Selasa, 31 Desember 2013

Filled Under:

Usaid bin Al-Hudhair (Pahlawan dalam Peristiwa Saqifah).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Ia mewarisi akhlak mulia dari moyangnya secara turun-temurun. Ayahnya, Hudhair Al-Kata’ib adalah seorang pembesar Aus, tokoh bangsawan Arab pada zaman jahiliyah, dan ksatria perang mereka yang perkasa. Seorang penyair telah membuat syair tentang ayahnya ini:

     Seandainya maut mau menghindar dari orang perkasa

     Niscaya ia akan membiarkan Hudhair ketika menutupkan pintunya

     Ia hanya akan berkeliling, sampai malam datang menjelma

     Lalu mengambil tempat duduk dan berdendang dengan asyiknya.

     Usaid mewarisi kedudukan, keberanian, dan kehormatan dari ayahnya. Sebelum masuk Islam, ia merupakan salah seorang pemimpin Madinah, bangsawan Arab, dan pemanah pilihan yang jarang ada bandingannya. Ketika Islam telah memilih dirinya dan membimbingnya ke jalan yang mulia lagi terpuji, kemuliaannya bertambah memuncak dan kedudukannya bertambah tinggi. Itu terjadi ketika ia mengambil kedudukan menjadi salah seorang pelopor pembela Allah dan Rasul-Nya, serta termasuk ke dalam bagian orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Pada saat masuk Islam itu, ia sangat cepat menerima, bersemangat tinggi, dan menunjukkan kemuliaan.

     Rasulullah mengirim Mush’ab bin Umair ke Madinah untuk mengajari orang-orang Muslim dari kalangan Anshar yang telah berbaiat kepada Nabi untuk membela Islam pada Baiat Aqabah I, dan untuk mengajak orang lain kepada agama Allah. Pada waktu itu Usaid bin Al-Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz—yang tidak lain merupakan pemimpin kabilah masing-masing—duduk merundingkan perantau asing yang datang dari Mekkah, yang akan menyingkirkan agama nenek moyang mereka dan menyeru kepada agama baru yang belum mereka kenal. Sa’ad berkata kepada Usaid, “Pergi dan temuilah orang itu (Mush’ab) dan berilah pelajaran agar ia kapok.” Usaid pun pergi dengan membawa tombaknya untuk menemui Mush’ab bin Umair yang waktu itu menginap di rumah As’ad bin Zurarah, salah satu pembesar Madinah yang masuk Islam lebih dulu.

     Di majelis Mush’ab dan As’ad bin Zuyrarah, Usaid melihat banyak orang yang dengan penuh minat dan perhatian mendengarkan kalimat-kalimat petunjuk yang disampaikan oleh Mush’ab bin Umair dan mengajak mereka kepada Allah. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Usaid dengan amarahnya. Mush’sb mengatakan kepadanya, “Apakah engkau berkenan duduk mendengarkannya terlebih dahulu? Bila engkau senang dengan urusan kami, engkau dapat menerimanya. Sedangkan engkau tidak senang dengan urusan kami, kami akan menghentikan apa yang tidak engkau sukai itu.

     Usaid adalah seorang yang cemerlang otaknya dan tajam mata hatinya, sehingga penduduk Madinah menyebutnya dengan julukan Al-Kamil (Si Sempurna). Julukan ini juga merupakan julukan yang dimiliki ayahnya dulu. Ketika ia melihat Mush’ab mengajaknya untuk mempertaruhkan akal dan logika, ia merasa tertantang, lalu menancapkan tombaknya ke tanah dan berkata kepada Mush’ab, “Engkau benar, sekarang ungkapkanlah apa yang ada padamu.

     Mush’ab lalu membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya dan menjelaskan seruan agama baru ini. Agama yang besar dan Nabi Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan dan mengibarkan benderanya. Orang-orang yang menghadiri majelis tersebut mengatakan, “Demi Allah, kami telah melihat Islam di wajah Usaid sebelum ia mengucapkannya. Kami mengetahuinya dari cahaya dan sikap lunaknya.

     Belum lagi Mush’ab menyelesaikan penjelasannya, Usaid sudah menyeru dengan ungkapan yang mengesankan, “Alangkah baiknya kata-kata ini dan alangkah indahnya. Apa yang kalian lakukan bila hendak masuk agama ini?

     Mush’ab menjawab. “Bersihkanlah badan dan pakaianmu. Lalu ucapkanlah syahadat yang benar, kemudian tunaikanlah shalat.

     Sesungguhnya kepribadian Usaid benar-benar kepribadian yang lurus, kuat, dan murni. Saat mengenal jalannya, ia tidak ragu-ragu langsung melangkah dan menyambutnya dengan kebulatan hati. Usaid tegak berdiri untuk menerima agama yang telah membuka pintu hatinya dan menyinari dasar jiwanya. Ia bergegas mandi dan membersihkan diri, kemudian bersujud kepada Allah Sang Pemelihara Semesta Alam, menyatakan keislamannya dan menyampaikan perpisahan kepada masa-masa kemusyrikan dan jahiliyah.

     Kewajiban Usaid sekarang ialah segera kembali menemui Sa’ad bin Mu’adz untuk menyampaikan laporan atas tugas yang dibebankan kepadanya sebelum itu, yaitu mengancam dan mengusir Mush’ab bin Umair. Dia segera kembali kepada Sa’ad.

     Ketika Usaid hampir tiba ke tempat yang dituju, Sa’ad mengatakan kepada orang-orang disekelilingnya, “Aku bersumpah, sungguh Usaid telah datang sekarang ini, tetapi dengan wajah yang lain daripada ketika ia pergi tadi.” Benar, ia pergi dengan muka yang masam berkerut dengan membawa kemarahan dan permusuhan, sedangkan kini ia kembali dengan wajah yang diliputi perasaan tenang, rahmat, dan cahaya.

     Usaid memutuskan untuk mempergunakan sedikit kecerdikannya. Ia tahu benar bahwa Sa’ad bin Mu’adz sama dengan dirinya dalam persoalan kebersihan jiwa, kekerasan kemauan, ketenangan berpikir, dan ketepatan penilaian. Ia mengetahui bahwa tidak akan ada penghalang antara dirinya dan Islam setelah mendengar sendiri apa yang telah didengarnya tadi tentang firman Allah, yang dibacakan dan diuraikan dengan baik kepada mereka oleh utusan Rasulullah, yaitu Mush’ab bin Umair.

     Tetapi, seandainya ia berkata kepada Sa’ad, “Seandainya aku telah masuk Islam, karena itu berdirilah dan masuk Islam,” niscaya akan mengundang pertentangan yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Karena itu, ia memutuskan untuk membangkitkan semangat keberanian Sa’ad sebagai suatu cara untuk mendorongnya pergi ke majelis Mush’ab sampai ia mendengar dan menyaksikan sendiri. Namun, bagaimana caranya?

     Sebagaimana penulis telah sebutkan sebelumnya, Mush’ab menjadi tamu di rumah As’ad bin Zurarah. As’ad bin Zurarah ini merupakan anak dari bibinya Sa’ad bin Mu’adz. Karena itulah, Usaid berkata kepada Sa’ad, “Aku mendengar berita bahwa Bani Haritsah telah berangkat ke rumah As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya, padahal mereka tahu bahwa ia adalah anak bibimu.

     Didorong oleh fanatisme dan kemarahan, Sa’ad bangkit dan mengambil tombaknya lalu bergegas pergi ke tempat As’ad bin Mush’ab yang ketika itu sedang berkumpul bersama kaum Muslimin lainnya. Ketika ia telah sampai ke dekat majelis, ia tidak menemukan keributan ataupun kegaduhan, melainkan ketenangan yang meliputi seluruh jamaah, sedangkan di tengah-tengah mereka berada Mush'ab’bin Umair membacakan ayat-ayat Allah dengan penuh kekhusyukan dan yang lain menyimak dengan penuh perhatian.

     Saat itulah Sa’ad menyadari siasat yang telah diatur Usaid untuk menjebaknya, yang tidak lain ialah agar ia datang ke majelis itu dan dapat mendengarkan sendiri pembicaraan Mush’ab sebagai utusan Islam. Firasat Usaid mengenai shahabatnya memang tidak meleset. Tidak lama setelah Sa’ad mendengarkannya, Allah membukakan dadanya untuk menerima Islam, dan secepat kilat ia pun mengambil kedudukannya di barisan orang-orang beriman yang lebih awal.

     Hati serta akal Usaid memancarkan keimanan, keyakinan yang kuat, dan cahaya. Keimanan memberinya bekal sifat hati-hati, penyantun dan penilaian yang tepat, yang menjadikannya selalu dipercaya.

     Dalam peperangan Bani Musthaliq, meledaklah dendam yang terpendam di dada Abdullah bin Ubai. Ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya dari kalangan Madinah, “Kalian telah menempatkan mereka di negeri kalian dan berbagi harta dengan mereka. Demi Allah, seandainya kalian tidak memberikan apa yang ada di tangan kalian kepada mereka, niscaya mereka akan berpindah ke negeri lain, bukan ke negeri kalian ini. Demi Allah, saat kita kembali ke Madinah nanti, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari sana.

     Seorang shahabat yang mulia, Zaid bin Al-Arqam, mendengar kalimat-kalimay, bahkan racun kemunafikan yang membakar ini. Wajib baginya memberitahukan hal itu kepada Rasulullah. Perasaan Rasulullah sangat tertusuk. Usaid pada waktu itu menjemput beliau maka beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah mendengar apa yang diucapkan oleh shahabatmu?

     “Shahabat yang mana, wahai Rasulullah?

     “Abdullah bin Ubai.

     “Apa yang ia ucapakan?

     “Ia mengklaim bahwa bila ia kembali ke Madinah, orang yang mulia akan mengeluarkan orang yang hina darinya.

     “Demi Allah, engkaulah yang akan mengeluarkannya dari Madinah, insya Allah. Dan demi Allah, dialah yang hina, sedangkan engkaulah yang mulia.

     Kemudian Usaid berkata, “Ya Rasulullah, kasihanilah dia. Demi Allah, ketika Allah membawa engkau kepada kami, kaumnya sedang menyiapkan mahkota untuk disematkan di atas kepalanya karena mereka akan mengangkatnya menjadi raja di Madinah. Ia telah memandang Islam telah merenggut kerajaan itu darinya.

     Dengan daya piker yang tajam, sikap yang tenang, dan ucapan yang jelas, Usaid senantiasa berhasil memecahkan berbagai persoalan dengan intuisi dan wawasan yang actual. Pada peristiwa Saqifah, yang terjadi tidak lama setelah wafatnya Rasulullah, sejumlah orang Anshar yang dikepalai oleh Sa’ad bin Ubadah mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang kendali kekhalifahan. Adu argument berjalan panjang dan perdebatan pun berkecamuk. Usaid, sebagaimana kita ketahui, sebagai seorang tokoh Anshar yang mempunyai pengaruh besar dalam menjernihkan suasana, memiliki posisi yang efektif untuk mengatasi ketegangan situasi itu, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya laksana cahaya fajar di waktu subuh dalam menentukan arah.

     Usaid berdiri mengucapkan pidato yang ditujukan kepada kaumnya dari golongan Anshar, “Kalian mengetahui bahwa Rasulullah adalah dari golongan Muhajirin. Dengan demikian, khalifah beliau pun semestinya dari golongan Muhajirin. Kita adalah pembela Rasulullah, sehingga kewajiban kita sekarang adalah membela Khalifahnya.

     Ternyata kata-kata itu menjadi penawar dan pendingin suasana.

     Usaid bin Al-Hudhair hidup sebagai orang yang ahli ibadah dan selalu taat. Ia rela mengorbankan jiwa dan hartanya di jalan kebaikan dan menjadikan wasiat Rasulullah terhadap orang Anshar sebagai pedoman dan sikap hidupnya:

     “Bersabarlah kalian sampai kalian menjumpaiku di telaga.

     Karena agama dan akhlaknya, ia dimuliakan dan dicintai Abu Bakar. Ia juga memperoleh kedudukan yang serupa di hati Amirul Mukminin Umar dan di hati semua shahabat yang lain.

     Mendengar alunan suaranya bila ia sedang membaca Al-Qur’an seolah-olah mendapatkan harta rampasan yang sangat digemari oleh para shahabat. Suaranya khusyuk memesona dan menerangi jiwa, hingga Rasulullah pernah mengabarkan bahwa malaikat mendekati pemilik suara indah itu pada suatu malam untuk mendengarkannya.


     Pada Sya’ban 20 H, Usaid wafat. Amirul Mukminin tidak mau ketinggalan untuk ikut memikul jenazahnya di atas bahunya saat mengantarkan ke makamnya. Di bawah tanah Baqi’, di sanalah para shahabat menyimpan jasad seorang Mukmin besar. Mereka kembali ke Madinah dan tetap mengenang jasanya. Mereka selalu mengulang-ulang sabda Rasulullah tentang dirinya, “Lelaki yang paling beruntung adalah Usaid bin Al-Hudhair.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf