Jumat, 20 Desember 2013

Filled Under:

Zaid bin Tsabit (Pengumpul Al-Qur’an).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Bila anda membawa Al-Qur’an dengan tangan kanan dan menghadapkan wajah kepada-Nya dengan sepenuh hati, lalu anda menelusuri lembaran demi lembaran, surat demi surat atau ayat demi ayat, ketahuilah bahwa di antara orang yang telah berjasa besar terhadap anda, hingga anda dapat bersyukur dan mengenal karya besar ini, ialah seorang manusia utama yang bernama Zaid bin Tsabit. Semua peristiwa tentang pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf akan selalu menyebut seorang shahabat yang mulia ini.

     Seandainya diadakan penaburan bunga sebagai penghormatan dan kenang-kenangan terhadap mereka yang mendapatkan berkat karena telah mempersembahkan jasa yang tidak ternilai dalam menghimpun, menyusun, menertibkan, dan memelihara kesucian Al-Qur’an, hak Zaid bin Tsabit untuk menerima bunga-bunga penghormatan dan penghargaan itu tentu sangat besar.

     Ia adalah seorang Anshar yang berasal dari Madinah. Ketika Rasulullah hijrah ke Madihan, umurnya baru berusia 11 tahun. Anak kecil ini ikut masuk Islam bersama-sama keluarga yang lain yang juga masuk Islam. Ia mendapat berkah karena didoakan oleh Rasulullah. Orang tuanya membawa dirinya untuk ikut bersama-sama dalam Perang Badar, namun Rasulullah tidak membolehkan dirinya untuk ikut karena umur dan tubuhnya yang masih kecil.

     Pada Perang Uhud ia bersama teman-teman sebayanya menghadap lagi kepada Rasulullah dan memohon agar dapat diterima dalam barisan Mujahidin, bahkan para keluarga dari anak-anak ini pun mendukung sepenuhnya permintaan mereka sangat berharap dikabulkan. Rasulullah mengamati pasukan berkuda cilik itu dengan pandangan dengan penuh rasa syukur.

     Rasulullah sepertinya masih keberatan untuk merekrut mereka dalam perang kali ini. Namun, salah seorang di antara mereka yang bernama Radi’ bin Khudaij tampil di hadapan Rasulullah dengan membawa tombaknya, lalu memainkannya dengan gerakan yang lihai dan menakjubkan. Ia lalu berkata kepada Rasulullah, “Sebagaimana engkau lihat, aku adalah seorang pelempar tombak yang mahir, karena itu izinkanlah aku untuk ikut.

     Rasulullah mengucapkan selamat terhadap pahlawan muda yang sedang dalam masa pertumbuhan ini sambil memandanginya disertai senyuman, lalu mengizinkannya untuk berperang.

     Melihat itu, pembuluh darah rekan-rekannya pun mendidih. Anak remaja kedua yang bernama Samurah bin Jundub tampil ke depan dengan penuh kesopanan ia memperlihatkan kedua lengannya yang kuat dan kekar. Beberapa orang dari keluarganya mengatakan kepada Rasulullah, “Samurah mempu merobohkan orang berbadan tinggi sekalipun.

     Rasulullah menyambutnya dengan senyuman penuh kasih sayang dan mengizinkannya ikut berperang. Kedua remaja ini memang telah berumur 15 tahun, di samping pertumbuhan badan juga kuat.

     Masih tersisa enam remaja lain selain mereka berdua, di antaranya Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka terus saja berusaha dengan segala upaya agar diizinkan untuk ikut berperang, ada yang mengungkapkannya dengan memohon-mohon dengan penuh harapan, ada yang sampai menangis, dan ada juga yang menunjukkan otot-otot lengan mereka. Tetapi, usia mereka yang masih terlalu muda dan tulang tubuh mereka yang masih lemah, Rasulullah menjanjikan mereka untuk ikut di pertempuran mendatang.

     Zaid sendiri bersama rekan-rekannya memulai peran mereka sebagai Mujahidin di jalan Allah dalam Perang Khandaq, pada tahun V hijrah.

     Kepribadiannya sebagai seorang Muslim yang beriman terus tumbuh dengan cepat dan menakjubkan. Ia bukan hanya terampil sebagai pejuang, melainkan juga sebagai tokoh intelektual yang memiliki beragam keunggulan. Ia tidak henti-hentinya menghafal Al-Qur’an, menuliskan wahyu untuk Rasulullah, serta unggul dalam ilmu dan hikmah.

     Ketika Rasulullah mulai menyampaikan dakwahnya ke seluruh negeri di luar Madinah, dan mengirimkan surat kepada para raja dan kaisar dunia. Beliau mengutus Zaid mempelajari bahasa asing, dan ia pun berhasil menguasainya dalam waktu yang singkat.

     Demikianlah kepribadian Zaid bin Tsabit yang cemerlang, dan mendapatkan tempat yang mulia di tengah-tengah masyarakat Muslim. Ia menjadi orang yang dihargai dan dihormati oleh kaum Muslimin. Asy-Sya’bi mengatakan, “Zaid hendak pergi dengan berkendara, lalu Ibnu Abbas memegangkan tali kendali tunggangannya. Zaid berkata kepadanya, ‘Tidak perlu begitu, wahai putra paman Rasulullah.’ Ibnu Abbas langsung menyahut, ‘Tidak, beginilah seharusnya yang kami lakukan terhadap ulama kami’.

     Qabishah mengatakan, “Zaid di Madinah mengendalikan kepemimpinan dalam bidang peradilan, fatwa, qira’ah, dan faraidh (pembagian harta warisan).

     Tsabit bin Ubaid mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih humoris di rumahnya dan sosok yang lebih disegani di majelisnya selain Zaid.

     Ibnu Abbas menuturkan, “Tokoh-tokoh utama dari tokoh kalangan shahabat Muhammad mengakui bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang dalam ilmunya.

     Semua sifat tentang dirinya yang sering diungkapkan oleh para shahabat itu benar-benar menambah pengetahuan kita terhadap tokoh yang oleh takdir telah disediakan baginya tugas terpenting di antara semua tugas dalam sejarah Islam, yaitu tugas menghimpun Al-Qur’an.

     Sejak wahyu mulai diturunkan kepada Rasulullah agar beliau termasuk orang-orang yang memberikan peringatan, di mana proses Al-Qur’an dan dakwah selanjutnya itu diawali dengan ayat yang menakjubkan berikut ini:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 1

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 2

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 3

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
QS:Al-'Alaq | Ayat: 4

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
QS:Al-'Alaq | Ayat: 5

     Sejak permulaan itu, wahyu turun menyertai Rasulullah setiap beliau berpaling menghadapkan wajahnya ke hadirat Allah, sambil mengharapkan cahaya dan petunjuk-Nya. Wahyu itu diturunkan selama jangka waktu kerasulan, di mana sepanjang waktu itu beliau sibuk dengan suatu peperangan, dan berganti dengan peperangan yang lain. Beliau selama waktu itu mampu mengalahkan tipu daya dan permusuhan, yang terus datang silih berganti.

     Selama waktu itu beliau membangun dunia baru. Dunia baru dengan segala makna baru yang ada. Selama itu wahyu terus turun dan Rasulullah membacakan dan menyampaikannya. Dan di sana ada satu kelompok yang diberkahi yang mencurahkan segala perhatian terhadap Al-Qur’an sejak hari-hari pertama. Sebagian tampil menghafalkannya semampunya dan sebagian yang lain mempunyai keterampilan menulis, sehingga mereka menjaga ayat-ayat tersebut dengan tulisan-tulisan mereka.

     Dalam jangka waktu sekitar 21 tahun, Al-Qur’an turun ayat demi ayat, atau beberapa ayat disusul oleh beberapa ayat, sesuai dengan tuntutan keadaan dan sebab-sebabnya. Mereka yang ahli menghafal dan menuliskannya itu mendapatkan taufik yang besar dari Allah Ta’ala dalam melaksanakan tugas mereka.

     Al-Qur’an tidak turun dalam satu waktu atau secara keseluruhan sekaligus, karena ia bukanlah kitab yang dikarang atau artikel yang disusun. Al-Qur’an merupakan dalil dan pedoman bagi umat baru yang dibangun secara alami, satu bata demi datu bata, sari demi hari, hingga akidah, perasaan, pikiran, dan kemauannya terbentuk sesuai kehendak Ilahi. Ia tidak memaksakan secara membabi buta, tetapi menuntun umat ini sesuai dengan pengalaman atau tabiat manusiawi untuk menempuh jalan ketaatan yang sempurna menuruti kehendak tersebut. Karena itu, Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur sesuai keperluan yang terjadi dalam perjalanannya yang terus berkembang, situasi yang selalu berubah, dan krisis yang muncul.

     Seperti telah penulis sebutkan sebelumnya, banyak penghafal dan penulis untuk menghafal Al-Qur’an. Di antara pemimpin dalam urusan ini ialah Ali bin Abu Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan seorang yang mempunyai kepribadian mulia yang sedang kita bicarakan saat ini, yaitu Zaid bin Tsabit. Semoga Allah ridha kepada mereka semua.

     Setelah wahyu turun secara sempurna dan pada masa-masa akhir dari turunnya wahyu tersebut, Rasulullah membacakannya kepada kaum Muslimin secara tertib menurut urutan surat dan ayat-ayatnya. Setelah beliau wafat, kaum Muslimin segera disibukkan oleh peperangan menghadapi kaum murtad. Dalam Pertempuran Yamamah yang telah kita bicarakan sebelumnya, tepatnya saat kita membicarakan Khalid bin Al-Walid dan Zaid bin Al-Khatthab, banyak ahli baca dan ahli hafal Al-Qur’an yang gugur syahid.

     Meski api kemurtadan masih membara, Umar bergegas menghadap Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan dengan gigih memohon kepadanya agar mengumpulkan Al-Qur’an sebelum sisa qari’ dan huffazh itu gugur semua sebagai syuhada. Khalifah akhirnya meminta petunjuk kepada Rabbnya dengan shalat istikharah, lalu berunding kepada para shahabatnya. Kemudian ia memanggil Zaid bin Tsabit. Ia berkata kepadanya, “Kamu adalah seorang anak muda yang cerdas, kami tidak meragukan dirimu.” Abu Bakar lalu memintanya agar segera memulai pengumpulan Al-Qur’an yang mulia dengan meminta bantuan kepada para ahli yang berpengalaman dalam bidang ini.

     Zaid bangkit untuk menunaikan tugas di mana masa depan Islam sebagai agama bertolak dari tugas tersebut. Zaid mendapatkan ujian yang sangat besar dalam rangka menyukseskan tugas yang terberat dan terbesar itu. Ia mengerahkan segala cara untuk mengumpulkan ayat-ayat dan surat demi surat dari hafalan para huffazh dan dari tulisan. Dengan menimbang, membandingkan, dan memeriksa satu dengan lainnya, akhirnya ia dapat menghimpun Al-Qur’an yang tersusun dan teratur rapi.

     Amalnya ini dinilai bersih oleh aklamasi atau kesepakatan para shahabat. Semoga Allah meridhai mereka yang hidup semasa dengan Rasulullah dan selalu mendengarkan Al-Qur’an itu dari beliau selama tahun-tahun kerasulan, terutama kalangan ulama, para penghafal, dan penulis di antara mereka.

     Zaid melukiskan kesukaran besar yang harus dihadapi karena kesucian dan kemuliaan tugas tersebut, “Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, itu tentu lebih mudah kurasa bagiku daripada perintah mereka menghimpun Al-Qur’an.

     Memang benar, seandainya Zaid harus memikul satu atau beberapa gunung di atas pundaknya, itu pasti lebih ia sukai daripada bila ia melakukan kesalahan meskipun sangat kecil dalam menuliskan ayat atau menyusunnya menjadi satu surat. Semua kengerian terbayang dalam hati dan tanggung jawab agamanya bila seandainya ia melakukan kesalahan seperti itu, bagaimana pun juga kecilnya atau tanpa disengaja olehnya. Tetapi, taufik Allah mendampinginya, dan selain itu panji-Nya pun bersamanya, dalam firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
QS:Al-Hijr | Ayat: 9
Zaid sukses melaksanakan tugas penting itu, dan telah menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawab sebaik-baiknya.

     Ini merupakan tahap pertama pengumpulan Al-Qur’an. Namun, penghimpunan kali ini masih tertulis dalam banyak mushaf. Meskipun perbedaan tanda baca memang terjadi antara satu mushaf dan mushaf lainnya, pengalaman meyakinkan para shahabat Rasulullah mengharuskan penyatuan semua itu dalam satu mushaf saja.

     Pada masa Khalifah Utsman, kaum Muslimin terus-menerus melanjutkan perjuangannya dalam membebaskan manusia dari penindasan penguasa di negeri-negeri lain, meninggalkan Madinah dan merantau ke pelosok-pelosok yang jauh. Saat setiap harinya orang berbondong-bondong masuk Islam dan berjanji setia kepadanya. Ketika itulah tampakjelas hal-hal yang berbahaya yang diakibatkan oleh perbedaan beberapa mushaf, yakni timbulnya perbedaan bacaan terhadap Al-Qur’an, sampai-sampai di kalangan para shahabat generasi awal dan angkatan pertama. Oleh karena itu, segolongan shahabat yang dikepalai oleh Hudzaifah bin Al-Yaman tampil menghadap Utsman, dan menjelaskan keperluan yang mendesak itu untuk menyatukan mushaf.

     Khalifah akhirnya melakukan shalat istikharah kepada Rabbnya, lalu berunding dengan shahabat-shahabatnya. Sebagaimana dulu Abu Bakar meminta tenaga Zaid bin Tsabit, sekarang Utsman pun meminta bantuan tenaganya. Maka Zaid mengumpulkan para shahabat dan orang yang dapat membantunya. Mereka mengambil beberapa mushaf dari rumah Hafshah binti Umar yang selama ini dipelihara dengan baik di sana. Mulailah Zaid dan para shahabatnya melaksanakan tugas tersebut.

     Semua pihak yang membantu Zaid adalah penulis-penulis wahyu dan penghafal Al-Qur’an. Namun, bila terdapat perbedaan dan ternyata sedikit sekali terdapat perbedaan itu, mereka selalu berpegang kepada petunjuk dan pendapat Zaid, dan menjadikannya sebagai alasan kuat dan keputusan terakhir.

     Sekarang, kita dapat membaca Al-Qur’an yang mulia tersebut dengan mudah atau mendengarnya dari bacaan orang dengan merdu. Namun, sayang, hampir bisa dipastikan tidak pernah terbayang dalam pikiran kita tentang kesukaran-kesukaran hebat yang dialami oleh orang-orang yang telah ditentukan Allah untuk menghimpun dan memeliharanya,


     Sejatinya, tidak ada bedanya kesukaran yang harus dialami oleh para pengumpul Al-Qur’an itu dengan dan nyawa-nyawa yang harus dikorbankan oleh mereka yang berjihad di jalan Allah. Keduanya adalah untuk mengukuhkan berdirinya agama yang benar di muka bumi ini dan melenyapkan kegelapan dengan cahaya yang benderang.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf