Selasa, 31 Desember 2013

Filled Under:

Sa’ad bin Mu’adz (Kebahagiaan Bagimu, Wahai Abu Amr).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ia masuk Islam pada usia 31 tahun dan dalam usia 37 tahun ia telah menemui kesyahidan. Sejak masuk Islam hingga wafat itu, Sa’ad bin Mu’adz telah mengisi waktunya dengan karya-karya gemilang dalam berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya.

     Perhatikanlah, apakah kalian melihat sosok lelaki yang anggun, tampan, berwibawa, berwajah ceria, berperawakan tinggi, dan kekar? Nah, itulah dia, Sa’ad bin Mu’adz.

     Bagai hendak melipat bumi, ia berlari menuju rumah As’ad bin Zurarah untuk melihat utusan dari mekkah yang bernama Mush’ab bin Umair yang dikirim oleh Rasulullah guna menyebarkan ajaran tauhid dan Islam. Pada awalnya, ia memang pergi ke sana dengan tujuan hendak mengusir orang asing itu ke luar perbatasan Madinah agar ia membawa kembali agamanya dan membiarkan penduduk Madinah dengan agama mereka. Namun, sekejap saja ia mendekat ke majelis Mush’ab di rumah anak bibinya, As’ad bin Zurarah, tiba-tiba dadanya telah menghirup udara segar yang meniupkan rasa nyaman. Saat ia belum sampai di tempat duduk orang-orang itu dan mengambil tempat duduknya di antara mereka, memasang telinga terhadap uraian-uraian dari Mush’ab, petunjuk Allah telah menerangi jiwanya.

     Dalam ketentuan takdir yang mengagumkan, memesona dan tidak terduga, pemimpin Anshar itu melemparkan lembingnya jauh-jauh, lalu mengulurkan tangan kanannya dan berbaiat kepada utusan Rasulullah. Dengan keislaman Sa’ad bin Mua’adz, matahari baru pun baru di Madinah. Matahari yang pada orbitnya nanti banyak hati akan mengikuti dan berserah, sambil memuji Allah Sang Pencipta.

     Sa’ad telah memeluk Islam dan memikul segala konsekuensi keislamannya dengan keberanian dan kebesaran. Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, rumah-rumah kediaman Bani Abdul Asyhal yang merupakan kabilah Sa’ad, pintunya terbuka lebar bagi kaum Muhajirin, dan semua harta kekayaan mereka pemanfaatannya diserahkan kepada kaum Muhajirin, dan mereka tidak menyebut-nyebut pemberian itu, tidak menyakiti, dan tidak memperhitungkan.

     Perang Badar telah tiba. Rasulullah mengumpulkan shahabat-shahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah bersama mereka tentang urusan perang itu. Beliau menghadapkan wajah beliau yang mulia ke arah orang-orang Anshar, lalu bersabda, “Kemukakanlah pendapat kalian, wahai manusia.

     Sa’ad bin Mu’adz bangkit dan berdiri bagaikan bendera yang dikibarkan. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu. Kami percaya dan mengakui apa yang engkau bawa adalah benar dan kami telah memberikan ikrar dan janji-janji kami. Laksanakanlah apa yang anda inginkan, wahai Rasulullah, dan kami akan selalu bersama anda. Demi Allah yang telah mengutus anda dengan membawa kebenaran, seandainya anda menghadapkan kami ke lautan lalu anda menceburkan diri ke dalamnya, kami pasti akan menceburkan diri dan tidak akan seorang pun yang akan tertinggal.

     Kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh besok pagi. Sungguh, kami telah tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan. Semoga Allah akan memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati. Karena itu, berangkatlah bersama kami dengan berkah Allah.

      Ungkapan Sa’ad itu muncul bagai berita gembira dan wajah Rasulullah pun bercahaya menandakan rasa ridha, bangga, serta bahagia. Selanjutnya, beliau berkata kepada kaum Muslimin secara keseluruhan, “Mari kita berangkat dan besarkanlah hati kalian karena Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara kedua golongan. Demi Allah, aku seperti melihat tempat kematian orang-orang itu.

     Pada Perang Uhud, tepatnya setelah kaum Muslimin kocar-kacir disebabkan serangan mendadak oleh tentara musyrikin, tidak akan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan posisi Sa’ad bin Mu’adz. Kedua kakinya seolah-olah dipakukannya ke bumi di dekat Rasulullah untuk mempertahankan dan membela beliau mati-matian, karena beliau memang harus dibela dan demikianlah seharusnya yang dilakukan terhadap beliau.

     Kemudian saat Perang Khandaq, keperwiraan dan kepahlawanan Sa’ad benar-benar terlihat nyata, menakjubkan, dan agung. Perang Khandaq merupakan bukti nyata persekongkolan yang licik dan menyakitkan, di mana kaum Muslimin diberu tanpa henti oleh permusuhan yang tidak mengenal keadilan maupun perjanjian.

     Bagaimana tidak, ketika Rasulullah bersama para shahabat hidup dengan sejahtera di Madinah dengan mengabdikan diri kepada Allah, saling menasihat agar menaati-Nya, serta mengharap agar orang-orang Quraish menghentikan serangan dan peperangan, tiba-tiba segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekkah lalu menghasut orang-orang Quraish untuk memburu Rasulullah. Mereka mengumbar janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraish bila terjadi peperangan dengan orang Islam nanti.

     Mereka secara nyata telah membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik itu dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat perang. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, mereka berhasil menghasut kabilah terbesar di antara kabilah Arab, yaitu kabilah Ghathafan dan mencapai persetujuan untuk bergabung dengan tentara Quraish.

     Siasat perang telah diatur. Tugas dan peran masing-masing telah dibagi-bagi. Quraish dan Ghathafan akan menyerang madinah dengan tentara besar, sedangkan orang-orang Yahudi akan melakukan penghancuran dari dalam kota dan sekelilingnya saat tiba waktunya kaum Muslimin mendapat serangan secara mendadak itu.

     Ketika Nabi mengetahui persekongkolan jahat tersebut, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan. Beliau memerintahkan para shahabat agar menggali parit di sekeliling Madinah untuk membendung serbuan musuh atas usulan dari Salman Al-Farisi. Di samping itu, beliau mengutus Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah agar menemui Ka’ab bin Asad, pemimpin Yahudi Bani Quraidzah, untuk mengetahui sikap mereka yang sesungguhnya terhadap musuh yang akan menyerang itu, walaupun antara mereka dan Nabi sesungguhnya sudah ada beberapa pesetujuan dan perjanjian damai. Kketika dua utusan itu bertemu dengan pemimpin Bani Quraidzah itu, mereka berdua terkejut karena orang yang bersangkutan menjawab, “Tidak ada persetujuan atau perjanjian apa pun atara kami dan Muhammad.

     Berat terasa di hati Rasulullah ketika penduduk madinah dihadapkan kepada pertempuran sengit dan pengepungan ketat itu. Karena itu, beliau memikirkan siasat untuk memisahkan suku Ghathafan dari Quraish, sehingga musuh yang akan menyerang dan kekuatan mereka akan tinggal separuh. Siasat itu beliau laksanakan dalam wujud perundingan dengan para pemimpin Ghathafan dan menawarkan agar mereka mundur dari peperangan dengan imbalan akan mendapat sepertiga dari hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Ghathafan dan tinggal mencatat persetujuan itu dalam lembar perjanjian.

     Ketika usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun karena menyadari bahwa semestinya beliau tidak memutuskan sendiri masalah tersebut. Beliau pun memanggil para shahabat untuk merundingkannya. Rasulullah memberikan perhatian khusus terhadap pemikiran Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, karena mereka berdua adalah tokoh masyarakat di Madinah, dan lebih berhak untuk membicarakan soal tersebut, sekaligus memilih langkah mana yang akan diambil.

     Rasulullah menceritakan kepada mereka berdua peristiwa perundingan yang berlangsung antara beliau dan para pemimpin Ghathafan. Beliau juga menyatakan bahwa langkah itu beliau ambil karena ingin menghindarkan Madinah dan penduduk madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.

     Kedua pemimpin itu mengajukan pertanyaan, “Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri atau wahyu yang dititahkan oleh Allah?

     Rasulullah menjawab, “Bukan, tetapi itu adalah pendapatku yang kurasa baik untuk kalian. Demi Allah, aku tidak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah kalian secara serentak dan mengepung kalian dari segala penjuru. Karena itu, aku ingin membatasi kejahatan mereka sekecil mungkin.

     Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai lelaki dan orang beriman mendapat ujian yang besar. Karena itulah ia berkata, “Wahai Rasulullah, dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala. Kami tidak mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mereka tidak pernah berharap akan bisa makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila posisi mereka sebagai tamu atau dengan cara jual beli.

     Sekarang, apakah setelah kami mendapatkan kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan oleh-Nya dengan engkau dan agama ini, kami harus menyerahkan harta kekayaan kami? Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang, hingga Allah menentukan putusan-Nya antara kami dan mereka.

     Seketika itu juga Rasulullah mengubah pendirian dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Ghathafan para shahabatnya menolak rencana perundingan dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada putusan para shahabatnya. Beberapa hari kemudian, Madinah mengalami pengepungan ketat.

     Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada pengepungan yang semestinya. Itu terjadi karena adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng perlindungan bagi Madinah. Kaum Muslimin telah mengenakan baju perang. Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil melantunkan syair:

     Berhentilah sejenak dan nantikan berkecamuknya perang

     Betapa indahnya kematian ketika ajal datang menjelang.

     Dalam salah satu perjalanan kelilingnya, lengannya terkena anak panah yang dilepaskan oleh seorang musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya. Ia segera dievakuasi dan dirawat darurat untuk menghentikan kucuran darah. Nabi menyuruh membawanya ke masjid dan agar didirikan tenda untuknya, sehingga bisa berada di dekatnya selama perawatan.

     Sa’ad, tokoh muda mereka itu, di bawa oleh kaum Muslimin ke tempatnya di masjid Rasulullah. Ia mengarahkan pandangannya ke langit, lalu berdoa, “Ya Allah, jika peperangan dengan Quraish masih ada yang Engkau sisakan, panjangkanlah usiaku untuk menghadapinya. Karena, tidak ada kaum yang lebih menarik hatiku untuk berjihad melawannya selain kaum yang telah menyakiti, mendustakan, dan mengusir utusan-Mu. Namun, bila engkau telah mengakhiri perang antara kami dan mereka, jadikanlah musibah yang telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui kesyahidan. Dan jangan Engkau matikan sebelum apa yang memuaskan hatiku terhadap Bani Quraidzah.

     Allah ada untukmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz. Siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian selain dirimu? Permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya menjadi penyebab yang mengantarnya ke pintu kesyahidan, karena sebulan setelah itu ia kembali kepada Allah akibat luka tersebut.

     Peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobati terhadap Bani Quraidzah. Kisahnya ialah setelah orang-orang Quraish merasa putus asa untuk dapat menyerbu Madinah dan dirasuki oleh perasaan takut, mereka semua mengemasi perlengkapan dan senjata, itu berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan pengkhianatan mereka terhadap Madinah bila mereka menghendaki suatu saat nanti. Ini merupakan perkara yang tidak dapat dibiarkan berlalu begitu saja. Karena itulah, beliau memerintahkan para shahabat agar menyatroni Bani Quraidzah. Mereka mengepung orang-orang Yahudi selama 25 hari. Ketika Bani Quraidzah merasa bahwa mereka tidak mungkin dapat melepaskan diri dari kaum Muslimin, mereka memilih menyerah dan mengajukan permohonan kepada Rasulullah yang mendapat jawaban bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz.

     Di masa Jahiliyah, Sa’ad adalah sekutu bani Quraidzah. Nabi mengirim beberapa shahabat untuk membawa Sa’ad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di masjid. Ia dinaikkan ke atas kendaraan, dengan kondisi badan yang terlihat lemah dan menderita sakit.

     Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai Sa’ad, berilah keputusanmu terhadap Bani Quraidzah.” Dalam pikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani Quraidzah yang berakhir dengan Perang Khandaq dan nyaris menghancurkan Madinah serta penduduknya. Sa’ad mengatakan, “Menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang bersama mereka harus dihukum mati, sedangkan kaum perempuan dan anak mereka diambil sebagai tawanan. Adapun harta kekayaan mereka dibagi-bagi.” Demikianlah, Sa’ad tidak meninggal sebelum hatinya terobati atas kejahatan Bani Quraidzah.

     Luka yang diderita Sa’ad setiap hari semakin bertambah parah. Suatu hari, Rasulullah datang menjenguknya. Ternyata beliau mendapatinya pada saat terakhir dari hidupnya. Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pengkuan, lalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu. Dia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Karena itu, terimalah rohnya dengan sebaik-baik cara Engkau menerima roh.

     Kata-kata yang dipanjatkan Nabi itu memberikan kesejukan dan perasaan tenteram kepada roh yang hendak pergi. Dengan susah payah Sa’ad mencoba membuka kedua matanya dengan harapan wajah Rasulullah adalah wajah yang terakhir yang dilihatnya saat terakhir hidu ini. Ia berkata, “Salam atasmu, wahai Rasulullah. Ketahuilah bahwa aku mengakui engkau adalah utusan Allah.

     Rasulullah memandangi wajah Sa’ad lalu bersabda, “Kebahagiaan bagimu, wahai Abu Amr.

     Abu Sa’id Al-Khudri mengisahkan, “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad. Setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat.


     Duka kaum muslimin atas kepergian Sa’ad terasa berat sekali. Tetapi, bela sungkawa mereka ini menjadi sebuah kemuliaan ketika mereka mendengar Rasulullah yang muli bersabda, “Singgasana Dzat Yang Maha Pengasih bergetar karena kematian Sa’ad bin Mu’adz.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf