkan. Kedua, ia
telah menunaikan hak agamanya yaitu dengan menyingkap sifat kemunafikan yang
meragukan. Ketiga, ia telah member kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari
kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya, yakni ketika
secara terus terang mengatakan kepadanya, bahwa persoalan itu akan disampaikan
kepada Rasulullah. Seandainya ia mau bertaubat dan memohon ampun, hati Umair
akan lega karena tidak perlu lagi mengadukan kata-kata itu kepada Rasulullah.
Hanya saja, justru Jullas merasa mulia
dengan dosa yang ia lakukan dan kedua bibirnya tidak bergerak sama sekali untuk
menyatakan penyesalan atau meminta maaf. Akhirnya Umair meninggalkan mereka
sambil berkata, “Aku benar-benar akan menyampaikan
kata-katamu itu sebelum wahyu turun yang menyatakan diriku bersekutu denganmu
dalam dosamu.”
Setelah mendapat laporan dari Umair,
Rasulullah mengutus seseorang untuk mencari Jullas. Namun, setelah Jullas
dihadapkan, ia mengingkari kata-katanya, bahkan ia mengangkat sumpah palsu
atas nama Allah. Tetapi, ayat Al-Qur’an telah datang untuk memisahkan antara hak
dan yang batil:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ
مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ
وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا ۚ وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ ۚ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ ۖ وَإِنْ
يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ ۚ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya
mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah
Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak
mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah
lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab
mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali
tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.
QS:At-Taubah | Ayat: 74
QS:At-Taubah | Ayat: 74
Dengan turunnya ayat tersebut, Jullas
terpaksa mengakui kata-katanya, dan meminta ampun atas kesalahannya, apalagi ia
memperhatikan ayat yang mulia itu menyatakan kehinaan baginya. Namun, dalam
waktu yang sama juga, Allah menjanjikan rahmat, “Bila mereka
bertaubat, itulah yang lebih baik untuk mereka.”
Tindakan Umair tersebut ternyata menjadi
jalan perantara kebaikan dan keberkahan bagi Jullas, karena akhirnya ia bertaubat
dan setelah itu keislamannya menjadi lebih baik. Nabi memegang telinga Umair
dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian, “Hai
anak muda, telingamu telah menepati janji dan Rabbmu membenarkan tindakanmu.”
Penulis langsung merasa bahagia saat
pertama kali menemukan Umair ketika penulis sedang menulis buku mengenai Umar
bin Al-Khatthab. Kisahnya membuat penulis terpesona dan tertarik hingga
seolah-olah belum pernah ada sesuatu yang lebih menarik daripada itu. Kisah
inilah yang sekarang akan penulis tuturkan kepada kalian agar kalian dapat
menyaksikan keagungan pada puncaknya.
Kalian pasti tahu bahwa Amirul Mukminin
Umar selalu berhati-hati memilih gubernurnya, seolah-olah ia memilih
orang-orang yang sama kualitasnya dengan dirinya. Ia selalu memilih orang-orang
yang zuhud, wara’, terpercaya, dan jujur, yakni mereka yang tidak mengejar
pangkat atau kedudukan, bahkan tidak hendak menerima jabatan tersebut, kecuali
karena Amirul Mukminin memaksanya untuk menjabatnya.
Sekalipun pandangan Umar sangat tajam dan
pengalamannya luas, dalam memilih gubernur dan pembantu utamanya ini ia selalu
menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti. Umar
selalu mengulang-ulang ungkapannya yang mengesankan:
“Aku
menginginkan seorang lelaki yang bila ia berada dalam suatu kaum ia tampak
seperti seorang amir meskipun ia sebenarnya seorang rakyat biasa, dan bila ia
berada di antara mereka sebagai seorang amir, ia tampak seperti rakyat biasa.
Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari kebanyakan
manusia dalam soal pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Ia menegakkan shalat
di tengah-tengah mereka, membagi di antara mereka dengan benar (ketika sedang
membagi), memutuskan dengan adil di antara mereka, dan tidak pernah ia menutup
pintunya untuk menolak pengaduan mereka.”
Berdasarkan standar yang ketat tersebut,
suatu hari ia memilih Umair bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs (Suriah).
Umair berusaha menolak dan menghindar dari jabatan tersebut, tetapi sia-sia
karena Amirul Mukminin tetap mengharuskan dan memaksanya agar menerima.
Umair pun memohon petunjuk kepada Allah
dengan shalat istikharah, dan kemudian melaksanakan amanah yang dibebankan di
pundaknya. Namun, setelah masa jabatannya di Homs berjalan setahun, tidak ada
hasil pajak yang sampai ke Madinah. Bahkan, tidak ada sepucuk surat pun yang
datang kepada Amirul Mukminin darinya. Karena itu, Amirul Mukminin memanggil
penulisnya, dan mengatakan, “Tulislah surat kepada Umair agar ia
datang menjumpai kita.”
Nah, di sini penulis meninta izin kepada
pembaca untuk melaporkan gambaran pertemuan antara Umar dan Umair, sebagaimana
terdapat dalam buku penulis yang berjudul “Baina Yaday
Umar”, sebagai berikut:
Suatu hari jalan-jalan Madinah menyaksikan
seorang lelaki dengan rambut kusut dan tubuhnya berdebu. Ia diliputi kelelahan
karena berjalan jauh. Langkahnya seolah-olah terlepas dari tanah disebabkan
lamanya kepayahan dalam perjalanan, dan tenaganya yang sudah habis karena
terkuras. Di atas pundak kanannya terdapat ransel dan sebuah mangkuk, sedangkan
di pundak kirinya tergantung kantong kecil berisi air. Ia berjalan dengan
bantuan sebuah tongkat, yang tidak akan terasa berat bila dibawa oleh orang
yang kurus dan lemah.
Ia menghampiri majelis Umar dengan langkah
yang gontai, lalu mengucapkan, “Semoga keselamatan dilimpahkan
kepadamu, wahai Amirul Mukminin.”
Umar kemudian membalas salamnya kemudian
menanyainya. Hatinya sedih melihatnya dalam keadaan payah dan letih itu.
“Apa kabarmu
, wahai Umair?”
“Keadaanku
seperti yang engkau lihat sendiri. Bukankah engkau melihatku berbadan sehat dan
berdarah bersih, dan dunia di tanganku yang dapat kukendalikan semauku?”
“Apa yang
engkau bawa itu?”
“Aku membawa
ransel, mangkuk tempat aku makan, kantong kecil tempat air minum dan wudhu,
serta tongkat untuk menahan tubuh dan guna melawan musuh jika datang
menghadang. Demi Allah, dunia ini tidak lain hanyalah pengikut bagi bekal
kehidupanku.”
“Apakah
engkau datang dengan berjalan kaki?”
“Benar!”
“apa tidak
ada orang yang mau memberikan tunggangannya untuk engkau kendarai?”
“Mereka tidak
menawarkan dan aku tidak pula memintanya.”
“Apa yang engkau
lakukan mengenai tugas yang kami berikan kepadamu?”
“Aku
telah mendatangi negeri yang engkau titahkan itu. Orang-orang saleh di antara
penduduknya telah kukumpulkan. Aku mengangkat mereka sebagai pengurus
pemungutan pajak dan kekayaan Negara. Bila telah terkumpul, aku
mendistribusikan kembali kepada tempatnya yang wajar untuk kepentingan mereka.
Kalau ada kelebihan, tentu aku sudah mengirimkannya ke sini.”
“Kalau
begitu, engkau tidak membawa apa-apa untuk kami?”
“Tidak.”
Dengan perasaan takjub dan bahagia, Umar
menyatakan, “Tulislah perpanjangan masa jabatan
bagi Umair.”
Namun, Umair benar-benar tidak membutuhkan
jabatan itu dan menjawab, “Masa itu telah berlalu. Aku tidak
ingin menjadi pegawaimu lagi, atau pejabat sepeninggalmu.”
Cerita ini bukanlah scenario yang penulis
atur sendiri, dan bukan pula cerita yang dibuat-buat, melainkan benar-benar
peristiwa sejarah yang pada suatu masa pernah disaksikan oleh Bumi Madinah
selaku ibukota Islam, pada saat kejayaan dan kebesarannya. Kalau begitu,
termasuk tipe golongan manakah tokoh-tokoh utama dan luar biasa itu?
Umar selalu berharap dan mengatakan, “Aku
sangat menginginkan mempunyai beberapa orang lelaki seperti Umair yang akan
menjadi pegawaiku untuk melayani kaum Muslimin.” Hal itu karena Umair yang dilukiskan oleh para
shahabatnya dengan jalur itu merupakan tokoh unik yang tiada duanya.
Umair telah meningkat naik dan dapat
mengatasi kelemahan dirinya selaku manusia ketika berhadapan dengan materi dan
kehidupan kita yang penuh dengan duri ini. Ketika ia harus melaksanakan pemerintahan
dan kepemimpinan, kedudukannya yang tinggi itu hanya semakin menambah kewaraan
orang suci ini semakin berkembang dan cemerlang.
Ketika ia menjabat sebagai gubernur di
Homs, ia telah melukiskan tugas-tugas seorang kepala pemerintahan Islam dalam
untaian kata-kata yang selalu diutarakan-nya untuk menggembleng kaum Muslimin
dari atas mimbar. Kata-kata itu adalah:
“Ketahuilah
bahwa Islam mempunyai dinding yang kuat dan pintu yang kokoh. Dinding Islam itu
ialah keadilan, sedangkan pintunya itu ialah kebenaran. Apabila dinding itu
telah dirobohkan, dan pintunya tekah didobrak, Islam pun akan dikalahkan. Islam
akan senantiasa kuat selama pemerintahannya kuat. Kekuatan penguasa tidak
terletak pada pukulan pedang dan sabetan cambuk, melainkan terletak dalam
keputusan hukum yang benar dan penegakan keadilan.”
Sekarang, kita akan memberikan salam
perpisahan kepada Umair dengan penuh penghormatan dan kekhusyukan. Marilah kita
menundukkan kepala kita:
Untuk sebaik-beik guru, Nabi Muhammad
Untuk imam orang-orang yang bertakwa, Nabi Muhammad
Untuk pembawa rahmat Allah yang dilimpahkan kepada umat manusia
sepanjang hayatnya.
Semoga kesejahteraan dan keselamatan
dari-Nya dilimpahkan kepada beliau, serta penghormatan dan keberkahan dari-Nya.
Semoga keselamatan dilimpahkan kepada keluarga beliau yang suci.
Semoga keselamatan dilimpahkan kepada para shahabat beliau yang berbakti
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar