بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Abu Al-Mundzir menjawab, “Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Nabi mengulangi pertayaannya, “Abu
Al-Mundzir, ayat manakah dari kitab Allah yang teragung?”
Abu Al-Mundzir menjawab:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).
QS:Al-Baqarah | Ayat: 255
Rasulullah pun menepuk dadanya, dan dengan
rasa bangga yang tercermin pada wajahnya, beliau bersabda, “Wahai
Abu Al-Mundzir, selamat atas ilmu yang engkau raih.”
Abu Al-Mundzir yang mendapatkan ucapan
selamat dari Rasulullah yang mulia atas ilmu dan pemahaman yang dikaruniakan
oleh Allah kepadanya, itu tiada lain adalah Ubai bin Ka’ab, seorang shahabat
yang mulia.
Ia adalah seorang warga Anshar dari suku
Khazraj, yang ikut mengambil bagian dalam Baiat Aqabah, Perang Badar, dan
pertempuran yang lainnya. Ia mencapai kedudukan tertinggi dan derajat mulia di
kalangan Muslimin angkatan pertama, hingga Amirul Mukminin Umar sendiri pernah
mengatakan tentang dirinya, “Ubai adalah pemimpin kaum Muslimin.”
Ubai bin Ka’ab merupakan salah seorang
perintis bagi para penulis wahyu dan surat menyurat. Pun demikian, dalam
menghafal, membaca dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia, ia termasuk
golongan terkemuka.
Suatu hari, Rasulullah mengatakan
kepadanya, “Wahai Ubain bin Ka’ab, aku
diperintahkan agar menyampaikan Al-Qur’an kepadamu.” Ubai tahu bahwa Rasulullah hanya menerima
perintah-perintah itu dari wahyu.
Karena itu, dengan perasaan yang tidak
karuan, ia menanyakan kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, ibu dan ayahku menjadi tebusanmu, apakah namaku disebutkan
kepadamu?”
Rasulullah menjawab, “Benar,
namamu dan turunanmu (disebutkan) di penduduk langit.”
Seorang Muslim yang mencapai kedudukan
seperti ini di hati Nabi tentunya seorang yang sangat agung. Selama tahun-tahun
kebersamaan, ketika Ubai bin Ka’ab selalu berdekatan dengan Nabi, ia senantiasa
meneguk air yang segar dan menghilangkan dahaga dari telaganya. Dan setelah
Rasulullah wafat, Ubai bin Ka’ab menepati janjinya dengan tekun dan setia, baik
dalam keteguhan beribadah, keteguhan beragama, maupun keluhuran budi.
Selain itu, ia selalu menjadi pengawas
bagi kaumnya. Ia senantiasa mengingatkan mereka tentang masa-masa Rasulullah
masih hidup, tentang keteguhan iman, kezuhudan, dan budi pekerti mereka. Salah
satu ucapannya yang mengagumkan dan selalu disampaikan kepada
shahabat-shahabatnya ialah, “Selama kita bersama rasulullah, tujuan
kita satu. Tetapi, setelah beliau wafat, tujuan kita bermacam-macam; ada yang
ke kiri dan ada yang ke kanan.”
Ia selalu berpegang kepada ketakwaan dan
menetapi kezuhudan terhadap dunia, sehingga tidak bisa terpengaruh dan
terpedaya. Itu terjadi karena ia selalu melihat hakikat sesuatu pada
kesudahannya. Sekalipun seseorang hidup dalam gelimang kenikmatan dan
kemewahan, ia pasti menemui maut. Segalanya akan berubah menjadi debu,
sedangkan di hadapannya tidak ada yang terlihat kecuali hasil perbuatannya yang
baik atau yang buruk. Mengenai dunia, ubai pernah melukiskannya sebagai
berikut, “sesungguhnya makanan anak keturunan Adam itu
dapat diambil sebagai perumpamaan bagi dunia. Mau dikatakan enak atau tidak,
yang penting menjadi apa nantinya?”
Bila Ubai berbicara di hadapan banyak
orang, semua leher akan menjulur ke atas dan telinga terpasang lebar-lebar,
karena terpukau dan terpikat. Ini terjadi karena tidak ada yang ditakutinya
selain Allah dan tidak pernah memiliki kepentingan duniawi dalam pembicaraannya
itu.
Tatkala wilayah Islam telah meluas, dan ia
melihat sebagian kaum Muslimin mulai menyelewengkan wilayah kekuasaannya dengan
cara yang tidak benar, ia melepaskan kata-kata peringatan, “Celakalah
mereka, demi Allah pemilik Ka’bah. Mareka celaka dan mencelakakan orang lain.
Aku sendiri tidak kasihan melihat nasib mereka, namun merasa kasihan terhadap
kaum Muslimin yang celaka karena ulah mereka.”
Karena kesalehan dan ketakwaan, Ubai
selalu menangis setiap teringat Allah dan hari akhir. Ayat-ayat Al-Qur’an, yang
ia baca sendiri atau mendengarkan bacaan orang lain, semuanya menggetarkan
seluruh badannya. Hanya saja, ada ayat di antara ayat-ayat yang mulia itu, yang
jika dibaca atau terdengar olehnya akan menyebabkannya diliputi oleh rasa duka
yang tidak dapat dilukiskan. Ayat itu ialah:
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ
عَلَىٰ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ
أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ ۗ
انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ
Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan
azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu
dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada
sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami
mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka
memahami(nya)".
QS:Al-An'am | Ayat: 65
QS:Al-An'am | Ayat: 65
Yang paling dicemaskan oleh Ubai terhadap
umat Islam ialah datangnya suatu generasi yang saling memusuhi di antara
sesamanya.
Ia selalu memohon keselamatan kepada Allah
dan ia telah mendapatkannya dengan karunia dan nikmat dari Allah. Ia menemui
Allah dalam keadaan beriman, aman tenteram, dan memperoleh pahala.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
0 komentar:
Posting Komentar